Namaku Karang Chandrakusuma Dhamaswara, seorang pemuda berusia 18 tahun berasal dari sebuah desa kecil. Keluargaku hidup sederhana, dan demi meringankan beban kedua orang tuaku yang telah berjuang tanpa lelah, aku memutuskan untuk merantau, meninggalkan rumah dan keluarga tercinta.
Keputusan ini bukanlah hal yang ringan, namun aku percaya bahwa ini adalah jalan yang harus kutempuh untuk mengubah nasib. Aku belajar banyak dari hidupku yang penuh warna—suka dan duka yang tak terhitung jumlahnya. Jauh dari keluarga, aku belajar arti kerja keras, pengorbanan, harapan, kasih sayang, keberanian, dan mimpi. Di sinilah perjalanan panjangku dimulai, sebuah kisah tentang keberanian untuk melangkah dan harapan yang tak pernah padam.
Aku, Karang Chandrakusuma Dhamaswara, memiliki rambut hitam legam dan kulit sawo matang. Mataku sedikit sipit, dengan bibir merah muda yang terkadang tampak pucat. Aku memiliki tinggi badan sekitar 170 cm, dan tubuhku terbentuk akibat kebiasaan berolahraga. Senyumku manis, namun sayang, sifatku yang penakut dan pemalu sering kali membuatku diam saja saat dibuli. Dengan kepala tertunduk, aku tak mampu melawan mereka yang menghinaku. Kadang aku sedikit keras kepala, tetapi aku merasa lebih ceria ketika berada dekat dengan orang-orang terdekatku. Aku adalah sosok yang tertutup, dengan banyak rahasia yang tak pernah kukatakan pada siapapun.
Aku tinggal di kos bersama temanku, Gibran Prabhu Mahendra, yang memiliki kulit sawo matang dan rambut hitam sedikit ikal. Tinggi tubuhnya setara dengan ku, dan matanya juga sedikit sipit. Gibran, meski santai, humoris, dan jarang marah, terkadang tak memiliki pendirian yang jelas. Kami bersekolah di sebuah SMA Negeri Bintang Timur tempat nya para orang elite, tempat Gibran masuk karena latar belakang keluarganya yang kaya, sementara aku hanya diterima berkat beasiswa yang kudapatkan. Hal inilah yang sering membuatku dibuli—dicaci maki, dihina, dan diberi perlakuan buruk lainnya. Di sini pula aku pertama kali bertemu dengan Rhea Saraswati Vilncien, yang membawa perubahan dalam hidupku.
"Jam berapa sekarang?" ucapku pelan, sambil mencoba bangun dari tempat ternyaman di dunia, alias tempat tidurku.
"Hmm...? Pukul tujuh pagi," gumamku seraya melirik jam weker yang berdering pelan di sudut meja. "Sudah waktunya bersiap-siap," lanjutku, perlahan menepis rasa kantuk dan mulai mengumpulkan tenaga untuk bangkit.
Aku menatap meja kecil di sebelah ranjangku. Di sana ada sebuah bingkai foto yang sudah mulai sedikit usang, tapi tetap terjaga rapi. Aku mengambilnya dengan hati-hati karena itu adalah barang berharga.
"Ayah... Bunda... Ana... Aku akan mencoba semangat lagi untuk hari ini!" bisikku lirih, mencoba meyakinkan diriku sendiri.
Pandangan mataku tertuju pada gambar dalam foto itu. Di sana terlihat aku berdiri di samping Bunda yang duduk dengan anggun. Di sebelahku ada adikku, Kirana Chandrakirana Dhamaswara, atau yang biasa kupanggil Ana. Gadis berusia 15 tahun itu memiliki rambut hitam gelap yang tergerai pendek hingga sebahu. Tingginya sekitar 163 cm, dengan tubuh yang lebih kurus dibanding gadis seumurannya—kebiasaan buruknya yang sering melewatkan waktu makan menjadi penyebabnya dan juga karena ekonomi yang tidak mendukung.
Mata Ana memiliki warna cokelat susu yang indah, sama seperti mata Bunda. Namun, bentuknya sedikit sipit, menurun dari Ayah. Tahi lalat kecil di sudut mata kirinya membuat wajahnya terlihat manis sekaligus khas. Saat melihatnya, aku teringat betapa keras kepalanya Ana, tetapi aku tahu, di balik semua itu, dia adalah adik yang sangat peduli pada keluarganya.
Kartono Nugraha Dhamaswara. Dia adalah ayahku.
Di foto itu, ayah duduk di sebelah Bunda, mengenakan kemeja batik bermotif kawung berwarna cokelat yang dipadukan dengan celana hitam dan sepatu pantofel hitam. Sepatu itu adalah hadiah dari pamanku untuk ayah saat ulang tahunnya—hadiah sederhana yang ia jaga dengan penuh rasa syukur.
Ayah adalah pria yang humoris, tetapi di balik canda tawanya, ia adalah sosok yang bijak, berwibawa, dan penuh kasih sayang. Kerutan di dahinya bercerita tentang perjuangan kerasnya demi menghidupi keluarga ini. Mata hitam legamnya memancarkan ketegasan, sementara rambutnya yang mulai memutih adalah jejak waktu yang ia habiskan bekerja tanpa lelah. Bentuk wajahnya bulat, dengan bibir berwarna merah muda yang sedikit mirip denganku. Kulit sawo matangnya mengingatkan betapa ayahku adalah lelaki desa yang sederhana, tetapi penuh kebanggaan.
Ratna Prawira Adiningrat. Dia adalah ibuku.
Ibu duduk di bawahku dalam foto itu, aku berdiri di belakangnya, seakan ingin melindungi wanita yang telah mengorbankan segalanya untuk kami, yang kekuatannya tak pernah pudar meski dunia terus menguji, dengan senyumnya yang lembut dan tatapan penuh cinta. Ia adalah sosok yang begitu berharga bagiku—penyayang, baik hati, penuh pengertian, tetapi juga memiliki hati yang teguh. Wajahnya ramping dan cantik rupawan, dengan sepasang mata berwarna cokelat susu yang indah, dihiasi tahi lalat kecil di bawah mata kirinya.
Bulu matanya yang lentik menambah keanggunan, sementara kulit kuning langsatnya bersinar meski mulai terlihat kerutan di dahi dan tangannya. Itu adalah tanda perjuangannya yang tak kenal lelah untuk keluarganya. Beberapa helai rambutnya telah memutih, tetapi justru menambah pesonanya. Dalam foto itu, Ibu memakai baju lengan panjang berwarna putih yang dipadukan dengan rok hitam. Sebuah ikat pinggang bermotif daun berwarna perak melingkar di pinggangnya, memberikan kesan anggun dan elegan. Ibu mengenakan sepatu hak hitam setinggi 1,5 cm, yang ia kenakan adalah kenangannya dari masa mudanya—sederhana, tetapi sarat cerita.
Aku meletakkan foto itu kembali di tempatnya. Semoga kalian di rumah baik-baik saja, ucapku dalam hati sebelum akhirnya melangkah untuk memulai hari.
Suara ketukan pintu terdengar, mengacaukan lamunanku saat menatap foto keluarga yang terletak di meja kecil samping tempat tidur.
"Hey, Karang! Bangun, enggak mau sekolah, huh? Wouyy, bangunnn!!" Gibran berteriak dari luar kamar, sambil menggedor pintu dengan keras. Ketukan yang tadinya biasa kini semakin menggema, seperti suara dobrakan.
"Tar dulu sebentar, sih. Aku udah bangun kok!" jawabku sambil mencoba menenangkan Gibran.
"Yaudah cepetan kalau udah bangun, mandi, aku tunggu di meja makan!" Gibran memerintah dari luar dengan nada yang mulai tidak sabar.
"Iya, iya..." kataku sambil mengerang pelan.
"Duh, tuh anak ganggu banget suasana pagi-pagi... Kenapa sih enggak pelan-pelan ketuk pintunya? Jadinya kaget begini!" ucapku sambil mendumel, merasa terganggu dengan kelakuan Gibran yang nggak sabaran itu.
Setelah mandi, aku buru-buru mengganti baju untuk pergi kuliah, tetapi suara Gibran di luar sudah semakin keras.
"Woy Karang, cepetannnn!!! Masa ganti baju aja lama sih!" Gibran teriak dengan nada tinggi.
"Ya ampun, Gibran, baru aja masuk kamar buat ganti baju!" seruku dari dalam kamar, merasa kesal.
"Ya makanya cepetan, aku udah lapar nungguin kamu!" jawab Gibran, suaranya semakin terdengar marah.
"Makan aja duluan!" teriakku dari dalam kamar.
"Gak bisa, harus ada kamu dulu di sini!" Gibran membalas dengan nada semakin keras.
Ck, ya ampun, anak itu... gumamku dalam hati, sambil terus mendumel.
Saat aku keluar dari kamar setelah mengganti baju, Gibran sudah menunggu di meja makan sambil menatapku dengan tatapan tajam.
"Lama banget! Cepetan duduk!" serunya, sambil menggeser bangku agar aku bisa duduk.
"Oh, makasih, loh," jawabku, sedikit tersenyum, tapi merasa kesal karena sudah terburu-buru.
"Ayo cepetan makan!" Gibran menyuruhku lagi.
Saat kami sedang makan, tiba-tiba Gibran membuka percakapan.
"Rang, mau tanya," katanya, sambil menyendok makanannya.
"Apa?" jawabku, bingung karena biasanya Gibran langsung bertanya tanpa izin seperti ini.
"Aku selalu perhatiin, kenapa sih kamu selalu pakai kata 'aku' dan 'kamu'? Kenapa enggak pakai 'lu' dan 'gua' aja?" tanya Gibran.
"Lah, kau juga kenapa pakai 'kau' dan 'aku'?" timpalku, balik bertanya, merasa heran dengan pertanyaan Gibran yang agak aneh.
"Lagi ditanya, kok malah nanya balik!" Gibran berkata dengan nada sedikit emosi.
"Iya, iya," jawabku singkat.
"Aku ini diajarkan sama Ayah dan Bunda untuk selalu pakai kata-kata yang sopan, supaya kita dihargai dan orang lain yang mendengar jadi enak, gitu," jelasku, berusaha memberi penjelasan.
"Maksudnya 'enak' gimana?" tanya Gibran, penasaran.
"Enak itu maksudnya lebih sopan, terutama ke orang yang baru kita kenal, seperti misal nya aku bertemu orang baru, masa iya sih aku berbicara dengan nya menggunakan kata 'elu' dan 'gua' kan pasti setiap orang yang dengar merasa kurang nyaman kan dan ini juga agar menjadi kebiasaan baik, atau dengan teman juga, aku merasa bahwa kata kata itu tidak masuk aja di diriku, aku yang berbicara kurang nyaman gitu" jawabku.
"Bunda juga ngajarin aku untuk menjaga bahasa Indonesia dengan baik dan benar," lanjutku, mencoba menjelaskan lebih jauh.
"Oh, gitu," jawab Gibran, akhirnya mengerti.
"Kalau kamu gimana, Gibran?" tanyaku, ingin tahu.
"Kalau aku... Ya, dipaksa sama Mama sama Papa. Dulu aku sering pakai kata 'gua' dan 'elu' waktu ikut acara pertemuan perusahaan Papa, tapi itu enggak sengaja. Dari situ Papa dan Mama mendisiplinkan aku, supaya aku bisa lebih sopan. Sekarang aku berlatih pakai kata 'aku' dan 'kamu', biar terbiasa. Mereka juga ngajarin aku pakai 'anda' dan 'saya' biar lebih sopan lagi," jawab Gibran panjang lebar.
"Hooo..." ucapku setelah mendengar pernyataan Gibran.
"Eh, ayo! Udah waktunya kita ke sekolah!" kata Gibran, suaranya terdengar seperti orang yang sudah nggak sabar.
"Eh, tunggu dulu, baru aja makan tiga sendok!" jawabku, agak terkejut karena dia langsung memaksaku.
"Kamu sih kelamaan!" Gibran sudah mulai kesal.
"Ha?" jawabku polos, bingung dengan reaksinya.
"Lah!? Kan kamu yang ngajak aku ngobrol barusan!" ucapku, merasa ini tidak adil. "Lagi pula, kamu yang makannya kecepetan!"
"Ish, cepetan! Udah makan roti aja sana!" seru Gibran, suaranya terdengar kesal.
"IHHHHH, enggak JELAS!" kataku kesal, merasa tingkah Gibran makin menyebalkan dan menjengkelkan.
Gibran berlari ke arah dapur mengambil dua potong roti, yang satu dia kasih ke tangan ku lalu yang satu dengan cepat dia memasukkan nya ke dalam mulut ku.
"Cepet makan!" Ucapnya
"Haf? Afa afaan !?? WOFF HEFF HAFAAN IFI!?? IFF FA FELAS!!! "
(Ha? Apa apaan!?? WOYY HEE APAAN INI!??? IHH GA JELAS!!!)
Kata ku kesal dengan tingkah laku Gibran yang semakin menjadi jadi.
Sambil berlari menuju sekolah, aku menggigit sepotong roti untuk mengganjal perutku. Rasanya seperti adegan dalam anime, penuh kekacauan yang nggak bisa dihindari.
Sesampainya di sekolah, aku melamun menatap gedung sekolah yang sudah mulai ramai. Pikiran-pikiranku berputar.
Huft... Apa mereka akan ganggu aku lagi?, gumamku dalam hati.
Tiba-tiba, Gibran memegang pundakku dari belakang, napasnya terdengar terengah-engah di dekat telingaku. Aku kaget dan hampir tersedak roti yang masih ada di mulutku.
HOKKK!!! ANAK SYALAN, kata ku dalam hati.
Saat aku menoleh, kulihat Gibran dengan wajah pucat, gemetaran. "A-ak... aku lupa ker-kerjain PR matematika dan bahasa Indonesia," katanya, dengan suaranya yang terputus-putus.
Dan ya, benar... kedua pelajaran itu adalah yang paling ditakuti oleh Gibran, karena gurunya yang terkenal killer.
"Yaudah... Kasiaaannn deh looo! Bruakakakakaka!" Aku tertawa lepas, menertawakan nasib Gibran yang sekarang panik bukan main.
"Eh... Itu... Anu... Ak-"
"G." Aku memotong perkataannya sebelum dia sempat menyelesaikannya.
"Lahhh... Kenapaa, bro???" Gibran menatapku dengan wajah memelas, matanya sudah mulai berair seperti anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan.
"Ya... Enggak boleh aja," jawabku santai. "Kau udah kebiasaan, ini udah kelima kalinya kau lupa ngerjain PR. Kita kan sebentar lagi lulus, kalau nanti enggak ada aku, gimana nasibmu?"
Gibran langsung mendramatisir keadaan. "Hikss, brooo... Plisss laaa...!" Dia memasang ekspresi penuh harapan, berharap aku bisa menyelamatkannya seperti biasanya.
"Enggak bisa, udah ayo masuk kelas. Kita udah banyak diperhatiin orang." Aku menarik lengannya, memaksanya untuk bergerak sebelum situasi makin aneh.
Saat kami berjalan melewati halaman sekolah menuju kelas, tiba-tiba... PLAK!
Sebuah kertas entah dari mana menempel tepat di wajahku. Aku tersentak kaget, buru-buru menarik kertas itu dan melihatnya dengan dahi berkerut.
"Kertas apa ini...?" gumamku pelan, mataku menyapu sekeliling mencari siapa yang baru saja menjatuhkannya.
Aku menengadah ke arah gedung sekolah, mataku tertuju pada lantai dua. Di sana, di dekat jendela, berdiri seorang gadis yang tengah memegang pena dan sebuah buku bersampul hitam.
Dia menatapku.
Tatapan kami bertemu cukup lama.
Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku diam terpaku, seolah ada cerita yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Namun sebelum aku sempat bereaksi, dia memilih untuk masuk ke dalam kelasnya, menghilang dari pandanganku begitu saja.
Aku masih berdiri di tempat, kertas di tanganku sedikit kusut akibat genggamanku yang terlalu erat.
Siapa dia...? Kenapa aku jarang melihatnya di sekolah ini...?, pikirku dalam hati.
Perasaan aneh mulai merayap dalam benakku.