Langit senja membentang kelabu di atas The Wall, sebuah monumen megah sekaligus suram yang berdiri di sisi perbatasan selatan Middle Earth. Tembok raksasa ini menjulang tinggi, menjadi penghalang terakhir antara dunia yang tampaknya damai di utara dan ancaman yang tak terlihat dari selatan. Dingin dan kokoh, The Wall adalah karya kuno dari elf dan dwarf, sebuah pernyataan kolaborasi besar yang kini hanya menjadi peninggalan sejarah yang nyaris terlupakan.
Dinding-dindingnya dipenuhi retakan, tanda keusangan yang tak bisa dielakkan oleh waktu. Di beberapa tempat, tumbuhan liar telah merayap, menutupi sebagian batu besar yang pernah menjadi simbol harapan. Namun, tembok itu masih berdiri, meski sudah kehilangan kejayaannya. Suara angin yang melintasi celah-celah batu menciptakan nada melankolis, seperti bisikan hantu-hantu masa lalu yang terus mengingatkan akan perang, kehancuran, dan pengorbanan besar yang pernah terjadi di sini.
Di atas The Wall, berdiri seorang lelaki tua dengan jubah panjang yang berkibar tertiup angin tajam. Oldman, pemimpin para Outcast, mengamati horizon dengan tatapan yang penuh beban. Kerutan di wajahnya, hasil dari tahun-tahun panjang hidup di bawah tekanan dan pengorbanan, mencerminkan kelelahan yang tak dapat disembunyikan. Pandangannya menyapu sepanjang tembok, melihat bangunan-bangunan sederhana yang tersebar di bawahnya, di markas besar yang dipimpinnya. Gubuk-gubuk kecil itu, rumah para Outcast, memancarkan kehidupan yang sederhana namun penuh perjuangan.
Asap tipis mengepul dari beberapa cerobong, membawa aroma masakan seadanya dan kehidupan yang keras. Para Outcast berkumpul di sana, menjalani hari mereka di tempat yang seluruh dunia anggap sebagai buangan. Suara decitan lift tua buatan dwarf, yang kini berderit di setiap gerakan, terdengar di kejauhan. Lift itu, meski usang dan tampak rapuh, masih setia menjalankan tugasnya membawa orang-orang naik turun dari tembok setinggi lebih dari seratus meter ini.
Oldman berjalan kembali dalam keheningan, membiarkan angin dingin memukul wajahnya. Pikirannya melayang jauh, melintasi sejarah yang ia kenal begitu dalam. Sejarah tentang kejatuhan Kekaisaran Manusia, perang besar tiga ras, dan ancaman yang terus datang dari selatan. Ia menghela napas panjang, membiarkan beban kenangan itu meresap ke dalam pikirannya. "Semua itu mungkin hanya legenda bagi mereka yang hidup di luar sana," gumamnya pelan, "tapi di sini, di balik tembok ini, kita tahu kebenarannya. Bayang-bayang itu masih mengintai."
Tangannya menyentuh botol kecil berisi bloody potion yang tergantung di ikat pinggangnya. Cairan merah pekat itu, satu-satunya harapan bagi para Outcast, adalah benda yang memberinya kekuatan luar biasa sekaligus kutukan yang tak terhindarkan. Ia menatap botol itu dengan intensitas yang dalam, seolah mencari jawaban atas dilema yang selama ini terus membayangi hidupnya.
Keheningan itu akhirnya pecah ketika seorang outcast senior memasuki ruangan kerjanya. Dengan langkah cepat dan sikap hormat, dia menyerahkan sebuah surat kepada Oldman. "Laporan terbaru, Oldman. Misi pembunuhan Cynics di selatan telah selesai."
Oldman menerima laporan itu tanpa berkata apa-apa, membiarkan outcast itu pergi. Ia membuka gulungan surat itu, membaca laporan yang singkat namun padat. Namun, surat itu tidak benar-benar menarik perhatiannya. Baginya, setiap hari selalu ada laporan seperti ini. Misi pembunuhan monster, tugas menghancurkan kelompok bandit, atau upaya menenangkan konflik kecil di sekitar Middle Earth. Semua itu hanya rutinitas di The Wall.
Ketika keheningan kembali menguasai ruangannya, Oldman berbicara kepada dirinya sendiri dengan suara pelan namun penuh makna, "Para Outcast hanyalah alat. Alat bagi para Lord yang terlalu sibuk dengan permainan politik mereka untuk peduli pada ancaman sesungguhnya." Ia menatap keluar dari jendela kecil di ruangannya, memandangi horizon gelap di selatan. "Mereka terus mengabaikan bahaya yang sebenarnya, seolah-olah tembok ini cukup untuk menahan semua itu. Padahal, The Wall hanyalah garis tipis yang setiap saat bisa runtuh oleh gelombang kengerian selatan."
Oldman menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan kekhawatiran. Tatapannya tetap tertuju ke horizon, seolah mencoba menembus kegelapan untuk melihat apa yang bersembunyi di baliknya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ancaman dari selatan tidak akan pernah berhenti. Mungkin tidak malam ini, mungkin tidak besok, tapi gelombang itu akan datang. Dan ketika itu terjadi, hanya The Wall dan para Outcast yang akan berdiri di antaranya dan kehancuran dunia.
Dengan langkah pelan, ia meninggalkan jendelanya, membawa surat laporan ke meja kerjanya. Bayang-bayang dari lilin di atas meja bergerak mengikuti gerakannya. Pikiran Oldman terus terfokus pada satu hal: bertahan.
'Tembok ini harus bertahan, apapun yang terjadi.'
Dan ia tahu, tugas itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak berharga oleh dunia di luar sana.
****
Lantai ruangan itu terasa kokoh, meskipun usia dan beratnya waktu telah meninggalkan jejak berupa retakan kecil di beberapa sudut. Ruangan itu dipenuhi barang-barang yang mencerminkan sifat praktis dan sejarah panjang The Wall. Rak-rak buku tinggi yang penuh debu berjejer di sepanjang dinding, memuat koleksi naskah kuno, catatan taktik, dan sejarah pertempuran. Di sudut ruangan, terdapat gulungan kain kanvas yang disusun rapi, sebagian besar memuat peta kuno dan strategi perang yang telah usang tetapi tetap relevan bagi para penghuni tembok ini.
Cahaya obor bergoyang perlahan, menciptakan bayangan bergerak di dinding kayu yang mulai rapuh. Obor itu menjadi satu-satunya penerangan di ruangan yang suram, memberikan suasana kelam yang seolah-olah memantulkan beban pikiran penghuninya. Dari luar, terdengar suara langkah berat para Outcast yang sibuk mempersiapkan peralatan atau melatih kemampuan mereka. Sesekali, suara pedang beradu terdengar, bercampur dengan desau angin dingin yang menyusup melalui celah kecil di dinding.
Tak lama kemudian, suara ketukan pintu kayu bergema. Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang Outcast senior dengan postur tegap. Sosok itu adalah Alcard, rambut hitamnya yang tergerai sedikit acak-acakan, matanya merah menatap tajam, dan long sword yang tergantung di punggungnya masih basah oleh darah monster. Armor ringan yang dikenakannya pun tampak ternoda oleh sisa-sisa pertempuran, memberikan kesan bahwa ia baru saja kembali dari misi yang penuh risiko.
Tanpa basa-basi, Alcard melemparkan dua kantong besar ke atas meja kayu di tengah ruangan. Kantong-kantong itu jatuh dengan suara berat, memecah keheningan yang ada. Dari dalamnya terlihat potongan bunga dan akar—Folwestian Bloom dan Rotrofila Root, bahan utama dalam pembuatan bloody potion. Aroma khas tanaman liar itu memenuhi ruangan, bercampur dengan bau darah monster yang masih melekat pada tubuh Alcard.
Oldman, yang duduk di kursi kayu sederhana, menghela napas panjang sebelum menatap Alcard dengan serius. "Bagaimana situasinya di sana?" tanyanya, suaranya dalam dan penuh kewibawaan.
Alcard, dengan nada datar, menjawab tanpa ragu. "Hutan selatan semakin berbahaya. Monster mutasi bertambah banyak. Kami harus menghadapi dua orge saat memanen Folwestian Bloom, dan goblin mutasi menyerang kami sebelum kami selesai mengambil Rotrofila Root. Mereka lebih agresif dari biasanya."
Oldman mendengarkan dengan seksama, matanya melirik kantong-kantong di atas meja, memeriksa isinya sekilas. Ekspresi di wajahnya mencerminkan kelegaan bercampur kekhawatiran. Setelah hening sejenak, ia bertanya, "Ada korban jiwa?"
"Tidak," jawab Alcard singkat, nada suaranya tetap datar.
"Kerja yang bagus," Oldman memuji tanpa emosi berlebihan. Namun, ia segera melanjutkan, "Tapi aku tak bisa memberimu waktu istirahat yang lama. Ada misi baru yang membutuhkan perhatianmu segera."
Alcard mengerutkan kening, tetapi ia tetap diam, menunggu penjelasan lebih lanjut. Oldman menarik napas dalam, memutuskan untuk langsung ke intinya.
"Seekor Cyclops telah muncul di desa barat daya, dekat markas barat. Lord setempat menawarkan lima kantong koin emas untuk menyingkirkannya. Tapi seperti biasa, tak ada yang cukup gila untuk mengambil tugas ini kecuali kita—para Outcast."
Mendengar itu, Alcard mengangkat alis. "Lima kantong emas? Tawaran yang besar. Tapi kenapa Cyclops sampai sejauh itu dari habitatnya di hutan selatan?"
Oldman mendengus kecil, lalu berbicara dengan nada yang menyiratkan keraguan. "Entah apa yang mendorong mereka keluar dari habitat mereka. Tapi ini bukan soal kenapa. Ini soal kapan kita harus bertindak. Aku ingin kau melakukannya sendiri. Kau lebih suka begitu, bukan?"
Alcard terdiam sejenak, berpikir. Baginya, misi solo memberikan kebebasan untuk bertindak tanpa batasan atau pengawasan. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan melakukannya. Kapan aku harus berangkat?"
Oldman melipat tangannya di dada, ekspresinya menunjukkan bahwa ia telah mempertimbangkan segala risiko. "Secepatnya. Semakin lama dibiarkan, Cyclops itu bisa membuat kekacauan lebih besar. Dan ingat, hindari hal-hal yang tidak perlu."
Alcard tersenyum tipis, seolah menertawakan nasihat yang terlalu akrab baginya. "Aku akan bersiap. Tapi pertama-tama, aku harus membersihkan darah monster ini dulu." Ia menunjuk noda di armornya yang kotor.
Oldman membalas dengan senyum samar, sebelum kembali duduk di kursinya. "Hati-hati di luar sana, Alcard. Dunia luar lebih kejam dari yang terlihat."
Alcard hanya mengangguk ringan sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Pikirannya mulai memikirkan misi baru ini, yang mungkin lebih dari sekadar membunuh seekor Cyclops. Di The Wall, tidak ada yang benar-benar sesederhana kelihatannya.
****
Langit sore menjingga terhampar luas, memancarkan keindahan yang kontras dengan kesunyian dan kehancuran di bawahnya. Di cakrawala sebelah kiri, The Wall menjulang kokoh namun lelah, tembok raksasa itu membentang sejauh mata memandang, memisahkan dunia manusia dari ancaman tak berkesudahan di selatan. Batu-batu besar yang membentuk tembok itu terlihat penuh retakan, dan beberapa bagiannya telah runtuh, menyisakan celah bagi waktu dan kegelapan untuk menyusup.
Di jalan berbatu yang penuh debu, Alcard memacu kuda hitamnya dengan langkah perlahan. Armor ringan yang dikenakannya masih menampakkan bekas pertempuran sebelumnya, dengan noda darah kering yang membekas di beberapa bagian. Angin sore bertiup lembut, membawa serta debu halus dan aroma kayu lapuk dari reruntuhan di sekitar. Jalanan itu sunyi, seperti dilupakan oleh peradaban, hanya dihiasi oleh tumbuhan liar yang tumbuh sembarangan, meranggas seperti tangan-tangan kecil yang berusaha merebut kembali wilayah yang telah lama ditinggalkan manusia.
Jalan setapak yang dilalui Alcard ini jarang dilewati manusia. Terlalu dekat dengan The Wall, sebuah garis pertahanan yang lebih dikenal sebagai batas antara kehidupan dan kematian. Bahkan, bagi para petualang atau tentara bayaran sekalipun, tempat ini membawa rasa gentar. Tidak ada yang tahu kapan monster dari selatan, dengan kelicikan mereka, akan memanfaatkan celah di tembok itu untuk menyusup ke utara. Pikiran itu terus mengintai Alcard, membuatnya tetap waspada. Pandangannya sesekali melirik ke kanan dan kiri, mencari gerakan sekecil apa pun di antara dedaunan atau bayangan yang bergerak.
Setelah menempuh perjalanan yang terasa panjang, jalan itu membawanya ke sebuah pertigaan. Di sisi kirinya, sebuah gerbang kayu besar berdiri, tetapi tidak lagi megah seperti dulu. Gerbang itu menggantung miring di tiangnya, dengan kayu-kayunya yang sudah rapuh penuh retakan. Ini adalah sisa dari salah satu outpost yang pernah menjadi kebanggaan pertahanan The Wall. Tiang bendera di atasnya sudah roboh, dan menara kecil yang dulu mengawasi daerah sekitarnya kini hanya tinggal reruntuhan. Semuanya tampak seperti monumen bisu dari masa kejayaan yang telah lama berlalu.
Alcard menghentikan kudanya di depan gerbang. Ia memandanginya dengan mata tajam, mencoba membaca cerita yang tersimpan di balik kehancuran itu. "Ini lebih buruk dari yang kubayangkan," gumamnya pelan. Pikiran tentang minimnya perawatan dan sumber daya di The Wall melintas di benaknya. Dengan jumlah outcast yang semakin sedikit dan ancaman yang terus meningkat, wajar jika banyak outpost seperti ini yang kini terlupakan.
Ia memacu pelan kudanya melewati celah gerbang yang terbuka. Begitu memasuki area dalam, aroma lembap dan apek langsung menyambutnya, seperti bau kematian yang telah lama menetap. Pemandangan di dalamnya tak lebih baik dari bagian luar. Meja-meja kayu terbalik, kursi-kursi patah, dan lantai tanah dipenuhi dengan serpihan kayu serta runtuhan kecil. Sebuah lift tua buatan dwarf terlihat teronggok di sudut, rusak total dan tertutup debu tebal. Di dinding-dindingnya, bekas cakaran besar terlihat jelas, tanda pertempuran yang pernah terjadi di tempat ini.
Alcard turun dari kudanya dan berjalan perlahan, menelusuri setiap sudut ruangan. Tangannya menyentuh bekas cakaran di salah satu dinding, merasakan kekuatan yang meninggalkan jejak itu. "Direwolf mutasi," bisiknya, mengenali pola cakaran itu. Namun, yang membuatnya bingung adalah ketiadaan mayat manusia. Tidak ada tanda-tanda pertahanan terakhir dari para penjaga outpost ini.
Cahaya obor kecil yang ia nyalakan mulai menyoroti lantai tanah. Di sana, ia melihat tulang belulang berserakan, sebagian besar adalah binatang. Suara gemerisik angin dari celah-celah dinding membuat suasana semakin mencekam. Tatapannya naik ke atas, ke arah The Wall yang menjulang tinggi. Retakan besar terlihat di beberapa tempat, dan celah-celah di dinding itu cukup besar untuk dilalui monster berukuran sedang yang memiliki kemampuan memanjat.
Langit senja perlahan berubah menjadi gelap, menggantikan jingga dengan bayangan kelam malam. Alcard kembali ke kudanya, menepuk pelan leher hewan itu sambil berkata, "Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sini. Kita pergi."
Ia memutar kendali dan memacu kudanya keluar dari gerbang usang itu. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Matanya memandangi gerbang dan reruntuhan itu sekali lagi, seolah mencatat semua yang dilihatnya dalam memori.
Bayangan Alcard dan kudanya perlahan menjauh, menghilang di jalanan berbatu yang gelap. Di belakangnya, The Wall berdiri diam, memikul beban perlindungan yang semakin rapuh. Dengan setiap retakan dan bagian yang runtuh, tembok itu seolah berbicara: waktu tidak pernah memihak mereka yang bertahan. Dan Alcard tahu, beban itu bukan hanya milik The Wall, tetapi juga miliknya dan para outcast yang telah bersumpah untuk menjaga dunia ini, meski tanpa pengakuan atau penghargaan.
****
Langit malam mulai menggantikan jingga senja, menyelimuti desa kecil itu dalam nuansa temaram. Angin malam yang dingin merayap di antara rumah-rumah kayu sederhana yang sudah lapuk dan rusak. Di kejauhan, suara kicauan burung malam dan bunyi ranting patah menambah kesan suram desa itu.
Alcard perlahan tiba di gerbang desa dengan kudanya. Sosoknya yang tinggi dengan mata merah menyala khas Outcast terlihat mencolok, bahkan dalam pencahayaan minim. Armor yang ia kenakan berkilauan samar di bawah sinar bulan yang terhalang awan, dengan noda darah kering yang masih menempel. Kehadirannya memecah kedamaian palsu desa itu.
Beberapa penduduk desa yang semula berbincang di luar rumah langsung terdiam ketika melihatnya. Para pria yang berdiri di balai-balai kayu saling berbisik sambil mencuri pandang ke arahnya, pandangan mereka penuh ketakutan bercampur rasa penasaran.
"Itu Outcast..." salah satu dari mereka berbisik, nadanya dipenuhi ketakutan. "Lihat matanya... menakutkan."
Seorang ibu yang berdiri di depan rumah segera menarik anaknya yang sedang mengintip dari balik pintu. Sang anak, dengan mata besar penuh rasa ingin tahu, sempat melirik Alcard sebelum wajahnya ditutupi oleh tangan sang ibu. "Masuk, jangan lihat dia," bisiknya dengan cemas, mengamankan anaknya dari bayang-bayang Alcard yang perlahan mendekat.
Alcard menyadari reaksi itu, tetapi ia tetap memacu kudanya dengan langkah perlahan, menyusuri jalan berbatu yang sempit. Jalan itu dipenuhi celah tanah yang mulai retak, menandakan betapa tuanya desa ini. Di sisi-sisinya, kebun-kebun kecil yang dibatasi pagar kayu lusuh terlihat layu, memperkuat kesan kemiskinan yang menyelimuti desa tersebut.
Ia hanya mendengus pelan. Tatapan penuh ketakutan seperti itu sudah menjadi hal yang biasa baginya. Namun, di balik wajah-wajah penuh ketakutan itu, ia tahu ada rasa benci yang tak terucapkan—kebencian terhadap sesuatu yang mereka tidak sepenuhnya pahami.
Di ujung jalan, balai desa berdiri. Bangunan itu adalah satu-satunya yang tampak lebih terawat dibandingkan rumah-rumah lainnya, meski tetap sederhana. Pintu kayu balai itu setengah terbuka, memancarkan cahaya lilin dari dalamnya. Dua pria berdiri di depan pintu dengan ekspresi cemas. Salah satunya, seorang tetua dengan rambut putih tipis, melangkah maju dengan gugup.
"Sa-salam," katanya dengan suara yang sedikit bergetar. "Apakah... apakah kau Outcast yang dikirim dari The Wall?"
Alcard menghentikan kudanya di depan balai desa. Ia memandang pria tua itu dengan tatapan tajam yang membuatnya semakin gugup. "Ya," jawabnya singkat. "Aku diutus untuk menangani Cyclop. Di mana lokasinya?"
Kerumunan kecil mulai terbentuk di sekitar balai desa. Penduduk desa yang penasaran berkerumun, sebagian tampak lega mendengar ucapan Alcard, sementara yang lain hanya semakin waswas. Bisikan-bisikan mulai terdengar, tetapi tidak ada yang cukup berani untuk berbicara lantang.
Tetua itu mencoba tersenyum, meskipun canggung. Ia mengangguk pelan. "Ma-maafkan kami... Kami jarang menerima tamu, apalagi… Outcast. Tapi desa ini sangat membutuhkan bantuanmu. Cyclop itu benar-benar mengancam kehidupan kami."
Alcard turun dari kudanya dengan gerakan tegas. Ia mengikat tali kendali kudanya di sebuah tiang kayu yang sudah tua. "Baiklah," katanya dengan nada datar. "Bayaran lima kantong emas, seperti yang dijanjikan."
Tetua itu merogoh kantong di balik jubah lusuhnya dan mengeluarkan dua kantong kain koin emas. "I-ini..." ujarnya sambil mengeluarkan satu kantong koin emas. "S-sisanya akan kami berikan setelah Cyclop itu mati," katanya, suaranya gemetar.
Alcard menerima kantong itu tanpa komentar, menimbang beratnya dengan cepat. "Dua kantong. Dua kantong cukup untuk sekarang. Sisanya, serahkan setelah tugas selesai."
Bisikan mulai terdengar lebih keras dari kerumunan warga. Beberapa tampak keberatan dengan jumlah koin yang diserahkan, tetapi tak satu pun yang berani memprotes di depan Alcard.
"Aku butuh tempat untuk menambatkan kudaku," katanya lagi, matanya menatap tetua itu dengan dingin. "Dan setelah itu, tunjukkan di mana Cyclop terakhir terlihat."
Tetua itu menunjuk ke arah sebuah lumbung kecil di samping balai desa, lalu dengan gemetar menunjukkan arah hutan di sisi barat desa. "D-desa ini kecil... Tidak banyak tempat untuk menambatkan kuda. Kau bisa menggunakan lumbung itu. Dan... Cyclop itu terakhir terlihat di hutan sebelah sana."
Alcard mengangguk tanpa bicara. Ia mengikat kudanya di lumbung yang ditunjukkan, lalu memastikan perlengkapannya—pedang panjang di punggungnya, beberapa pisau kecil, dan kantong bekal sederhana. Setelah semuanya siap, ia berdiri di depan lumbung, matanya mengarah ke hutan gelap di kejauhan.
"Aku akan berangkat sekarang," katanya pada tetua desa, tanpa menunggu tanggapan. "Semakin cepat aku menyelesaikan ini, semakin baik untuk kalian."
Tetua desa hanya mengangguk pelan, wajahnya penuh harapan bercampur kekhawatiran. "S-semoga kau berhasil," katanya dengan suara pelan.
Tatapan penduduk desa tetap tertuju pada Alcard yang perlahan menjauh menuju kegelapan hutan. Bayangannya yang tinggi tampak seperti siluet kelam yang menyatu dengan malam. Di mata mereka, ia adalah paradoks—penyelamat sekaligus ancaman, seseorang yang mereka butuhkan, tetapi juga tak sepenuhnya mereka pahami.
****
Malam menyelimuti hutan dengan kelam yang pekat, sementara kabut tipis merayap di antara batang-batang pohon tinggi, menciptakan bayangan samar yang berkelebat dalam keheningan. Di tepi hutan yang mencekam, Alcard berdiri diam, napasnya teratur namun penuh kewaspadaan. Keheningan yang menggantung di udara hanya sesekali dipecah oleh suara gemerisik daun yang berguguran, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang bersembunyi di kegelapan.
Dengan langkah hati-hati, Alcard mulai menyusuri jalur setapak yang tersembunyi di bawah dedaunan pepohonan yang rapat. Tanah di bawah kakinya terasa basah, menyerap setiap pijakannya dengan bunyi lembut dari lumpur yang bercampur dedaunan membusuk. Obor kecil di tangannya memberikan cahaya temaram yang hanya mampu menerangi beberapa langkah di depannya, namun cukup untuk menyoroti jejak kaki besar yang baru saja tercetak di lumpur. Alcard berjongkok, mengamati jejak itu dengan mata tajam yang menyala di bawah keremangan cahaya.
"Cyclop..." bisiknya pelan, nyaris tanpa emosi, tetapi sorot matanya dipenuhi dengan kewaspadaan yang meningkat.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia menemukan bangkai rusa yang telah membusuk, tergeletak dengan luka menganga di tubuhnya, seolah telah dicabik oleh cakar raksasa. Bau busuk menusuk hidungnya, bercampur dengan kelembaban khas hutan yang menyelimuti udara. Alcard menatap luka itu lebih dalam, menyadari bahwa ini bukan pekerjaan monster biasa.
"Ini bukan perbuatan Cyclop biasa..." gumamnya dengan nada curiga, jemarinya menyentuh bekas luka dalam yang menghiasi tubuh rusa malang itu.
Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya mulai bergetar. Getaran itu merambat pelan, tetapi semakin lama semakin kuat, seakan-akan sesuatu yang besar sedang mendekat. Suara geraman yang tadinya terdengar samar kini berubah menjadi raungan yang menggema di seluruh penjuru hutan, membuat dedaunan di sekitarnya bergetar.
Alcard segera mengambil posisi bertahan, tubuhnya menegang dalam kesiapan penuh. Pedangnya berkilat dalam genggaman tangan kanan, sementara tangan kirinya mengangkat obor untuk memperluas pandangannya di sekitar. Matanya yang merah berkilauan di bawah cahaya bulan yang menyelinap di antara cabang-cabang pohon, mencari tanda-tanda kehadiran musuh.
Dari balik semak yang lebat, sesosok raksasa muncul dengan langkah berat. Sosok itu, seekor Cyclop mutasi setinggi lebih dari tiga meter, berdiri tegak dengan mata tunggal yang menyorotkan amarah liar. Nafasnya yang berat keluar dalam geraman keras, sementara gigi-gigi tajamnya menyeringai di bawah cahaya malam. Tangan raksasanya menggenggam batang pohon besar yang digunakannya sebagai gada, tampak siap untuk menghancurkan apa pun di jalurnya.
-GGRRAAAHHHH!!!!
Raungan menggelegar keluar dari tenggorokan monster itu, mengguncang malam yang sunyi. Tanpa ragu, Cyclop itu mengangkat gada kayunya dan melemparkannya dengan kekuatan dahsyat ke arah Alcard. Dalam hitungan detik, Alcard melompat ke samping, menghindari hantaman yang menghancurkan tanah di tempat ia berdiri sebelumnya. Ledakan lumpur dan serpihan kayu beterbangan ke segala arah, menyisakan kawah besar di tanah yang lembap.
"Sial..." desis Alcard, napasnya memburu. "Cyclop mutasi."
Belum sempat ia menstabilkan dirinya, Cyclop itu kembali menyerang, mengayunkan gada kayunya dengan kekuatan brutal. Alcard mengangkat pedangnya, menangkis serangan itu dengan presisi, tetapi dampaknya cukup kuat untuk membuatnya terdorong mundur beberapa meter. Kakinya yang tertanam dalam lumpur menyeret jejak panjang sebelum akhirnya ia kembali berdiri tegak.
"Kekuatan yang mengerikan," gumamnya lirih, namun sorot matanya tetap terfokus. Ia tidak menunjukkan rasa gentar sedikit pun, hanya ketenangan yang tajam, seakan menganalisis setiap gerakan lawannya.
Cyclop itu kembali menggeram, matanya yang besar menatap Alcard dengan penuh kebencian. Dengan langkah berat yang mengguncang tanah, ia mengayunkan gadanya sekali lagi, menciptakan lintasan kehancuran di depannya. Namun, kali ini Alcard telah siap. Dengan kelincahan yang luar biasa, ia menghindar ke samping, dan dalam satu gerakan cepat, ia menyerang balik, membidik titik lemah di lutut monster itu.
Pertempuran kini telah dimulai sepenuhnya. Di bawah langit malam yang gelap, di tengah hutan yang sunyi, Alcard dan Cyclop mutasi saling berhadapan dalam duel yang akan menentukan siapa yang akan bertahan hidup.
****
Malam yang semakin gelap menyelimuti hutan dengan keheningan yang mencekam, hanya dipecah oleh suara dedaunan kering yang berdesir di bawah kaki Alcard yang susah payah menghindari serangan cyclop mutasi. Hanya cahaya rembulan yang tersaring di antara pepohonan tinggi yang menjadi sumber penerangannya, setelah obor kecil yang ia bawa terlepas dari genggaman dan padam di tanah yang basah. Nafasnya teratur, meski denyut jantungnya berpacu seiring dengan ketegangan yang merayap di dalam dirinya. Dengan gerakan yang tenang namun terlatih, tangannya meraih botol kecil di ikat pinggangnya. Cairan merah pekat di dalamnya beriak pelan, seperti menunggu untuk dilepaskan.
"Tak ada jalan lain," bisiknya pada dirinya sendiri sebelum menenggak isi botol dalam satu tegukan penuh.
Rasa panas langsung menjalar di seluruh tubuhnya, membakar setiap urat dan otot yang sempat dilanda kelelahan. Matanya yang semula hanya bersinar redup kini berubah menjadi bara yang menyala terang, menunjukkan efek Bloody Potion yang segera mengambil alih tubuhnya. Setiap serat ototnya terasa lebih kuat, lebih bertenaga, namun di balik kekuatan yang mengalir deras, ia sadar akan bahaya yang mengintai jika ia kehilangan kendali.
Mata tunggal Cyclop bersinar liar, penuh amarah dan kebencian yang primitif. Tubuh besarnya seolah menutupi cahaya bulan dengan hembusan nafas kasar yang menjadi penanda ketidaksabarannya. Dengan raungan dahsyat, monster itu mengayunkan batang pohon besar yang digunakannya sebagai senjata, mengarah lurus ke dada Alcard dengan kecepatan yang mengejutkan untuk ukurannya.
Namun, kali ini Alcard tidak lagi menghindar. Dengan refleks luar biasa, ia mengangkat pedangnya dan menangkis serangan itu. Dentuman keras terdengar saat logam dan kayu beradu, menciptakan percikan dan getaran yang merambat ke lengan Alcard. Meski kekuatan raksasa itu mendorongnya mundur beberapa meter, ia tetap berdiri tegak, tatapan matanya tajam, tak tergoyahkan.
Dengan cepat, ia melompat ke samping dan menyerang balik, pedangnya melesat seperti kilat, menggores lengan Cyclop dengan tebasan presisi. Meskipun luka yang ia buat tak cukup dalam untuk menjatuhkan monster itu, serangannya cukup untuk menimbulkan amarah yang lebih besar. Cyclop meraung, matanya menyala dengan kemarahan yang lebih pekat.
Tanpa memberi waktu untuk bernapas, monster itu mengangkat batang kayunya kembali dan menghantamnya ke arah kepala Alcard. Dengan gerakan secepat bayangan, Alcard berjongkok, membiarkan serangan itu melintas di atasnya, sebelum dengan gesit ia berputar dan menebaskan pedangnya ke perut Cyclop. Darah hitam yang kental menyembur ke tanah, menodai lumpur yang basah di bawah kaki mereka.
Cyclop terhuyung, mencoba menahan luka di perutnya dengan tangan besarnya yang bergetar. Namun, meskipun terluka, monster itu justru menjadi lebih ganas, mengayunkan serangan bertubi-tubi yang semakin liar. Alcard tahu, waktu tidak berada di pihaknya. Efek Bloody Potion membuatnya jauh lebih cepat dan kuat, tetapi ia juga sadar akan batas tubuhnya yang terus dipaksa bekerja di luar kemampuannya.
Dengan tarikan nafas panjang, ia mengumpulkan semua kekuatan yang tersisa, melompat tinggi ke udara, mengarahkan pedangnya tepat ke leher Cyclop yang besar. Monster itu mencoba menangkis serangan dengan tangan kosong, namun kecepatan Alcard jauh melampaui refleksnya. Tebasan pedang melintas dengan tajam, merobek otot-otot tebal di leher Cyclop.
Raungan yang panjang menggema di seluruh hutan, sebelum tubuh raksasa itu akhirnya limbung, kehilangan keseimbangan, dan jatuh dengan dentuman keras yang mengguncang tanah di sekitarnya. Debu dan dedaunan beterbangan, menyisakan kesunyian yang hanya diiringi suara napas kasar Alcard.
Dengan langkah mantap, ia berdiri di atas tubuh Cyclop yang telah tumbang, mengayunkan pedangnya satu kali lagi untuk memastikan kematian monster itu. Darah mengalir deras, bercampur dengan tanah yang becek, sementara udara malam dipenuhi aroma anyir yang menyengat.
"Monster mutasi ini semakin berbahaya," gumamnya pelan, menendang tubuh besar itu untuk memastikan ia benar-benar mati.
Dengan cekatan, Alcard memotong salah satu telinga Cyclop sebagai bukti kemenangannya. Telinga itu, yang kini menghitam dan tampak mengerikan, menunjukkan bahwa mutasi telah mulai merusak tubuh monster itu lebih dalam. Ini bukan Cyclop biasa—ini adalah ancaman yang lebih besar dari yang ia bayangkan.
Setelah memastikan tidak ada ancaman lain yang mengintainya dari kegelapan hutan, Alcard berbalik, melangkah perlahan meninggalkan tempat itu. Kakinya terasa berat, tapi tekadnya tetap kuat. Di tepi hutan, ia berhenti sejenak, menatap langit malam yang dihiasi oleh bintang-bintang yang bersinar redup.
"Selesai," ucapnya lirih, meskipun ia tahu ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar.
Siluet tubuhnya, dengan mata merah menyala karena efek Bloody Potion, tampak seperti bayangan yang berdiri di bawah rembulan, membawa kehampaan yang semakin dalam di hatinya. Meskipun pertempuran ini telah usai, Alcard tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menantinya di masa depan. Di dalam pikirannya, ia telah bersiap untuk menghadapi pertempuran berikutnya, di mana ancaman monster yang lebih kuat dan misteri yang lebih dalam telah menunggunya di balik bayang-bayang malam.
****
Fajar perlahan menyingsing di atas desa yang masih dibalut embun pagi. Sinar matahari merayap perlahan melewati celah-celah pagar kayu yang mengelilingi perkampungan kecil itu, menyapu kabut tipis yang bergelayut di antara rumah-rumah sederhana. Hawa dingin yang tersisa dari malam sebelumnya terasa menusuk kulit, membawa ketenangan yang samar-samar. Di tengah suasana yang perlahan terbangun, langkah-langkah berat Alcard terdengar menggema saat ia berjalan menuju gerbang desa. Sisa efek Bloody Potion masih terasa membara dalam nadinya, membuat setiap langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Sorot mata merah khas seorang Outcast bersinar samar di bawah cahaya pagi yang mulai menghangat.
Perlahan, satu per satu warga desa mulai keluar dari rumah mereka. Sebagian menatap Alcard dari balik jendela dengan mata penuh kewaspadaan, sementara yang lain berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran ketakutan, kehati-hatian, dan sedikit rasa lega. Bisik-bisik terdengar di antara mereka, sementara beberapa orang tua dengan cepat menarik anak-anak mereka menjauh dari jalan yang dilalui Alcard. Namun, pria itu tetap berjalan lurus, tidak memperdulikan tatapan dan bisikan yang mengiringinya.
Tujuannya jelas—balai desa yang berdiri di tengah perkampungan. Di teras kayu yang sudah mulai lapuk, seorang pria tua berambut putih berdiri dengan sikap hati-hati. Di kedua sisinya, dua pemuda bersenjata tombak berdiri tegak, meski jelas terlihat tangan mereka sedikit gemetar. Ketegangan terlihat jelas di wajah mereka, meskipun sang tetua mencoba menyembunyikan rasa takut di balik ekspresi yang tegas.
Tanpa sepatah kata pun, Alcard mengeluarkan potongan telinga Cyclop dari sakunya. Bau anyir darah yang telah mengering masih terasa samar di udara. Ia menyerahkan bukti itu kepada tetua desa, yang menerimanya dengan tangan yang sedikit bergetar. Wajahnya menegang saat menatap telinga itu, dan ia menelan ludah dengan susah payah sebelum berbicara.
"I-ini… benar-benar dari Cyclop itu?" suaranya terdengar goyah, antara ketakutan dan kelegaan.
"Sudah mati," jawab Alcard singkat, suaranya datar tanpa emosi. "Bangkainya masih di hutan. Kirim orang jika ingin memastikan."
Tetua desa mengangguk perlahan, lalu memberikan isyarat kepada salah satu pemuda di sebelahnya. Pemuda itu dengan cepat masuk ke dalam dan kembali dengan sebuah kantong koin yang penuh. Dengan tangan yang masih gemetar, tetua menyerahkan kantong itu pada Alcard. "I-ini bayaranmu... seperti yang telah dijanjikan. Kami menambahkan sedikit lagi... agar kau tidak perlu kembali."
Tanpa ekspresi, Alcard menerima kantong koin itu, menimbangnya di tangannya untuk memastikan beratnya sesuai. Ia menatap sang tetua sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara yang lebih rendah namun tetap dingin, "Bakar tubuhnya. Jangan biarkan bangkainya menarik perhatian yang lain."
Sang tetua mengangguk dalam diam, jelas tidak ingin memperpanjang perbincangan. Di sekeliling mereka, warga desa masih mengamati dengan tatapan waspada. Bagi mereka, Alcard bukan hanya seorang pemburu bayaran yang datang untuk menyelamatkan desa, tetapi juga ancaman yang tak dapat mereka pahami sepenuhnya.
Tanpa kata tambahan, Alcard memasukkan kantong koin itu ke dalam jubahnya dan berbalik menuju lumbung di pinggiran desa. Seekor kuda hitam berdiri di sana, gelisah karena aroma darah yang masih melekat di udara. Dengan lembut, Alcard menepuk leher kuda itu, suaranya lirih saat ia berbisik untuk menenangkan binatang tersebut. Setelah memeriksa pelana dan tali kekang dengan cermat, ia melemparkan kantong koin ke dalam tas pelana, lalu naik ke atas kuda dengan gerakan yang penuh kebiasaan.
Beberapa anak kecil yang mengintip dari balik pagar memperhatikan sosoknya dengan rasa ingin tahu yang mendalam, mata mereka membulat penuh kekaguman dan ketakutan pada sosok misterius yang baru saja menyelamatkan desa mereka. Namun, seperti biasa, Alcard tidak memberikan perhatian. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, ia menarik kendali kudanya, membuat binatang itu melangkah perlahan melewati gerbang desa yang kini kembali tenang.
Sang tetua desa menghela napas panjang saat melihat Alcard menghilang di jalan tanah, bayangannya semakin kecil seiring ia menjauh dari desa. Ada rasa lega karena ancaman Cyclop telah berakhir, tetapi juga ada kegelisahan yang tersisa dalam dirinya. Sosok Outcast itu mungkin telah menyelamatkan mereka hari ini, tetapi ketakutan akan apa yang mungkin datang setelahnya masih membayangi benaknya.
Di luar desa, Alcard sekali lagi menoleh ke belakang. Matanya yang merah menyapu desa kecil itu, memastikan semuanya telah kembali aman. Setelah beberapa saat, ia menatap langit pagi yang cerah dan berkata pelan pada dirinya sendiri, "Selesai."
Dengan sekali sentakan, kudanya melaju lebih cepat, meninggalkan ladang dan kebun kecil yang mengelilingi desa. Tidak ada keraguan dalam langkahnya, hanya perjalanan tanpa akhir yang terus menantinya. Entah apa yang akan dihadapinya selanjutnya, ia tahu satu hal dengan pasti—tidak ada tempat yang benar-benar menjadi rumah bagi seorang Outcast.
Siluetnya bersama kuda hitamnya perlahan menghilang di cakrawala, membawa serta kisah tentang seorang pria yang datang sebagai penyelamat, tetapi tetap menjadi orang asing di mata mereka yang ia selamatkan.
****
Senja perlahan merambat ke malam saat Alcard melintasi hutan yang lebat dan penuh rahasia. Cahaya jingga yang tersisa dari matahari membiaskan bayangan panjang di antara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Udara sore masih mengandung sisa aroma hujan yang turun beberapa hari lalu, bercampur dengan kelembapan tanah dan dedaunan basah yang berderak di bawah langkah kaki kudanya. Jalan setapak yang ia lalui kini semakin tertutup oleh akar pohon yang mencuat ke permukaan, serta semak-semak liar yang merambat seperti tangan-tangan gelap yang berusaha menahannya.
Alcard mengendalikan kudanya dengan hati-hati, sesekali membungkukkan tubuhnya untuk menghindari dahan rendah yang menghalangi jalan. Matanya yang tajam terus menyisir setiap celah di antara batang pohon, waspada terhadap gerakan sekecil apa pun. Hutan ini bukan sekadar hamparan pepohonan belaka, melainkan tempat yang menyembunyikan ancaman tak terduga—baik itu dari binatang buas yang mengintai di kegelapan, bandit yang haus akan jarahan, atau bahkan monster mutasi yang berkeliaran di malam hari. Namun, aura seorang Outcast seperti dirinya cukup untuk membuat para bandit berpikir dua kali sebelum bertindak gegabah.
Seiring malam semakin menguasai langit, siluet bangunan yang menempel pada The Wall akhirnya muncul di kejauhan. Sebuah outpost tua berdiri di sana, menyatu dengan struktur besar yang dulunya merupakan garis pertahanan pertama manusia, elf, dan dwarf melawan ancaman dari selatan. Kini, hanya dihuni oleh para Outcast yang melanjutkan tugas tanpa nama, tanpa penghargaan, dan sering kali tanpa harapan.
Gerbang utama outpost, yang tak lagi memiliki pintu, dijaga oleh dua Outcast bersenjata sederhana. Wajah mereka keras, terpahat oleh kelelahan bertahun-tahun, tetapi begitu mata merah mereka menangkap sorot merah khas milik Alcard, ketegangan di pundak mereka sedikit mereda. Salah seorang penjaga, dengan suara serak akibat cuaca dingin dan kelelahan, mencoba membuka percakapan.
"Kembali dari misi?" tanyanya singkat.
Alcard hanya mengangguk, tak berniat membuang kata-kata untuk obrolan yang tidak perlu. Ia langsung melangkah masuk, mengarahkan kudanya ke kandang kecil di sudut outpost, di mana beberapa kuda lain terlihat beristirahat, napas mereka mengembun di udara malam yang dingin.
Di sekitar api unggun yang berkobar redup di tengah halaman, para Outcast lainnya duduk melingkar. Wajah-wajah mereka terlihat letih, jubah mereka basah tergantung di dahan kayu, sementara senjata-senjata usang mereka bersandar di dinding kayu yang mulai lapuk. Beberapa di antara mereka mengobrol pelan, membahas kabar terbaru tentang serangan monster yang semakin sering terjadi di sepanjang The Wall. Ada pula yang mengeluhkan pasokan yang kian menipis, dan ketidakpedulian para lord Middle Earth yang sibuk dengan urusan politik mereka sendiri.
Alcard berjalan mendekati api unggun, membiarkan kehangatannya meresap ke tubuh yang telah kedinginan sepanjang perjalanan. Tanpa banyak bicara, salah satu Outcast melemparkan sepotong roti keras ke arahnya. Dengan refleks cepat, Alcard menangkapnya dan mengunyah perlahan, sementara kantong air kulit di pinggangnya dilepaskan untuk meneguk beberapa teguk yang terasa dingin dan hambar. Matanya menatap kosong ke arah kobaran api, seolah mencari jawaban dalam nyala yang menari pelan di kegelapan.
Bangunan-bangunan di sekitar outpost tampak lebih buruk dari yang ia ingat. Dinding-dinding kayunya berlubang, atapnya hampir roboh, dan lift kayu buatan dwarf yang menempel di The Wall terlihat semakin usang, meski masih bisa digunakan. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa tempat ini tak berubah, tetap menjadi titik pertahanan yang hampir terlupakan.
Pikirannya melayang pada apa yang harus dilaporkan kepada Oldman di markas pusat. Ada hal-hal yang harus dibicarakan, peringatan yang harus disampaikan. Ancaman di luar sana semakin besar, dan meskipun mereka bertahan sejauh ini, dia tahu bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat.
Selesai dengan rotinya, Alcard berdiri, mengencangkan sabuknya dan melemparkan pandangan ke arah The Wall yang menjulang di belakang outpost. Malam ini, ia akan beristirahat, tetapi besok perjalanan harus dilanjutkan. Markas pusat menunggu, dan dengan itu, tanggung jawab yang lebih besar menanti.
Markas pusat sendiri merupakan benteng yang luas dan menempel di sisi utara the wall, setara dengan benteng kecil yang dimiliki oleh para Lord di Middle Earth. Wilayahnya mencakup berbagai bangunan utama yang digunakan sebagai pusat komando, barak para outcast, tempat penyimpanan persediaan, dan menara pengawas yang tersebar di sepanjang perimeter. Struktur pertahanannya dirancang untuk menahan serangan dari ancaman yang datang dari selatan, menjadikannya benteng yang kuat meskipun sering kali kekurangan sumber daya. Namun, meski ukurannya besar, kondisi markas ini jauh dari ideal. Banyak bangunan yang kini terbengkalai dan tak lagi digunakan, beberapa di antaranya telah runtuh akibat waktu dan serangan bertubi-tubi dari makhluk mutasi yang terus mengincar The Wall.
Di sisi lain, markas barat dan markas timur, yang berfungsi sebagai titik pertahanan tambahan, memiliki luas yang sedikit lebih kecil dibandingkan markas pusat. Keduanya juga mengalami kerusakan serupa, dengan banyaknya bangunan yang ditinggalkan karena terlalu berbahaya atau tidak lagi layak digunakan. Para outcast terlalu sibuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan di The Wall, sehingga mereka tidak memiliki waktu atau tenaga untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Sumber daya yang ada hanya cukup untuk mempertahankan bagian penting dari benteng, sementara sisa bangunan dibiarkan dalam keadaan yang mengenaskan.
Meskipun demikian, The Wall masih berdiri kokoh sebagai simbol perlawanan bagi mereka yang telah diasingkan dari dunia luar. Setiap bagian tembok yang retak dan setiap bangunan yang runtuh adalah bukti dari sejarah panjang pertempuran yang mereka hadapi. Para outcast tidak memiliki kemewahan untuk membangun kembali apa yang telah hancur—mereka hanya bisa bertahan, dengan segala keterbatasan yang ada, melawan bahaya yang terus mengintai dari kegelapan di selatan.
****