Valeria menarik napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Evran.
"Awakened adalah seseorang yang telah membangkitkan mana dalam tubuhnya. Mereka bisa merasakan, mengendalikan, dan memanipulasi mana dengan kehendak mereka sendiri. Tapi untuk menjadi Awakened, dipengaruhi oleh beberapa faktor."
Dia mengangkat jarinya satu per satu.
"Pertama, keberuntungan."
"Keberuntungan?" Evran mengernyit, merasa tidak puas dengan jawaban itu.
Valeria mengangguk. "Beberapa orang terlahir dengan bakat alami untuk merasakan mana sejak kecil, bahkan tanpa usaha mereka sendiri. Orang-orang seperti itu biasanya lebih cepat menjadi Awakened."
"Kedua, keturunan."
"Jadi kalau orang tuanya kuat, anaknya juga pasti kuat?" Evran menebak.
"Tidak selalu," jawab Valeria, "tapi garis keturunan memang berpengaruh. Jika lahir dari keluarga dengan darah kuat, kemungkinan untuk membangkitkan mana lebih tinggi. Namun, ada juga anak bangsawan berbakat yang tidak pernah bisa menjadi Awakened, sementara ada budak yang tanpa diduga berhasil melampaui batasnya."
"Ketiga, usaha."
"Nah, ini yang paling masuk akal," gumam Evran sambil menghembuskan asap rokoknya.
Valeria tersenyum tipis. "Berlatih keras bisa membuka jalan menuju Awakening, meskipun itu bukan jaminan. Ada yang mencoba seumur hidup dan gagal. Dan ada juga cara lain seperti meminum eliksir khusus dan menjalani ritual."
Evran merenung sejenak sebelum bertanya lagi, "Apakah seseorang bisa memiliki class tanpa menjadi Awakened?"
"Bisa," jawab Valeria. "Tapi terbatas."
Evran menatapnya dengan penuh minat. "Terbatas bagaimana?"
Valeria menghela napas, lalu mulai menjelaskan dengan lebih serius.
"Class memiliki dua tahap perkembangan utama: tahap teknikal dan tahap magis."
"Tahap teknikal adalah ketika seseorang belajar dan menguasai dasar-dasar keahlian class mereka secara fisik, tanpa bergantung pada mana. Itulah mengapa seseorang bisa mendapatkan class tanpa menjadi Awakened. Contohnya, seseorang yang berlatih pedang selama bertahun-tahun bisa mendapatkan class 'Swordmanship' Level 1 meskipun dia belum Awakened dan bisa menggunakan mana."
"Mereka yang berada di tahap ini disebut 'Apprentice'—seseorang yang telah memahami dan mengembangkan class-nya, tapi masih terbatas pada keahlian teknis."
Evran mengangguk, mulai memahami. "Jadi seorang Apprentice hanyalah seorang prajurit biasa, tanpa kekuatan khusus?"
"Kurang lebih begitu," Valeria mengangguk. "Seorang Apprentice bisa bertarung dan meningkatkan keahliannya, tapi mereka tidak bisa memanfaatkan mana. Mereka hanya mengandalkan teknik, insting, dan latihan."
Dia melanjutkan, "Lalu ada tahap kedua: tahap magis. Ini hanya bisa dicapai oleh seseorang yang telah menjadi Awakened. Begitu seseorang membangkitkan mana mereka, mereka bisa memperkuat tubuh, serangan, atau bahkan menggunakan kemampuan unik dari class mereka. Saat itulah mereka benar-benar melangkah ke dalam potensi sejati class mereka."
Evran menyandarkan punggungnya ke dinding, membiarkan semua informasi itu meresap ke dalam pikirannya.
"Jadi, seorang Apprentice hanya bisa naik ke level satu dalam class mereka, sementara seorang Awakened bisa terus berkembang?"
"Tepat sekali," kata Valeria. "Seorang Apprentice bisa berlatih sekeras apapun, tapi tanpa Awakening, mereka akan selalu terbatas. Itu sebabnya kebanyakan orang yang ingin menjadi kuat berusaha untuk menjadi Awakened secepat mungkin."
Evran tersenyum tipis, menyadari sesuatu. "Tapi kau tadi bilang bahwa menjadi Apprentice juga bisa menjadi jalan menuju Awakening, kan?"
Valeria menatapnya dan mengangguk. "Ya. Beberapa orang yang awalnya tidak memiliki bakat untuk menjadi Awakened berhasil membangkitkan mana mereka setelah bertahun-tahun berlatih sebagai Apprentice. Tekad, pengalaman, dan pemahaman mereka terhadap class mereka sendiri kadang-kadang bisa membuka jalan menuju Awakening. Namun, itu lebih sulit dibandingkan dengan mereka yang memiliki bakat alami atau keturunan kuat."
Evran terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan.
"Jadi dengan kata lain, dunia ini memang tidak adil, ya?"
Valeria tersenyum miris. "Memang tidak. Tapi bukan berarti seseorang yang tidak berbakat pasti akan selalu lemah. Mereka yang berusaha cukup keras bisa melampaui batas mereka. Selalu ada celah untuk melawan takdir."
Evran menghisap rokoknya sekali lagi, lalu membuangnya ke tanah dan menginjaknya pelan.
"Kalau begitu, aku harus mencari tahu apakah aku punya bakat... dan aku harus menemukan cara untuk membangkitkan mana dan menjadi Awakened."
Valeria menatapnya sebentar sebelum berkata, "Apapun yang kau pilih, pastikan kau sudah memikirkannya dengan matang."
Malam yang dingin terasa sedikit lebih hangat dengan percakapan itu. Evran tahu bahwa dia baru saja memasuki dunia yang lebih besar dari yang dia bayangkan.
Sadar akan sesuatu Evran menyipit saat memandang Valeria.
"Jadi, Nona Vale, dari mana kau mengetahui semua informasi ini? Ini bukan sesuatu yang bisa diketahui budak biasa."
Valeria tidak langsung menjawab. Matanya menerawang ke langit malam, seolah sedang menggali ingatan yang telah lama terkubur. Udara dingin membelai wajahnya, tampak sedikit kerinduan dan nostalgia di matanya.
"Aku... bukan selalu hidup seperti ini," katanya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku dulu hidup dengan baik, aku pernah mempunyai sebuah keluarga... keluarga yang cukup besar dan punya pengaruh di tanah kelahiranku."
Evran meliriknya dengan lebih tajam. "Keluarga besar dengan pengaruh? Kedengarannya seperti—"
"Bangsawan?" Valeria menyelesaikan kata itu untuknya, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak tahu apakah aku bisa menyebut diriku begitu. Aku bukan putri dari seorang raja atau sesuatu yang luar biasa. Tapi keluargaku punya tanah, kekuatan, dan—" dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan, "terlalu banyak musuh."
Hening sejenak. Evran tidak memotongnya, membiarkan Valeria memilih kata-katanya sendiri.
"Ada... perselisihan," lanjutnya. "Entah perebutan kekuasaan, pengkhianatan, atau hanya sekadar balas dendam. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi. Yang kutahu, suatu hari aku kehilangan segalanya. Rumahku. Namaku. Semua yang kukenal... hilang begitu saja."
Nada suaranya tetap tenang, tapi Evran bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam di baliknya. Bukan sekadar kehilangan, tapi kehampaan yang terbentuk setelahnya.
"Lalu bagimana kau bisa berakhir di sini, apakah kau dibuang?" tanya Evran, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Valeria tersenyum kecil, tapi bukan senyum yang menyenangkan. "Dibuang? Diasingkan? Dikhianati? Mungkin semua itu. Yang jelas, aku terbangun di tempat yang asing, sendirian, tanpa ada yang peduli apakah aku hidup atau mati."
Evran tetap diam, tidak ingin merusak momen itu dengan kata-kata yang sia-sia.
"Saat masih di rumah... aku diajari banyak hal," lanjut Valeria. "Sejarah, strategi, politik, dan ya, dasar-dasar tentang class dan Awakening. Anak-anak seperti kami... kami harus mengerti bagaimana dunia ini bekerja, karena cepat atau lambat, dunia akan menguji kami."
"Menjadi bangsawan tidak selalu seindah yang dibayangkan orang-orang," lanjut Valeria. "Di balik kemewahan, kekayaan, dan kekuasaan, selalu ada harga yang harus dibayar. Semakin tinggi kau berdiri, semakin banyak musuh yang ingin menjatuhkanmu."
Ia menghela napas, matanya menerawang jauh.
"Apa gunanya semua harta dan kemawahan itu jika kau bahkan tidak bisa menikmatinya? Jika setiap hari hanya dihabiskan untuk berperang melawan mereka yang menginginkan kehancuranmu? Kehidupan rakyat jelata mungkin brutal, tapi kehidupan bangsawan juga kejam... dengan caranya sendiri. Jika kau lengah, jika kau melemah—kau akan dilahap oleh mereka yang lebih kuat. Aku contohnya"
Evran menatap Valeria dalam diam. Kata-katanya menggantung di udara, seakan menambah berat atmosfer di antara mereka. Ia bisa melihatnya dengan jelas—kesedihan yang tersembunyi di balik keteguhan gadis itu. Sorot matanya yang tajam kini terasa lebih redup, seolah ada sesuatu yang telah lama dipendam tetapi tak pernah diungkapkan.
Namun, Evran tidak tahu harus berkata apa.
Dia tidak pandai menghibur seorang gadis.
Untuk sesaat, ia berpikir untuk mengatakan sesuatu—mungkin ungkapan simpati, atau sekadar kalimat klise seperti "Aku mengerti"—tapi itu akan terdengar kosong. Ia tidak mengerti. Ia bukan bangsawan. Ia tidak tahu rasanya hidup dalam dunia yang penuh intrik dan tuntutan seperti yang Valeria alami.
Jadi, ia tetap diam.
Ia menoleh ke arah lain, merasa canggung. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, lalu tergerak sedikit sebelum kembali diam. Sejenak, ia mempertimbangkan untuk menepuk bahu Valeria—bukankah itu yang biasanya dilakukan orang?—tapi ia ragu. Itu terasa aneh.
Setelah beberapa detik yang terasa lebih panjang dari seharusnya, ia akhirnya menghela napas pelan dan berkata, dengan nada datar seperti biasa,
"Kau masih hidup."
Valeria mengangkat alis, menoleh ke arahnya. "Tentu saja."
"Jadi... setidaknya kau belum dilahap oleh mereka yang lebih kuat."
Keheningan.
Lalu, tawa kecil terdengar dari Valeria. Bukan tawa yang keras atau penuh kegembiraan, tetapi cukup untuk mengendurkan ketegangan di antara mereka. Ia menggeleng pelan, matanya masih sedikit sendu, tetapi kini dengan kilatan yang lebih hangat.
"Cara menghiburmu payah sekali."
Evran hanya mengangkat bahu. "Aku tidak sedang mencoba menghibur."
Valeria tersenyum lalu bertanya "Lalu bagaimana dengan mu, bagaimana kau berakhir disini?"
Evran menjawab datar "Aku ? hmm tidak ada yang spesial dari kisah ku, aku hanya rakyat jelata yang berakhir menjadi budak, itu hal umum yang di alami semua rakyat jelata"
Evran terlalu malu untuk bercerita. haha, pria memang tidak becerita.
Valeria tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke langit. "lain kali kau harus menceritkannya. Lalu, bagaimana denganmu? Sudah memutuskan class apa yang akan kau ambil?"
Evran terdiam. Malam terasa semakin sunyi, hanya suara angin yang berhembus lembut di sekitar mereka.
"Aku belum tahu," jawabnya akhirnya. "Tapi aku merasa pilihanku tidak akan seperti kebanyakan orang."
Valeria menatapnya lama, lalu mengangguk. "Aku juga berpikir begitu."
Evran menatap Valeria sebentar sebelum bertanya, "Kalau begitu, bagaimana denganmu? Class apa yang akan kau ambil?"
Valeria tersenyum tipis. "Aku? Sejak kecil, aku sudah dilatih menggunakan pedang. Jadi kemungkinan besar, Swordsmanship."
Evran mengangkat alis, sedikit terkejut. Tapi setelah dipikir-pikir, itu masuk akal. Dengan latar belakangnya sebagai bangsawan, tentu saja dia akan dilatih bertarung.
Tapi tetap saja...
Itu berarti Valeria lebih kuat darinya.
Evran tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang terasa... aneh.
Di dunianya dulu, pria biasanya lebih kuat dari wanita dalam hal fisik. Itu adalah fakta biologis yang tak terbantahkan. Tapi di dunia ini, perbedaan itu tidak lagi mutlak. Sistem Class dan Awakening mengubah segalanya.
Tetap saja, memikirkan kenyataan bahwa Valeria—seorang gadis seusianya—bisa lebih kuat darinya terasa agak canggung.
Dia menghela napas dalam hati.
Yah... sepertinya dia harus membiasakan diri.
Valeria meregangkan tubuhnya sedikit, lalu menatap Evran dengan senyum tipis. "Baiklah, aku harus kembali."
Evran mengangguk. "Jangan sampai ketahuan."
Valeria tertawa kecil. "Harusnya aku yang bilang begitu. Kau bukan tipe orang yang pandai menyelinap."
Evran mendecak, tapi tidak membantah.
Sejenak, mereka hanya berdiri di sana, dikelilingi oleh keheningan malam. Lalu, Valeria melangkah mundur perlahan. "Hati-hati, Evran."
Evran menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Kau juga."
Tanpa berkata lebih banyak, Valeria berbalik dan menghilang di kegelapan.
Evran tetap berdiri di tempatnya untuk beberapa saat, menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Evran berbalik dan berjalan ke kamarnya. sementara pikirannya masih dipenuhi dengan semua informasi yang baru saja ia dapatkan.
Sampai di kamarnya, ia berbaring dan menatap langit-langit yang remang-remang, ia mulai menyusun semuanya dalam kepalanya.
Jadi, Apprentice adalah seseorang yang sudah memiliki class, tetapi belum membangkitkan mana. Mereka hanya mengandalkan latihan dan keterampilan teknis. Sementara Awakened adalah mereka yang telah berhasil membangkitkan mana, memungkinkan mereka untuk benar-benar melampaui batas manusia biasa dan menggali potensi penuh dari class mereka.
Dunia ini memang tidak adil, bahkan kedua dunia, dunia ku sebelumnya juga begitu. Beberapa orang lahir dengan bakat, sementara yang lain harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan apa yang bagi orang lain datang secara alami.
Dan bagaimana denganku? aku tidak pernah memegang pedang atau tombak sebelumnya. aku bukan seorang pejuang, dan berpikir untuk menjadi seorang swordsman atau spearman terdengar konyol.
Tapi aku bukan tanpa keahlian. Dalam kehidupan sebelumnya, aku adalah seorang mahasiswa teknik kimia.
Alchemist...
Ia mulai tersenyum kecil. Itu bisa menjadi pilihan yang bagus.
Tentu saja, ia harus melupakan mimpinya menjadi seseorang yang keren seperti assassin. Membayangkan dirinya melompat dari bayangan dan menyerang musuh dalam diam memang menyenangkan, tapi ia harus realistis.
Namun, ia percaya bahwa Alchemist adalah class yang hebat.
Di dunia sebelumnya, ilmu pengetahuan lebih kuat daripada kekuatan fisik.
Dan di dunia ini, mungkin hal yang sama juga berlaku.
Dengan pikiran itu, Evran menutup matanya. Langkah pertamanya sudah jelas. Sekarang, ia hanya perlu mencari cara untuk mewujudkannya.
Setelah lelah berpikir, rasa kantuk pun mulai menyerang, Evran memejamkan mata dan tertidur lelap di kasurnya
Panas.
Suhu tubuhnya melonjak tiba-tiba. Evran terengah, merasakan sesuatu bergerak di dalam dadanya. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya, tidak teratur, seolah memompa sesuatu yang lebih dari sekadar darah.
Dum. Dum. Dum.
Degupnya menggema.
Ia berdiri di tengah kehampaan. Tidak ada langit, tidak ada tanah, hanya ruang tanpa batas yang tidak memiliki warna sejati. Cahaya pucat samar-samar berdenyut di kejauhan, tetapi tidak memiliki sumber.
Hampa. Kosong. Bisu.
Namun, entah kenapa, tempat ini terasa menunggunya.
Evran melangkah, tapi langkahnya tak berbunyi. Tidak ada udara, tidak ada permukaan yang nyata, namun tubuhnya tetap bergerak maju. Detak jantungnya masih tak beraturan, seperti sedang diselaraskan dengan sesuatu yang tak terlihat.
Lalu, sebuah bisikan muncul.
Bukan suara. Getaran.
Seperti sesuatu yang berusaha berbicara kepadanya, tetapi belum memiliki kata-kata. Ia menoleh ke segala arah, mencari sumbernya, namun yang ia temukan hanyalah bayangan samar di kejauhan.
Sebuah singgasana kosong.
Hitam pekat, namun terus berubah bentuk, seolah masih mencoba menentukan wujudnya sendiri. Tidak ada makhluk yang duduk di sana. Tidak ada raja, tidak ada dewa, tidak ada jiwa.
Dum. Dum. Dum.
Jantungnya kembali berdebar cepat. Kali ini, dunia di sekelilingnya ikut berdenyut. Ruang kosong ini bukan hanya tempat. Ini sesuatu yang hidup.
Ia mencoba berbicara, tetapi suaranya tertelan oleh kehampaan.
Tiba-tiba, sesuatu menyentuh dadanya.
Bukan tangan. Bukan makhluk. Tetapi sesuatu dari dalam dirinya sendiri.
Evran terjatuh.
Pandangan berputar. Singgasana itu tampak semakin jauh, namun pada saat yang sama, semakin dekat. Kehampaan mulai runtuh sebelum ia bisa memahami apapun.