"Kau anak yang istimewa, yang memiliki kemampuan untuk menggunakan wajah cantik itu secara cuma-cuma."
Kerutan dalam muncul di antara alis Countess Trier saat dia mengamati Odette.
Wajah Odette yang tanpa ekspresi terlihat seperti patung marmer pucat. Gaun satin biru dan kilau berlian yang dingin semakin menonjolkan kesan dinginnya. Dia bukan tipe pengantin yang menawan. Untungnya, dia tidak terlihat seperti wanita miskin yang meminjam pakaian dan perhiasan orang lain untuk menghadiri pesta dansa.
"Jangan lupa, masa depan keluarga Dissen bergantung pada keberhasilan tugas ini"
Sang Countess, yang sedang memeriksa ruang perjamuan, merendahkan suaranya dan memberikan beberapa nasihat kasar.
Penindasan dan pemaksaan. Bahkan ancaman perdamaian.
Di bawah cahaya aula marmer, dia kembali teringat hari-hari ketika dia harus menggunakan metode buruk untuk membawa Odette kembali. Mengingat sifat keras kepala dan harga dirinya bukan hal yang remeh, sepertinya dia memang berdarah bangsawan.
"Tolong tepati janji Anda."
Odette terdiam sejenak dan perlahan menoleh untuk menatap Countess Trier. Itu adalah pernyataan yang cukup berani, namun tidak terkesan terlalu lancang. Mungkin karena ketulusan yang terlihat di matanya yang putus asa.
Untuk apa dana pensiun yang sedikit itu?
Perasaan sedih tiba-tiba terlintas dalam diri Countess Trier, namun dia tidak menunjukkannya.
Odette telah memberitahunya bahwa dia tidak akan menemui Bastian Klauwitz lagi. Bastian tidak berniat menerima usulan pernikahan itu, dan begitu pula Odette.
Dia bukannya tidak mengerti perasaan itu.
Tidak mudah untuk tiba-tiba terseret ke dunia yang tidak dikenal suatu hari dan dipermalukan. Jika anak itu tidak dapat memenangkan hati seseorang bahkan setelah memamerkan wajahnya, yang merupakan satu-satunya yang dimilikinya, maka dapat dipastikan bahwa hampir tidak ada harapan.
Namun kaisar menginginkannya.
Itu artinya, meskipun dia ditinggalkan setelah dimanfaatkan sepuasnya, Odette harus bertindak sebagai wanita Bastian Klauwitz di depan semua orang.
"Tentu. Aku akan melakukannya."
Countess Trier dengan senang hati memberikan jawaban yang pasti.
Sekalipun usulan pernikahan ini tidak berhasil, dia akan tetap menerima dana pensiun.
Lagipula, hanya itu yang diinginkan Odette. Dia berkata akan melakukan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik jika ia dapat meyakinkan kaisar dan mendapat jawaban yang pasti.
"Kaisar memang orang yang berhati dingin, tapi setidaknya dia tidak jahat. Jika usulan pernikahan ini membuat Isabelle sadar kembali dan memungkinkannya untuk menikah dengan aman, dia tidak akan mengabaikanmu. Sekalipun tidak mungkin memenangkan lotere, dia masih bisa menujukkan kebaikan dengan meningkatkan jumlah dana pensiun. Jika beruntung, kamu bahkan mungkin mendapatkan lebih dari itu."
Countess Trier menghibur Odette dengan nada yang jauh lebih lembut.
Meskipun dia menggunakan dana pensiun yang telah menyelamatkan nyawa keluarga Dissen sebagai senjata, dia merasa tidak nyaman saat melihat putri sang Putri dijual dengan harga yang begitu kecil.
"Terima kasih, Countess."
Setelah memberikan salam singkat, Odette sekali lagi menghadapi dunia asing yang terbentang di hadapannya.
Langit-langitnya dihiasi lukisan dinding yang indah dan lampu kristal. Bahkan pemandangan taman yang megah terlihat dari balik jendela yang terbuka lebar. Semuanya persis seperti yang diceritakan ibunya. Dia merasakan perasaan aneh saat mengingat ibunya, yang sangat antusias ketika menceritakan kisah-kisah istana kekaisaran kepadanya, namun kemudian akhirnya putus asa dan menangis.
Pada malam pesta dansa, ketika taman dipenuhi oleh bunga, gadis yang jatuh cinta pada takdir itu tidak mungkin tahu bahwa cinta tersebut akan merenggut segalanya darinya.
Kenapa dia jatuh cinta seperti itu? Apa sebenarnya arti cinta itu?
Odette sangat mencintai ibunya, tapi dia tidak pernah memahaminya.
Ia tidak seharusnya mengkhianati negara dan keluarganya demi lelaki seperti ayahnya. Jika pada akhirnya ia membuat pilihan yang salah, ia harus menerima konsekuensinya dengan rendah hati.
Tapi ibunya selalu mengejar ilusi. Cinta itu pernah ada. Setelah sirna, dia pergi ke masa lalu yang tidak bisa dikembalikan. Seperti seorang musafir di padang pasir, dihantui oleh fatamorgana. Hidupnya adalah kehidupan yang penuh dahaga.
Odette perlahan menutup matanya, menghapus kenangan yang tak berarti. Dan saat ia membukanya lagi, matanya menjadi lebih tegas, bahkan keraguan terakhirnya pun hilang.
Hidup itu berharga.
Odette, yang sudah bertahun-tahun mengurus rumah tangga, mengetahui betul fakta tersebut. Dan betapa pentingnya uang yang menjadi landasan itu. Dia tidak berniat menjual kehormatan dan harga dirinya untuk mengejar uang, tetapi kehormatan dan harga diri tidak dapat menjadi prioritas dalam hidup. Itulah martabat dan rasa hormat yang diketahui Odette.
Ada uang pensiun yang dipertaruhkan dalam pembicaraan pernikahan ini, dan Odette sangat membutuhkan uang itu.
Itu sudah cukup menjadi alasannya untuk tetap bertahan.
Odette, dengan tekad bulat, mulai melangkah maju di jalan yang telah dipilihnya. Saat melewati lambang kekaisaran yang menghiasi tengah aula, matanya bertemu dengan mata pria itu.
Melodi bagaikan malam musim semi mengalir. Pesta cahaya yang menerangi kegelapan sungguh mempesona, dan aroma bunga musim semi terbawa angin yang bertiup melintasi taman. Itu adalah malam pesta dansa, persis seperti cerita yang diceritakan ibunya. Namun, semua itu hanyalah fatamorgana untuk satu malam, dan Odette tidak percaya pada ilusi.
Bastian melintasi aula luas dan berhenti di anak tangga terakhir. Pertama-tama, cara pria tersebut menunjukkan rasa hormat kepada pendampingnya sangat sempurna dan sopan.
Odette menunggu gilirannya dengan bermartabat.
Seperti yang diharapkan, Countess Trier dengan patuh menyerahkan Odette, dan Bastian mendekatinya tanpa ragu dan mengulurkan tangannya.
"Ayo, Nona Odette."
Suara pria itu, yang meminta pendamping seolah-olah sedang menjalankan hak alaminya, mengalahkan kebisingan di sekitarnya. Odette, dengan mata tertunduk lembut, memberi izin dengan mengulurkan tangannya.
Saat Bastian menggenggam tangannya, pintu Aula Besar terbuka lebar.
Itu adalah posisi kaisar.
*****
"Tolong sadarlah."
Valerie menghela napas dalam-dalam dan merendahkan suaranya menjadi bisikan. Isabelle, yang sedang minum dalam keadaan putus asa, perlahan mengangkat kepalanya dan menatap adiknya.
"Aku tidak butuh nasihatmu."
"Sungguh memalukan. Sampai kapan kau akan menghancurkan kehormatan keluarga kerajaan hanya karena seorang pria yang tidak tertarik padamu?"
"Kau pikir kau punya hak untuk memberikan khotbah seperti itu, padahal kau baru saja mengikuti Duke Herhardt kemana-mana?"
"Dia seorang Herhardt. Kau tidak berpikir cucu seorang pedagang barang rongsokan rendahan setara dengan bangsawan tertinggi di kekaisaran, kan?"
"Jangan bicara omong kosong tentang Bastian!"
Jeritan heboh Isabelle memecah keheningan di teras. Para tamu yang terkejut dengan keributan itu, memusatkan perhatian mereka pada kedua putri itu.
"Tenanglah. Apa kau sudah lupa perintah ibu untuk menunjukkan tanggung jawab sebagai seorang putri kerajaan?"
Pipi Valerie memerah karena malu saat dia melihat sekeliling. Namun Isabelle masih bergumul dalam perasaan menyedihkan karena cinta tak berbalas.
"Mereka bersenang-senang bahkan saat saudariku bersembunyi di sini dan menangis."
Valeri, sengaja meninggikan suaranya dan mendesah, menunjuk ke luar jendela teras dengan bangga. Wajah Isabelle yang melihat pemandangan itu langsung berkerut dengan rasa sakit yang tak tertahankan.
Kapten Klauwitz dan putri Duke Dissen, yang selama ini berjalan-jalan di ruang perjamuan tanpa meninggalkan satu sama lain sedetik pun, kini sedang mengobrol sendirian. Dengan perawakan tinggi dan penampilan yang memukau, keduanya tampak menonjol seperti makhluk yang berbeda di antara kerumunan. Sulit untuk menyangkal bahwa setidaknya secara penampilan, mereka adalah pasangan yang serasi.
"Bastian hanya mengikuti perintah kaisar."
Isabelle menghabiskan minumannya dalam sekali teguk dan mencoba menyangkal kenyataan yang ada di depan matanya. Tepat pada saat itulah, sesuatu yang sulit dipercaya terjadi.
Ketika putri Duke Dissen membisikkan sesuatu, Bastian memiringkan kepalanya dan menundukkan pandangannya. Betapa mesranya pandangan dan senyum mereka. Mereka tampak seperti sepasang kekasih yang baru saja mulai saling mencintai.
"Hanya karena kakak mempercayainya bukan berarti kenyataan akan berubah."
Valerie mengejek Isabelle dengan komentar sinis.
"Kapten Klauwitz jatuh cinta pada Nona dari keluarga Dissen. Itu wajar saja. Pria mana yang menolak kecantikan seperti itu?"
"Kamu tidak tahu apa-apa. Bastian bukan tipe orang yang picik."
Isabelle membuka matanya yang tertutup rapat dan menggelengkan kepalanya dengan kuat.
Sudah enam tahun. Sejak pertama kali jatuh cinta pada pandangan pertama, dia hanya melihat Bastian. Bagaimana mungkin dia tidak mengenal pria yang selama ini dia cintai dengan sepenuh hatinya.
Itu bukan khalayan belaka.
Tidak peduli apa kata orang, Isabelle tahu. Betapa mulianya Bastian Klauwitz. Dan betapa setianya dia sebagai prajurit. Karena itu, dia tidak sanggup menyampaikan betapa dalam dan menyakitkannya cinta itu. Semuanya.
"Setidaknya menurutku aku lebih tahu daripada kakak."
Valerie tertawa dengan santai dan berdiri dari kursinya.
Ketika tamu tak diundang yang melontarkan nasihat kurang ajar itu pergi, Isabelle akhirnya kembali sendirian. Suara gelas kosong yang terisi memenuhi udara malam musim semi, yang sungguh memilukan.
Harga untuk mengabdikan diri pada kekaisaran adalah wanita yang menyedihkan.
Itu adalah perlakuan yang tidak adil, tapi pria setia yang bodoh itu sepertinya menerimanya. Mungkin dia sadar akan rumor yang akan menyebar ke seluruh masyarakat. Dia ingin menggunakan wanita itu sebagai tameng untuk melindungi kehormatan sang putri.
Benar. Mungkin saja begitu.
Segera setelah Isabel menemukan jawabannya, air matanya mulai mengalir.
Seorang pahlawan yang asal usulnya sederhana dan seorang putri yang ditinggalkan.
Itu adalah skandal yang pasti akan menarik perhatian dunia. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kedua orang itu sudah menjadi bintang di musim sosial ini. Bayangan itu sudah cukup untuk menutupi nama Isabelle.
Namun apa arti kemuliaan yang didapat dari pengorbananmu?
Air mata yang mengalir deras membasahi pipi Isabelle yang memerah. Alunan waltz yang merdu mulai terdengar dari balik jendela yang terbuka. Di antara para tamu yang berjalan berpasangan menuju ke tengah aula perjamuan, Bastian juga ada di sana, menggenggam tangan wanita itu.
Isabelle mengertakkan gigi dan menuangkan segelas anggur lagi. Pandangannya kabur karena air mata, dan anggur yang meluap membasahi tangannya, tapi dia tidak punya tenaga lagi untuk peduli.
Akhirnya aku mengerti apa yang ibu maksudkan saat mengizinkanku menghadiri pesta dansa ini. Ia ingin aku terluka dengan cara yang paling menyedihkan, sehingga aku tidak akan pernah lagi terikat pada cinta ini.
Isabelle mendongak, menatap sepupunya, yang telah mengambil tempat yang seharusnya menjadi miliknya dengan tidak fokus. Wanita yang telah menjadi boneka keluarga kerajaan demi uang itu sangat tenang, percara diri, dan yang paling penting, cantik.
Pada saat yang sama ketika perasaan hancur yang diberikan kenyataan itu kepadanya pecah menjadi air mata kesedihan, waltz malam musim semi dimulai.