Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Kosagi Hara:Tertinggal di Dunia Asing

🇮🇩Lurhein_Tenshiro
--
chs / week
--
NOT RATINGS
403
Views
Synopsis
"Aku Hanya Mau Kerja di Luar Negeri, Tapi Malah Terjebak di Isekai?! Mana Uangku, Sial!" Kosagi Hara, seorang mantan buruh bangunan yang kini jadi NEET, akhirnya dapat tawaran kerja menggiurkan dari temannya. Dengan penuh semangat, ia berangkat ke luar negeri… atau setidaknya, itulah rencananya. Tapi tiba-tiba, waktu berhenti. Dunia menghilang. Dan saat membuka mata, ia malah berada di tengah padang rumput asing, tanpa satu pun tanda kehidupan modern. Tanpa ponsel. Tanpa uang. Tanpa makanan. Tidak ada dewa, tidak ada misi, bahkan tidak ada NPC yang menyambutnya. Kosagi kini terjebak di dunia lain tanpa alasan jelas. Dan lebih parahnya lagi… dia kelaparan.
VIEW MORE

Chapter 1 - PROLOG:

Di sebuah kamar sempit yang berantakan, seorang pemuda berusia 17 tahun sedang duduk di kasurnya, menatap layar ponsel dengan ekspresi kosong.

Namanya Kosagi Hara

Dulu, ia bukanlah NEET seperti sekarang. Ia pernah bekerja sebagai buruh di proyek pembangunan, bekerja keras mengangkat material, mencampur semen, dan melakukan pekerjaan kasar lainnya.

Namun, semuanya berubah karena fitnah kejam.

Seseorang menuduhnya mencuri bahan bangunan dari proyek. Kosagi berusaha mati-matian membela diri, tetapi tidak ada yang percaya.

Satu-satunya orang yang membelanya adalah Heruru, rekan kerja yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Namun, meskipun Heruru berusaha keras meyakinkan atasan bahwa Kosagi tidak bersalah, usaha itu sia-sia.

Pada akhirnya, Kosagi dipecat.

Setelah kejadian itu, ia kehilangan motivasi untuk bekerja lagi. Ia menyerah.

Sejak saat itu, hidupnya hanya dihabiskan di kamar tanpa pekerjaan, tanpa tujuan, hanya berdiam diri sambil bermain game dan menonton anime atau baca Manga.

Tapi malam ini, segalanya berubah.

Kosagi menatap pesan di ponselnya dari Heruru.

"Kos, gue ada proyek pembangunan di Indonesia. Gajinya lumayan gede. Mau ikut?"

Kosagi membaca ulang pesan itu beberapa kali.

Bekerja lagi? Setelah sekian lama?

Ia ragu. Tapi setelah melihat angka gaji yang disebutkan, ia langsung terduduk diam.

"Alamak uang segini... aku bisa hidup santai selama bertahun-tahun!"

Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan tangan gemetar"

"BAIKLAH AKU MAU BRO"

Dua hari kemudian, Kosagi meninggalkan rumahnya menuju stasiun kereta bawah tanah.

Ia harus pergi ke kantor Heruru di pusat kota untuk mengurus dokumen sebelum berangkat ke negara Indonesia. Karena jarak dari rumahnya sangat jauh, pulang hanya untuk mengambil barang yang tertinggal bukanlah pilihan.

Saat ia menuruni tangga menuju peron, suasana stasiun masih cukup ramai. Orang-orang tampak lelah setelah seharian bekerja, beberapa duduk di bangku sambil memainkan ponsel, sementara yang lain hanya diam menunggu kereta.

Kosagi menemukan bangku kosong di sudut peron dan langsung duduk dengan lega.

Namun, saat ia mencoba mengambil ponsel dari sakunya untuk mengecek waktu, sesuatu terasa aneh.

Ia merogoh saku celananya. Kosong. Jaket? Kosong juga. Tas? Hanya berisi dokumen.

Kosagi terdiam.

Tangan gemetar, ia mulai meraba seluruh tubuhnya, berharap ponselnya hanya terselip di suatu tempat. Namun, setelah beberapa detik panik, satu kenyataan pahit menghantamnya.

Ponselnya tertinggal di kamar.

Matanya membelalak.

"Astaga... aku lupa bawa ponsel?!"

Beberapa penumpang menoleh ke arahnya, mendengar seorang pemuda yang tiba-tiba berbicara sendiri seperti baru kehilangan seluruh tabungan hidupnya.

Kosagi menatap kosong ke lantai. Ini tragedi besar.

Tanpa ponsel, ia tidak bisa menghubungi Heruru, tidak bisa cek alamat kantor, tidak bisa lihat peta, tidak bisa pesan ngojek kalau nyasar, bahkan tidak bisa cari hiburan saat bosan!

Namun, setelah beberapa menit menenangkan diri, ia menarik napas panjang.

"Tidak apa-apa... kalau sampai kepepet, aku bisa pinjam uang dulu ke Heruru dan beli ponsel baru hahaha."

Masalah selesai. Ia kembali duduk dengan santai, meskipun masih sedikit kesal dengan kebodohannya sendiri.

Namun, masalah yang lebih besar justru baru dimulai.

Kosagi melirik jam dinding di peron. Sudah pukul 10 malam.

Kereta yang seharusnya datang lima belas menit yang lalu masih belum terlihat.

Ia menoleh ke lorong rel, berharap melihat sinar lampu dari kejauhan. Nihil.

Orang-orang di peron mulai gelisah, beberapa melirik jam tangan mereka dengan wajah jengkel. Beberapa lainnya hanya duduk diam, tapi Kosagi bisa melihat ekspresi aneh di wajah mereka seolah mereka juga merasa ada yang tidak beres.

Waktu terus berjalan. 10 menit. 20 menit. 30 menit.

Kosagi menghela napas panjang.

"Apa sih yang salah kali ini? Apa ada gangguan teknis?"

Ia mencoba mengingat apakah ada pengumuman soal keterlambatan kereta sebelum ia turun ke peron tadi. Tapi tidak ada.

Hanya keheningan.

Kereta yang seharusnya sudah tiba sejak tadi tetap tidak datang. Tidak ada suara roda besi, tidak ada suara pengumuman dari pengeras suara, tidak ada apa-apa.

Kosagi mulai merasakan sesuatu yang aneh.

Ia melirik ke arah orang-orang di sekitarnya. Beberapa masih terlihat biasa saja, tapi ada yang mulai gelisah, ada yang terlihat takut. dan ada yang memperhatikan lorong rel dengan tatapan kosong.

Rasanya... ada yang tidak beres.

Udara di peron terasa lebih dingin. Tidak ada suara sama sekali selain dengungan samar dari lampu neon di langit-langit.

Kosagi menelan ludah.

Seumur hidupnya, ia belum pernah mengalami **stasiun bawah tanah yang begitu sunyi seperti ini.

Biasanya, meskipun ada keterlambatan, pasti ada pengumuman dari petugas. Tapi ini... Benar-benar hening.

Kosagi mencoba berpikir logis.

"Mungkin ada masalah teknis yang serius..."

Namun, saat ia melirik ke arah jam dinding lagi, darahnya mendadak terasa dingin.

Jarum jam masih menunjukkan pukul 10 malam.

Padahal, rasanya ia sudah duduk di sana lebih dari 40 menit.

Kosagi mulai menyadari sesuatu.

Bukan hanya kereta yang tidak datang.

Waktu juga berhenti berjalan.

Awalnya ia mengira ini hanya masalah teknis biasa, tetapi semakin lama ia berpikir, semakin banyak hal yang terasa salah.

Ia mengalihkan pandangannya ke sekeliling stasiun.

Orang-orang masih duduk seperti sebelumnya, tetapi ada yang aneh.

Biasanya, ada sedikit gerakan orang menggeser posisi duduk, menghela napas, atau sekadar mengubah ekspresi wajah. Tapi sekarang...

Tidak ada yang bergerak.

Mata mereka tetap terbuka, tetapi tubuh mereka sama sekali tidak bergerak.

Salah satu pria paruh baya di bangku sebelahnya sedang membaca koran, tetapi tangannya berhenti di udara, seolah waktu benar-benar membeku.

Kosagi mulai panik.

"Heh... ini apa, sih? Jangan bercanda," gumamnya, suaranya sedikit gemetar.

Ia menoleh ke seorang wanita muda yang sedang berdiri di dekat pintu masuk peron. Tubuhnya kaku, matanya menatap lurus ke depan, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ia bernapas atau bahkan hidup.

Kosagi berdiri dengan cepat, menyebabkan kursi tempatnya duduk bergeser sedikit. Tapi tetap tidak ada reaksi dari siapa pun.

Jantungnya berdebar.

Otaknya mencoba mencari penjelasan logis.

Mungkin ini cuma mimpi?*

Tanpa berpikir panjang, ia mencubit pipinya sendiri.

"Aduh!"

Nyeri terasa nyata. Ini bukan mimpi.

Kosagi menelan ludah.

"T-Tunggu... jangan-jangan ini prank?" katanya pelan, meski tidak yakin siapa yang akan menjawab.

Ia mengayunkan tangannya di depan wajah seorang pria berjas yang sedang berdiri di dekatnya. Tidak ada respons.

"Aku di acara reality show? Kamera tersembunyi?"

Namun, saat ia menoleh ke sudut ruangan, ia menyadari sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.

Lampu neon di langit-langit juga membeku.

Cahaya yang biasanya berkedip-kedip tetap diam di satu posisi. Seolah segala sesuatu di dunia ini telah dihentikan kecuali dirinya.

Kosagi mulai bernapas lebih cepat.

"Ini gila... ini nggak mungkin..."

Tiba-tiba, rasa takut menyerangnya dengan brutal.

Ia tidak bisa tinggal di sini lebih lama!

Ia harus keluar dari stasiun ini!

Tanpa membuang waktu, Kosagi berlari menuju tangga yang mengarah ke pintu keluar.

Suara langkah kakinya menggema di seluruh stasiun, tetapi tidak ada yang bereaksi.

Ia menaiki anak tangga dengan terburu-buru, tubuhnya sedikit goyah karena

jantungnya masih berdebar kencang.

Namun, saat ia hampir mencapai pintu keluar...

Sebuah cahaya putih terang tiba-tiba menyilaukan matanya.

"Aghh!"

Refleks, Kosagi menutup mata dengan tangannya. Cahaya itu terlalu menyilaukan, lebih terang dari sinar matahari.

Udara di sekitarnya terasa aneh, seolah ada sesuatu yang menarik tubuhnya ke arah yang tidak diketahui.

Suaranya tertelan oleh cahaya yang semakin membesar.

Dan dalam sekejap Hening.

Beberapa detik berlalu.

Kosagi masih menutup matanya.

Tidak ada lagi suara stasiun, tidak ada suara langkah kaki, tidak ada suara dengungan lampu neon.

Ia perlahan membuka matanya.

Yang pertama kali ia sadari adalah udara yang lebih segar dan sejuk.

Ia berkedip beberapa kali, lalu melihat sekeliling.

"Apa... ini?"

Alih-alih stasiun bawah tanah yang suram, ia kini berdiri di tengah padang rumput luas yang indah.

Angin bertiup lembut, membuat rumput hijau bergoyang pelan. Udara terasa bersih dan segar, jauh berbeda dari udara kota yang penuh polusi.

Di kejauhan, gunung-gunung tinggi menjulang, diselimuti awan tipis yang membuat pemandangan terlihat seperti lukisan fantasi.

Kosagi menoleh ke belakang, mencoba mencari pintu keluar stasiun.

Namun, yang ada di sana bukan stasiun.

Hanya padang rumput yang luas, dihiasi bunga-bunga kecil berwarna putih dan ungu.

Kosagi terdiam.

"Tunggu... tadi aku ada di stasiun... kan?"

Ia berbalik lagi, mencoba mencari tanda-tanda kota atau bangunan modern.

Namun, tidak ada.

Sama sekali tidak ada.

Hanya alam liar yang indah dan luas sejauh mata memandang.

Otaknya mulai bekerja keras untuk memahami situasi ini.

"Tidak... tidak mungkin..."

Ia menoleh ke langit. Matahari bersinar terang, tetapi tidak terasa terlalu panas. Awan putih menggantung dengan sempurna di langit biru.

Ia menunduk, meraih segenggam rumput dan meremasnya di tangannya.

Teksturnya terasa nyata.

Kosagi mulai merasa pusing.

"Apa ini... isekai?"

Ia tertawa kecil, tetapi tawa itu tidak memiliki sedikit pun kebahagiaan.

"Ini cuma... lelucon, kan?"

Namun, semakin ia melihat sekeliling, semakin ia sadar bahwa ini bukan mimpi.

Dan lebih buruknya lagi...

Ia benar-benar sendirian.

Kosagi menatap langit, lalu menghela napas panjang.

"Jadi... sekarang aku ada di dunia lain?"

Tidak ada jawaban.

Hanya suara angin yang berhembus lembut di padang rumput.

Kosagi masih berdiri terpaku di tengah padang rumput yang luas, angin sejuk berhembus lembut di sekelilingnya.

Ia mengangkat tangannya, menatap telapak tangannya sendiri.

Oke. Ini bukan mimpi. Ini benar-benar isekai.

Tapi kemudian, satu pemikiran mendadak menghantam otaknya seperti batu bata.

"Tunggu. Kalau aku di sini..."

Matanya melebar.

"Heruru!?"

Kosagi langsung terbayang ekspresi Heruru yang menunggunya di kantor.

Heruru (di dunia nyata): "Hah? Mana Kosagi? Bukannya dia harusnya udah sampai jam segini? Kok nggak ada kabar?!"

Ia bisa membayangkan Heruru menatap jam berkali-kali sambil mengomel karena Kosagi tidak bisa dihubungi.

Dan masalahnya lebih parah dari sekadar tidak bisa dihubungi.

Kosagi menunduk ke bawah dan baru menyadari sesuatu yang lebih tragis.

Tas yang tadi ia bawa… tidak ada.

Ia buru-buru menengok ke belakang, berharap tasnya ada di sekitar. Tapi nihil.

Kosagi memejamkan mata, mencoba mengingat kejadian sebelum ia sampai di sini.

Saat panik melarikan diri dari stasiun…

Saat menaiki tangga dengan tergesa-gesa…

Saat melihat cahaya putih menyilaukan…

Tasnya!

Ia pasti menjatuhkannya di stasiun bawah tanah sebelum berpindah ke sini!

Ia menatap langit, merasa ingin menangis.

"Bukan cuma nggak ada ponsel... tapi tas juga hilang?! Semua dokumen dan uang ada di situ, dasar sial!"

Lalu perutnya berbunyi.

Ggrrrrkk...

Kosagi langsung membeku.

Ia menatap perutnya sendiri dengan ekspresi penuh duka.

"Bukan cuma nggak punya uang… aku juga kelaparan?"

Jadi kesimpulannya...

Dia tiba-tiba terjebak di dunia isekai.

Dia nggak bawa ponsel.

Dia nggak bawa tas, nggak ada uang, nggak ada dokumen, nggak ada bekal makanan.

Heruru pasti kebingungan karena dia nggak muncul-muncul di kantor.

Dan sekarang perutnya keroncongan.

Kosagi menatap langit dengan wajah putus asa.

"Luar biasa... aku baru beberapa menit di isekai, tapi sudah jadi tunawisma kelaparan tanpa identitas."

"Kalau ini memang dunia lain… apakah tidak ada dewa atau dewi yang memanggil saya?"

Ia menunggu.

Satu detik. Dua detik. Lima detik.

Hening.

Tidak ada lingkaran sihir yang muncul di bawah kakinya. Tidak ada suara megah yang berkata "Selamat datang, pahlawan yang terpilih!" Tidak ada seorang pun yang memberinya misi, senjata suci, atau bahkan sekadar menyuruhnya membunuh raja iblis.

Kosagi berkedip.

"Serius? Bahkan gak ada yang mau jelasin apa yang terjadi?"

Ia menghela napas panjang dan mengacak rambutnya dengan frustasi.

"Kembalikan aku ke dunia asalku, sialan!"

Namun, tentu saja, tidak ada jawaban.

Hanya angin sejuk yang berhembus, membuat rumput bergoyang perlahan.

Kosagi menunduk dan duduk di tanah, menatap kosong ke depan.

"...Gimana cara aku bertahan hidup di sini?"

Dan di situlah petualangan orang malang yang terdampar di dunia lain tanpa persiapan sama sekali dimulai.

Reviews