Prolog – Tidak Dianggap
Hujan deras mengguyur halaman rumah mewah keluarga Dirgantara malam itu. Seorang gadis kecil berdiri di depan jendela kamarnya yang luas, menatap kosong ke luar. Tangannya menggenggam boneka lusuh, satu-satunya teman yang ia miliki sejak kecil.
Azara Queen Dirgantara, putri keluarga kaya raya, tapi tidak pernah dianggap ada.
Dulu, dia pernah merasakan kasih sayang ayahnya. Tapi setelah sang ayah menikah lagi, segalanya berubah. Ibu tiri datang dengan senyum manis yang palsu, dan saudara tiri selalu mencari cara untuk menjatuhkannya. Lambat laun, Azara tidak lagi mendapat perhatian, tidak lagi diharapkan, tidak lagi diinginkan.
Makan malam bersama keluarga? Tidak pernah ada kursi untuknya.
Ulang tahun? Tidak ada yang peduli.
Setiap kali dia mencoba berbicara, ayah dan abang-abangnya hanya diam atau pergi, seakan dia tidak pernah ada.
Azara yang dulu ceria, perlahan berubah.
Malam itu, hujan makin deras. Dari lantai bawah, terdengar tawa ibu tiri dan saudara tirinya. Ayahnya ada di sana, ikut tertawa. Azara ingin turun, ingin bergabung, ingin merasakan apa itu keluarga.
Tapi dia tahu, begitu dia melangkah ke ruang makan, suasana akan berubah hening. Semua mata akan menatapnya dengan tatapan dingin—atau lebih buruk lagi, mereka akan berpura-pura bahwa dia tidak ada.
Jadi, Azara memilih diam.
Sejak hari itu, dia berjanji tidak akan pernah berharap pada keluarganya lagi.
Dia akan tumbuh sendiri.
Dia akan membangun kekuatannya sendiri.
Dan suatu hari nanti… mereka akan melihatnya.