Serena termenung menatap rumah sederhana yang menjadi tempat berlindung keluarga kecilnya saat ini, melihat hari yang sudah mulai larut malam membuatnya jadi sedikit takut.
Ia memeluk tubuhnya sendiri dengan erat sekali berusaha menyembunyikan masalahnya agar tidak di sadari oleh siapapun yang ada di rumahnya itu, saat berdiri di depan pintu ia merasa sangat gugup dan cemas, bagaimana jika ada yang menyadarinya, apa yang harus dia lakukan? Dia takut?
Ia mengusap wajahnya berusaha menghilangkan jejak air mata yang tumpah selama di perjalanan pulang tadi.
Ceklek
Langkah kecil itu berjalan masuk dengan rasa gugup dan takut, wajahnya sedikit pucat, ia merapikan rambutnya yang berantakan agar tidak kentara lalu mengusap wajahnya cepat.
Ia membuang nafas lega saat melihat keadaan rumah yang kosong dan sepi, ia melirik jam dinding lalu cepat cepat melangkah menuju kamarnya yang tidak jauh dari pintu masuk. "Serena?" panggil seseorang membuat tubuh itu kaku dan mematung.
Tubuhnya gemetar saat mendengar suara itu, dia takut. Bagaimana kalau pria itu tahu kalau dia habis bertengkar dengan temannya? Serena sangat takut sampai tidak berani untuk buka suara.
Glek
Ia meneguk salivanya berat, ia melirik anak laki laki yang terlihat sedikit lebih tua darinya. "Dari mana kamu?" ucap pria muda itu bertanya pada adik perempuannya. "A-ada kerja kelompok tadi, kak." Ucap Serena gagap membuat pria itu menekuk sebelah alisnya bingung. "Hem?" gumamnya.
"Cepat mandi, makan malammu ada di kulkas." Ucap pria itu sambil berjalan naik ke lantai dua menuju kamarnya. "Iya, kak." Jawab Serena lalu masuk ke kamarnya, pria itu melirik siku adiknya yang terlihat agak lebam, dia ingin bertanya tapi anak itu masuk lebih dulu sebelum ia buka suara.
Ceklek
Serena menyandarkan tubuhnya di pintu kamar yang baru saja ia tutup, air matanya kembali mengalir deras, tidak tahu kenapa? Padahal dia sudah terbiasa di kucilkan, tapi kali ini mendengar hinaan dari orang yang ia anggap seperti saudaranya sendiri membuatnya merasa seperti benar benar telah di campakkan.
Kenapa dia sangat sedih, seolah ia merasa tersinggung dengan ucapan itu? Dia tahu Ini semua salahnya sendiri? Sejak dulu selalu menjadi beban dan terus membuat orang tua dan temannya kesuliatan, dia memang anak yang buruk, itu lah kenapa ibunya tidak menyukai dia sama sekali.
Ia memegangi dadanya yang terasa sesak, memangnya kenapa kalau dia tidak mendapat cinta dari ibunya, yang penting dia punya orang tua yang tidak membuang dan menelantarkannya, kan. Bukankah itu berarti orang tuanya menginginknnya juga?
Tapi hatinya sakit setiap kali mengingat ucapan yang Diana lontarkan padanya tadi, dia tahu gadis itu sengaja ingin membuatnya marah dan menjauh, seharusnya Serena tidak perlu menangis seperti sekarang.
Diana tidak mungkin mengejeknya dengan serius, itu hanya cara agar Serena pergi dan tidak membuatnya kesulitan lagi di sekolah. Diana tidak seperti itu!
Ia menyeret tubuhnya menuju lemari dan membawa sebuah handuk dan pakaian ganti, ia harus cepat cepat membersihkan tubuhnya sekarang. Langkah itu cepat menuju kamar mandi sebelum ada yang menyadarinya.
Ia harus membersihkan tubuh kotornya sebelum membuat kekacauan, dia juga harus keluar sebelum ibu dan ayahnya pulang dari pekerjaan mereka.
Tubuhnya sangat lelah, mengguyur air ke tubuhnya pun rasanya sangat berat sekali. Dia tidak tahu kalau semuanya akan jadi seperti ini, dia merasa sangat kesepian sekarang. Serena melamun menatap tembok kamar mandi.
Tida tahu bagaimana jadinya setelah ini, dia sangat kesepian sekarang, dia takut.
Tok
Tok
Tok
Suara pintu terketuk membuat Serena kaget bukan main, ia cepat cepat mengusap wajahnya dan mandi dengan benar. "Serena?" panggil seseorang dari luar pintu membuat gadis di dalam kamar mandi jadi bersuara gugup. "Y-ya?" tuturnya penuh rasa gugup dan terbata.
"Kamu baru pulang, ya?" tukas wanita yang mengetuk pintu dari luar membuat Serena jadi menggigit bibir bawahnya pelan dengan dagu yang tertekuk, dia takut saat mendengar suara di luar sana. "Ya, aku baru pulang." jawabnya sambil berusaha menekan isaknya agar tidak pecah lagi.
Mungkin karena suasana hatinya sedang buruk jadi banyak pikiran konyol berkeliaran di otaknya sekarang, gadis itu menarik senyum kecut lalu menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin. "Aku baik baik saja." Tuturnya menenangkan diri sendiri.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka, Serena keluar sambil menyelimutkan handuk di atas kepala karena ada sedikit lebam di pelipis kirinya, kalau wanita itu melihat lebam di wajahnya, pasti akan banyak sekali pertanyaan yang keluar berbarengan dengan omelen penuh ceramah.
"Sampai jam segini? Apa ada kerja kelompok lagi?" rutuk wanita itu setengah marah membuat Serena terdiam di depan pintu kamar mandi lalu mengangguk. "Ya" jawabnya singkat.
Setelah membalas ucapan itu membuatnya jadi menekuk wajah sedih.
"Kerja kelompok sampai malam seperti ini? ck, apa kamu tidak bisa melewatkan kerja kelompok kalau pulangnya sampai malam seperti ini, hah? aku yakin adikmu yang masak hari ini, kan. karena kamu pulang malam bersama teman sekelasmu, atau jangan jangan itu bukan kerja kelompok?." Omel wanita paru baya itu menuduh sambil duduk di bangku meja makan.
Serena hanya terdiam tidak tahu mau menjawab apa, pikirannya jadi berkecamuk dan campur aduk, apa benar wanita itu tidak mencintainya? Itu keraguan yang berputar di pikiran Serena saat ini, lagi lagi ucapan Diana menganggunya.
"Cepat, makan. Aku sudah memanaskan makanannya. Lain kali, lewatkan saja kerja kelompok dan segera pulang! Ibu kan sudah bilang kalau pekerjaan rumah itu bagianmu, Seren! Jangan biarkan Cheryl bekerja berat, kamu kan tahu, adikmu itu gampang sakit kalau terlalu lelah?" Ucap wanita itu agak kesal pada putri tengahnya, Serena masih diam di posisinya sambil menggengam jemarinya perlahan.
"Apa lagi? Cepat kesini, sebelum makanannya dingin!"ajakan dari wanita itu malah terdengar seperti sebuah perintah di telinga Serena.
"Aku sudah makan." jawab Bohong Serena membuat alis wanita itu terangkat sebelah lalu menyentak nafas kasar "Haaa, aku sedang lelah untuk berdebat denganmu, Serena. Cepat ke sini sekarang, jangan bilang kamu masih marah pada ibu karena masalah tadi pagi, kamu kan kakak seharusnya bisa mengerti tentang masalah itu, Serena?" tutur wanita itu dengan wajah kesal.
Kakak, ya. Kak Sean juga kakak, kenapa hanya aku yang di salahkan dan kenapa hanya aku yang harus mengalah? Apa aku tidak boleh bersuara dan mengeluarkan pendapatku, hah?
Tutur Batin Serena dalam diam saat mendengar ocehan yang keluar dari bibir ibunya.
Ya tadi pagi, Serena sempat berdebat dengan ibunya soal biaya sekolahnya yang menunggak dua bulan karena harus melunasi uang sekolah adiknya dan beberapa tunggakkan lainnya lebih dulu. Mereka berdebat cukup hebat hingga tidak saling bertegur sapa sebelum keluar tadi.
"Apa apaan dengan handuk itu? Cepat ke sini!" sambung wanita itu membuat Serena menahan handuknya perlahan "Tidak bu, aku akan tidur lebih awal hari ini, besok ada kuis harian." Tutur Serena lalu melangkah menuju kamarnya. "Kuis harian, sudah berapa kali kamu mengikuti Kuis, hah? Hasilnya masih tetap sama saja. Seingat ku, aku hanya belum membayar uang sekolah bukan uang les." Rutuk wanita itu mulai tapi Serena tetap diam dan mengabaikan ucapan itu.
Memangnya kapan wanita itu melirik hasil kuis hariannya? Wanita itu bahkan tidak peduli walau ia mendapat kan nilai tertinggi karena di mata wanita itu, Serena hanya anak yang biasa saja dan tidak perlu mendapat lebih, selalu seperti itu selama ini, tapi anehnya Serena tetap berusaha dengan memegang teguh harapan konyol itu.
Serena menggenggam jemarinya pelan, Dia tahu kalau dia menjawab ucapan itu, maka masalahnya akan jadi makin besar. Dia juga tahu ibunya mungkin masih kesal karena dia meninggalkan tanggung jawabnya di rumah karena pulang malam hari ini, ya dia mengerti itu dengan sangat jelas, jadi tidak masalah.
Apa salahnya? Dia juga belajar, dia bahkan menghabiskan waktunya setiap hari untuk belajar agar bisa sedikit mendapat pujian dari wanita itu, apa sulit sekali memberi pujian padanya? Dia juga berusaha keras agar pintar seperti kakaknya, Sean.
Kakaknya memang pintar, pria itu bahkan mendapat baesiswa keluar negri namun sayangnya ia lebih memilih universitas di dalam negri karena beberapa keadaan mendesak. Tidak lama lagi mungkin dia akan jadi seorang jaksa, bukankah itu keren.
Dia juga tidak ini menjadi orang bodoh, dia bahkan melewatkan banyak waktu di perpustakaan dan melupakan waktu makan hanya untuk bergulat dengan pelajaraan, kenapa wanita itu tidak melihat kerja kerasnya selama ini, apa salahnya?
"Kakak?" panggil seorang wanita manis yang turun dari lantai dua rumah, ya karna rumah ini kecil jadi orang tua mereka membangun dua kamar di lantai atas yang di tempati oleh anak bungsu dan anak sulung.
"Kapan kakak pulang? Sudah makan belum?" tutur gadis cantik itu sambi melangkah turun, Serena menarik senyum menyambut adik perempuannya yang baru saja menyapanya. "Belum lama kok, aku sudah makan, kenapa turun dengan baju tipis seperti ini, Ryl? bagaimana kalau kamu flu lagi?" tutur Serena khawatir membuat gadis yang dua tahun lebih muda darinya itu tertawa geli.
" Kak, aku ini sudah besar, jadi jangan khawatir." Tutur Cheryl dengan tawa lembutnya sambil memeluk tubuh Serena yang masih agak basah. "Kakak habis nangis, ya?" ucapnya setelah menatap wajah Serena yang tersembunyi di balik handuk. "Tidak, aku baru selesai mandi." Jawab Serena yakin dengan bohongannya itu.
Melihat adik tercintanya itu menatap penuh khwatir membuat hatinya jadi sedikit sakit, kenapa dia selalu merasa kesal saat melihat gadis cantik dan manis seperti adiknya ini, kenapa dia selalu merasa iri pada si bungsu? Dia pasti sudah gila.
"Aku akan tidur lebih dulu, Ryl. Sampai jumpa besok pagi, ya." Tukas Serena sambil membelai surai adiknya yang menatap bingung, Cheryl menatap punggung kakak perempuannya yang masuk ke dalam kamar yang dekat dengan pintu keluar.
Seharusnya Serena tidur di atas, di lantai dua. Tapi Cheryl merengek minta untuk tinggal di lantai dua bersama kakak tertua meraka, Sean. Jadi Serena mengalah pada adiknya dan tidur di lantai satu.
"Ibu? Kenapa ibu selalu marah pada kakak dengan alasan yang sepele seperti itu?" tutur Cheryl bertanya pada wanita paru baya yang duduk di bangku meja makan, "Marah? Ibu tidak marah, ibu hanya meminta pengertiannya, sayang. Sebagai kakak dia seharusnya tidak membuatmu bekerja berat seperti ini, seharusnya dia tahu kalau adiknya itu gampang sakit." Tegas wanita itu membuat Cheryl kesal.
"Aku sehat dan baik baik saja, jadi berhenti memperlakukan aku seperti anak kecil yang mudah sakit karena hal hal sepele. Aku suka memasak jadi jangan menegur kakak seperti itu lagi. Kakak juga pasti lelah, jangan mengatakan hal seperti itu lagi, ku mohon." Tukas Cheryl membuat wanita paru baya itu memutar matanya malas lalu mengangguk paham. "Iya, iya." Jawab wanita itu membuat Anak gadisnya jadi merasa lega.
"Kenapa ayah masih belum pulang?" tutur Cheryl penasaran karena ayahnya belum pulang padahal hari sudah mulai larut. "Dia bilang akan sedikit terlambat hari ini, jadi tidak usah khawatir, Ryl." Ujar Miranda menenangkan putrinya yang terlihat agak cemas.
Serena yang mendengarkan percakapan itu hanya menunjukkan wajah datar dan manik yang kosong, ini salahnya, jika saja dia tidak pulang terlambat mungkin hal itu tidak akan terjadi diantara dia dan Diana lalu adiknya tidak akan susah susah memasak dan beberes rumah, ya ini salah Serena.
Ia memeluk dengkulnya dan menenggelamkan wajah diantara kakinya, kenapa dia hanya bisa menangis sekarang, tidak seperti biasanya. Padahal dia anak yang kuat dan berani, tidak mengeluh dan tetap semangat, tapi hari ini dia hanya ingin menangis saja.
Dadanya terasa sangat sesak dan sakit seolah ada sesuatu yang sangat berat sedang menimpa dirinya saat ini, sakit sekali. Dia menyesali semuanya, sangat menyesal.
"Maaf…" tuturnya dengan suara lirih dan bergetar.
Ada amarah yang meluap di dalam dirinya sekarang, tapi tidak tahu bagaimana dia harus mengelurkannya saat ini, dia sangat takut sampai sulit untuk menggerakkan bibirnya.
Apa yang harus ia lakukan agar bisa di akui, dan kenapa dia selalu ingin mendapatkan pengakuan dari wanita itu? Ada apa sebenarnya dengan dirinya? Apa ada orang yang sepertinya di luar sana? Mengharapkan cinta dari sosok orang tua? Jika ada, bagaimana cara mereka meraihnya?
Hanya Sebagian orang yang tidak peduli dengan sebuah pengakuan, mungkin karena mereka merasa sempurna hingga tidak butuh pengakuan dari orang lain.
Dan ada banyak orang yang masih berusaha sampai detik ini untuk meraih sepata kata pujian dari orang yang mereka anggap layak.