Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

dendam dua arah

Vera_Amelia_1068
--
chs / week
--
NOT RATINGS
154
Views

Table of contents

Latest Update1
bab 11 months ago
VIEW MORE

Chapter 1 - bab 1

Hujan deras mengguyur tanah pemakaman itu. Udara dingin menusuk kulit, namun Aurora tidak bergeming. Tubuhnya yang terbalut mantel hitam sudah basah kuyup, tapi dia bahkan tidak peduli. Matanya terpaku pada dua nisan di hadapannya, dengan tulisan yang mulai memudar seiring waktu:

"Anton Wijaya, Ayah yang Baik, 1970-2015" "Maria Wijaya, Ibu yang Penyayang, 1973-2015"

Tangannya yang gemetar menyentuh batu nisan itu, merasakan dinginnya yang sama dengan hatinya. "Ayah, Ibu, aku tidak pernah lupa. Aku masih ingat hari itu, ketika semuanya diambil dari kita. Mereka menghancurkan kita tanpa ampun. Tapi aku bersumpah, aku akan menepati janji ini. Kalian akan mendapatkan keadilan. Mereka akan membayar setiap luka yang mereka tinggalkan."

Suaranya bergetar, antara marah dan pilu. Hujan tidak bisa menyembunyikan air mata yang mengalir dari wajahnya.

Lima Tahun yang Lalu

Tawa ceria memenuhi ruang makan keluarga Wijaya. Ayah, ibu, dan Aurora duduk bersama menikmati makan malam yang hangat. Ayahnya, Anton, adalah sosok pengusaha tangguh yang selalu mengutamakan keluarganya. Meskipun sibuk, dia tidak pernah absen dari makan malam bersama.

"Lihat ini, Aurora," kata Anton sambil menunjukkan kertas laporan keuangan perusahaan. "Kita akan menandatangani kontrak besar minggu depan. Kalau berhasil, ini akan menjadi tonggak sejarah untuk bisnis keluarga kita!"

Aurora yang saat itu baru berusia 17 tahun tersenyum bangga. "Aku tahu Ayah pasti bisa melakukannya! Ayah selalu yang terbaik!"

Maria, ibunya, hanya tertawa kecil. "Sudah, sudah, jangan terus-menerus bicara soal bisnis. Kita makan dulu."

Hari-hari itu terasa sempurna. Aurora tidak pernah membayangkan bahwa segalanya bisa berubah dalam sekejap.

Namun, dalam waktu yang singkat, keluarga Wijaya kehilangan segalanya. Anton yang semula percaya diri dengan kontrak besar itu tiba-tiba menemukan dirinya terjebak dalam skema licik yang dirancang oleh keluarga Leonard. Kontrak itu ternyata penuh tipu daya. Saham perusahaan Anton anjlok, para investor menarik diri, dan dalam hitungan bulan, perusahaan itu bangkrut.

Aurora melihat bagaimana ayahnya perlahan kehilangan semangat hidup. Dia sering mendengar ayahnya berbicara dengan ibunya di tengah malam, suaranya penuh dengan rasa putus asa. "Aku gagal, Maria. Aku menghancurkan semuanya."

Hingga suatu malam, tragedi itu terjadi. Anton ditemukan tewas di ruang kerjanya, surat bunuh diri di tangannya. Maria yang tidak sanggup menghadapi kenyataan itu jatuh sakit dan menyusul Anton hanya beberapa bulan kemudian.

Dunia Aurora hancur seketika. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi keluarga. Hanya kesepian dan dendam yang menyelimuti hidupnya.

Kembali ke Masa Kini

Aurora menghela napas panjang, mencoba menahan amarah yang membara di dadanya. Lima tahun telah berlalu, dan dia bukan lagi gadis remaja yang lemah. Kini, dia adalah seorang wanita sukses, seorang eksekutif muda yang telah membangun kariernya dari nol. Tapi di balik semua itu, satu hal yang terus membara dalam hatinya adalah dendam.

Di tangannya, ada sebuah undangan eksklusif untuk acara amal yang diadakan oleh keluarga Leonard. Acara itu adalah kesempatan emas untuk masuk ke dalam lingkaran mereka.

"Aku sudah menunggu terlalu lama," gumamnya. "Waktunya untuk memulai langkah pertama."

Aurora memandang pantulan dirinya di cermin. Gaun hitam yang elegan membalut tubuhnya, menonjolkan pesonanya yang memukau. Dengan senyum tipis, dia berkata pada dirinya sendiri, "Ini bukan tentang siapa aku dulu. Ini tentang siapa aku sekarang.

Di Acara Amal Keluarga Leonard

Langkah Aurora mantap saat memasuki ballroom mewah yang dipenuhi tamu-tamu kalangan atas. Kristal-kristal lampu gantung berkilauan, memantulkan cahaya yang menciptakan suasana elegan. Meja-meja diatur sempurna, dihiasi bunga mawar putih dan lilin yang menyala lembut. Musik klasik mengalun di latar, menciptakan atmosfer yang memanjakan para undangan.

Aurora menyesuaikan ekspresinya. Wajahnya tampak tenang, penuh percaya diri, meskipun dadanya berdegup kencang. Dia tahu, malam ini adalah langkah awal menuju pembalasan dendamnya. Dia harus memainkan perannya dengan sempurna.

Seorang pelayan mendekatinya dengan segelas sampanye. Aurora menerimanya dengan anggun, memberi senyum tipis sebagai ucapan terima kasih. Dia memindai ruangan, mencari target utamanya: Leonard.

"Permisi, Nona, Anda Aurora Wijaya, bukan?" suara seorang pria menghentikan langkahnya.

Aurora menoleh, mendapati seorang pria paruh baya dengan jas mahal yang pas di tubuhnya. Dia mengenali pria itu dari penelitian yang sudah dia lakukan. Darren Leonard, kepala keluarga Leonard sekaligus pria yang bertanggung jawab atas kehancuran keluarganya.

"Betul, saya Aurora," jawabnya, suaranya lembut tapi tegas.

"Darren Leonard. Saya senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda. Saya sering mendengar nama Anda di dunia bisnis. Kabarnya Anda adalah wanita muda yang sangat berbakat."

Aurora memasang senyum manis. "Terima kasih, Tuan Leonard. Kehormatan bagi saya bisa diundang ke acara yang luar biasa ini."

Darren tertawa kecil. "Oh, itu hal kecil saja. Kami selalu menghargai kehadiran orang-orang hebat seperti Anda."

Aurora menggigit bibir dalam hati. Betapa munafiknya pria ini. Pria yang menghancurkan keluarganya kini berdiri di hadapannya, tersenyum seolah-olah dia tidak bersalah. Tapi dia menahan emosinya dengan sempurna, menyadari bahwa ini bukan saat yang tepat untuk menunjukkan niat sebenarnya.

"Ah, saya harus memperkenalkan Anda kepada putra saya," lanjut Darren. "Leonard! Ke sini sebentar."

Aurora mendapati dirinya menahan napas saat seorang pria tinggi dan tampan berjalan mendekat. Dia mengenakan tuksedo hitam yang disesuaikan dengan sempurna, rambutnya tertata rapi, dan senyumnya memancarkan karisma alami. Leonard Leonard, pewaris utama keluarga itu, pria yang akan menjadi target utamanya.

"Ini Aurora Wijaya," kata Darren. "Aurora, ini Leonard, putra saya."

Leonard mengulurkan tangan, dan Aurora menyambutnya dengan senyum anggun. Saat tangan mereka bersentuhan, ada sedikit percikan di udara yang membuat Aurora terkejut.

"Sebuah kehormatan bertemu dengan Anda, Nona Wijaya," kata Leonard, suaranya lembut namun dalam.

"Senang bertemu Anda juga, Tuan Leonard," balas Aurora.

Mata Leonard menatap Aurora lebih lama dari yang seharusnya. Aurora merasa sedikit gelisah di bawah tatapan itu, tapi dia cepat-cepat menguasai dirinya. Dia tahu betul bahwa Leonard tidak bersalah atas apa yang terjadi pada keluarganya. Tapi dia tetap bagian dari keluarga itu, dan itu cukup baginya untuk memasukkan Leonard ke dalam rencana balas dendamnya.

---

Percakapan yang Menggoda

"Jadi, Aurora," Leonard memulai percakapan, "apa yang membawa Anda ke dunia bisnis? Saya dengar perusahaan Anda berkembang sangat pesat dalam waktu singkat."

Aurora tersenyum kecil. "Saya hanya mencoba memanfaatkan peluang, Tuan Leonard. Dunia bisnis adalah tempat yang keras, tapi saya suka tantangannya."

Leonard mengangguk. "Pandangan yang menarik. Dunia bisnis memang penuh tantangan, tapi juga penuh dengan permainan licik."

Aurora menahan napas sejenak. Apakah dia tahu sesuatu? Tapi nada suara Leonard terdengar tulus, tanpa tanda-tanda kecurigaan.

"Tapi permainan licik itu yang membuatnya menarik, bukan?" Aurora menjawab dengan nada ringan, meskipun hatinya merasa panas.

Leonard tersenyum. "Anda benar. Kadang, yang paling liciklah yang bertahan."

Aurora merasa tangannya mengepal di balik punggungnya. Dia ingin berteriak pada Leonard, mengatakan bahwa keluarganya adalah bukti nyata dari kata-katanya. Tapi dia hanya tersenyum manis, menyembunyikan emosinya.

---

Akhir Malam

Setelah beberapa jam berlalu, acara amal itu akhirnya mencapai akhir. Aurora telah berhasil membuat kesan yang kuat pada keluarga Leonard, terutama Leonard sendiri. Saat dia bersiap untuk pergi, Leonard menghampirinya sekali lagi.

"Semoga ini bukan pertemuan terakhir kita, Nona Wijaya," katanya.

Aurora menatapnya, senyum kecil bermain di bibirnya. "Saya yakin kita akan bertemu lagi, Tuan Leonard."

Leonard tertawa kecil. "Leonard saja. Tidak perlu formalitas."

Aurora mengangguk. "Kalau begitu, panggil saya Aurora."

Leonard tersenyum lebih lebar. "Aurora. Nama yang indah."

Aurora hanya tersenyum, meskipun dalam hatinya dia tahu bahwa pertemuan ini adalah awal dari akhir untuk keluarga Leonard.

Saat dia melangkah keluar dari ballroom, Aurora merasa beban di dadanya sedikit terangkat. Ini baru permulaan, tapi dia tahu dia berada di jalur yang benar. Dia akan menghancurkan keluarga Leonard, dimulai dari Leonard sendiri.

---

Saat Aurora melangkah keluar dari ballroom mewah itu, hujan mulai turun perlahan, seperti mengiringi langkahnya menuju mobil. Dia tidak langsung masuk. Sebaliknya, dia berdiri di bawah rintik hujan, menatap ke arah langit malam yang kelam.

Kenangan masa lalu kembali menghantam pikirannya.

"Ayah, ini surat apa?" Aurora kecil memegang selembar kertas dengan tulisan tangan ayahnya.

Anton terkejut melihat putrinya menemukan surat itu. Dengan cepat dia menarik surat itu dari tangan Aurora dan menyembunyikannya di balik punggungnya. "Bukan apa-apa, sayang. Hanya catatan biasa."

Tapi Aurora tahu, itu bukan catatan biasa. Surat itu adalah awal dari kehancuran keluarganya. Surat itu berisi permintaan maaf Anton kepada keluarga karena tidak bisa melindungi mereka dari bencana yang akan datang.

Dia ingat malam itu dengan jelas. Bagaimana ayahnya terlihat lebih lemah dari biasanya, duduk di ruang kerjanya selama berjam-jam, sementara ibunya hanya bisa menangis dalam diam. Aurora kecil tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tapi dia tahu ada sesuatu yang salah.

Pagi harinya, tubuh Anton ditemukan tergantung di ruang kerjanya.

Aurora merasakan dadanya sesak setiap kali mengingat pemandangan itu. Saat itu, dia hanya bisa berteriak, berlari memeluk tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa. Ibunya jatuh pingsan di tempat, dan sejak hari itu, hidup mereka tidak pernah sama lagi.

---

Kembali ke Masa Kini

Aurora mengusap wajahnya, mencoba menghapus air mata yang bercampur dengan rintik hujan. "Tidak ada waktu untuk menangis," bisiknya pada dirinya sendiri.

Dia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Suara lembut musik klasik mengisi keheningan, tapi itu tidak cukup untuk meredakan gejolak di hatinya. Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan foto keluarga lama yang selalu dia bawa. Foto itu memperlihatkan dirinya yang masih kecil, berdiri di antara ayah dan ibunya yang tersenyum bahagia.

"Aku janji, Ayah, Ibu," katanya sambil menggenggam foto itu erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja."

Aurora menarik napas panjang, lalu menatap dirinya di kaca spion. Matanya memancarkan tekad yang kuat, meskipun di balik itu ada luka yang belum sembuh. Dia tahu jalannya akan panjang dan berliku, tapi dia tidak akan mundur.

---

Rencana Awal

Setelah pulang ke apartemennya yang modern dan minimalis, Aurora segera duduk di depan komputer. Di layar, terdapat folder penuh dokumen tentang keluarga Leonard. Dia telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mengumpulkan informasi ini: transaksi keuangan mereka, hubungan bisnis, hingga kehidupan pribadi mereka.

Fokus utamanya adalah Leonard Leonard, pewaris keluarga.

"Aku harus membuat dia percaya padaku," gumam Aurora sambil memandangi foto Leonard di layar. Wajah tampannya terlihat memancarkan aura percaya diri, tapi Aurora tahu di balik itu ada kelemahan yang bisa dia manfaatkan.

Dia membuka buku catatan di mejanya dan mulai menulis rencana.

1. Mendekati Leonard melalui jalur sosial.

2. Menjadi bagian dari lingkaran kepercayaan keluarga Leonard.

3. Menggali rahasia yang bisa menghancurkan mereka dari dalam.

Aurora tersenyum tipis. "Langkah pertama sudah selesai," katanya, mengingat pertemuannya dengan Leonard malam ini.

Namun, di dalam hatinya, ada sedikit keraguan yang mulai muncul. Dia tidak bisa mengabaikan cara Leonard memandangnya tadi, bagaimana senyum pria itu terlihat tulus. Tapi Aurora segera menepis pikirannya. Dia tidak bisa membiarkan emosi menghalangi rencananya.

"Ini bukan tentang perasaan," katanya pada dirinya sendiri. "Ini tentang keadilan."

---

Malam yang Panjang

Aurora meletakkan pulpen di meja dan beranjak ke balkon. Kota Jakarta terlihat indah dari lantai atas apartemennya, lampu-lampu kota berkilauan seperti bintang. Tapi bagi Aurora, keindahan itu terasa hampa.

Dia memikirkan masa depan, apa yang akan terjadi jika rencananya berhasil. Apakah dia akan merasa puas? Apakah dendam itu cukup untuk mengisi kekosongan di hatinya?

"Jangan berpikir terlalu jauh," dia mengingatkan dirinya sendiri. "Fokus pada langkah berikutnya."

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja. Aurora berjalan kembali ke dalam dan melihat nama yang tertera di layar.

"Leonard," gumamnya.

Dia menarik napas panjang sebelum mengangkat telepon itu.

"Halo?" suaranya terdengar tenang, meskipun jantungnya berdebar kencang.

"Maaf mengganggu malam Anda, Aurora," suara Leonard terdengar ramah di ujung telepon. "Saya hanya ingin memastikan Anda sudah sampai di rumah dengan selamat."

Aurora tersenyum kecil, meskipun dia tahu ini mungkin hanya basa-basi. "Terima kasih, Leonard. Saya sudah di rumah."

"Apa Anda menikmati acara malam ini?"

"Tentu saja," jawab Aurora. "Acara yang luar biasa."

Leonard tertawa kecil. "Senang mendengarnya. Kalau begitu, semoga kita bisa segera bertemu lagi. Selamat malam, Aurora."

"Selamat malam, Leonard."

Aurora menutup telepon dan meletakkannya di meja. Dia tidak bisa menahan senyum tipis yang muncul di wajahnya. Leonard jelas tertarik padanya, dan itu adalah keuntungan besar bagi rencananya.

---

Malam itu, Aurora tidur dengan mimpi yang dipenuhi bayangan masa lalu. Tapi ketika dia terbangun keesokan paginya, dia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjangnya.

Aurora menatap cermin sekali lagi, memastikan bahwa dirinya sudah siap menghadapi dunia. "Keluarga Leonard," katanya dengan suara pelan tapi tegas. "Bersiaplah. Aku akan menghancurkan kalian satu per satu."

Aurora menutup jendela balkon dan kembali duduk di meja kerjanya. Hujan di luar semakin deras, suara rintikannya menciptakan irama monoton yang menenangkan, meskipun pikirannya penuh dengan keruwetan. Dia membuka folder lain di komputer, kali ini tentang perusahaan keluarga Leonard.

Di layar, muncul dokumen kontrak dan catatan keuangan yang mencurigakan. Beberapa transaksi terlihat seperti rekayasa, jumlahnya besar, tapi alurnya tidak masuk akal. Aurora tersenyum sinis.

"Dasar keluarga munafik," gumamnya.

Dia mengambil pena merah dan mencatat sesuatu di catatannya: Temukan bukti tambahan, fokus pada proyek pembangunan mereka di Surabaya.

Aurora merasa beban di dadanya sedikit lebih ringan. Membayangkan kehancuran keluarga Leonard memberinya semangat baru. Tidak peduli seberapa sulit jalan di depan, dia yakin bahwa dia tidak akan berhenti sampai tujuannya tercapai.

"Ini baru permulaan," katanya pada dirinya sendiri, sebelum menutup laptop dan mematikan lampu.

Malam itu, dia tidur dengan sebuah keyakinan: dendamnya akan menjadi penuntun menuju keadilan.