Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Nasib Putri yang Ditukar

Sri_Bulqis3
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
46
Views
Synopsis
Ditukar sejak lahir oleh ibunya dengan bayi perempuan milik keluarga Wicaksana, Kirana terpaksa harus menerima perubahan hidupnya setelah rahasia berusia 18 tahun itu terbongkar dan putri kandung keluarga Wicaksana telah kembali. Namun, sebelum dia meninggalkan kediaman Wicaksana malam itu, dia mendapatkan kejutan. Sepasang suami istri dari keluarga terkaya di kota itu memberitahunya bahwa dia adalah calon menantu mereka. Bagaimana nasib Kirana selanjutnya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1 Pesta Penyambutan

Sore itu, angin berembus lembut, menggoyangkan dedaunan yang mulai menguning di taman kota. Kirana Maheswari duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya melayang seiring dengan jatuhnya daun-daun kering di sekelilingnya.

Matahari hampir tenggelam, memancarkan cahaya keemasan yang membalut suasana dengan ketenangan. Saat itulah pandangannya tertuju pada seorang wanita tua yang berjalan dengan langkah gontai, matanya menatap ke segala arah dengan kebingungan. Wajahnya penuh keraguan, seolah-olah ia tersesat di tempat yang tak dikenalnya.

Kirana mengernyit, lalu berdiri dan berjalan mendekatinya.

"Nek, apakah Anda baik-baik saja?" tanyanya lembut.

Wanita tua itu menoleh dengan ekspresi linglung. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tidak ada kata yang keluar.

Kirana dengan sabar meraih lengannya, menuntunnya ke bangku taman. "Duduklah dulu, Nek. Apa saya bisa membantu? Di mana rumah nenek?"

Wanita tua itu terdiam sejenak sebelum menggeleng perlahan.Kirana merasakan hatinya mencelos. Ia pun mencoba menanyakan nama wanita itu, berharap ada sesuatu yang bisa membantunya menemukan keluarga si nenek. Namun, sekali lagi, wanita itu hanya menatap kosong dan menggeleng pelan.

Kirana menghela napas. Tak ada cara lain. Ia tak mungkin membiarkan wanita tua ini sendirian di taman dalam keadaan seperti ini. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk membawanya pulang.

Saat mereka tiba di rumah keluarga Wicaksana, suasana terasa berbeda. Pelayan sibuk berlalu-lalang, mendekorasi ruang tamu dengan indah. Wangi bunga segar bercampur dengan aroma lilin beraroma vanila menguar di udara. Malam ini adalah pesta penyambutan—pesta untuk menyambut putri asli keluarga Wicaksana.

Ya, putri asli.

Karena Kirana ternyata bukan bagian dari mereka.

Sebuah surat yang tiba beberapa hari yang lalu telah mengubah segalanya. Dalam surat itu, seseorang mengakui bahwa Kirana bukan anak kandung Adi Wicaksana. Bayi mereka yang sebenarnya telah ditukar delapan belas tahun lalu oleh seorang wanita putus asa. Bayinya yang sakit parah ditukarnya dengan bayi Wicaksana yang sehat.

Kirana menggenggam jemarinya sendiri, mencoba menahan perasaan yang bercampur aduk. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Keluarga yang selama ini ia panggil "Ayah" dan "Ibu" ternyata bukanlah orang tua kandungnya. Dan malam ini, anak kandung mereka yang sebenarnya akan kembali.

Namun, sebelum semua itu terjadi, Kirana harus mencari tahu siapa wanita tua ini dan mengantarnya pulang.

Langkah Kirana terhenti di ambang pintu saat mendengar suara terkejut dari seseorang.

"Nyonya besar Mahardika?" suara itu datang dari Pak Rahman, sopir keluarga Wicaksana, yang menatap nenek di samping Kirana dengan ekspresi tak percaya.

Kirana menoleh, melihat bagaimana mata Pak Rahman membesar seolah melihat hantu di siang bolong. Lelaki paruh baya itu segera menghampiri mereka, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sulit disembunyikan.

"Astaga, Nona Kirana… bagaimana Anda bisa bersama beliau?" tanyanya dengan nada penuh kebingungan.

Kirana mengerutkan kening. "Pak Rahman mengenal beliau?"

"Tentu saja!" Pak Rahman mengangguk mantap. "Ini Nyonya Mahardika, nyonya besar dari keluarga Mahardika."

Kirana hanya bisa menatap pria itu dengan penuh tanda tanya. Nama Mahardika memang tak asing di telinganya—keluarga terkaya di Kota XYZ, pemilik bisnis yang merajai berbagai sektor industri. Tapi Kirana tak pernah bertemu dengan nenek ini sebelumnya. Ia bahkan tak tahu kalau nyonya besar keluarga Mahardika bisa tersesat sendirian seperti tadi.

Melihat kebingungan di wajah Kirana, Pak Rahman segera menawarkan bantuan. "Saya bisa mengantarkan beliau pulang, Nona. Saya yakin keluarga Mahardika sedang mencarinya."

Kirana menghembuskan napas lega. Setidaknya, nenek itu akan kembali ke keluarganya. Ia mengangguk dan tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak Rahman. Saya benar-benar berterima kasih."

Pak Rahman segera membawa nenek itu pergi, meninggalkan Kirana yang masih berdiri di depan rumahnya. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu tentang nenek itu yang terasa… ganjil. Tapi ia tak tahu apa itu.

Malam pun tiba. Suasana di rumah keluarga Wicaksana berubah drastis. Lampu-lampu kristal bersinar terang, menerangi ruang utama yang telah dihiasi dengan elegan. Para tamu berdatangan dengan pakaian terbaik mereka, membawa kado dan senyuman penuh antusiasme.

Saat itulah, mobil mewah meluncur memasuki halaman. Semua mata tertuju ke sana. Pintu mobil terbuka, dan seorang gadis melangkah keluar, diikuti oleh sepasang pria dan wanita. Adi Wicaksana dan istrinya, Salsabila, telah menjemput putri kandung mereka sendiri. Gadis itu terlihat berbeda dari Kirana—seperti potongan sempurna dari keluarga Wicaksana.

Tepuk tangan terdengar, disusul oleh suara bisikan dari para tamu.

"Jadi ini putri kandung mereka?"

"Kasihan Kirana… dia bukan siapa-siapa sekarang."

"Seharusnya dia pergi dari rumah ini."

Kirana mendengar semuanya. Setiap bisikan tajam menusuknya seperti belati.

Ia tidak sanggup menghadapi ini.

Tanpa berpikir panjang, Kirana berbalik dan berlari menuju kamarnya. Ia mengunci pintu, memeluk dirinya sendiri di atas ranjang.

Semenjak tes DNA membuktikan bahwa dirinya bukan bagian dari keluarga Wicaksana, semuanya berubah. Orang-orang yang dulu menyayanginya kini bersikap dingin. Adi Wicaksana dan Salsabila mulai memperlakukannya dengan berbeda—tak ada lagi senyuman hangat, tak ada lagi panggilan 'sayang' seperti dulu.

Sekarang, rumah ini bukan lagi tempatnya.

Dan Kirana tidak tahu harus bagaimana menghadapi semuanya.

Kirana duduk di tepi ranjang, jemarinya gemetar saat meraih sebuah bingkai foto di nakas samping tempat tidur. Foto itu menampilkan dirinya di antara Ayah dan Ibu—senyum mereka begitu hangat, seolah kebahagiaan akan bertahan selamanya.

Tapi sekarang, semuanya telah berubah.

Ia menatap deretan foto lain yang tertempel di dinding kamarnya. Potret kebersamaan mereka sejak kecil, saat ia belajar bersepeda dengan ayahnya, saat ibunya mengepang rambutnya di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Setiap gambar adalah bukti kasih sayang yang pernah ia terima… dan kini terasa begitu jauh.

Senyum pahit terukir di bibirnya. Ia tidak pernah meminta hidupnya menjadi seperti ini. Tidak pernah menginginkan pertukaran itu.

Tapi… bisakah ia menyalahkan ibu kandungnya?

Wanita itu hanya ingin menyelamatkan anaknya. Kirana bisa membayangkan ketakutan dan keputusasaan seorang ibu yang melihat bayinya sakit parah, tanpa uang untuk biaya pengobatan. Dalam kepanikan, ia mengambil keputusan yang mengubah segalanya.

Namun, bagaimana dengan putri kandung keluarga Wicaksana? Seharusnya, kehidupan mewah itu adalah miliknya. Bukan Kirana yang menikmati rumah megah, pendidikan terbaik, dan kasih sayang keluarga Wicaksana. Gadis itu—putri kandung mereka—telah kehilangan haknya selama delapan belas tahun.

Adilkah semua ini?

Kirana meremas lembaran selimut di pangkuannya. Menurut berita yang ia dengar, ibu kandungnya hidup dalam kesederhanaan. Mungkin kesulitan. Sementara dirinya tumbuh dalam kemewahan, wanita itu harus bertahan dengan kehidupan pas-pasan.Dan sekarang, semua kenyamanan itu akan diambil darinya.Hatinya merintih. Bukan karena kehilangan kemewahan, tapi karena kehilangan sesuatu yang lebih berarti—keluarga yang selama ini ia cintai.

Kirana masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menggenggam erat bingkai foto yang mulai terasa dingin di tangannya. Suara denting jam di dinding terdengar begitu nyaring dalam keheningan kamar, seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara dunianya perlahan runtuh.Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar di pintu.

Tok. Tok. Tok.

Kirana menoleh, tapi tidak berniat menjawab. Namun, beberapa detik kemudian, suara lembut namun tegas menyusul.

"Nona Kirana, ini saya, Nita."

Kirana menatap kosong ke arah pintu. Ia tahu mengapa Nita datang. Dan ia tidak ingin mendengar apa pun yang akan disampaikan pelayan itu. Namun, pintu terbuka sedikit, dan sosok Nita masuk dengan langkah hati-hati. Gadis itu membawa sesuatu di tangannya—sebuah kalung.

"Nona, Tuan dan Nyonya meminta Anda untuk turun," kata Nita, suaranya terdengar hati-hati.

Kirana menggeleng tanpa ragu. "Aku tidak ingin turun, Nita. Aku lebih baik tetap di sini."

Nita terdiam sejenak sebelum menarik napas dalam. "Tapi… Nyonya Salsabila pasti akan sangat marah kalau Anda tidak datang."

Kirana memejamkan mata. Ia tahu itu benar. Sejak tes DNA mengubah segalanya, sikap Salsabila padanya telah dingin dan tajam, tak lagi penuh kasih seperti dulu. Dan Kirana tidak ingin berhadapan langsung dengan wanita itu malam ini.

Saat ia masih ragu, Nita melangkah lebih dekat dan mengulurkan kalung di tangannya. "Ini… untuk Anda, Nona."

Kirana menatap benda itu sejenak sebelum menerimanya. Dengan perlahan, ia membuka tutupnya.Di dalamnya, tergeletak sebuah kalung yang begitu indah—rantai perak tipis dengan liontin berbentuk setengah hati. Cahaya lampu kamar memantulkan kilau lembut dari permata kecil yang menghiasi tepinya.

"Ini milik Anda sekarang," ujar Nita dengan senyum tipis.

Kirana menatap kalung itu dengan campuran perasaan. Ada sesuatu yang terasa aneh, tapi ia tidak tahu apa. Dengan ragu, ia mengangkatnya dan mengalungkan ke lehernya. Rantai dingin menyentuh kulitnya, membuatnya bergidik sedikit.

Saat ia merapikan posisinya, Kirana menangkap ekspresi Nita melalui cermin di hadapannya.

Senyum miring.

Bukan senyum hangat atau penuh ketulusan, melainkan sesuatu yang lain.

Sekilas, Kirana merasa ada sesuatu yang salah. Tapi sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, Nita kembali berkata dengan nada lembut namun tegas, "Sekarang… mari kita turun, Nona. Semua orang sudah menunggu."