Siang itu aku termenung menatap gedung-gedung pencakar langit di hadapanku sembari meneguk secangkir americano yang sudah tinggal air dari es yang telah mencair. Entah sudah berapa lama aku merenung dengan tatapan kosong. 15? 20 menit? Yang jelas suara pak Aji masih terngiang di kepalaku. Siapa yang tidak bingung, setelah 8 tahun tanpa kabar, ia ingin mengajakku bekerja di perusahaannya, yang lebih gila, dia menyuruhku untuk bekerja mulai besok. Apa benar ini hari Rabu? Sudah berapa kali pertanyaan itu aku tanyakan pada diriku sendiri. Lagipula, siapa yang diminta untuk mulai bekerja di hari Kamis? Kenapa tidak menunggu hari Senin? Aku hanya seorang staff administrasi biasa. Urgensi apa yang terjadi disana sehingga memerlukan staff admin sesegera mungkin? Over thinking itu tidak berhenti hingga setitik air jatuh tepat di ubun-ubun kepalaku.
Hujan siang itu terlalu mendadak untuk pagi tadi yang cerah dan gerah. Sama mendadaknya dengan undangan kerja dari pak Aji. Pak Aji adalah mantan seniorku di tempat kerja yang lama. Kami sama-sama merintis karir dari nol. Bedanya hanya usia kami yang bisa dibilang berbeda jauh. Sepertinya ia sudah menjadi senior manajer di perusahaan yang sekarang. Sedangkan aku, masih berada di posisi yang sama sejak kami bertemu 8 tahun yang lalu. Staff Administrasi dengan 8 tahun pengalaman. Luar biasa bukan? Ya, aku tahu timeline setiap orang berbeda-beda, hanya saja stuck di satu titik itu terasa sangat membosankan. Aku bahkan belum sempat memperbaharui CV ku. Sepertinya hari ini aku perlu pulang cepat.Â
---//---
Deru kendaraan sangat kentara terdengar dari dalam kamar kos ku. Maklum, aku tinggal di rumah petak ini tepat di depan jalan raya. Jam di layar laptop menunjukkan pukul 19.29, aku masih termenung di depan layar putih, kebingungan, apa lagi yang perlu ku tambahkan kedalam CV ku yang indah ini. Bukannya sombong, hanya sedikit congkak saja, aku sangat jarang berpindah-pindah perusahaan. Karena berada di bidang konstruksi, biasanya aku menghabiskan masa kontrakku hingga pembangunan selesai dan diserah-terimakan. Atau, biasanya, hingga aku dikeluarkan dari perusahaan. Alasannya bermacam-macam, dari fitnah kecil, hingga fitnah yang sangat kejam. Ya, begitulah drama dan politik kantor. Bukan hal yang aneh jika ada satu, dua, tiga, atau delapan puluh tujuh oknum yang ingin menggapai tingkatan karir dengan cepat dan instan. Cara yang paling mudah adalah dengan menjilat dan menjatuhkan rekan kerjanya sendiri. Apa yang kau harapkan dari dinamika ini? Di negeri nan jauh di mato ini, lapangan pekerjaan sedikit, sedangkan para pencari kerja sangat luar biasa banyak. Maka, tidak heran jika banyak orang yang rela mengandalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.
CV yang tadi hanya ku pandangi akhirnya ku simpan dan ku kirim juga pada pak Aji. Tidak ada balasan, hanya centang biru yang menandakan bahwa pak Aji telah membaca pesan ku. Semoga besok tidak ada hal aneh terjadi padaku. Semoga.Â
---//---
Pukul setengah delapan tepat, aku sudah sampai di kantor dimana pak Aji bekerja. Sepertinya beliau belum datang. Aku hanya duduk sendirian di ruang tunggu front office. Seingat ku pak Aji bilang untuk datang ke kantor pukul setengah delapan, ini sudah lebih satu menit dan belum ada tanda-tanda batang hidungnya akan muncul, setidaknya melihat kumis nya saja hati dan pikiranku sudah tenang dan mencapai konklusi bahwa tawaran kerja kemarin bukan lelucon semata.Â
"Don.." Terdengar suara dari arah pintu masuk.
Yap, benar, itu pak Aji. Style nya tidak pernah berubah. Kumis tebal, Polo berkerah dengan celana kain warna hitam. Oh, sepertinya sepatunya sudah ganti. Tidak mungkin juga sepatu safety delapan tahun lalu masih ia pakai.
"Pak Aji" sahut ku.
"Bagaimana kabar Don? baik?"
"Baik pak, pak Aji bagaimana kabar?"
"Ha..ha..ha., Mumet don, gimana ngga mumet, istriku sekarang ada tiga!"
"Ah, pak Aji ngga berubah bercandanya" Aku menjawab sambil tersenyum tipis.
Kalau yang tadi bukan bercanda, bisa jadi langkah ku salah untuk mengikuti kemauannya bekerja disini.
"Serius don, nih lihat" Pak aji bersemangat sambil merogoh kantong celananya. Ia mengambil handphone dan mencari-cari dengan raut wajah yang serius.Â
"Mana ya..? Nah ini. lihat" sembari menunjukan layar handphone nya.
Gila, benar-benar tiga istrinya. Foto bersama pula. Bagaimana bisa tiga bidadari cantik itu mau dengan orang yang memiliki berat badan tidak wajar ini? Taksiran ku ada lebih dari 100kg berat nya. Kalau per-kilo nya 5000 rupiah saja, sudah 500,000 bisa ku dapatkan.Â
"Ah, ini pasti saudaranya pak Aji, mana mungkin tiga-tiganya istri bapak"
"Serius Don, mana pernah saya bohongin kamu?"
Iya sih, selama tiga tahun sekantor dengan pak Aji, tidak pernah ada satu kalimat yang diucap pak Aji adalah sebuah kebohongan. Aku pernah membuktikannya sendiri.Â
"Ya udah, sini, ku kenalin sama teman-teman yang lain." kata pak Aji sembari mengajak ku untuk pergi ke ruangan tempat kami akan bekerja.Â
"Jadi Don, kali ini kita dapat proyek untuk bangun hotel di Batam. Saya ditunjuk untuk jadi project manager nya. Kamu bantu saya ngurusin administrasi proyeknya ya."Â
"Siap pak" Jawabku meng-iya-kan.
Kami sampai di depan ruangan dengan nomor 103. Di pintunya terdapat tulisan "Proyek Tamarine Hotel & Resort". Sepertinya itu nama hotel yang akan kami kerjakan. Dugaan ku, ini hanya ruangan sementara sebelum kami dipindahkan ke site di Batam, biasanya juga seperti itu. Akhirnya kami masuk dan tidak ada seorang pun di dalam ruangan 103, hanya ada 2 meja kerja.Â
"Ini Don, ruangan kita."
"Ngga ada orang pak? tadi katanya mau ngenalin ke teman-teman yang lain?"
"Ha..haa.haa, emang ngga ada orang, team yang lain sudah di Batam, hotelnya sudah jadi setengah, haa..haa..haa.." Pak Aji tertawa sambil menepuk-nepuk pundak ku.
Tertawanya khas bapak-bapak sekali. Aku masih tidak percaya tiga bidadari tadi mau dengan orang ini. Apa yang mereka lihat? Pelet apa yang pak Aji pakai?Â
Memang bukan hal aneh jika staff proyek ada yang keluar-masuk ditengah-tengah proyek yang sedang berjalan. Mungkin ini juga sebabnya pak Aji menyuruh ku untuk segera bergabung di team nya. Administrasi proyek sangat berbeda dengan job desk administrasi lainnya. Sama-sama mengurus dokumen, tapi dokumen di proyek lebih banyak jenisnya. Semua dokumen proyek harus akurat, miss satu hal saja bisa mengacaukan alur keseluruhan pembangunan.Â
"Jadi, kapan kita berangkat ke Batam pak?" tanya ku.
"Kemungkinan hari Minggu besok, ada beberapa hal yang perlu saya urus disini. Kamu siap-siap aja, kalau bisa packing malam ini."Â
"Pak, saya baru bayar kos untuk bulan ini, ini masih awal bulan pak." Jawabku dengan nada melas.
Yang benar saja, siapa yang akan mengganti uang ku yang baru saja aku gunakan untuk membayar sewa kos sempit nan mahal itu? Lokasinya strategis di tengah kota Jakarta, berada di tepi jalan utama dan terdapat parkiran yang luas. Harga mulai 1,5 juta saja. Ada yang minat mengganti uang ku?
"Ya mau gimana Don?, yang penting kan gaji mu naik kan?" Jawab pak Aji tidak mau tahu.
"Iya sih pak naik, tapi kan.."Â
"Hari ini gini dulu ya, besok masuk ke kantor aja dulu, ada yang perlu saya bicarakan sama kamu." pak Aji menyela.
"Siap pak., saya berarti balik dulu ya pak"
"Iya, hati-hati, jangan mampir ke rumah janda. Haa..haa..haa.."
Aku hanya bisa tersenyum geli mendengar jawabannya yang sangat tidak profesional. Memang begitulah pak Aji sedari dulu. Tidak pernah serius dalam hal apapun. Apapun. Sekalipun ada masalah di proyek, pak Aji selalu menghadapinya dengan guyonan recehnya. Tadi lewat mana ya? Kantor ini benar-benar seperti labirin, tidak ada papan penunjuk jalan, ruangannya bersekat-sekat dan, nah, itu dia pintu masuknya, atau lebih tepat jika ku sebut sebagai pintu keluar?Â
---//---
Hari ini, hari pertama aku akan berdiam diri di ruangan kosong bernomor seri 103. Berkali-kali aku menatap layar handphone yang terus menunjukkan notifikasi kosong. Pak Aji yang katanya ingin ngobrol dengan ku juga tidak membalas saat ku tanya ingin bertemu jam berapa. Aku lapar. Perutku sudah menyanyikan tiga album dangdut milik Meggy Z. ini sudah hampir jam 1 siang dan aku tidak tahu dimana kantin kantor ini. Tepat saat aku berdiri dari kursi kantor yang membosankan ini, handphone ku berdering. Pak Aji menelpon.
"Halo..,"
"Don, kamu dimana sekarang?"
"Saya di kantor pak, mau cari makan, kenapa pak?"
"Saya tunggu di parkiran ya, kita makan di luar."
"Siap pak, saya jalan kesana."
Dewi Fortuna memang tidak pernah kemana, lumayan juga untuk menghemat pengeluaran ku di bulan ini, lagi pula besok sudah harus berangkat ke Batam. Sesampainya di parkiran, pak Aji sudah menunggu di depan mobil hitam nya. Kami segera masuk ke dalam mobil, pak Aji yang menyetir. Setelah keluar dari kantor pak Aji menanyakan pertanyaan yang membuatku mengerutkan dahi.
"Waktu kamu jalan kesini ngga ada yang ngikutin kan?"Â
"Maksudnya pak?" Jawabku memastikan maksud pertanyaan itu.
Candaan apa lagi ini? Jangan bilang di kantor itu ada arwah penasaran yang tertarik dengan ketampanan ku. Minimal mbak kunti kemasan sachet boleh lah ya, kalau yang seram-seram yang mengikuti ku, aku minta disucikan dengan api malam ini.
"Ya.., kamu merasa ada yang ngikutin di belakang ngga tadi?" tanya pak Aji.
"Engga ada sih kayanya ya pak" jawabku dengan tenang.
"Bagus lah kalau ngga ada., sebenarnya begini Don.."Â
Feeling ku mengatakan ada yang tidak beres. Suatu hal yang besar akan terjadi. Jantung ku berdetak kencang, apakah aku jatuh cinta? Tentu saja tidak, lebih baik jatuh hati dengan Janda anak lima daripada dengan pak Aji. Ada apa ini?, kenapa percakapannya terjeda? Apakah penulis sedang membangun ketegangan yang digagalkan dengan candaan cringe nya sendiri?
"Sebenarnya, saya dituduh melakukan penggelapan dana perusahaan 34 Milyar di proyek ini." Pak Aji melanjutkan sembari tetap fokus memperhatikan jalan.Â
---/end of chapter/---