---
Hujan terus mengguyur deras, membasahi tanah yang telah hancur akibat pertempuran sebelumnya. Petir menyambar langit, menerangi bayangan pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Bau darah yang mulai bercampur dengan tanah basah membuat suasana semakin mencekam.
Eldric berdiri tegap, napasnya sedikit tersengal. Tubuhnya masih terasa berat setelah pertarungan sengit barusan. Luka-luka kecil di tubuhnya perlahan sembuh, namun dampak dari serangan lawannya masih terasa.
Pria berambut perak yang menjadi lawannya juga diam di tempat, menatap ke arah sosok yang baru saja muncul dari balik kabut hujan.
Seorang wanita.
Langkahnya ringan, seolah hujan dan tanah becek di bawahnya tidak memengaruhi gerakannya sama sekali. Pakaian putih panjangnya tetap bersih tanpa noda, dan rambut panjangnya yang berwarna perak berkilauan dalam cahaya petir yang sesekali menyambar langit.
Namun yang paling mencolok adalah matanya—sepasang mata biru tua yang begitu dalam, seperti menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya.
Eldric merasakan sesuatu yang aneh. Bukan rasa takut, bukan pula kewaspadaan. Melainkan perasaan yang seakan sudah dikenalnya sejak lama, meskipun ia yakin belum pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya.
Wanita itu berhenti beberapa meter dari mereka. Matanya tertuju langsung pada Eldric.
Lalu, dengan suara lembut namun tegas, ia berbicara.
> "Kau... akhirnya terbangun."
Eldric mengerutkan kening.
Terbangun? Apa maksudnya?
Pria berambut perak di sampingnya juga tampak terganggu oleh kata-kata itu. Ekspresinya berubah tajam, penuh kecurigaan.
> "Siapa kau?" tanyanya dengan nada dingin.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia justru menatap Eldric lebih lama, seakan sedang memastikan sesuatu. Setelah beberapa saat, barulah ia mengalihkan pandangannya ke pria berambut perak.
> "Aku bukan musuhmu," katanya tenang. "Tapi aku juga bukan sekutumu."
> "Hmph." Pria berambut perak menyeringai sinis. "Jadi kau hanya datang untuk mengganggu?"
Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia kembali menatap Eldric.
> "Ikutlah denganku," katanya tiba-tiba.
Eldric terkejut.
> "Apa?"
> "Aku punya jawaban yang kau butuhkan."
Eldric diam.
Matanya menatap wanita itu dengan tajam, mencoba mencari kebohongan dalam ekspresinya. Namun, tidak ada sedikit pun keraguan dalam sorot matanya.
> "Aku tidak tahu siapa kau," kata Eldric akhirnya. "Dan aku tidak bisa begitu saja mempercayaimu."
Wanita itu tersenyum tipis.
> "Aku tahu. Tapi kau akan mempercayaiku pada waktunya."
Pria berambut perak tampak semakin tidak sabar.
> "Cukup omong kosongnya."
Aura gelap kembali mengalir dari tubuhnya, menciptakan tekanan yang nyaris menyesakkan udara.
> "Kalau kau bukan sekutuku, maka kau musuhku."
Wanita itu tetap tenang. Bahkan saat tekanan itu semakin besar, ekspresinya tidak berubah sedikit pun.
> "Aku tidak datang untuk bertarung denganmu."
> "Sayangnya, aku tidak peduli."
Dalam sekejap, pria berambut perak menghilang.
BOOM!
Tanah di tempatnya berdiri retak akibat dorongan kecepatannya yang luar biasa.
Dalam satu kedipan mata, ia sudah ada tepat di depan wanita itu, pedang hitamnya melesat cepat ke arah lehernya!
Eldric baru saja akan bergerak—
Namun sebelum ia sempat bereaksi, sesuatu terjadi.
SWOOSH!
Udara di sekitar wanita itu bergetar.
Saat pedang hitam hampir menyentuh kulitnya, sebuah kekuatan tak terlihat tiba-tiba muncul di sekelilingnya.
BOOM!
Gelombang energi meledak dari tubuh wanita itu, menahan serangan pria berambut perak bahkan sebelum bisa mendekat.
Pria itu terpaksa mundur beberapa langkah, ekspresinya berubah drastis.
> "Apa...?"
Matanya melebar saat ia merasakan kekuatan itu.
Sebuah aura yang begitu luas, dalam, dan... kuno.
Bukan aura kekuatan biasa.
Wanita itu masih berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikit pun.
> "Aku sudah bilang, aku tidak ingin bertarung," katanya dengan nada tenang.
Pria berambut perak mengepalkan tangannya.
Ia bukan orang bodoh. Ia bisa merasakan bahwa wanita ini bukanlah seseorang yang bisa diremehkan.
> "Hmph," ia mendengus. "Baik. Aku tidak tertarik membuang waktu lebih lama."
Dengan cepat, ia berbalik, menyarungkan pedangnya.
Namun sebelum pergi, ia menatap Eldric sekali lagi.
> "Lain kali, aku tidak akan mengampunimu."
Eldric hanya diam, menatap pria itu hingga sosoknya menghilang dalam kabut hujan.
Suasana kembali hening.
Wanita itu kembali menatap Eldric.
> "Sekarang, apakah kau bersedia mendengarkan?"
Eldric masih merasakan keraguan di dalam hatinya. Namun, sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ia harus mendengar apa yang akan dikatakan wanita ini.
Ia menghela napas.
> "Baik. Aku akan mendengarkan."
Wanita itu tersenyum.
> "Bagus. Ayo kita pergi dari sini."
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan mulai berjalan.
Eldric ragu sejenak, namun akhirnya mengikuti langkahnya.
Hujan masih turun deras, namun untuk pertama kalinya sejak pertempuran dimulai, udara terasa lebih ringan.
Tanpa ia sadari, langkahnya telah membawanya ke arah kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Dan mungkin, juga ke arah takdir yang telah lama menantinya.
---