Di sebuah desa kecil yang damai, hiduplah seorang pemuda bernama Azam. Ia adalah putra dari seorang ustaz bernama Ahmad dan ibunya, Aisyah, seorang wanita lembut yang selalu mengajarkan kasih sayang dalam hidup.
Sejak kecil, Azam dikenal sebagai anak yang tenang dan penuh kelembutan. Ia tak banyak bicara, tetapi selalu mendengarkan dengan seksama. Ada sesuatu yang berbeda darinya dibandingkan anak-anak lain seusianya—ia selalu menyembunyikan ibadahnya.
Jika orang-orang datang ke masjid untuk shalat berjamaah, Azam justru menunggu sampai masjid sepi untuk menunaikan shalatnya. Jika ada yang bertanya, ia hanya tersenyum dan menghindari pembicaraan lebih jauh.
Suatu hari, sahabat kecilnya, Suhaib, bertanya dengan penasaran, "Azam, kenapa kau selalu shalat sendirian? Bukankah lebih baik berjamaah?"
Azam menatap Suhaib, lalu tersenyum tipis. Bagaimana ia harus menjelaskan sesuatu yang bahkan sulit ia ungkapkan dengan kata-kata?
"Aku merasa lebih khusyuk seperti ini," jawabnya singkat.
Jawaban itu membuat Suhaib mengernyit, tetapi ia tak bertanya lebih jauh.
Di balik sifatnya yang pendiam, Azam adalah seorang pemuda yang lembut dan penuh kasih sayang. Ia sering membantu orang lain tanpa ingin diketahui. Jika ada tetangga yang kekurangan makanan, ia diam-diam meletakkan beras di depan pintu mereka. Jika ada anak kecil menangis karena kehilangan mainan, Azam akan membelikan mainan baru dan menaruhnya tanpa memberi tahu siapa yang memberikannya.
Di sepanjang jalan desa, sering ditemukan kucing-kucing liar yang kelaparan. Setiap pagi, ada satu hal yang tak pernah dilewatkan Azam: meletakkan makanan di sudut-sudut jalan. Ia tak ingin orang tahu bahwa itu perbuatannya.
Suatu hari, hujan deras mengguyur desa. Azam melihat seorang lelaki tua duduk menggigil di tepi jalan. Tanpa ragu, ia bergegas ke belakang rumah, mengambil selimut miliknya, dan berlari kembali. Dengan hati-hati, ia menyelimuti tubuh lelaki tua itu, lalu pergi tanpa menunggu ucapan terima kasih.
Namun, meski selalu berusaha berbuat baik, Azam sering merasa ada sesuatu yang kosong dalam dirinya. Ia merasa ada sesuatu yang belum ia pahami tentang hidup.
Di malam-malam yang sunyi, ia sering duduk di beranda rumah, menatap bintang-bintang di langit, dan bertanya dalam hatinya, "Ya Tuhan, apakah aku sudah menjalani hidup ini dengan benar?"
Ia mencintai Tuhannya, tetapi ia merasa ada beban yang tak bisa ia ungkapkan.
Malam itu, sang ayah, Ahmad, duduk di sampingnya. "Azam, sebentar lagi kau akan merantau untuk kuliah. Apa kau sudah siap menghadapi dunia luar?"
Azam menatap ayahnya. Ia tahu, dunia luar akan sangat berbeda dari desa kecil ini. Akan ada banyak ujian, banyak hal yang bisa menggoyahkan keyakinannya.
Ahmad menepuk pundaknya lembut. "Nak, ingatlah satu hal. Di mana pun kau berada, tetaplah berpegang pada nilai yang kau yakini. Jangan biarkan dunia mengubah siapa dirimu."
Azam mengangguk. Ia tahu, perjalanannya baru akan dimulai.
Dan ia siap menghadapinya.
---