Gadis itu tengah berlari dari bandit kota yang terus menerus mengejarnya tanpa henti. Sepanjang jalan, gadis itu terus mengomel mengenai bagaimana para bandit itu yang sepertinya tidak mengenal lelah untuk menangkapnya.
"Astaga! Kenapa gadis itu tidak lelah berlari?!"
"Bos! Aku sudah tidak kuat!"
"Berhentilah mengeluh! Cepat tangkap dia!"
Saat mereka melanjutkan pengejaran yang sempat terhenti, gadis itu sudah tidak ada di depan mereka dalam sekejap.
"Di mana?! Di mana?! Di mana dia?!" teriak marah lelaki gendut itu dengan setengah napasnya yang memburu.
"Bagaimana ini bos? Gadis itu hilang!"
Lelaki gendut itu langsung memukul lelaki kurus itu dengan sekali serang.
"Kenapa menanyaiku! Cepat kalian cari!" pekiknya.
Ia tersenyum senang setelah berhasil mengecoh mereka. Menepuk bagian paha celana yang lusuh dan kotor akibat sempat menabrak pemuda yang membawa tepung di tangannya tadi.
Ia menghembuskan napas kasar. Berdiri dibalik tembok restoran yang ramai itu sembari mengikat rambut merahnya yang panjang dengan pita hitam.
"Baiklah, dengan begini aku sudah siap!" ia merapikan ekspresi wajahnya sebelum benar-benar berbaur dengan sekitarnya.
Rembulan malam benar-benar menyinari dengan sempurna kota Kish. Kota yang terkenal dengan lampion malam yang indah. Dan malam ini merupakan festival lampion yang ke-13 baginya. Bagi seorang Se Yan, gadis muda yang penuh keceriaan dan semangat.
"Se Yan, mampirlah jika sempat!" sapa wanita tua penjual aksesoris itu.
"Ah, bibi! Lain kali aku akan mampir!"
"Se Yan, tidak ingin melepaskan lampion? Aku memberinya gratis untukmu!"
"Tidak! Tidak perlu, Paman!" Se Yan pergi sembari menyunggingkan senyumnya.
Beberapa orang di kota itu menyapa dan melambai padanya dan begitu juga sebaliknya. Ia berjalan menyusuri jalanan dekat aliran sungai. Dan berhenti.
"Nenek, aku datang!"
Wanita tua dengan sanggul rambut putihnya itu menoleh dengan senyum senang.
"Ah, Se Yan! Kamu akhirnya datang."
"Iya! Apa nenek sedang sibuk?"
Nenek itu lantas tertawa "Tentu aku sibuk. Kamu tidak melihat antrean sebanyak itu?"
Se Yan lantas melihat ke arah samping kirinya yang penuh dengan orang-orang yang menunggu pesanan mereka. Ia lalu membungkuk sebentar.
"Apakah enak?"
Anak kecil yang ditanyainya itu mengangguk dengan senyum.
"Iya, ini sangat enak!"
Ia tersenyum senang mendengar anak kecil itu menyukai permen gula buatan nenek.
"Kamu membeli berapa?"
"Aku memesan 6!" menjawab dengan menggunakan tangannya.
Se Yan tertawa senang dengan semangat anak itu.
"Hahahaha! Luar biasa! Pesanlah yang banyak!"
Anak itu kembali mengangguk senang. Ia lalu mengelus pelan kepala anak laki-laki itu dan pamit pada nenek penjual permen gula kesukaannya.
"Se Yan tunggu sebentar," Nenek lalu memberinya bingkisan permen gula untuk di bawa pulang, "nikmatilah di rumah ya, Se Yan!"
"Terima kasih, Nenek!"
Di depan pintu itu, Se Yan melepaskan alas kakinya dan berganti dengan yang lain. Awan malam sedikit demi sedikit menutupi rembulan yang sedari tadi terus mengikutinya berjalan pulang hingga ke rumah. Memutar kenop pintu, membuka dan membiarkan udara dingin ikut masuk bersamanya dan kembali menutupnya. Melepas mantel dan syal yang digunakannya selama berada di luar.
Musim dingin yang sedang terjadi mewajibkan siapa pun yang beraktivitas di luar harus mengenakan pakaian yang tebal agar tidak terserang penyakit atau mati.
Se Yan melewati ruang tamu yang kosong tanpa seorang pun dan hanya di temani dengan nyala api pemanas dan lampu malam. Pergi ke arah dapur dan menemukan sang ibu tengah duduk diam menunggu kepulangan putrinya.
"Ibu, kenapa belum tidur?"
"Ah, ibu tidak bisa tidur dengan baik."
"Ada apa, Bu? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"
Se Yan mengeluarkan bingkisan yang didapatnya dari luar dan meletakkannya di dalam lemari pendingin di samping lemari bumbu.
Dia menyerahkan sepucuk kertas itu pada Se Yan dengan tenang dia menjelaskan apa yang menjadi penyebab dirinya tidak bisa tidur.
"Ah.... ini? Aku sempat menceritakannya pada ibu jika aku ingin mencari pekerjaan di ibukota", ia meletakkan kembali surat itu di meja makan.
"Apa kamu sudah menceritakannya juga pada Ayah?"
Se Yan mengangguk, "Ayah hanya mengatakan 'terserah saja' jadi aku memutuskan untuk melamar melalui departemen pekerjaan sosial,"
"Baiklah jika begitu," sahutnya.
Ibu sepertinya lelah dan pasrah. Dia tahu, berapa kali pun membujuk putrinya itu agar tidak pergi dari rumah, tidak akan pernah bisa. Se Yan benar-benar berjiwa bebas dan tidak suka diam di tempat. Sesuai namanya, Se Yan.
Pagi menyingsing lebih cepat dari yang di kira. Se Yan tengah bersiap untuk membersihkan rumah dan ibunya tengah sibuk memasak di dapur. Pintu yang belum terbuka itu lantas terbuka sendiri dari luar.
"Bagaimana keadaan klinik?"
Ayah Se Yan baru saja kembali dari pekerjaannya di Kota Kish sebagai dokter kerajaan.
"Sangat sibuk sekali. Kenapa tidak menyempatkan untuk mampir?" ucap Ayahnya terduduk dalam keadaan lelah dan kedinginan.
"Ayah, aku akan buatkan kopi dan menyalakan perapian,"
Sang ayah duduk sembari memijat kakinya yang terasa pegal dan mati rasa. Cuaca dingin kali ini lebih dari yang diduga. Ekstrem dengan hembusan angin yang bagaikan badai.
Dari arah dapur, ibu datang membawa segelas kopi yang sudah di buatnya untuk sang suami tercinta.
"Ayah, bagaimana keadaan klinik? Apa semuanya berjalan baik-baik saja?"
Sang suami tiba-tiba menghela napas kasar. Rasa lelahnya benar-benar terasa saat sang istri menanyainya dengan pertanyaan yang sama oleh putrinya.
"Ibu, sepertinya hal seperti ini tidak akan benar-benar berakhir," aku sang ayah.
Mendengarnya membuatnya langsung menundukkan kepala.
"Jika memang begini kita tidak bisa berbuat apa-apa. Semua tentangnya sudah ditandai dan mulai kelihatan,"
Di tengah pembicaraan mereka, Se Yan datang menyerukan jika makan pagi telah siap. Sang ayah lekas berdiri dengan penuh senyuman kemudian di susul oleh ibu.
Setelah selesai dengan makannya, Se Yan kembali membicarakan mengenai rencananya yang akan pindah ke ibukota untuk bekerja. Selain itu, Se Yan juga menyampaikan keinginannya untuk hidup mandiri dan memulai menimbun harta untuk masa depannya.
"Apa kamu yakin? Berpikirlah lebih matang dahulu. Jangan gegabah mengambil keputusan."
Se Yan mengalihkan lirikkannya.
"Ayah, aku sudah memikirkannya. Ya, aku sudah yakin."
Sang ibu kembali melihat suaminya untuk mencari celah lain untuk meyakinkan Se Yan agar tidak pergi.
"Se Yan, ayah ingin tahu apa yang kurang dari kami berdua? Bukankah kamu memiliki segalanya?"
Ia tersenyum dengan pertanyaan yang menggoyahkan niat untuk pergi.
"Ayah, ibu, aku tidak merasa kekurangan apa pun dari kalian. Rasanya aku punya semuanya dalam hidupku. Aku tidak merasa kekurangan apa pun dari hidupku ini."
Ayah dan ibu saling memandangi. Mereka heran dengan jawaban Se Yan namun ia tetap bersikukuh untuk pergi.
"Lalu kenapa kamu tetap ingin pergi? Apakah kasih sayang dan sikap kami tidak membuatmu nyaman?"
Se Yan menggeleng. Bukan itu yang membuatnya ingin merantau pergi.
"Bukan. Tetapi aku ingin menemukan hal lain di luar sana. Aku ingin punya tantangan untuk hidupku,"
"Tantangan?" bingung Ibu.
"Bu, aku ingin merasakan dunia lain yang belum pernah aku rasakan. Kehidupanku selalu saja monoton! Aku ingin seperti gadis pada umumnya yang punya cerita heroik untuk dibagikan."
Mereka tidak bisa berkata apa-apa dengan yang dikatakan Se Yan. Mereka tahu dengan sifat putri mereka yang tidak suka tinggal diam, duduk manis dan menonton acara yang menuntutnya untuk tenang. Jika ada yang berlawanan dari kebiasaannya, itu bukan Se Yan namanya.
"Baiklah, kalau itu pilihanmu. Ayah dan ibu tidak bisa berkata apa-apa atau menuntutmu untuk tinggal,"
"Kamu sudah mulai beranjak dewasa. Kamu bisa menentukan pilihanmu sendiri. Ibu dan ayah akan mendukungmu selalu."
Se Yan lantas berdiri dan memeluk keduanya dengan erat.
"Terima kasih! Ayah! Ibu!"
"Kembali kasih, sayang!" bisik ibu.
Ia kembali duduk dengan matanya yang berbinar-binar, Se Yan tiba-tiba berdiri mengagetkan keduanya.
"Aku akan pergi besok!"
"Hah?! Besok?!" ibunya langsung terkejut.
Melihat senyum dan semangat putrinya itu, sang ayah hanya mampu memegang tangan istrinya, meredakan amarahnya yang tiba-tiba.