Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Lie Huo Jiao Chou

Elhafasya
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
108
Views
Synopsis
Author: Priest Genre: Action, Fantasy, Mystery, Shounen Ai, Supernatural ! terjemahan dari raw, menggunakan mtl yang diedit ! Di era saat ini, manusia ada yang normal atau memiliki 'kemampuan khusus'. Kasus-kasus yang terkait dengan kemampuan khusus ini ditangani oleh "Badan Pencegahan dan Pengendalian Anomali Nasional dan Pengelolaan Spesies Khusus". Kaisar Qi Zheng Sheng Lingyuan bangkit kembali seribu tahun kemudian setelah ia melompat dari Danau Merah yang berapi-api. Xuan Ji, seorang staf yang baru dipindahkan ke Divisi Reparasi Kantor Pengawasan Deviant, mendapati dirinya harus membersihkan kekacauan yang ditimbulkan oleh raja tiran yang dihidupkan kembali. Keduanya tampaknya berbagi sesuatu dari masa lalu, tetapi tanpa mereka sadari, sebuah konspirasi besar tengah terjadi tepat di bawah hidung mereka yang dapat menghancurkan keseimbangan dunia.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 0

Pada tahun ke-21 Qizheng dari Dinasti Daqi*, saat musim Shuangjiang (turunnya embun beku).

*Da Qi: Qi besar/agung

Di jalan utama, sekelompok ksatria menunggang kuda dengan kecepatan tinggi, tubuh mereka dan kuda-kuda mereka sudah dipenuhi debu perjalanan. Tiba-tiba, ksatria muda yang memimpin di depan berteriak, "Perbatasan sudah di depan!"

Di pinggir jalan, tampak sebuah batu prasasti setinggi lebih dari satu zhang (se. Di atasnya terukir barisan huruf merah darah yang melayang liar, dipenuhi aura mengerikan:

"Chiyuan, makhluk hidup dilarang melintas. Siapa pun yang masuk tanpa izin akan dihancurkan hingga tak bersisa."

*Chiyuan (赤渊) secara harfiah berarti "Jurang Merah" atau "Kawah Merah" dalam bahasa Mandarin. Dalam konteks cerita ini, Chiyuan tampaknya merujuk pada sebuah tempat terlarang dan berbahaya, yang mungkin berupa jurang, lembah, atau kawah yang memiliki sejarah kelam—tempat di mana terjadi peperangan besar, banyak nyawa melayang, dan arwah penuh dendam berkumpul.

Di depan batu prasasti itu, seorang jenderal paruh baya telah menunggu bersama sekelompok pengawal. Para pengawal mengenakan baju besi dan membawa senjata tajam, berdiri dalam formasi rapi, lalu serempak berlutut, seraya berseru:

"Salam hormat kepada Yang Mulia Putra Mahkota!"

"Hiyah—!"

Ksatria muda yang memimpin lompatan turun dari kudanya. Namun, karena kudanya belum sepenuhnya berhenti, tubuhnya sedikit oleng ke depan. Jenderal yang menunggu segera maju dan menopangnya.

"Yang Mulia, hati-hati."

"Tidak apa-apa." Pemuda itu melambaikan tangannya dengan santai, lalu bertanya, "Ayah… eh, dimana Ayah kaisar?"

Belum selesai ucapannya, ia sudah mendengar seseorang memanggil nama kecilnya dari kejauhan.

"Xiao Tóng'er, kemarilah."

Putra Mahkota muda menoleh ke arah suara itu. Yang berbicara adalah seorang pria berpakaian hitam pekat, berdiri membelakangi semua orang, berada di sisi lain prasasti bertuliskan "Siapa yang masuk akan mati."

Putra Mahkota melirik sekilas tulisan merah darah di prasasti itu. Tanpa ragu sedikit pun, layaknya anak sapi baru lahir yang tak takut harimau, ia menerobos melewati batas itu dan berlutut di hadapan pria berbusana hitam tersebut.

"Erchen*…"

*"儿臣" (érchén) adalah istilah yang digunakan oleh seorang putra atau putri kaisar ketika berbicara dengan ayah atau paman mereka yang berkedudukan sebagai kaisar. Secara harfiah, "儿" berarti "anak" dan "臣" berarti "hamba/pelayan," sehingga "儿臣" dapat diartikan sebagai "hamba, putramu" atau "anakmu yang setia sebagai pelayan" dalam konteks penghormatan terhadap kaisar.

Pria berpakaian hitam itu mengulurkan tangan, dengan gerakan ringan mengangkat Putra Mahkota berdiri kembali.

"Berdirilah, tidak perlu berlutut."

Kata-kata dan tindakan pria itu tenang dan lembut, dan setiap gerakannya menunjukkan sikap yang mendalam. Dari belakang, ia tampak cukup tua, tetapi ketika ia berbalik, ia menunjukkan wajah muda tanpa tanda-tanda penuaan, yang agak aneh dan tidak sesuai.

Hanya dengan melihat wajah ini, tidak seorang pun akan mengira bahwa dia adalah Kaisar Qi Zheng, Sheng Xiao, yang telah berkuasa selama dua puluh satu tahun.

Alisnya seperti pedang dengan puncak yang tidak mencolok, yang miring ke pelipisnya. Sudut matanya sedikit terkulai, yang membuatnya tampak lembut dan penuh kasih sayang. Dia memiliki wajah yang tampan dan rupawan.

Sang pangeran berdiri dan memanggil dengan lembut, "Paman."

Ternyata sang pangeran bukanlah putra kandung Kaisar Qi Zheng. Sheng Xiao tidak memiliki anak, jadi ia mengadopsi anak yatim piatu milik saudaranya dan mengangkat keponakannya sebagai putra mahkota. Kaisar Qi Zheng pada dasarnya menyendiri dan dingin, dan tidak suka dekat dengan orang lain. Oleh karena itu, di depan umum, Putra Mahkota memanggilnya "Ayah Kaisar" sesuai dengan etiket, tetapi secara pribadi, mereka berdua masih saling memanggil sebagai paman dan keponakan.

Sheng Xiao berkata kepada Pangeran, "Berjalanlah denganku ke sisi lain dari penanda batas, apakah kau takut?"

Putra Mahkota berkata, "Hamba tidak takut! Kudengar saat muda, Paman menaklukkan Chiyuan, menekan para iblis, menebas sejuta pasukan hantu, dan memulihkan negeri kita. Meskipun aku tidak bisa menyamai seperseratus atau seperduamu, aku tidak berani bicara soal ketakutan dan mencoreng nama besarmu."

"Nama besar apa? Yang ada hanya nama buruk." Sheng Xiao tersenyum santai, tampak tidak terlalu memedulikannya, lalu melangkah ke depan. "Kau mendengarnya?"

Putra Mahkota menajamkan pendengarannya, miringkan kepala, dan mendengarkan dengan saksama. Namun, dunia sunyi senyap, hanya suara angin yang terdengar. Ia pun bingung dan berkata, "Anak ini tidak mendengar apa pun."

Kaisar Qizheng tersenyum. "Benar, tidak ada apa-apa lagi."

Putra Mahkota tertegun sejenak, lalu tiba-tiba teringat sebuah legenda yang pernah didengarnya saat kecil—konon, di lautan api Chiyuan tersegel sejuta arwah para prajurit yang gugur dalam perang. Dendam mereka membubung tinggi ke langit, menyebabkan angin kencang yang tak pernah berhenti sepanjang tahun di jurang besar itu. Orang yang berdiri di luar prasasti perbatasan seharusnya bisa mendengar jeritan dan tangisan memilukan dari dalam.

Namun sekarang, ia berjalan dengan tenang di dalam perbatasan, dunia di sekelilingnya sunyi senyap. Selain udara yang panas dan menyesakkan, tidak ada hal yang terasa menakutkan.

Putra Mahkota berpikir, Legenda rakyat memang selalu dilebih-lebihkan dan disebarkan secara keliru.

Begitu melewati batas prasasti dan berjalan kurang dari seratus meter, gelombang panas langsung menyambarnya. Saat ini sudah memasuki akhir musim gugur, Putra Mahkota hanya mengenakan pakaian tipis berlapis, namun keringatnya telah membasahi seluruh tubuh. Butiran keringat mengalir dari pelipisnya, tetapi ia diam-diam melirik pamannya dan menahan diri untuk tidak mengusapnya.

Nama Kaisar Qizheng memang tidak terlalu baik. Para seniman jalanan menggambarkannya sebagai orang gila yang berubah-ubah tanpa alasan. Mereka mengatakan bahwa ia lahir di tengah genangan darah ayah dan kakaknya, membawa pertanda buruk sejak lahir.

Mereka juga mengatakan bahwa ia membunuh ibunya, membunuh gurunya, membakar kitab-kitab, membungkam suara rakyat, memelihara penjilat, mengobarkan perang tanpa henti, dan menindas para pejabat setia.

Namun, di hati Putra Mahkota yang masih muda, pria itu adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya.

Apa pun yang terjadi, pria ini selalu tenang dan lembut, tak pernah berbicara dengan nada tajam, tak pernah terlihat berantakan. Sejak kecil, Putra Mahkota selalu mengaguminya. Kini, sebagai pewaris takhta berusia delapan belas tahun, ia sudah mampu menarik busur terberat dan menjalankan pemerintahan dengan baik. Namun, seperti saat ia masih kecil, tatapannya tetap tanpa sadar mengikuti sosok pria itu dari belakang.

Keduanya melewati lebih dari satu li dari prasasti perbatasan. Sheng Xiao berhenti. Di tempat ini, bau belerang mulai menyengat, membuat Putra Mahkota merasa sesak dan sulit bernapas.

**Satu li (里) adalah satuan panjang tradisional Tiongkok. Dalam sistem modern, 1 li kira-kira setara dengan 500 meter (0,5 km).

"Tahun ini, kita cukup sampai di sini. Lebih jauh lagi, panasnya bisa melukai tubuh."

Putra Mahkota tidak mengerti. "Tahun ini?"

"Ya, tahun ini."

Sheng Xiao mengulurkan tangan dan mencabut pedang milik Putra Mahkota. Di bilah pedang itu terukir jimat pelindung. Saat disapu angin panas dari Chiyuan, ukiran jimat itu berpendar merah. Sheng Xiao menancapkan pedang itu ke tanah.

"Ini hal pertama yang harus kau ingat, dan yang paling penting. Aku telah berurusan dengan Chiyuan sepanjang hidupku, akhirnya ada sedikit hasil. Jika perkiraanku tepat, pedang ini bisa maju lima li setiap tahun. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, api Chiyuan akan padam sepenuhnya. Saat itu, angin panas akan reda, dan pedang ini akan mencapai tepi jurang. Kau bisa menugaskan orang dari Biro Qingping untuk berjaga di sini secara permanen."

*"清" (qīng) berarti "jernih" atau "damai.", "平" (píng) berarti "tenang" atau "stabil." Kemungkinan adalah sebuah lembaga yang bertugas menjaga ketertiban atau mengawasi sesuatu, mungkin semacam departemen pengelola wilayah atau pasukan khusus.

Putra Mahkota tertegun, samar-samar menangkap sesuatu dari kata-kata pamannya. "Paman… ah, Ayah Kaisar, kau…"

Sheng Xiao dengan tenang berkata, "Aku akan menyerahkan takhta kepadamu."

Putra Mahkota langsung berlutut dengan suara "bug" yang terdengar jelas.

Sebenarnya, dalam hatinya, ia sudah sedikit bersiap. Dalam setahun terakhir, Kaisar Qizheng telah dua kali melakukan inspeksi ke berbagai wilayah untuk meredam gejolak, sementara itu, ia menyerahkan urusan pemerintahan kepada Putra Mahkota, perlahan-lahan melepaskan kendali atas urusan dalam negeri, dengan rapi merintis jalan bagi penerusnya.

Namun, ketika hari itu benar-benar tiba, pewaris muda itu tetap merasa panik, tidak tahu harus berbuat apa.

"Apa yang perlu kuajarkan padamu, sudah kuajarkan." Sheng Xiao berkata tanpa menoleh, berbicara seolah-olah hanya pada dirinya sendiri. "Adapun hal lainnya... Zhang Bo dan Kong Yu bisa kau andalkan. Zhao Kuan masih di penjara, dia dijebak. Bebaskan dia, pulihkan nama baik keluarga Zhao. Dia akan bekerja keras untukmu setelahnya."

"Seorang anak tidak membicarakan kesalahan ayahnya. Jika kelak kau merasa tak pantas menjelek-jelekkan aku, jadikan saja Yang Dong sebagai kambing hitam—dia memang pengkhianat yang merusak negeri. Bertahun-tahun ini, dia hidup bergelimang harta dan kuasa, itu sengaja kubiarkan… agar jadi 'hadiah tahun baru' untukmu."

Putra Mahkota bersujud dalam-dalam ke tanah. "Ayah Kaisar masih dalam puncak kejayaan…"

Senyum tipis muncul di wajah Sheng Xiao. "Kenapa? Kau ingin aku tetap memegang kekuasaan sampai tua renta, atau menunggu sampai aku masuk liang kubur? Pamanmu ini sudah setengah hidup mengkhawatirkan segalanya, kasihanilah aku sedikit—surat perintah penyerahan takhta, Zhang Bo dan Feng Chun masing-masing memegang satu salinan. Lao Feng itu adalah sahabat karib ayahmu semasa hidup. Dia akan melindungimu, jadi jangan takut."

*Lao Feng: Feng Tua>merujuk ke Feng Chun

Mata Putra Mahkota memerah.

Sheng Xiao berdiri dengan tangan di belakang, menatap ke arah Chiyuan. Tiba-tiba, dia bertanya, "Masih ingat bagaimana orang tuamu meninggal?"

"Anak ini tak pernah berani melupakannya, walau hanya sehari." 

"Itu bagus." Sheng Xiao mengangguk sedikit. "Kau sudah dewasa, tahu ke mana harus melangkah. Ayo pergi. Api Chiyuan akan padam, tapi masih menyisakan panasnya. Tinggal lebih lama di sini hanya akan melukai tubuh." 

"Lalu kau…?"

"Aku akan tinggal beberapa hari lagi," Sheng Xiao melambaikan tangannya, tidak banyak bicara, hanya berkata, "Negara tidak bisa tanpa raja, urusan di ibu kota sangat rumit. Cepatlah kembali."

Kaisar Qizheng selalu berkata dan langsung bertindak, Putra Mahkota tidak berani menentang titahnya. Ia hanya bisa pergi dengan langkah berat, terus-menerus menoleh ke belakang. Saat sampai di prasasti perbatasan, ia tak bisa menahan diri untuk kembali melihat pria itu—Sheng Xiao tengah duduk bersila di depan pedangnya.

Sesaat, perasaan seolah-olah ini adalah perpisahan terakhir tiba-tiba muncul dalam hati Putra Mahkota. Namun, ia segera menggelengkan kepala, mengira itu hanya akibat kepanasan. Ia berlutut di depan prasasti, memberi penghormatan dengan penuh tata krama pada sosok pria berbaju hitam itu, lalu bergegas kembali ke ibu kota, menuju takdirnya. 

.....

Setelah melepas kepergian Putra Mahkota, Sheng Xiao memerintahkan para pengawal untuk kembali ke penginapan resmi dan menunggu perintah. Hanya satu pengawal pribadi yang tetap tinggal di sisinya.

Malam perlahan menyelimuti langit. Pengawal itu berjalan mendekati Sheng Xiao dari belakang. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, ia berlutut dan menggulung tubuhnya. Potongan-potongan baju zirah jatuh dari tubuhnya, dan dalam sekejap, jubahnya melorot ke tanah. Dari balik pakaian itu, seekor burung mungil seukuran telapak tangan muncul, lalu mendekat ke sisi Sheng Xiao. 

"Oh, benar," Sheng Xiao mengulurkan jari, menggaruk lembut leher burung itu. Ia kemudian menarik keluar seutas benang emas yang sangat halus dari bulu di lehernya. "Nyaris saja aku melupakanmu."

Benang emas itu berkilauan dengan ukiran rumit, seolah menyatu dengan leher burung itu. Sheng Xiao dengan ringan mencubitnya, dan dalam sekejap, benang emas itu hancur di ujung jarinya. 

Tiba-tiba, burung kecil itu mendongakkan kepalanya, tubuhnya membesar lebih dari sepuluh kali lipat, dan sayapnya terbentang dengan cepat. Ia mengangkat lehernya dan melengking panjang, mengguncang gugusan bintang di langit malam selatan—ternyata, itu adalah seekor bifang muda! 

*毕方 (Bìfāng) adalah makhluk mitologi dalam kepercayaan Tiongkok, digambarkan sebagai burung api dengan satu kaki yang membawa pertanda kebakaran.

Sheng Xiao berdiri dan berkata, "Mulai sekarang, kau tak perlu lagi mengawasiku, juga tak perlu tunduk padaku. Kita berdua… akhirnya bebas."

Bifang kecil melangkah maju dengan ragu, lalu dengan hati-hati menggigit ujung jubahnya. 

Pria itu menoleh sekilas. Bifang kecil bertemu dengan tatapannya, tubuhnya gemetar sedikit, lalu dengan canggung melepaskan gigitannya. 

Sheng Xiao melepas mahkotanya dan dengan sembarangan meletakkannya di kepala burung itu. Setelah itu, ia menanggalkan stempel kekaisaran, cincin giok, jimat giok, dan benda-benda lainnya satu per satu. Terakhir, ia melepaskan sebuah liontin giok berbentuk manusia dari lehernya. Ia menatapnya sebentar, lalu melemparkannya ke samping tanpa ragu. 

Entah mengapa, bifang kecil langsung mengembangkan bulunya, tampak panik. Ia buru-buru mengejar benda itu dan dengan hati-hati menggigit liontin giok di mulutnya. Ketika ia kembali melihat ke depan, pria itu sudah berjalan menjauh dengan rambut terurai berantakan. 

Menuju ke arah Chiyuan.

Bifang kecil memekik cemas. Ia tak lagi peduli pada liontin giok dan segera mengepakkan sayapnya, terbang mengejar. 

Chiyuan terbentang dengan retakan yang membelah tanah sejauh ribuan li. Di bawahnya, magma bergejolak dengan liar, sementara kedua tepinya tandus tanpa sehelai rumput pun. Saat mendekati tebing Chiyuan dalam jarak seratus meter, tiba-tiba sayap bifang terbakar api hitam. Ia menjerit kesakitan, jatuh berguling di tanah, hampir menjadi ayam panggang. Tak lagi mampu mendekat. 

Sementara itu, Sheng Xiao telah melangkah semakin dekat ke tepi jurang. Lengan jubah dan sepatu panjangnya sudah hangus dan menghitam. Retakan mulai muncul di wajahnya yang selama ini setenang topeng—dan dari celah itu, samar-samar tersirat kegembiraan serta kegilaan.

Masih lebih baik menjadi manusia biasa. 

Hidup manusia hanya sekejap. Baik penderitaan maupun kebahagiaan, semuanya hanya berlangsung puluhan tahun. Rasa sakit yang bisa dirasakan tubuh pun terbatas—sering kali, sebelum sempat benar-benar merasakan sakit, orangnya sudah terbebas. 

Tapi mereka… mungkin masih harus menanggung sedikit penderitaan.

Bifang kecil menjerit tajam dengan suara memilukan. Sheng Xiao melompat ke dalam lautan api. 

Angin panas menerjang seperti kobaran api, membakar kulit dan dagingnya hingga cepat berubah menjadi arang. Dari rambut hingga kulit, semuanya terbakar lapis demi lapis. Pembuluh darahnya meledak dalam tubuh, menembus kulit yang hangus. Darahnya mendidih, seluruh meridiannya putus tanpa sisa. Ia terbatuk mengeluarkan segumpal abu—entah itu berasal dari jantung atau paru-parunya.

Tubuhnya kemudian menghantam magma yang bergejolak di bawah. Permukaan magma dilapisi kerak keras, namun tubuhnya terlalu kuat—bahkan setelah jatuh dari tebing setinggi puluhan ribu zhang, tubuh itu tetap utuh. Hanya tulang punggungnya yang patah hingga terlipat, menghantam dan menghancurkan kerak magma. 

Api berkobar tinggi, menjulang seperti panji-panji. Magma yang mampu melelehkan emas dan mencairkan giok pun terbuka, lalu menelannya bulat-bulat. 

Namun sampai saat itu, ia tetap belum mati.

Seandainya seseorang bisa mengalami secara nyata bagaimana rasanya tubuhnya dihancurkan hingga menjadi abu, maka segala hal di dunia yang disebut "terukir di tulang dan tertanam di hati" mungkin tak lebih dari debu yang menempel di atas batu.

Seluruh perjalanan hidupnya—asal-usul, suka dan duka, amarah serta kegembiraan—semuanya ikut menguap bersama kesadarannya yang luluh, direbus kering dan dimurnikan oleh kobaran api.

Pada hari itu, tawa terus bergema di dalam jurang api. 

Hingga akhirnya, sisa-sisa tubuh yang tak kunjung habis terbakar perlahan tenggelam, dan magma yang sempat bergolak kembali tenang.

.....

Kaisar Wu dari Qi, Sheng Xiao, putra bungsu Kaisar Ping. 

Kaisar Ping tewas dalam pertempuran di Chiyuan, dibunuh oleh kaum iblis. Setelah kelahirannya, Sheng Xiao naik takhta menggantikan ayahnya. Masa mudanya penuh penderitaan dan pengembaraan. Pada usia dua puluh tiga, ia membunuh Raja Iblis di bawah kota Yong'an, mengubah tahun penanggalan menjadi Qizheng, memulihkan negeri, menstabilkan perbatasan—kejayaannya setara dengan lima kaisar besar, namun juga dikenal kejam, gemar membantai, serta melanggar tatanan moral. 

Ia memerintah selama dua puluh satu tahun, kemudian mengakhiri hidupnya sendiri di dalam magma Chiyuan, tanpa meninggalkan jasad. 

Kaisar Wen naik takhta. Sepuluh tahun kemudian, api di Chiyuan padam dan jurang itu menjadi tenang. Kaisar Wen merobohkan batu perbatasan dan mendirikan makam bagi Kaisar Wu.

Samudra berubah menjadi ladang mulberry*, seribu tahun berlalu, dan di atas abu Chiyuan tumbuh hutan yang luas. 

*"沧海桑田" adalah idiom yang berarti perubahan besar seiring berjalannya waktu, sering diterjemahkan sebagai "dunia yang terus berubah" atau "perubahan besar dalam sejarah."

Hutan purba di ngarai besar Chiyuan kini telah menjadi kawasan wisata nasional kelas 5A*.

*Dalam konteks wisata di Tiongkok, "5A级景区" (5A jí jǐngqū) mengacu pada tingkat tertinggi dalam sistem peringkat objek wisata nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tiongkok. Sistem ini dimulai dari 1A (terendah) hingga 5A (tertinggi) untuk mengklasifikasikan destinasi wisata berdasarkan daya tarik, pengelolaan, serta kenyamanan bagi wisatawa.

Deng— 

Dari kedalaman bumi, tiba-tiba muncul getaran tanpa sebab. Lalu, terdengar gumaman samar yang menimbulkan kegelisahan, semakin riuh, terbawa oleh suatu ritual yang tak diketahui, menusuk ke dalam lautan kesadarannya seperti jarum baja.

Suara… apa ini? 

Siapa yang berani lancang membuat kegaduhan?

"Aku rela mengorbankan segalanya..." 

"Menjadikan tubuh ini sebagai perantara... sebagai perantara..."

"Di bawah mata air Jiuyou*, para dewa dan iblis kuno..." 

"Iblis..." 

*Jiuyou (九幽) secara harfiah berarti "Sembilan Kegelapan" dan sering merujuk pada dunia bawah atau alam arwah dalam mitologi Tiongkok.

Kesadarannya terusik oleh kebisingan yang gaduh, sejenak ia merasa bingung. 

Sebelum pikirannya sepenuhnya jernih, indranya sudah lebih dulu mengkhianati kehendaknya. Pancaindranya yang telah tertidur selama ribuan tahun tiba-tiba terbangun, dengan rakus merentangkan jangkauannya, menyerap setiap detail yang hidup di sekelilingnya. 

Dunia luar yang bising pun tanpa ampun menerjangnya, mengikuti aliran keenam indranya dan membanjiri kesadarannya—sentuhan lumpur, bau tanah yang lembap, suara angin, desiran dedaunan yang jatuh, langkah kaki, suara manusia...

"Siapa yang berani mengganggu tidurku?" 

Rasa kehilangan kendali membangkitkan amarah dalam dirinya. Seketika, ia murka. Di kedalaman kesadarannya, awan hitam yang menandakan pertanda buruk mulai bermunculan, lalu mengikuti kehendaknya membentuk cakar tajam yang menerkam balik suara yang berani mengusiknya. 

"Berani sekali!" 

Namun, di tengah kekacauan dan kegelisahan itu, indranya yang baru saja bangkit tiba-tiba menangkap jejak samar yang begitu familiar. Bagaikan hembusan angin sepoi, ia melintas begitu ringan. Dalam sekejap, kesadarannya yang bergemuruh seperti badai mendadak jernih, dan jantungnya yang tak pernah berdetak selama ribuan tahun bergetar tanpa alasan.

Itu... apa?

Niat membunuhnya seketika lenyap.

Namun, sebelum ia sempat menangkapnya, jejak itu sudah kembali menghilang.

Tunggu, jangan... jangan pergi.

Dia tidak bisa mengingat siapa dirinya, juga tidak tahu berada di mana. Hanya saja, hampir secara naluriah, dia ingin mempertahankan jejak samar yang melintas itu. Mengabaikan semua suara gaduh di sekitarnya, dia berjuang sekuat tenaga. 

Pada saat berikutnya, kesadarannya terguncang hebat. Dia merasakan keberadaan tubuhnya, lalu terdengar suara retakan tajam—"krak"—angin menyapu dahinya. Dia tiba-tiba membuka mata, silau oleh cahaya matahari yang sudah lama tak ia lihat hingga matanya berair. 

Saat itu, barulah dia menyadari dirinya terbaring di antara serpihan peti mati, sementara di dalam dekapannya, terselip seikat bulu burung berwarna merah menyala... bulu halus.

Tidak tahu sudah berapa tahun terkubur di bawah tanah, tubuhnya telah mengering, hanya bertahan tanpa membusuk berkat sedikit aura spiritual yang entah berasal dari mana. Ia akan menghilang jika tertiup angin.

Baru saja ia mengulurkan tangan untuk meraihnya, bulu halus yang kecil itu pun langsung berubah menjadi debu di telapak tangannya, lalu lenyap tanpa jejak.

Dia menggenggam jemarinya sedikit, menatap telapak tangannya yang kosong.

Beberapa saat kemudian, ia sedikit mendongak, menyipitkan mata menatap debu yang berputar di udara.

"Renjian*..." pikirnya, "Apa aku baru saja bangkit dari kubur?"

*Renjian (人间): Dunia manusia.