Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Seeking Harmony Within Destruction

🇮🇩Faust_Zero
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
63
Views
Synopsis
Dunia ini sangat indah dan damai, tapi itu dulu. Sebelum akhirnya dunia ini memasuki masa kehancurannya, manusia dan hewan terkena sebuah virus yang tidak diketahui. Yang membuat mereka mutasi dan menjadi seekor Mutan yang ganas dan hilang kendali. Mereka akan memakan siapa saja yang mereka lihat. Ini adalah kisah perjalanan para survivor yang mencari 'Harmoni' di tengah kehancuran.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Kelahiran

[PoV: Nico Rougberth]

Di tengah kegelapan malam yang disinari cahaya bulan purnama, kota itu terasa seperti kuburan raksasa. Jalanan rusak, bangunan-bangunan tua yang hampir rubuh, dan udara yang dipenuhi bau besi serta kematian. Aku, Nico Rougberth, berdiri di depan sebuah bangunan tua yang menjadi tempat perlindungan terakhir kami. Di tanganku, sebuah golok besar berkilat di bawah cahaya bulan, siap menghadapi apa pun yang datang.

Di sampingku, Jack Hao, sahabat seperjuanganku, memegang pistol dengan kedua tangannya. Matanya yang cokelat tajam memandang ke depan, siap menghadapi ancaman yang tak terelakkan. Rambut hitamnya yang panjang terlihat kering, menandakan betapa lelahnya kami setelah berhari-hari bertahan.

"Lihat itu," bisikku, menunjuk ke arah gelombang serigala mutasi yang mendekat. Tubuh mereka besar, taringnya tajam, dan air liur mereka menetes seperti hujan asam. Mereka lapar, dan kami adalah santapan mereka malam ini.

Jack mengangguk, tangannya mengepal erat di sekitar pistol. "Kita tidak punya pilihan. Kita harus bertahan."

Serigala-serigala itu mulai bergerak, melompat dengan kecepatan yang membuatku merinding. Aku mengangkat golokku, merasakan beratnya di kedua tanganku. Ini bukan hanya senjata, ini adalah harapan terakhir kami.

Serangan pertama datang dengan cepat. Seekor serigala mencakar ke arahku, kukunya yang panjang dan tajam hampir mengenai wajahku. Aku menggerakkan golokku, menangkis serangan itu dengan sekuat tenaga. Lalu, dengan gerakan menyamping, aku membelah tubuh serigala itu menjadi dua. Darahnya menyembur, membasahi tanah di sekitarnya.

"Jangan biarkan mereka mendekat!" teriak Jack, suaranya memecah kesunyian malam. Dia menembakkan peluru ke arah serigala-serigala yang mendekat, suara tembakannya memekakkan telinga.

Aku mengangguk, meski tahu dia tidak melihatnya. Kami harus melindungi bangunan di belakang kami. Di dalamnya, Alice, istriku, sedang mengandung anak pertamaku. Dia adalah alasan aku tetap bertahan.

Serigala-serigala itu terus datang, seperti gelombang yang tak pernah berhenti. Aku mengayunkan golokku lagi, kali ini memotong kaki serigala yang mencoba melompat ke arahku. Tubuhnya terjatuh, tapi yang lain segera menggantikannya. Mereka tidak kenal takut, atau mungkin rasa lapar mereka telah mengalahkan naluri bertahan hidup.

Jack di sampingku mengeluarkan pisau dari sabuknya, menembak dengan satu tangan dan memegang pisau dengan tangan lainnya. Dia tahu amunisinya terbatas.

"Kita harus bertahan sampai bantuan datang!" teriaknya lagi, suaranya mulai terdengar lelah.

Aku menggerakkan golokku dengan lebih agresif, mencoba membuat jarak antara kami dan serigala-serigala itu. Tapi mereka terlalu banyak. Salah satu serigala berhasil mendekat, mencakar lenganku. Aku merasakan sakit yang tajam, tapi tidak ada waktu untuk berhenti. Aku membalas dengan ayunan golok yang kuat, memenggal kepala serigala itu.

Darah mengalir dari lukaku, tapi aku tidak bisa peduli. Kami harus bertahan. Aku mendengar suara deru mesin dari kejauhan, tapi aku tidak bisa memastikan apakah itu bantuan atau hanya imajinasiku.

"Tahan!" teriakku, mencoba memberi semangat pada diriku sendiri dan temanku. Kami tidak bisa menyerah. Tidak sekarang.

Serigala-serigala mutasi itu terus datang, tapi kami juga terus bertahan. Setiap ayunan golok, setiap tembakan, adalah upaya untuk mempertahankan hidup kami. Dan kami akan terus berjuang, sampai akhir.

Suara deru mesin semakin dekat, dan kali ini aku yakin itu bukan imajinasiku. Aku melirik ke arah Jack yang berada di sampingku, yang tampaknya juga mendengar suara itu. Matanya yang cokelat berbinar sejenak, mungkin harapan mulai muncul di benaknya. Tapi kami tidak punya waktu untuk berharap terlalu lama. Serigala-serigala mutasi itu masih terus menyerang, dan kami harus tetap fokus.

"Tahan posisi!" teriakku lagi, mencoba memastikan bahwa kami tidak terpisah. Aku mengayunkan golok besarku dengan lebih kuat, mencoba membabat beberapa serigala sekaligus. Tubuh mereka yang besar dan kuat membuat setiap ayunan terasa berat, tapi aku tahu aku tidak bisa berhenti. Setiap detik yang kami tahan adalah kesempatan untuk bertahan hidup.

Dari kejauhan, suara mesin semakin jelas. Aku melihat cahaya lampu kendaraan menerobos kegelapan malam. Sebuah truk besar dengan pelindung baja muncul, melaju kencang menuju kami. Di atas truk, beberapa orang bersenjata mulai menembaki serigala-serigala itu dari jarak jauh. Peluru-peluru mereka menghujani kawanan serigala, mengurangi jumlah mereka dengan cepat.

"Bantuan datang!" teriak Jack, suaranya penuh lega. Dia menembakkan peluru terakhir dari pistolnya sebelum melemparkan senjata itu ke tanah dan mengambil pisau dengan kedua tangannya. Kami berdua tahu bahwa kami harus bertahan sampai truk itu mencapai kami.

Serigala-serigala yang tersisa mulai panik, beberapa dari mereka mencoba melarikan diri, sementara yang lain justru semakin ganas. Aku mengayunkan golokku dengan sekuat tenaga, memotong tubuh serigala yang mencoba menerkamku. Darah dan daging beterbangan, tapi aku tidak peduli. Yang penting adalah bertahan.

Truk itu akhirnya berhenti beberapa meter dari kami, dan beberapa orang bersenapan turun dengan cepat. Mereka membentuk formasi pertahanan, menembaki serigala-serigala yang masih bertahan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan mata merah dan rambut hitam pendek, dan wajah yang tegas. Berteriak ke arah kami. "Tetaplah bertahan!!"

Benar, kami harus tetap bertahan demi apa yang ada di belakang kami.

Aku dengan cepat berlari ke arah kerumunan serigala mutasi, menggerakkan golok besarku ke segala arah; membuat tubuh para kawanan serigala itu terluka dan terbelah akibat seranganku.

Sementara itu, Jack bergabung denganku, pisau di tangannya berkilat-kilat di bawah cahaya bulan yang redup. Kami berdua seperti mesin pembunuh yang bergerak dalam harmoni, saling melindungi dan menyerang dengan presisi. Darah serigala mutasi terus mengalir, membasahi tanah di sekitar kami. Bau besi dan daging yang terbakar memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang mencekam.

"Sungguh indah, tapi sangat menakutkan." Ucap salah satu orang bersenapan.

Wanita berambut pendek membalasnya dengan sedikit rasa bernostalgia. "Dulu, mereka berada di satu camp yang sama sepertiku." Orang itu membalas. "Camp? Maksud Anda camp BloodMist? Camp yang sudah bubar sejak 3 tahun yang lalu?"

"Benar, dan diantara kami. Nico dan Jack yang paling menonjol dan terhebat." Wanita itu melanjutkan. "Mereka berdua sudah bersama sejak awal masuk camp, sebenarnya mereka berdua tidak memiliki ikatan darah. Tapi kebersamaan mereka berdua sudah seperti saudara yang saling melindungi."

.

.

.

[Beberapa saat kemudian...]

"Huft~ apakah sudah berakhir?" Jack menghela nafas, dengan tubuh yang sudah lemah dan tidak berdaya. Sambil melepaskan kedua pisahnya dan membuat pisaunya terjatuh di tanah.

"Ya, ini sudah berakhir." Balasku.

Jack berbalik, matanya membulat terkejut. Dia merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Melihat tubuhku yang penuh luka akibat cakaran serigala mutasi, sambil terbaring lemas di sudut dinding bangunan. Tapi yang membuat lebih terkejut adalah tangan kananku yang telah digigit oleh serigala mutasi, sebuah gigitan yang sudah lama dibiarkan. Membuat virus di dalamnya hampir sampai ke dalam otakku,

"Nico... tanganmu... sejak kapan? Jangan-jangan kau menyembunyikannya sejak pertempuran tadi?!."

"Ah... haha. Tanganku... hanya luka kecil." Ucapku sambil tersenyum, mencoba menutupi rasa sakit.

Jack menghampiriku dengan panik, lalu memegang bahuku. Tatapan kesedihan muncul di dalam matanya. "Hanya luka kecil kau bilang? Jika ini tidak diatasi, kau bisa menjadi manusia mutasi!!" Ucapnya yang panik.

Wanita berambut pendek muncul di belakang Jack, bersama orang-orangnya. Dia menatapku.

"Windy... sudah lama sekali." Ucapku sambil mencoba tersenyum hangat.

Windy menatapku dengan tatapan jijik. "Bisakah kau tidak membuat senyuman seperti itu disituasi seperti ini? Kepribadianmu memang tidak berubah sejak dulu." Ucapnya.

"Begitukah? Jadi kau tidak suka melihat senyumanku yang lembut dan hangat?" Ucapku dengan sedikit candaan.

"Kau ini!" Balasnya menahan kesal.

"Haha..." Aku tertawa lemah.

Aku menatap Jack. Jack mengusap air yang perlahan keluar dari matanya.

Aku kemudian kembali menatap Windy. Lalu berkata dengan tenang, walau begitu nafasku sudah rendah dan tidak beraturan. "Windy... kau sudah sangat berubah sejak terakhir kali kita bertemu." Aku melanjutkan perkataanku. "Kau sudah bukan Windy penakut yang kukenal." Kataku dengan senyuman kecil.

Windy terdiam sejenak, matanya yang merah menatapku dengan campuran emosi yang sulit kubaca. Mungkin ada rasa sedih, marah, atau bahkan penyesalan. Tapi dia cepat menguasai dirinya, seperti biasa. Dia selalu bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik.

"Kau juga tidak berubah, Nico," ujarnya akhirnya, suaranya datar tapi terdengar berat. "Masih saja terlalu bodoh untuk memikirkan orang lain sebelum dirimu sendiri."

Aku tersenyum lemah, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menusuk di sekujur tubuhku. "Ah, itu sudah jadi bagian dari diriku, Windy. Kau tahu itu."

Jack masih duduk di sampingku, tangannya memegang bahuku dengan erat. "Kita harus membawanya ke seorang dokter, sekarang juga! Windy! Di tempatmu pasti ada dokter yang ahli 'kan?" teriaknya, suaranya penuh kepanikan. "Dia tidak bisa... dia tidak bisa mati seperti ini!"

Windy menghela napas panjang. "Sia-sia saja, jika virusnya belum menyebar. Kita mungkin bisa mengamputasi yang bagian infeksinya, tapi ini sudah hampir mencapai otaknya. Sudah terlambat untuk itu. Pada akhirnya Nico akan menjadi seorang Mutan." Ucapnya langsung ke inti, tanpa memikirkan kondisi Jack yang sedang panik.

"Jack..." ucapku pelan, mencoba menarik perhatiannya. "Tolong sampaikan pada istriku... bahwa aku mencintainya. Dan jika anak kami sudah lahir... beri tahu dia bahwa ayahnya akan selalu menjaganya, meski dari jauh."

Jack menggelengkan kepalanya, air matanya yang jatuh semakin deras. "Jangan bicara seperti itu, Nico! Kau akan baik-baik saja! Kau harus baik-baik saja!"

Aku mencoba tersenyum, tapi rasa sakit yang semakin hebat membuatku sulit untuk tetap tenang. "Terimakasih untuk segalanya... terimakasih karena sudah mau menjadi saudaraku..." Aku kemudian melanjutkan ucapanku. "Windy... kumohon, bunuh aku jika aku hampir menjadi Mutan."

"Baiklah." Windy membalas dengan datar, meski begitu aku tahu di dalam hatinya tersimpan kesedihan. Kebersamaan kami sebelumnya terasa seperti sebuah keluarga, membuatku tahu bagaimana kepribadiannya.

Perlahan, rasa sakit menyerang otakku. Mataku menjadi buram, dan kemudian mataku menjadi gelap gulita.

•••

[PoV: Windy Shall]

Bang!!

Aku menembak Nico tepat di kepalanya dengan secepat mungkin, sebelum dia menjadi seorang Mutan sepenuhnya.

Jack terdiam. Dia masih duduk di samping Nico, sambil menundukkan kepalanya. Dia tidak bisa manahan air matanya yang keluar dan perasaan sedihnya mulai mencapai puncak. Membuatnya teriak di dalan kesedihan yang mendalam.

Tapi kemudian, suara teriakan terdengar. Seperti suara wanita yang kesakitan.

"Suara itu..."

Jack mengusap seluruh air matanya, dia mengangkat kepalanya. Lalu berdiri, dengan cepat berlari masuk ke dalam bangunan.

"Jangan-jangan! Astaga..." Aku kemudian memerintahkan anggotaku. "Kalian berjaga di sini terlebih dahulu! Aku akan masuk ke dalam!"

Ucapku dengan nada suara yang keras.

"Baik Bu!!" Balas semua anggotaku bersamaan.

Aku berlari sekencang-kencangnya, mencoba mengejar Jack yang berlari di depanku.

Jack berlari menuju tangga yang berbentuk spiral, lalu menaikinya dengan cepat.

Aku mengikutinya dari belakang, mengejarnya dengan semampuku. "Sial! Kenapa dia cepat sekali!"

Akhirnya aku sampai di lantai kedua. Aku melihat ke sekitar lorong. Kehilangan jejak Jack. "Ke kanan? Ke kiri? Sebenarnya kemana dia pergi?!"

Tidak lama kemudian, aku mendengar suara tangisan. Suara tangisan bayi, kecil dan bergema di lorong yang sunyi. "Ke kiri!!" Aku berlari ke arah kiri, karena aku mengikuti firasatku. Firasatku mengatakan jika suara bayi itu berada di bagian kiri.

Aku melirik ke sekitar. "Dimana... dimana dia..." Kemudian perhatianku teralihkan ke sebuah ruangan yang terdapat cahaya. "Disana!"

Aku berlari menuju ruangan yang memancarkan cahaya itu, jantungku berdegup kencang. Suara tangisan bayi semakin jelas terdengar, dan aku tahu Jack pasti sudah ada di sana.

Ketika aku sampai di depan pintu, aku melihat Jack sedang duduk di sebuah kursi di samping tempat tidur, memegang tangan seorang wanita yang terlihat lemah tapi tersenyum.

Di pelukannya, ada bayi kecil yang baru saja lahir, masih merah dan menangis dengan suara yang lembut.

"Jack..." ucapku pelan, mencoba menarik perhatiannya.

Jack menoleh ke arahku, matanya masih basah oleh air mata, tapi kali ini ada cahaya kebahagiaan di dalamnya. "Windy... lihatlah. Ini anaknya Nico."

Aku mendekat, melihat bayi itu dengan perasaan campur aduk. Bayi itu kecil, rapuh, tapi terlihat sehat. Tangisannya yang keras adalah tanda bahwa dia memiliki semangat hidup yang kuat.

Wanita di tempat tidur itu, istri Nico, menatapku dengan mata yang penuh kelelahan tapi juga kebahagiaan; dia bernama Alice Rose. Aku mengenalnya karena dia juga berada di camp yang sama dengan kami sebelumnya, Camp BloodMist.

"Namanya... Nico memberitahuku sebelum dia pergi," ucapnya dengan suara lemah. "Namanya Adrian. Adrian Rougberth."

Aku mengangguk, mencoba menahan emosi yang bergolak di dalam diriku. "Adrian... nama yang bagus."

Alice tersenyum lemah. "Windy... sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu."

"Ya, sudah lama sekali." Aku berjalan ke arah tempat tidur alice, lalu membungkuk. Memegang tangannya yang lemah. "Maafkan aku, jika saja aku tidak telat. Mungkin Nico masih hidup."

"Tidak apa-apa, ini bukan salahmu. Ini mungkin sudah takdirnya, mungkin sang pencipta merindukan dirinya."

"Kau masih saja religius sedari dulu." Ucapku, tersenyum kecil.

•••

[PoV: Jack Hao]

Aku melihat ke arah jendela, di luar langit masih gelap, tapi ada sedikit cahaya yang mulai muncul di ufuk timur. Malam yang panjang ini akhirnya akan berakhir, tapi perjuangan kami belum selesai. Masih banyak hal yang harus dilakukan, kami harus bertahan hidup di tengah kehancuran ini.

Dan melindungi anak ini dari ancaman berbahaya di luar sana...

...