Setelah meninggalkan gang yang seperti labirin, tempat tujuannya terlihat.
Bastian memandang jalanan yang tampak asing dengan mata menyipit.
Toko-toko berjejer padat di kedua sisi jalan sempit yang hampir tidak bisa dilewati satu gerbong kereta pun. Kebanyakan dari mereka adalah bar, rumah judi, atau teater dengan poster pertunjukan cabul. Itu seperti dunia yang hanya ada untuk kesenangan.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Ayo pergi, Bastian."
Wajah Lucas von Ewald memerah karena antisipasi saat dia menepuk bahunya dan menghiburnya.
Putra tunggal Count Ewald, ketua senat.
Bastian, diam-diam menatap wajah temannya yang bisa dibilang merupakan koneksi terbaik yang dia miliki di akademi militer, lantas tersenyum. Hanya dengan sedikit menarik ujung bibirnya, ekspresi dingin di wajahnya berubah dalam sekejap.
Bastian mengikuti rombongan yang memimpin jalan bersama Lucas. Tujuan mereka adalah rumah judi di ujung jalan. Itu adalah bangunan yang terlihat paling menarik, tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan klub sosial yang pernah ia singgahi belum lama ini.
"Tempat ini juga punya keunikan tersendiri. Kamu akan segera mengetahuinya."
Seorang perwira yang melakukan kontak mata dengan Bastian berdalih dengan malu-malu. Erich, putra tertua keluarga Faber yang sukses di industri baja. Itu juga merupakan hubungan yang tidak boleh diabaikan.
Bastian dengan senang hati menyetujuinya dan kali ini tertawa. Dia tidak bermaksud menghancurkan reputasinya dengan terlibat dalam petulangan gelap seperti itu, tapi bertindak sendirian dan menimbulkan kebencian adalah tindakan yang bodoh. Tindakan paling bijaksana adalah bergaul terlebih dahulu dan kemudian berdiri ketika waktunya tepat.
"Anda akhirnya di sini! Saya mulai sedikit khawatir karena sudah lama sekali saya tidak melihat Anda."
Seorang pria paruh baya, yang mungkin pemilik tempat rumah judi, menyambut mereka dengan kegembiraan yang berlebihan. Itu adalah sambutan yang seolah-olah memahami betapa banyak uang yang akan terbuang di sini.
"Orang ini …."
Tatapannya yang sedari tadi mengamati para perwira, terhenti pada wajah Bastian.
"Ini Kapten Klauwitz. Itu adalah nama yang mungkin pernah kau lihat di surat kabar setidaknya satu kali."
Lucas meletakkan gelas yang sudah dia kosongkan sekaligus dan dengan bangga memperkenalkan Bastian. Pria itu, mengedipkan matanya yang lebar, segera berseru kegirangan.
"Saya tidak pernah menyangka akan bertemu dengan pahlawan yang melindungi lautan kekaisaran di sini! Ini suatu kehormatan, Kapten."
Setelah memberikan pujian yang lantang, dia memberikan sekotak wiski dan cerutu berkualitas tinggi sebagai hadiah.
Berbeda dengan para perwira yang terkesima dengan perlakuan dermawan tersebut, wajah Bastian tidak menunjukkan emosi berarti. Dia minum ketika ditawari alkohol, berbagi cerutu, dan mengobrol tentang hal-hal sepele, tapi hanya itu. Sulit untuk menemukan antusiasme lebih dari itu, tapi bahkan pada saat itu, bibirnya tidak kehilangan senyuman halusnya. Itu semacam kebiasaan yang diingat tubuhnya tanpa dia sadari.
Wanita. Perjudian. Skandal gelap dan kotor.
Topik yang benar-benar berbeda dengan ketika dia duduk di klub sosial dan mendiskusikan situasi internasional dengan tenang, diperbincangkan dengan cepat dan diiringi gelak tawa.
Bastian lebih banyak mendengarkan. Kadang-kadang dia menanggapi dengan sewajarnya, tapi itu pun hanya sebatas jawaban singkat dan tawa ringan.
"Sekarang, silakan naik ke lantai dua. Semuanya sudah siap."
Pemilik rumah judi mendekat dengan langkah cepat dan menundukkan kepalanya sambil berbicara.
Para perwira yang menghentikkan obrolan ringan mereka pada saat itu dengan sigap berdiri dari tempat duduk mereka. Meskipun mereka semua sudah minum banyak, langkah mereka masih penuh semangat seperti prajurit muda.
"Sekali lagi! Kumohon, tolong! Beri aku satu kesempatan lagi!"
Tepat saat mereka memasuki lorong lantai dua menuju ruang kartu VIP, terdengar teriakan yang seperti jeritan. Seorang lelaki tua diseret keluar dari ruang kartu biasa dan berdebat dengan para penjaga.
Para perwira seketika berhenti berjalan dan mengalihkan pandangan mereka ke tempat itu. Pria yang sudah kehilangan akal sehatnya itu kini berlutut di atas karpet lorong sambil memohon. Dia tampak seperti tipikal penjudi yang tidak bisa melepaskan pikiran bodohnya bahkan setelah kehilangan seluruh uangnya.
Bastian yang sudah tidak lagi memperhatikan keributan sepele itu, sedikit mengangkat borgol seragamnya dan memeriksa arlojinya. Antara jamuan makan malam di Admiralty, minum-minum di klub sosial, dan perjalanan pulang, waktu sudah mendekati tengah malam.
Setelah merapikan pakaiannya, Bastian mengusir rasa lelahnya dengan membuka matanya perlahan. Saat itulah pria yang tadi mulai membuat masalah lagi.
"Biarkan aku masuk! Aku masih punya sisa taruhan!"
"Oh, ya. Tentu saja, Tuan Duke Pengemis. Kalau begitu tunjukkan taruhannya."
Para penjaga mencibir dengan wajah masam, seolah hal itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali.
"Itu … ya, ya! Putriku! Aku akan mempertaruhkan putriku!"
Pria itu melepaskan tangan penjaga dan berteriak penuh kemenangan.
"Kalian semua tahu betapa cantiknya putriku, kan? Dibandingkan dengan anak itu, taruhannya bukanlah apa-apa."
Bahkan ketika para penjaga yang terdiam mendecakkan lidah mereka, pria itu terus berbicara dengan penuh semangat dan mengintip ke sekeliling ruang kartu. Tepat ketika desahan bercampur tawa keluar dari bibir Bastian saat menyaksikan adegan itu, putra keluarga Faber melangkah ke depan.
"Hei. Bisakah kau bertanggung jawab atas apa yang baru saja kau katakan?"
Dia melambaikan tangan kepada para penjaga dan berjalan cepat mendekati ayah yang mencoba menjual putrinya untuk berjudi.
"Maksudku adalah, apakah kau yakin putri mu lebih dari cukup untuk membayar taruhan itu?"
Dia melihat kepingan token yang menumpuk di atas meja di ruang kartu dan berbalik menghadap pria itu lagi.
" … Ya, tentu saja! Aku yakin dapat mengatakan bahwa putriku adalah wanita tercantik di ibu kota, bukan, kerajaan ini."
Pria itu menelan ludah kering dan berteriak.
"Menurutku yang ini akan lebih menyenangkan. Bagaimana menurut kalian?"
Erich Faber meminta persetujuan dengan ekspresi agak tertarik di wajahnya. Para perwira saling bertukar pandang dan berjalan perlahan menuju ruang kartu tempat pria itu berada sebagai tanggapan.
Bastian menyaksikan sandiwara itu dengan mata setenang malam. Sepertinya dia akhirnya bisa memahami kesenangan unik yang membuat anak-anak dari keluarga bangsawan menjadi pelanggan tetap di rumah judi kelas tiga tersebut.
"Ayo cepat, Bastian!"
Kelompok yang duduk mengelilingi meja kartu mulai memanggil namanya seolah-olah mendesaknya. Sang ayah, yang berhasil menjual putrinya, juga menatapnya dengan mata berbinar.
Bastian menuju ke sana dengan senyum tipis di wajahnya. Begitu kursi terakhir terisi, permainan pun dimulai.
Bastian memeriksa kartu yang diberikan kepadanya sambil menghisap cerutu.
Itu bukanlah kekalahan yang buruk.
 *****
 Suara lonceng tengah malam merasuk ke dalam kesunyian malam yang pekat.
Odette mengangkat kepalanya, tangannya berhenti bekerja dengan tekun. Tira, yang bersikeras membantu, tertidur lelap di atas meja.
Odette menghela napas pelan dan menyelesaikan pekerjaannya. Dia mengumpulkan kerudung setengah jadi dan benang katun, lalu menggosok tangannya yang kaku karena memegang jarum sepanjang hari. Bulan purnama putih muncul di langit malam awal musim semi melalui tirai yang memudar.
"Tira."
Saat dia menepuk bahunya dengan ringan dan memanggil namanya, Tira membuka matanya karena terkejut.
"Apa Ayah masih belum kembali?"
Tira yang melihat sekeliling dengan wajah yang masih mengantuk terlihat sedih.
"Bagaimana jika sesuatu terjadi lagi?"
"Tidak apa-apa. Tidak ada yang akan terjadi."
Odette yang memberikan jawaban tenang, menuntun Tira yang kesulitan menenangkan pikirannya ke kamar tidur.
Kamar yang ditempati kedua saudara perempuan itu terletak di sisi utara, menghadap ke sungai yang mengalir melalui kota. Pemandangan Sungai Prater yang indah dan jembatan angkat sangat bagus, tetapi pada hari-hari seperti hari ini ketika angin sungai bertiup kencang, bingkai jendela tua berderit seolah-olah akan pecah.
"Suara itu sangat mengganggu. Kedengarannya seperti hantu yang sedang menangis."
Tira bergumam dengan cemberut setelah membersihkan diri. Pipinya yang memerah berkilauan di bawah cahaya lampu yang redup.
Odette dengan lembut membelai pipi adiknya yang dingin dengan tangannya yang panas karena gesekan.
Hingga tahun lalu, dia masih bisa tinggal di rumah yang memiliki air panas, namun ayahnya memiliki kendala keuangan sehingga dia harus mencari tempat sewa yang lebih murah. Meski begitu, dia bisa mendapatkan lantai paling atas sebuah bangunan tua di pinggiran kota berkat dana pensiun yang diberikan oleh keluarga kekaisaran. Ketika dia berpikir bahwa dalam skenario terburuk dia mungkin akan ditinggalkan di jalan, bahkan suara mengerikan itu pun terasa manis bagi Odette.
"Sekarang tidurlah."
Odette memberinya ciuman singkat dan memerintah.
"Aku bukan bayimu."
Meskipun dia membalas dengan ketidaksetujuan. Tira dengan patuh berbaring di tempat tidur. Tak lama kemudian, suara dengkuran pelan mulai terdengar.
Odette mematikan lampu dan diam-diam keluar dari kamar. Pertama, dia meletakkan sisa makanan untuk ayahnya di atas meja lalu mengunci pintu. Setelah menyusun dengan cermat daftar kebutuhan sehari-hari yang harus dibeli besok dengan urang hasil penjualan renda, malam semakin larut.
Meski sangat melelahkan hingga ingin segera merebahkan diri ke tempat tidur, Odette tidak lupa membersihkan dirinya, mengenakan piyama lamanya yang sudah dijemur, dan menyisir rambutnya dengan hati-hati.
Ibunya sering berkata, karena kebiasaan, bahwa apapun yang terjadi, mereka tidak boleh kehilangan sedikit pun harga diri. Hal yang sama juga terjadi bahkan setelah dia diturunkan ke posisi yang sangat miskin hingga tidak bisa lagi disebut bangsawan.
Untuk hari ketika mereka kembali ke tempat mereka.
Ibunya, yang berpegang teguh pada harapan seperti iman itu, akhirnya meninggal dunia tanpa bisa lepas dari kenyataan yang menyedihkan. Meskipun Odette memiliki firasat samar bahwa hidupnya juga akan seperti itu, dia tetap tidak ingin menghapus jejak masa lalu yang mengakar kuat dalam dirinya. Bisa dikatakan, ini adalah warisan terakhir yang ditinggalkan oleh ibunya.
Odette mengencangkan kunci jendela, menutup tirai, dan berbaring di samping Tira. Saat dia memejamkan mata dan memeluk adiknya yang sedang tidur, hari yang tidak istimewa itu terasa sangat memuaskan.
Â
*****
Â
Itu adalah sebuah keberuntungan yang tidak diinginkan.
Bastian menatap meja dengan bingung. Empat kartu dengan nomor yang sama. Tidak peduli berapa kali dia memeriksanya, itu adalah kemenangan yang mutlak.
"Oh! Kapten Klauwitz sepertinya telah memenangkan wanita tercantik di kekaisaran?"
"Apa-apaan. Bukankah membawa Dewi Kemenangan ke meja kartu itu curang?"
Anggota kelompok yang memastikan pemenang permainan ini mulai bersorak. Seolah sudah benar-benar melupakan kekalahan mereka. Tenggelam begitu saja dalam kegembiraan yang merangsang dari situasi ini.
Bastian menyentuh keningnya yang berdenyut dan menyingkirkan abu cerutunya yang sudah lama tumbuh. Kemenangan sempurna yang diraihnya dalam permainan judi yang dia lakukan dengan setengah hati agak membingungkan.
"Jadi duke pengemis sedang melihat menantunya sendiri?"
"Baiklah. Sekarang, kau harus membayarnya!"
Para penonton di sekitar mereka mulai mendesak dan mencemooh.
Bastian menatap pria yang duduk di hadapannya dengan tatapan dingin dan mengejek. Dia setengah sadar, mengedipkan mata besarnya. Keringat dingin mengalir di wajahnya yang memerah, menetes ke tangannya yang kurus
"Itu tidak mungkin … Itu, itu tidak benar …."
Dia kini gemetar dan mulai memainkan tangannya yang tidak berarti lagi.
Bastian berdiri dari tempat duduknya. Dia berencana untuk meninggalkan tempat ini sebelum dia terjerat dengan putri pria yang menyedihkan itu, tetapi teman-temannya sepertinya tidak mau melepaskannya.
"Mau kemana? Ambil taruhanmu dengan benar!"
"Benar, Bastian. Ini adalah hak yang harus kamu nikmati."
Perwira yang memegang erat Bastian memanggil para penjaga yang mengawasinya.
"Aku harap dia segera membawa taruhan yang dijanjikan."
Penjaga itu bimbang mendengar apa yang diisyaratkan Erich. Pria itu, yang akhirnya sadar, mulai menangis dan memohon belas kasihan, tetapi semakin dia melakukannya, semakin bersemangat para penonton.
Pemilik yang datang dengan berlari setelah mendengar berita itu memberi perintah tegas. Penjaga itu menghela napas panjang dan akhirnya meninggalkan rumah judi untuk membawa wanita itu.
Bastian kembali duduk di kursinya dan menghisap cerutunya dalam-dalam. Itu adalah kemenangan yang membuatnya merasa tidak nyaman, tapi dia tidak menunjukkannya. Lagipula itu adalah taruhan yang akan dibuang. Pilihan yang paling menguntungkan adalah menyesuaikan diri dengan suasana ini terlebih dahulu dan kemudian diam-diam mengirimnya kembali.
Bastian menghela napas kesal seiring dengan asap cerutunya. Di balik asap tipis yang menyebar, dia bisa melihat sang ayah yang telah menjual putrinya kepadanya.
Pria yang dipanggil Duke Pengemis itu menangis keras seperti anak kecil.