Dunia dalam Kekacauan
Dunia ini telah lama berada dalam bayang-bayang perang. Sejak zaman dahulu, tiga kekuatan utama saling bertarung demi supremasi: Manusia, Ksatria Suci, dan Iblis. Namun, di balik semua itu, entitas yang paling kuat dan paling tidak adil adalah Dewa.
Pada awalnya, manusia hanyalah makhluk fana yang berjuang untuk bertahan hidup. Mereka tidak memiliki kekuatan khusus seperti iblis, juga tidak memiliki berkah suci seperti para ksatria. Namun, mereka memiliki ambisi. Ambisi untuk menjadi lebih kuat, untuk menaklukkan, dan untuk menguasai dunia.
Ksatria Suci, yang konon merupakan manusia yang diberkahi oleh para dewa, berperan sebagai penjaga keseimbangan. Mereka diberi kekuatan luar biasa untuk menumpas kejahatan dan melindungi umat manusia. Namun, dalam sejarah yang ditulis oleh para pemenang, ada satu bagian yang jarang diceritakan—pecahnya Ksatria Suci menjadi dua kubu.
Sebagian dari mereka tetap setia pada para Dewa, Ksatria Suci Murni, yang menjalankan kehendak ilahi tanpa ragu. Namun, tiga di antara mereka membelot, memilih jalan lain. Mereka menolak perintah Dewa dan melihat bahwa dunia ini terlalu dikendalikan oleh tangan-tangan yang tak terlihat. Mereka disebut Ksatria Suci Pembangkang.
Para pembangkang ini akhirnya pergi ke Neraka Iblis, tanah terlarang yang hanya dihuni oleh para makhluk kegelapan. Di sana, mereka bersumpah setia pada Raja Iblis, musuh utama para Dewa. Sejak saat itu, perang antara Manusia, Ksatria Suci, dan Iblis tidak pernah berhenti.
Namun, konflik yang sebenarnya bukan antara mereka. Semua yang terjadi hanyalah permainan para Dewa. Dari atas, mereka mengamati, memberi berkah kepada yang mereka sukai, dan menghancurkan yang berani melawan mereka.
Di tengah kekacauan ini, ada satu orang yang telah melihat kejamnya dunia secara langsung—Sun Heng.
__________
Dentang logam beradu memenuhi udara.
Di tengah arena yang dipenuhi debu dan bau darah, seorang anak laki-laki berdiri dengan kedua tangan memegang pedang yang lebih besar dari tubuhnya. Napasnya terengah-engah, tubuhnya penuh luka, dan kakinya gemetar karena kelelahan. Namun, di matanya tidak ada ketakutan. Hanya ada tekad dingin untuk bertahan hidup.
Seorang pria besar, tubuhnya dipenuhi bekas luka dari ratusan pertempuran, mengayunkan pedangnya ke arah anak itu. Terlalu berat, terlalu cepat. Tidak mungkin bocah sekecil itu bisa menangkisnya.
Tetapi anak itu tidak menangkis.
Dia merunduk pada detik terakhir, membiarkan pedang besar itu melewati udara di atasnya, lalu menikam ke depan dengan kecepatan seperti ular berbisa. Mata pria besar itu membelalak saat pedang tipis bocah itu menembus perutnya.
Kebisuan singkat.
Lalu, tubuh pria besar itu jatuh ke tanah, darahnya mengalir membasahi pasir arena.
"Pemenangnya adalah… Sun Heng!" suara sang wasit menggema.
Sorak-sorai bergemuruh. Beberapa bersorak karena kemenangan bocah itu, yang lain berseru karena kehilangan uang mereka dalam taruhan. Namun, bagi Sun Heng, tidak ada yang berarti. Dia tidak bertarung demi kehormatan. Dia tidak bertarung demi uang.
Dia bertarung demi bertahan hidup.
Sun Heng baru berusia lima tahun ketika pertama kali dilempar ke dalam arena. Ia tidak memiliki nama saat itu, hanya dikenal sebagai "bocah liar" yang dijual sebagai budak. Tidak ada yang peduli jika ia mati dalam pertarungan. Tidak ada yang percaya bahwa ia bisa bertahan lebih dari sehari.
Namun, Sun Heng tidak mati.
Selama tujuh tahun, ia terus bertahan di arena, menjadi lebih kuat dengan setiap pertarungan, dengan setiap nyawa yang ia renggut. Ia tidak punya waktu untuk belas kasihan. Ia tidak punya waktu untuk merasa takut.
Hingga suatu hari, semuanya berubah.
---
Bayangan di Penjara
Malam itu, Sun Heng duduk di sudut selnya, matanya menatap kosong ke tembok batu. Tangannya masih berlumuran darah dari pertarungan sebelumnya. Satu-satunya cahaya berasal dari obor di luar jeruji besi.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Sun Heng tidak mengangkat kepalanya. Dia sudah terbiasa dengan suara itu—penjaga yang datang untuk membawa budak lain ke arena, tempat mereka akan mati untuk hiburan para penonton.
Namun, suara langkah itu berhenti tepat di depan selnya.
"Kau Sun Heng?"
Itu bukan suara penjaga. Itu suara pria asing.
Perlahan, Sun Heng menoleh. Di hadapannya berdiri seorang pria berambut hitam dengan janggut tipis dan tatapan yang sulit dibaca. Pakaiannya sederhana, tetapi ada sesuatu dalam cara dia berdiri—terlalu tenang, terlalu percaya diri.
Sun Heng tidak menjawab.
Pria itu tersenyum tipis. "Mulai sekarang, kau bebas."
Sun Heng menyipitkan mata. "Bebas?"
"Ya." Pria itu mengeluarkan kunci, membuka sel, dan melangkah masuk. "Aku Takeya Renji. Mulai sekarang, kau ikut denganku."
Sun Heng hanya menatapnya. Tidak ada yang membebaskan budak tanpa alasan. "Kenapa?"
Renji hanya tersenyum. "Karena aku ingin tahu… sejauh mana kau bisa berkembang."
---
Awal Perjalanan
Sun Heng mengikuti Renji keluar dari penjara bawah tanah. Tidak ada yang mencoba menghentikan mereka. Penjaga-penjaga yang seharusnya berjaga sudah terkapar di lantai, beberapa tidak bergerak lagi.
Sun Heng melirik pria di sampingnya. Renji tidak terlihat seperti pendekar, tetapi jelas dia bukan orang biasa.
Begitu mereka keluar dari kompleks arena, angin malam menyapu wajah Sun Heng. Untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun, dia melihat bintang-bintang.
Renji menoleh ke arahnya. "Apa kau ingin makan?"
Sun Heng tidak menjawab, tetapi perutnya berbunyi pelan. Renji tertawa kecil.
"Baiklah. Ayo kita cari tempat makan dulu sebelum melanjutkan perjalanan."
Sun Heng hanya mengikutinya dalam diam. Ia tidak tahu apa tujuan pria ini. Ia tidak tahu apakah ini jebakan atau bukan.
Namun, untuk saat ini, ia akan ikut.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memiliki pilihan.
Dan ia akan mencari tahu apakah Takeya Renji benar-benar orang yang bisa ia percayai… atau hanya penghalang lain yang harus ia hancurkan.