Malam ini tidak menenangkan—ia berbisik, merayap masuk melalui celah-celah sunyi, membawa sesuatu yang tak kasatmata namun nyata. Suara rintiknya bukan sekadar suara—ada sesuatu yang bersembunyi di baliknya, sesuatu yang menyelinap ke dalam tulangnya—menjalar di bawah kulitnya—menyusup ke pori-porinya seperti racun yang perlahan menguasai.
Hujan turun deras, menghantam kaca jendela apartemen kecil yang terasa lebih seperti penjara daripada tempat tinggal. Rintik-rintiknya mengalir perlahan di permukaan kaca berembun, menciptakan jejak samar seperti air mata yang tak pernah berhenti jatuh. Lampu jalan di luar memancarkan cahaya temaram, tetapi bayangannya yang memanjang di trotoar basah lebih menyerupai hantu-hantu yang mengintai dalam diam. Langit malam begitu pekat, tanpa bintang, seakan melahap segala cahaya dan meninggalkan kehampaan yang menyesakkan.
Valia duduk di tepi ranjangnya, tubuhnya terlipat dalam dekapan sendiri, seolah ingin menghilang ke dalam dirinya sendiri. Lututnya ia peluk erat, jemarinya mencengkeram kain bajunya seperti orang tenggelam yang berusaha berpegangan pada sesuatu—apa pun. Nafasnya pelan, terputus-putus, nyaris tenggelam dalam simfoni hujan yang tak henti-hentinya menghantam dunia di luar sana. Namun, di balik kebisingan itu, kesunyian justru semakin menusuk. Sunyi yang tidak wajar. Sunyi yang berbisik padanya. Sunyi yang mengawasi dari sudut-sudut gelap kamarnya.
Mungkin itu hanya pikirannya sendiri. Atau mungkin… sesuatu sedang menunggunya.
Seseorang sedang mengawasinya.
Tatapan yang tak terlihat, namun keberadaannya begitu kentara. Hangat, menyesakkan, namun juga mengancam.
Valia menggigit bibirnya, jemarinya mencengkeram kain piyamanya hingga buku-buku jarinya memutih. Napasnya pendek, terputus-putus, seolah paru-parunya mendadak lupa cara bekerja. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir ketakutan yang merayap seperti jaring laba-laba di pikirannya. Itu hanya paranoia. Itu hanya pikirannya yang mempermainkannya lagi… bukan?
Namun di luar sana, berdiri dalam bayang-bayang malam, seseorang benar-benar sedang memperhatikannya.
Bayangan itu tidak hanya diam—ia menatap.
Van—berdiri dalam kegelapan, menyatu dengan bayangan, seolah malam itu sendiri telah menciptakannya. Hujan deras mengguyur tubuhnya, meresap ke dalam jas hitamnya, membasahi kulitnya hingga dingin menggigit—tapi ia tidak peduli. Tidak sedikit pun. Baginya, hanya ada satu hal yang berarti. Satu-satunya yang membuat dadanya sesak dengan obsesi yang membakar.
Gadis itu... Mungil. Rapuh. Indah. Begitu indah… miliknya.
Matanya menelusuri setiap inci tubuhnya, menikmati bagaimana bibir mungil itu sedikit terbuka saat napasnya tersengal, bagaimana mata besarnya dipenuhi ketakutan yang begitu manis, bagaimana pundaknya bergetar halus, seolah tubuh kecil itu tahu bahwa sesuatu yang tak terhindarkan akan segera terjadi.
Van tersenyum—tipis, berbahaya, penuh kegilaan yang tertahan.
Ah… betapa ia ingin merengkuhnya, menyesap setiap desahannya, meremukkan ketakutan itu di antara jemarinya hingga yang tersisa hanya dirinya. Hanya dirinya dalam dunia gadis itu.
Karena Gadis itu tidak perlu apa pun. Tidak perlu siapa pun.
Hanya dia. Hanya Van.
Sudah dua tahun sejak ia menemukannya. Sejak kekosongan yang menggerogoti jiwanya terisi oleh sesuatu yang lebih manis, lebih berbahaya—Valia. Sejak takdir mengikat mereka dalam kisah yang tak bisa dihindari.
Dua tahun, ia telah mengawasi setiap gerakan gadis itu.
Setiap helaan napas yang bergetar. Setiap kilasan ekspresi yang ia sembunyikan di balik ketakutan. Setiap detak jantung yang berdetak lebih cepat—terutama saat ia merasa diintai. Dirasuki. Dimiliki.
Ia tersenyum gelap.
Malam ini, tidak ada lagi jarak. Tidak ada lagi dinding di antara mereka.
Ia akan menghapus batas itu, menelannya hingga tak ada ruang tersisa—hingga satu-satunya yang ada di dunia Valia hanyalah dirinya.
Miliknya. Selamanya.
Van mengangkat ponselnya, ibu jarinya menekan satu tombol.
Di dalam apartemen yang sunyi, ponsel Valia tiba-tiba bergetar.
Gadis itu tersentak, jantungnya mencelos. Matanya mengerjap saat melihat layar—nomor tak dikenal. Tidak ada nama. Hanya angka asing yang terasa lebih mengancam daripada sekadar deretan digit biasa.
Jari-jarinya ragu menyentuh layar.
"Siapa...?" gumamnya, nyaris tak bersuara.
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, sebuah pesan suara masuk.
Detak jantungnya menggila. Tenggorokannya kering. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol play.
Lalu… suara itu terdengar.
Nada rendah. Serak. Penuh sesuatu yang menetes di setiap kata, sesuatu yang basah oleh obsesi yang menggelitik kulitnya bahkan sebelum ia menyadarinya.
"Valia…"
Ia menegang.
Ada senyuman di balik suara itu. Lembut. Menggoda. Namun sekaligus menekan, seolah udara di sekelilingnya tiba-tiba menghilang.
"Kau terlihat sangat manis malam ini."
Napasnya tercekat.
Darah dalam tubuhnya seolah berhenti mengalir.
Matanya bergerak liar, mencari sesuatu—atau seseorang. Ruangan terasa lebih kecil, lebih gelap, seolah tembok-temboknya semakin mendekat, menelannya dalam paranoia yang mencengkeram.
"Jangan takut…" suara itu berbisik, mesra, seolah sedang membelainya dalam kegelapan. "Aku hanya ingin berbicara denganmu."
Tangannya gemetar. Hampir saja ponselnya jatuh dari genggaman.
"A-aku harus menelepon polisi…" bisik Valia, lebih kepada dirinya sendiri.
Di seberang sana, terdengar tawa kecil. Rendah. Hangat. Namun berbahaya, seperti bara api yang mengintai di balik kabut.
"Sayangku… Bahkan sebelum mereka datang, aku sudah lebih dekat dari yang kau kira."
Tok. Tok.
Sebuah ketukan terdengar dari jendela.
Dunia Valia seketika berhenti.
Dengan gerakan kaku, ia menoleh—dan saat itu juga, dunianya berhenti berputar.
Seseorang berdiri di luar jendela apartemennya.
Hujan mengguyur tubuhnya, membasahi jas hitam yang melekat erat pada kulitnya, menonjolkan sosoknya yang tegap, penuh dominasi. Matanya… tajam, gelap, dan terhunus lurus padanya, seolah Valia adalah satu-satunya hal yang berarti di dunia ini.
Dan ia tersenyum.
Tangan Valia langsung menutupi mulutnya, napasnya tersengal. Dadanya naik turun, jantungnya berdentum seperti ingin meledak. Seluruh tubuhnya menegang, ketakutan mencengkeram tengkuknya seperti belenggu yang tak kasatmata.
Tidak. Itu… tidak mungkin.
Lantai tiga. Tidak ada balkon. Tidak ada pijakan. Tidak ada apa pun untuk berdiri.
Tapi dia di sana.
Berdiri tegap, dengan satu tangan terselip di saku celana dan kepala sedikit miring—seolah kehadirannya di tempat yang mustahil itu bukan sesuatu yang aneh.
Valia merasa lambungnya menciut. Ia mencari penjelasan, mencari sesuatu yang masuk akal. Tapi pikirannya terasa kosong, seperti ditelan suara hujan yang menggila di luar sana.
Sebelum ia menyadarinya, tubuhnya mulai bereaksi sendiri—napasnya semakin dangkal, tangannya bergetar, kakinya sedikit bergeser ke belakang. Seolah tubuhnya tahu bahwa apa pun yang ada di luar sana… bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika biasa.
"Bagaimana…?" suaranya lebih seperti napas yang nyaris tercekik.
Van tidak menjawab. Ia hanya tersenyum lebih lebar—senyuman yang panas, berbahaya, dan lapar—penuh dengan segala keinginan yang selama ini ia pendam, selama dua tahun.
Lalu perlahan—sangat perlahan—ia mengangkat jari telunjuknya.
Dan mengisyaratkan sesuatu.
Buka jendelanya.
Valia mundur, kakinya hampir tersandung karpet, kepanikannya meningkat. Tapi sebelum ia sempat melakukan sesuatu, suara itu terdengar lagi.
Bukan dari ponselnya.
Tapi dari laki-laki di luar jendela.
"Sayang…" bisik Van, suara beratnya menelusup ke dalam kulitnya seperti belati yang panas. "...aku bisa menunggu. Tapi kita berdua tahu, cepat atau lambat, kau akan membukanya untukku."
Napas Valia tercekat, jari-jarinya mencengkeram erat piyama tidurnya yang tipis.
"Siapa… siapa kau?" suaranya bergetar.
Van hanya terkekeh, rendah, menggema di antara gemuruh hujan. Hangat. Menggoda. Memabukkan.
Kemudian, dengan gerakan malas seolah ia punya kendali penuh atas segalanya, ia menempelkan telapak tangannya ke kaca. Hujan mengalir di antara jari-jarinya, menciptakan ilusi seakan kaca itu sendiri merintikkan keringat.
"Aku?" ujarnya lembut, suaranya seperti belaian halus yang menjalar langsung ke saraf-sarafnya. "Aku adalah seseorang yang mencintaimu lebih dari siapa pun di dunia ini, Valia."
Lembut. Sangat lembut.
Namun di balik kelembutan itu, ada sesuatu yang liar. Tak terkendali.
"Selama ini... aku telah bersamamu..." Suaranya turun satu oktaf, lebih dalam, lebih intim. "Aku tahu bagaimana kau tersenyum palsu di depan orang lain. Aku tahu kapan kau menangis diam-diam di kamar mandi."
Matanya bergerak, menelanjangi setiap inci tubuh Valia dengan intensitas yang terlalu intim, terlalu panas, terlalu membakar.
"Aku tahu kapan kau merasa kesepian… Dan aku juga tahu apa yang kau butuhkan."
Nadanya nyaris seperti desahan, suara yang menggigit, merambat, menggelitik setiap saraf di tubuh Valia hingga lututnya terasa lemas.
Van menempelkan keningnya ke kaca, seolah ingin lebih dekat.
Embusan napasnya menghangatkan kaca dingin, menciptakan kabut tipis—seperti nafasnya telah merasuk ke dalam ruang Valia, menjangkau hingga ke kulitnya. Seolah yang memisahkan mereka hanyalah sesuatu yang rapuh—sesuatu yang bisa ia hancurkan kapan pun ia mau.
Ia bisa merasakan ketakutan Valia, bisa melihat tubuh mungilnya yang menegang, napasnya yang tertahan, ekspresi terperangkap itu… indah.
Lalu, ia berbisik—pekak, mendalam, menggoda.
"Aku tahu bagaimana cara membuatmu merasa lengkap, Valia."
Matanya menelan gadis itu sepenuhnya, menelusuri setiap inci tubuhnya dengan kesabaran seorang pemangsa yang menikmati ketakutan mangsanya.
Dan Valia? Ia tahu ia harus menjauh, harus melarikan diri, harus… melawan.
Tapi tubuhnya membeku. Napasnya bergetar. Ada sesuatu yang gelap dan tak terdefinisi menggulung dalam dirinya, sesuatu yang hangat, sesuatu yang terasa seperti perangkap yang terlalu nyaman untuk ditolak.
Van tersenyum.
Senyuman yang pernah menghancurkannya di masa lalu.
"Bukalah jendelanya, sayang."
Suaranya turun satu oktaf, lembut, menghipnotis, seperti belaian yang melilit erat dan menjalar langsung ke bawah kulitnya.
"Aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi."
Valia menahan napas. Matanya membelalak, tubuhnya semakin menegang.
Tapi sebelum ia bisa berkata apa pun, Van melakukan sesuatu yang membuat dunia di sekelilingnya runtuh.
Dengan perlahan, ia menjulurkan lidahnya.
Menyeretnya di permukaan kaca yang dingin dan berembun, menjilatnya dengan gerakan lambat dan penuh makna. Seolah ia sedang merasakan Valia. Mencicipinya. Membayangkan bagaimana rasanya jika di balik kaca ini bukanlah udara kosong, melainkan kulitnya.
Tatapan itu. Penuh lapar. Penuh hasrat yang terlalu panas untuk disembunyikan.
Van menutup matanya sesaat, menikmati rasa kaca di lidahnya, sebelum menatap Valia lagi dengan senyum manis yang beracun.
Di bawah derasnya hujan, air mengalir di wajah dan tubuhnya, meresap ke dalam pakaiannya yang basah, membuatnya terlihat semakin liar, semakin berbahaya. Tapi ia tidak peduli—karena satu-satunya yang ingin ia rasakan saat ini hanyalah dirinya… dan Valia.
Dan saat itu juga, Valia tahu—Tidak ada jalan keluar.
Tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Karena sejak awal… ia sudah terperangkap dalam sangkar ini.
Sangkar kebahagiaan.
Sangkar yang Van ciptakan untuknya.