Chereads / The Lurking Threshold / Chapter 2 - Chapter 02: Judgment in the Shadow of the Void

Chapter 2 - Chapter 02: Judgment in the Shadow of the Void

Suara jam berdetak dalam kesunyian yang melingkupi aula besar itu. Udara di dalamnya berat, seperti dipenuhi oleh sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri. Cahaya lilin berkelap-kelip, melemparkan bayangan panjang yang menari di dinding, menciptakan ilusi makhluk-makhluk tak berbentuk yang mengintai dari celah realitas.

Di tengah ruangan, duduk dalam lingkaran yang ditandai dengan simbol-simbol kuno, tujuh individu menatap satu sosok yang baru saja kembali dari keterasingannya. Mata mereka, tajam dan gelap, penuh dengan pertanyaan, tuntutan, dan kecurigaan.

Valeria Nacht berdiri di tengah mereka, sosoknya tetap tak berubah meskipun berabad-abad telah berlalu. Jubah hitam panjangnya seakan menyerap cahaya, membuatnya tampak lebih seperti siluet daripada manusia. Namun, yang paling mengganggu bukanlah kehadirannya, melainkan ketidakhadirannya selama delapan abad terakhir—sebuah kekosongan yang telah meninggalkan luka mendalam di dunia.

Dan kini, mereka menuntut jawaban.

"Delapan ratus tahun," suara Cornelius Faust, berat dan dingin, memecah keheningan seperti pecahan kaca yang menusuk daging. "Kau menghilang selama delapan abad penuh... Dan kini kau kembali, seakan-akan tidak terjadi apa-apa?"

Seraphine Vale, yang duduk dengan anggun di ujung lingkaran, menatap Valeria dengan ekspresi datar. Dia tidak berbicara, tetapi tatapannya cukup untuk menyampaikan segala sesuatu yang tidak perlu diucapkan.

"Kau mungkin tidak peduli," lanjut Ophelia Rainsworth, suaranya tajam seperti pisau bedah. "Tapi dunia ini tidak berhenti berputar hanya karena kau memilih untuk menghilang. Ketidakhadiranmu... telah merusak keseimbangan."

"Tidak," Victor D'Ambray menyela, nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan. "Bukan hanya merusak. Kau telah membuka celah. Celah yang mengundang sesuatu... sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada di sini."

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, memperlihatkan lingkaran hitam di bawah matanya, tanda malam-malam panjang tanpa tidur. "Kau mungkin belum melihatnya, Valeria. Tapi di luar sana, di sudut-sudut realitas yang mulai retak, entitas-entitas yang bahkan tidak memiliki nama telah merayap masuk. Mereka membisikkan hal-hal yang seharusnya tidak pernah didengar manusia. Dan semua itu... semua itu dimulai saat kau menghilang."

Langit-langit aula tampak lebih tinggi dari seharusnya, seakan-akan dinding-dindingnya bergeser, meluas secara perlahan. Ataukah itu hanya ilusi? Valeria tidak tahu.

Dia menghela napas, menatap mereka satu per satu. "Kalian menganggap aku penyebab dari semua ini?"

Raphael Noir, yang selama ini diam, akhirnya membuka mulutnya. "Bukan hanya kami yang menganggapnya. Dunia itu sendiri yang mengatakannya. Sejak kau menghilang, hukum realitas mulai terdistorsi. Kota-kota yang tidak pernah ada tiba-tiba muncul di peta. Bayangan bergerak sendiri. Orang-orang mengingat peristiwa yang tidak pernah terjadi. Dan kemudian, ada ekstasi-ekstasi itu..."

Keheningan mendadak menyelimuti ruangan, seolah-olah kata-kata itu sendiri membawa kutukan.

Ekstasi.

Sebuah fenomena yang tidak dapat dijelaskan. Makhluk-makhluk yang lahir bukan dari daging dan darah, tetapi dari absurditas realitas yang pecah. Mereka adalah kilasan-kilasan dari dunia yang seharusnya tidak pernah ada, serpihan-serpihan pikiran yang mewujud menjadi sesuatu yang nyata.

Mereka tidak mengikuti hukum waktu atau ruang. Mereka tidak berbicara dengan bahasa manusia. Mereka hanya... ada. Dan kehadiran mereka menghancurkan segala sesuatu yang bersentuhan dengan mereka.

"Mereka bukan sesuatu yang bisa dijelaskan," lanjut Raphael. "Dan mereka terus bertambah banyak. Apakah kau tahu berapa banyak yang telah hancur hanya dalam satu abad terakhir? Kota-kota menghilang dalam semalam. Orang-orang... lenyap. Bukan mati, bukan terbunuh. Mereka hanya... menghilang. Seakan mereka tidak pernah ada."

Alistair Graves, yang sejak awal hanya mengamati, akhirnya berbicara dengan suara rendah, "Dan semua ini, Valeria... Semua ini dimulai setelah kau pergi."

Keheningan itu menggantung di udara, tebal seperti kabut hitam.

Valeria tetap berdiri di tempatnya, matanya menatap kosong ke lantai seakan mencari jawaban di dalam bayangannya sendiri.

Dia tidak tahu.

Dia benar-benar tidak tahu.

Selama delapan abad terakhir, dia tidak ada di dunia ini. Dia tidak berada di antara mereka, tidak menyaksikan kehancuran yang perlahan-lahan merayap ke dalam realitas mereka. Namun, apakah itu berarti dia bertanggung jawab?

Dia mengangkat kepalanya, menatap mereka semua dengan tenang. "Jika kalian menganggap aku sebagai penyebabnya, maka kalian harus tahu... aku sendiri tidak memiliki jawaban."

Lucien Vaillant, muridnya yang paling setia, akhirnya berbicara. "Tetapi kau adalah satu-satunya yang mungkin bisa memperbaikinya."

Matanya memancarkan kepercayaan yang tidak tergoyahkan, sesuatu yang hampir terasa menyakitkan bagi Valeria.

Dia tidak ingin bertanggung jawab atas dunia ini.

Dia tidak ingin menjadi penyelamat atau penghancur.

Namun, dia tahu... dia tidak punya pilihan.

"Kalau begitu," Magnus Crowley, yang sejak awal diam, akhirnya berbicara. "Dari mana kita harus memulai?"

Suara itu bukanlah pertanyaan. Itu adalah pernyataan.

Sebuah keputusan.

Sebuah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari mereka semua.

Dan entah mengapa, di suatu tempat jauh di dalam kegelapan yang bersembunyi di celah realitas... sesuatu tertawa.

Sebuah suara yang tidak seharusnya ada.

Namun kini, ia telah bangun.