Sore itu, Arga duduk di sudut sebuah kedai tua, menunggu dengan sabar. Ia tahu bahwa sebentar lagi, Wirya akan mengambil langkah pertamanya. Tidak butuh waktu lama sebelum seorang pria berbadan besar mendekatinya dengan tatapan tajam.
"Wirya mengundangmu ke perjamuan malam ini," kata pria itu tanpa basa-basi.
Arga tersenyum tipis. "Menarik. Aku akan datang."
Di balik tatapan tenangnya, pikirannya sudah bergerak cepat. Ia tahu ini jebakan, tetapi ia juga tahu bahwa permainan ini bukan hanya tentang bertahan, melainkan tentang mengambil kendali.
Malam itu, di rumahnya, Sari berdiri di depan cermin, jemarinya menyentuh lehernya dengan ragu. Ada sesuatu yang membara dalam dirinya sejak pertemuan terakhir dengan Arga. Ia mencoba menepis pikiran itu, tetapi setiap kali mengingat tatapannya, tubuhnya memanas.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Arga berdiri di sana dengan ekspresi penuh percaya diri. Sari terkejut, tetapi tidak bergerak. Ia tahu bahwa jika ia mengusir pemuda itu, hatinya sendiri akan berteriak menolaknya.
Arga mendekat, matanya menelusuri wajah Sari dengan penuh ketertarikan. "Kakak terlalu cantik untuk disia-siakan oleh pria yang tak bisa menghargaimu."
Sari menahan napas. Ia tahu ini salah, tetapi Arga memiliki cara untuk membuatnya lupa segalanya. Jemari pemuda itu menyentuh dagunya, membuatnya meneguk ludah dengan gugup. Sebelum ia bisa berkata apa pun, bibir Arga sudah begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya.
Namun, sebelum sesuatu terjadi, suara langkah kaki terdengar di luar. Sari terlonjak mundur, wajahnya memerah. Arga hanya tersenyum, lalu berbisik, "Malam ini akan jadi awal dari segalanya."
Ia pergi, meninggalkan Sari dalam kebingungan dan jantung yang berdegup kencang.
Di luar, Wirya berdiri di kegelapan, matanya menyipit curiga. Malam ini, ia akan memastikan apakah dugaannya benar.