Kegelapan menggantung di langit, bukan seperti malam, tetapi seperti tirai yang setengah tersingkap, seakan realitas sendiri enggan memperlihatkan kebenaran yang tersembunyi. Valeria dan Magnus melangkah melewati celah realitas, meninggalkan dunia yang dikenal, dan memasuki tempat yang seharusnya tidak ada.
Kota itu berdiri di hadapan mereka—megah, terstruktur, namun salah dalam cara yang sulit dijelaskan. Gedung-gedung menjulang, lampu jalan berpendar keemasan, dan jalanan tampak bersih seperti baru digunakan, namun tak ada suara kendaraan, tak ada riuh kehidupan yang biasa memenuhi pemukiman manusia. Udara terasa berat, seolah-olah realitas di tempat ini lebih padat dari yang seharusnya.
Magnus menyapu pandangan ke sekitar, rahangnya mengeras. "Ini… bukan sekadar kota terisolasi. Ini sesuatu yang lebih."
Valeria mengangguk pelan. "Bukan hanya terisolasi, Magnus. Kota ini tidak seharusnya ada."
Mereka melangkah ke jalan utama, langkah kaki mereka bergema lebih keras dari seharusnya di atas aspal. Gedung-gedung di sekitar mereka terasa mengawasi, bayangan-bayangannya bergerak seolah memiliki kehendak sendiri. Ketika mereka berhenti sejenak untuk mengamati lingkungan, Valeria menyadari sesuatu yang mengganggu—bentuk bangunan berubah saat tidak dilihat langsung. Sebuah sudut toko yang semula persegi kini melengkung, jendela yang tadinya berbentuk bulat kini menjadi persegi panjang. Namun saat mereka menatapnya langsung, semuanya kembali seperti semula.
"Kota ini tidak stabil," gumam Valeria. "Ini bukan hanya tempat yang dilupakan, tapi sesuatu yang terus berubah."
Mereka berjalan lebih dalam, hingga akhirnya melihat seorang pria tua berdiri di tengah jalan. Kulitnya pucat, matanya kosong, namun bibirnya bergerak pelan. Magnus mendekat dan berbicara dengan nada hati-hati. "Anda tinggal di sini?"
Pria tua itu mengerjapkan mata, seolah baru menyadari keberadaan mereka. "Tinggal di mana?"
Valeria menajamkan pandangan. "Di sini. Di kota ini."
Pria itu terdiam lama sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang hampir berbisik. "Aku… di sini, ya?" Ia menatap sekelilingnya, lalu kembali menatap mereka dengan ekspresi bingung. "Tentu saja aku tinggal di sini. Semua orang tinggal di sini."
"Sejak kapan?" tanya Magnus cepat.
Pria itu mengernyit. "Aku… Aku tidak tahu. Aku ada di sini, dan aku tetap di sini."
Valeria dan Magnus bertukar pandang. Ini bukan sekadar amnesia biasa—ini adalah absennya eksistensi masa lalu. Mereka berjalan lebih jauh, menemukan lebih banyak penduduk, dan semuanya sama. Mereka tahu nama mereka, mereka tahu bahwa mereka ada, tetapi mereka tidak tahu sejak kapan atau bagaimana mereka sampai di kota ini.
Seorang wanita muda yang mereka temui memperkenalkan dirinya sebagai Eleanor. "Kami berbicara satu sama lain, kami bekerja, kami hidup… tapi tidak ada yang ingat sejak kapan kami mulai."
Valeria menatap Eleanor tajam. "Apakah pernah ada seseorang yang pergi dari kota ini?"
Eleanor menggigit bibirnya, matanya menyapu jalan kosong di sekitar mereka. "Tidak ada yang pernah pergi."
"Apakah ada yang mencoba?" Magnus bertanya.
Eleanor terdiam lama sebelum akhirnya berkata, "Aku… tidak tahu. Jika ada, aku tidak mengingatnya."
Kota ini bukan hanya tempat yang dilupakan—ini adalah ruang yang melupakan. Ia menghapus masa lalu, mereset eksistensi para penduduknya, dan menahan mereka dalam stagnansi yang tidak wajar.
Valeria merasakan sesuatu bergerak di pinggiran kesadarannya, sesuatu yang berbisik dari balik realitas kota ini. Ia menoleh ke sebuah gang sempit di antara dua gedung tinggi, dan matanya menyipit. Ada bayangan di sana, sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Magnus merasakan perubahan atmosfer dan mengikuti tatapan Valeria. "Ada yang memperhatikan kita."
Valeria melangkah maju, cahaya ungu di matanya berpendar. Ia mendekati gang tersebut, tapi begitu ia mengalihkan pandangan sejenak, bentuk bangunan di sekitarnya berubah. Gang yang tadinya sempit kini menjadi lebih lebar, dan bayangan yang berada di dalamnya telah menghilang.
"Ada sesuatu yang bersembunyi di sini," kata Valeria lirih.
"Bukan hanya bersembunyi," Magnus mengoreksi. "Mereka mengamati."
Mereka menyadari bahwa penyelidikan ini tidak akan sesederhana yang mereka kira. Kota ini memiliki hukum realitasnya sendiri, dan entitas yang bersembunyi di dalamnya belum memperlihatkan niat mereka.
"Valeria," Magnus berkata dengan nada lebih rendah, "ini bukan hanya kota yang dilupakan. Ini adalah sesuatu yang ingin tetap tersembunyi."
Valeria mengangguk perlahan, tatapannya tetap tertuju pada kegelapan yang tampak bergerak di pinggiran realitas mereka. Mereka baru saja tiba, namun satu hal sudah pasti—kota ini bukan hanya tentang ingatan yang hilang. Ada sesuatu di balik layar realitas yang mengendalikan semuanya, dan mereka harus menemukannya sebelum mereka sendiri menjadi bagian dari yang terlupakan.