Kemakmuran Kerajaan Amarta
Kerajaan Amarta, yang diperintah oleh Prabu Yudhistira, adalah salah satu kerajaan paling makmur di tanah Jawa. Di bawah kepemimpinan Pandawa, rakyat hidup dengan damai dan sejahtera. Sawah-sawah membentang hijau sejauh mata memandang, sungai-sungai mengalir jernih membawa berkah bagi para petani dan nelayan, serta pasar-pasar penuh dengan suara riuh pedagang yang menjajakan hasil bumi yang melimpah.
Di jalanan ibu kota Indraprasta, rakyat berjalan dengan wajah penuh senyum. Anak-anak berlarian di gang-gang kecil sambil bermain, sementara para penenun duduk di beranda rumah mereka, menenun kain dengan motif yang indah. Para prajurit kerajaan dengan gagah berpatroli, bukan untuk menakut-nakuti rakyat, tetapi untuk memastikan keamanan dan ketertiban tetap terjaga.
Di dalam istana, kehidupan berlangsung dengan penuh kebijaksanaan. Yudhistira, sang raja yang terkenal adil dan bijaksana, selalu mengadakan sidang kerajaan untuk mendengar keluhan rakyat. Setiap keputusan yang diambilnya selalu mempertimbangkan kesejahteraan semua golongan, dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata.
Bima, sang ksatria perkasa, mengawasi ketertiban dengan tangan besi namun hati yang lembut. Arjuna, dengan pesona dan kecerdasannya, menjaga hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain. Nakula dan Sadewa, si kembar yang bijak, mengatur sistem pertanian dan ekonomi agar kerajaan tetap makmur.
Di tengah kedamaian ini, rakyat merasa tenang, aman, dan sejahtera. Tidak ada perang, tidak ada kelaparan, dan tidak ada ketidakadilan. Amarta adalah contoh sempurna dari kerajaan yang ideal.
Namun, di tengah kemakmuran ini, datanglah tantangan baru dari Kahyangan—sebuah sayembara aneh yang akan menguji kebijaksanaan Amarta dengan cara yang tidak terduga…
---
Batara Guru dan Sayembara yang Aneh
Di Kahyangan, Batara Guru duduk di singgasananya, mengelus jenggot panjangnya dengan penuh pertimbangan. Para dewa di sekelilingnya menunggu keputusan besar yang akan diambil oleh penguasa tertinggi mereka. Setelah lama berpikir, Batara Guru tersenyum licik.
"Aku ingin menguji kebijaksanaan Pandawa. Bagaimana kalau kita adakan sayembara? Siapa pun yang bisa menjadi raja dengan bijaksana selama satu hari akan mendapatkan emas sekarung!"
Batara Narada, utusan kahyangan, mengangguk setuju. "Sebuah ide yang menarik, Baginda. Tapi siapa saja yang boleh ikut?"
"Siapa saja," jawab Batara Guru. "Bahkan rakyat jelata pun bisa mencobanya. Aku ingin melihat apakah ada yang mampu memimpin dengan baik meskipun hanya sehari."
Tanpa banyak bertanya lagi, sayembara ini diumumkan kepada seluruh rakyat di Amarta, termasuk Pandawa dan… para Punakawan.
Punakawan dan Ketela Bakar
Di tengah hutan dekat Kerajaan Amarta, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sedang bersantai di bawah pohon beringin. Mereka menikmati ketela bakar dengan santai, tidak peduli dengan urusan politik kerajaan.
"Lur, sayembara ini menarik! Hadiahnya emas sekarung!" ujar Gareng sambil mengunyah ketela.
"Ah, apa gunanya emas kalau perut tetap lapar?" sahut Bagong, mengelus perutnya yang sudah bundar.
Petruk, yang terkenal iseng, tiba-tiba berdiri dan berseru, "Kenapa tidak aku saja yang ikut? Mumpung aku ganteng dan cerdas!"
Semar menepuk jidatnya. "Hus, Truk! Jadi raja itu tidak gampang! Harus adil, bijaksana, dan kuat menghadapi godaan."
Namun, sebelum Semar bisa mencegahnya, Petruk sudah berlari ke istana untuk mendaftar!
Kesalahan Fatal
Di istana, daftar peserta yang dikumpulkan oleh prajurit tertukar oleh angin, meninggalkan kertas kosong. Ketika seorang penjaga melihat Petruk datang dengan penuh semangat, ia langsung menuliskan nama pertama yang ia dengar:
"Petruk, putra Semar."
Esok harinya, nama pemenang diumumkan.
"Pemenang sayembara yang akan menjadi raja Amarta selama satu hari adalah… PETRUK!"
Suasana langsung hening. Para Pandawa saling memandang. Gareng menjatuhkan ketela bakarnya. Bagong hampir tersedak. Semar menepuk jidatnya sendiri.
Sementara itu, Petruk melompat kegirangan.
"Horeeee! Aku jadi raja! Wah, siap-siap, mulai besok semua rakyat harus tertawa setiap hari!"
Protes Gareng dan Bagong
Di sudut lain, Gareng dan Bagong langsung mendekati Semar dengan wajah penuh protes.
"Eyang Semar! Kok bisa-bisanya Petruk jadi raja?! Aku saja yang lebih tampan tidak kepilih!" kata Gareng sambil menunjuk wajahnya yang justru makin miring.
Bagong menimpali, "Iya, Mbah! Ini pasti kesalahan besar! Kita tahu sendiri Petruk kalau jadi pemimpin, kerajaannya bisa berubah jadi pasar malam!"
Semar menghela napas panjang dan berkata, "Wis, wis… Aku juga bingung ini gimana. Tapi kalau ini sudah keputusan Batara Guru, berarti ada maksudnya. Mungkin kita harus lihat dulu apa yang bakal terjadi."
Bagong mendengus. "Atau kita protes langsung ke Pandawa! Mereka yang harusnya jadi pemimpin, kenapa malah Petruk?!"
Gareng mengangguk. "Benar juga! Kita harus cari Yudhistira dan menuntut penjelasan!"
Perdebatan dengan Pandawa
Bagong dan Gareng langsung menuju istana untuk menemui Yudhistira, Bima, dan Arjuna. Begitu tiba di ruang utama, mereka langsung membungkuk hormat, tapi tidak membuang waktu untuk memulai protes.
"Prabu Yudhistira! Bagaimana mungkin kerajaan ini diserahkan ke Petruk?! Ini pasti kesalahan besar!"
Yudhistira tetap tenang, sedangkan Arjuna melirik Bagong dengan penasaran.
"Benar, Kakang Yudhistira!" tambah Gareng. "Petruk itu kocak, suka iseng, dan… yah, kurang bijaksana! Kalau raja sehari seperti ini bisa dilakukan oleh siapa saja, kenapa tidak langsung diundi?!"
Bagong makin berapi-api. Ia berseru, "Yang Mulia, Petruk itu… IJAZAH SMA SAJA TIDAK PUNYA!"
Bima Menyanggah:
Bima yang sejak tadi diam tiba-tiba tertawa.
"HAHAHAHA! Bagong, kau kira menjadi raja butuh ijazah? Aku pun tak punya, tapi aku tetap bisa jadi panglima perang!"
Bagong melotot. "Tapi Kakang Bima itu kuat! Lah, Petruk? Dikit-dikit guyon! Kalau kerajaan dipimpin orang seperti dia, besok rakyat bukannya kerja, malah sibuk main tebak-tebakan!"
Arjuna Ikut Bicara:
"Bagong, pemimpin tidak harus selalu serius. Kadang, seorang pemimpin harus bisa membawa kebahagiaan bagi rakyatnya. Dan siapa yang lebih pandai membuat orang tertawa selain Petruk?"
Bagong membantah, "Kalau rakyat terus tertawa, kapan mereka kerja?! Bayangkan kalau besok ada peraturan: 'Setiap warga wajib ketawa 100 kali sebelum sarapan'. Apa itu tidak merepotkan?"
Jawaban Bijak Yudhistira:
"Bagong, ujian ini bukan hanya untuk Petruk, tapi untuk kita semua. Kalau kerajaan ini hancur dalam sehari hanya karena Petruk, berarti aku sendiri gagal sebagai raja. Tapi jika Amarta tetap kuat meskipun dipimpin oleh Petruk, berarti rakyat kita benar-benar bijaksana."
Bagong terdiam. Ia melirik Gareng, lalu kembali menatap Yudhistira.
"Jadi maksudnya, kita harus membantu Petruk agar tidak membuat kekacauan?"
Yudhistira mengangguk. "Benar. Jika kau benar-benar peduli, kau seharusnya membantu, bukan hanya mengeluh."
Bagong mendengus, lalu menoleh ke Gareng. "Hadeh… jadi sekarang kita yang harus kerja ekstra ya?!"
Gareng mengangguk. "Sepertinya begitu, Bagong."
Sementara itu, di kejauhan, Petruk sedang mencoba baju kebesaran raja dan tertawa-tawa sendiri di depan cermin.
***
Sebelum kekacauan sayembara terjadi, kehidupan para Punakawan di Kerajaan Amarta berjalan seperti biasa. Meskipun mereka hanyalah abdi kerajaan dan rakyat biasa, mereka memiliki kehidupan yang penuh warna di antara kemakmuran Amarta.
Semar: Sang Ayah Bijak dan Tukang Masak Andal
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kerajaan, Semar duduk di serambi sambil menikmati secangkir teh hangat. Ia dikenal sebagai abdi setia Pandawa, tetapi di rumah, ia adalah seorang bapak bijak yang juga jago masak.
Setiap pagi, sebelum pergi ke istana, Semar selalu memasak untuk anak-anaknya—Gareng, Petruk, dan Bagong. Hari itu, ia sedang mengaduk bubur kacang hijau di periuk besar.
"Gareng! Bagong! Cepat bangun, bubur kacang hijaunya hampir matang!" serunya.
Dari dalam rumah, terdengar suara gaduh. Gareng terhuyung keluar sambil menguap.
"Haaah… Eyang, pagi-pagi sudah ribut. Kita kan belum perang, kenapa harus bangun sepagi ini?" keluhnya.
Bagong menyusul keluar, masih dalam keadaan setengah sadar.
"Aduh, kenapa setiap pagi harus bangun pagi?" katanya sambil duduk di tanah.
Semar hanya tersenyum.
"Hidup harus punya aturan, Gong. Kalau kebanyakan tidur, nanti rezekimu diambil ayam!"
"Lah, kenapa ayam? Kenapa bukan raja?" tanya Bagong polos.
Semar hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Petruk: Sang Jagoan yang Suka Berkhayal
Di sisi lain rumah, Petruk sedang berdiri di depan cermin. Ia mengenakan selendang merah dan memegang batang kayu seolah-olah itu adalah tongkat kerajaan.
"Hmmm… kalau aku jadi raja, semua orang harus ketawa setiap hari! Aku akan buat peraturan baru: setiap pagi wajib menceritakan satu lelucon sebelum sarapan!" katanya sambil tertawa sendiri.
Gareng, yang baru saja selesai makan bubur, melirik Petruk dengan ekspresi malas.
"Truk, jadi raja itu bukan soal ketawa doang. Harus bijaksana, harus adil, harus…"
Bagong menyela, "Harus punya ijazah!"
Semar menepuk jidatnya.
"Wis, wis… kalian ini kalau pagi-pagi sudah ribut! Ayo, kita bereskan rumah dulu sebelum ke istana!"
Petruk mencibir.
"Ah, jadi raja pasti lebih enak daripada nyapu halaman!"
Gareng menimpali, "Lihat saja nanti kalau kamu beneran jadi raja!"
Mereka tertawa bersama, tanpa menyadari bahwa omongan Gareng akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat.
Kehidupan di rumah Punakawan memang sederhana, tapi penuh dengan tawa, kehangatan, dan sedikit keisengan. Dan inilah yang membuat mereka selalu siap menghadapi apa pun yang terjadi di kerajaan.