Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Burung dalam sangkar emas

Hani_Nurhani
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
16
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1. keperawanan mu milikku

"Ahh! Aku telat!" teriak Eleanor dari kamarnya. Ia bergegas bangkit dari kasur dan langsung menuju kamar mandi. "Eleanor, jangan banyak menggunakan air!" teriak ibunya, Rahma, dari dapur. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi.

"Kenapa Ibu tidak membangunkan aku?" tanya Eleanor. Rambutnya kini acak-acakan dan baju yang dikenakannya compang-camping.

"Apa kau bilang! Ibu sudah membangunkanmu dari tadi!" sahut ibunya, nada suaranya lebih tegas. Ia meletakkan cangkir teh cukup keras di meja makan.

"Ahh, Ibu, aku jadi telat kerja!" rengek Eleanor seperti anak kecil. Ia mengentak-entakkan kaki panjangnya.

"Sudah tahu telat, kenapa masih di sini? Cepat bersiap-siaplah!" kata ibunya tegas. Mendengar teriakan ibunya, gadis itu langsung berlari kembali ke kamarnya dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.

"Eleanor, cepat!" panggil Ibu Rahma dari dapur. Eleanor yang mendengar itu bergegas keluar dari kamarnya dan pergi ke dapur.

"Ibu, aku pergi dulu." Eleanor mencium pipi ibunya dan meraih bekal yang sudah disiapkan. "Hati-hati!" pesan Ibu Rahma sebelum putrinya perlahan menghilang dari pandangannya.

Eleanor bergegas pergi. Ia menaiki bus menuju tempat kerja sebenarnya Eleanor bekerja sebagai housekeeper di sebuah hotel bintang lima. Saat hendak menuruni bus, gadis itu melihat manajernya berada di depan pintu lobi. Rasanya malas sekali jika pagi-pagi ini dimarahi bos lagi. Ia menghela napas dan berusaha menenangkan diri. Lalu, perlahan berjalan dan membuka pintu hotel. Benar saja, si tua bangka cerewet itu melihat ke arah Eleanor dan segera mendatanginya.

"Eleanor, kenapa kamu telat!" bentak atasannya. Suaranya lantang, mungkin terdengar sampai ke resepsionis.

"Maaf, Pak, aku kesiangan," jawab gadis itu, menundukkan wajah dan tidak berani menatap mata manajernya.

"Oh, kenapa kamu tidak tidur saja selamanya, biar tidak usah bangun pagi lagi untuk bekerja?" ucap manajernya. Rahang si tua bangka itu mengeras seperti batu, dan menatap Eleanor dengan tatapan mengancam.

"Maaf, Pak, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku mohon maaf, Pak." Eleanor membungkukkan badan, meminta maaf. Ia meremas rok hitamnya erat-erat, berusaha untuk tidak menampar wajah manajernya.

Mendengar itu, Pak Adrha menghela napas dan mengelus dadanya takut penyakit jantungnya kambuh hanya karena gadis menyedihkan ini.

"Aku pegang janjimu. Sekarang pergilah bekerja." Ia pergi meninggalkan gadis itu di lobi dan kembali ke kantornya.

"Gadis bodoh!" Tiba-tiba, seseorang datang dan langsung memukul kepala Eleanor. Ternyata itu Mary, sahabat Eleanor sejak kecil; mungkin pertemanan mereka sudah mencapai 10 tahun lamanya.

"Kan sudah kubilang, sampai telat! Kamu tahu kan kalau Pak Adrha itu pria galak?" bisik Mary pelan agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka.

"Aku kemarin malam tidur jam 2 subuh, jadi aku telat bangun," ucap Eleanor, sambil berbisik di telinga Mary.

Mendengar itu, Mary sontak terkejut. Ia kembali memukul kepala Eleanor, kali ini lebih keras. "Bodoh! Kenapa kamu tidur lama sekali!? Apakah itu karena game sialanmu itu?" bentak Mary, wajahnya memerah karena marah, matanya terbelalak.

Melihat itu, Eleanor sedikit takut. Ia berusaha tertawa garing dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ehh… anu…"

"Kalian niat bekerja atau tidak?" tiba-tiba terdengar suara Pak Adrha dari belakang punggung kedua gadis itu. Ia menepuk punggung Mary cukup keras. Sontak Mary langsung menoleh dan segera meminta maaf. "Maaf, Pak, kami akan kembali bekerja." Mereka berlari dan pergi untuk memulai pekerjaan mereka.

Tepat pukul lima sore, hotel tiba-tiba ramai, banyak orang mengelilingi sosok misterius itu. Para staf dan manajer berada di lobi dan menyambut lelaki misterius itu.

"Silakan, Tuan, kami sudah menyiapkan kamar VIP untuk Anda." Manajer membungkukkan badan, begitu juga yang lain. Tetapi pria itu hanya pergi dengan dingin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sementara itu, pengawalnya sibuk membereskan kerumunan yang terjadi di luar lobi; gadis-gadis berteriak histeris dan para paparazi sibuk memfoto sosok misterius itu.

"Eleanor! Cepat bawakan makanan ini!" teriak Pak Adrha. Keadaan dapur hotel kini sibuk dan para chef berusaha menyiapkan makanan terbaik untuk pria itu. Eleanor segera berlari dan membawa nampan berisi makanan. Melihat Wagyu steak dan lobster thermidor, ia menelan ludahnya sedikit dan berusaha memfokuskan pandangannya.

"Permisi, Tuan," Eleanor mengetuk pintu itu perlahan, tetapi tidak ada yang merespons. Kamar nomor 117 itu tampak sunyi, jadi Eleanor mengetuknya lagi, kali ini lebih keras. "Permisi, Tuan," kali ini suaranya agak lebih meninggi, tetapi tetap saja tidak ada yang merespons. Saat ia ingin mengetuk lagi, tiba-tiba pintu itu terbuka sendiri; sepertinya lelaki itu lupa mengunci pintu kamarnya.

Eleanor, menyadari pintu itu tidak terkunci, perlahan masuk dan melihat situasi di dalam. Tetapi kamar itu tidak ada orang. Eleanor masuk dan melihat sekeliling kamar besar itu tampak masih rapi dan sprainya belum disentuh. Tetapi ia mendengar suara air mengalir dari kamar mandi. Awalnya Eleanor enggan mengeceknya, tetapi rasa penasaran Eleanor yang tinggi, dan suara air yang terus mengalir deras, tetapi tidak ada suara gemerisik seseorang sedang mandi, jadi ia perlahan mendekati kamar mandi itu. Melihat sosok pria tampan yang terbaring diam di dalam bak mandi, Eleanor langsung menghampirinya. Ia mengguncang pria itu dengan keras dan berusaha membangunkannya.

"Tuan! Tuan, apakah Anda baik-baik saja?" teriak Eleanor. Ia memegangi wajah pria itu. "Tuan!" Eleanor meletakkan telinganya di dada pria itu dan mendengarkan detak jantungnya eh, ternyata masih berdetak.

"Siapa kamu?" tiba-tiba pria itu menarik rambut Eleanor cukup keras hingga kepalanya sedikit ke belakang, memperlihatkan lehernya.

"Aduh, rambutku sakit!" kata Eleanor. Pria itu melepaskan tangannya dari rambut gadis itu dan mendorongnya menjauh.

"Menjauh dariku! Kamu mengganggu waktu berharga ku! Siapa yang menyuruhmu ke sini!"

Eleanor bangkit dan membungkukkan badannya, berusaha meredakan amarahnya. "Maaf, Tuan, aku hanya ingin mengantarkan makanan itu saja, tidak lebih," gumamnya. Tetapi Charles sepertinya tidak mendengarkannya.

Eleanor yang melihat ke bawah sontak melihat lekuk tubuh Charles dan sesuatu yang menonjol dari balik celana boxernya, serta perutnya yang sixpack.

"Maaf, Tuan, aku akan pergi." Eleanor tergesa-gesa pergi dan berusaha meninggalkan kamar itu; ia tergesa-gesa hingga hampir tersandung.

"Tunggu," kata Charles. Ia meraih pergelangan tangan Eleanor. Sontak Eleanor terjatuh di pelukan Charles; tangannya tanpa sengaja menyentuh dada Charles.

"Atau jangan-jangan kamu adalah wanita yang dikirim untuk memuaskanku?" Mendengar itu, Eleanor terkejut dan mendorong Charles menjauh.

"Maaf, Tuan, aku hanya pelayan di sini. Aku tidak ada hubungan dengan wanita penghiburmu." Kali ini suara Eleanor meninggi. Mendengar itu, mata Charles menyipit tajam dan langsung menampar wajah Eleanor cukup keras hingga gadis itu terjatuh dan memegangi pipinya.

"Siapa kau berani berbicara dengan nada seperti itu padaku?" Rahangnya terkatup rapat, ia mengepalkan jari-jarinya berusaha menahan amarah. Melihat itu, Eleanor merasa sedikit takut.

"Lagian kamu memang sudah dipilih untuk memuaskanku, pelayan sekaligus wanita penghibur!" Mendengar itu, Eleanor langsung berdiri. Ia menatap mata pria itu seketika ketakutan di dalam dirinya hilang.

"Aku bukan wanita penghibur! Tolong jaga baik-baik ucapanmu, Tuan!" ucapnya lantang. Melihat itu, Charles terkekeh; ia meraih kerah bajunya dan mendekatkan wajah mereka. Dahi mereka saling bersentuhan hingga Eleanor bisa mencium bau napas Charles.

"Oh, jadi menurutmu apakah aku peduli?" Nadanya seperti mengejek Eleanor. Ia hanya tertawa sebentar dan kembali menatap Eleanor.

Mendengar itu, Eleanor terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan pria kuat yang berada di depannya, ia tidak akan bisa melawannya. Menyadari ketakutan Eleanor, Charles semakin berani. Ia membelai paha gadis itu dan mendorongnya hingga terpojok di kabin dingin kamar mandi.

"Menyerahlah, tidak akan ada yang membantumu. Aku akan membayarmu lima kali lipat dari gaji rendahan itu." Charles tersenyum mengejek ia memegang dagu gadis itu dan mengangkat kepalanya. "Ayo, gadis baik." Mendengar itu, Eleanor menangis putus asa, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya takut, malu, dan marah kini bergejolak di dalam diri Eleanor.

"Tidak, tolong, aku tidak mau!" Kali ini tangisannya pecah. Ia menangis senggukan di hadapan Charles, tetapi itu tidak berguna justru Charles lebih bersemangat.

"Percuma saja, sayang. Kelinci yang memasuki kawasan singa, ia tidak akan selamat, kamu tahu." Kali ini Charles berbisik di telinga Eleanor. Mendengar kata-kata itu, seketika Eleanor merasa putus asa. Ia terdiam dan tidak berani mengatakan apa pun.

"Jika tidak, percayalah aku bisa menyuruh manajermu memecatmu dan merusak nama baikmu. Dengan itu kamu tidak akan mendapatkan pekerjaan lagi." Sontak Eleanor terkejut. Ia menangis dan memohon kepada Charles agar tidak melakukan itu karena jika tidak, siapa yang akan memberi mereka uang? Karena selama ini Eleanorlah yang menafkahi ibunya, sedangkan ayahnya pergi meninggalkan mereka, memilih wanita lain, dan meninggalkan banyak hutang. Sungguh ayah yang tak berguna.

"Kalau begitu, jadilah gadis baik. Lagian juga aku akan membayarmu, sayang." Charles mengusap air mata Eleanor dengan ibu jarinya dan menjilatnya perlahan. "Kamu setuju?" Karena tidak ada pilihan, akhirnya Eleanor menyetujui pria itu. Ia mengangguk perlahan, tanda setuju.

"Hahaha, benar-benar gadis baik." Charles menyeret Eleanor menuju tempat tidur yang sudah disediakan oleh hotel. Kamar itu dipenuhi mawar merah dan lilin. Perlahan Charles mendorong Eleanor di kasur, lalu ia membuka kancing baju Eleanor; matanya tidak pernah lepas dari tatapan Eleanor. "Gadis baikku," perlahan ia melepaskan celana dalam milik Eleanor.