Chereads / Orhan Bey / Chapter 2 - Bab 2: Pengepungan

Chapter 2 - Bab 2: Pengepungan

Pagi itu, Orhan menjalani hari seperti biasa. Ia pergi ke sekolah, mendengarkan pelajaran, lalu pulang melewati jalanan kota yang ramai. Setelah sekolah, ia mampir ke kedai Paman Halil.

"Orhan! Pas banget kau datang. Aku baru selesai masak ikan bakar, coba deh!" kata Paman Halil sambil mengangkat sepiring ikan.

Orhan tersenyum. "Makasih, Paman, tapi aku cuma mampir sebentar."

Paman Halil tertawa. "Ah, kau selalu bilang begitu. Duduklah, makan dulu!"

Akhirnya, Orhan duduk dan menikmati ikan bakar itu. Dari jendela, ia melihat para pedagang sibuk menawarkan barang, nelayan membawa hasil tangkapan, dan anak-anak berlarian di gang-gang kecil.

Setelah selesai, ia pamit dan melanjutkan perjalanan. Saat melewati kantor polisi, ia mendengar suara keras dari dalam.

"Apa kau tidak mengerti? Ini bukan waktunya ragu-ragu!"

Orhan berhenti. Itu suara Aksel. Ia mendekati jendela yang sedikit terbuka dan mengintip ke dalam.

Di dalam, Aksel berdiri dengan tangan terlipat, menatap Eren dengan tajam. Eren tampak gelisah.

"Aku cuma bilang kita harus lebih hati-hati," kata Eren. "Kalau kita terang-terangan, kita bisa kena masalah."

"Kau terlalu banyak mikir. Kita sudah dapat tugas, tinggal jalankan saja," balas Aksel.

Eren menggeleng. "Tapi apa kau yakin ini keputusan yang benar?"

"Kau pikir ini bukan untuk kota ini?" potong Aksel. "Kau tidak lihat gambaran besarnya, Eren."

Orhan menahan napas. Tiba-tiba, suara lain muncul di belakangnya.

"Sedang apa kau di sini?"

Orhan kaget dan berbalik. Paman Obeit berdiri di belakangnya, menatapnya dengan ekspresi datar.

"Aku cuma… lewat," jawab Orhan, mencoba tenang.

Obeit mendekat. "Lewat, atau menguping?"

Sebelum Orhan bisa jawab, Aksel dan Eren menyadari keberadaan mereka.

"Paman Obeit," sapa Aksel sambil memberi hormat. Ia melirik Orhan, lalu kembali ke Obeit.

Obeit tidak langsung jawab, hanya menatap Orhan sejenak. "Masuklah, Orhan. Kau tidak perlu berdiri di luar seperti pencuri."

Orhan ragu, tapi akhirnya masuk ke kantor polisi. Di dalam, ruangan paman Obeit tidak besar, tapi cukup untuk beberapa meja dan rak dokumen.

Obeit duduk dan menoleh ke rekannya. "Ilham, ambilkan dua teh untuk kami."

Ilham mengangguk dan pergi. Sementara itu, Orhan duduk di kursi depan meja Obeit. Aksel dan Eren masih berdiri di dekat mereka.

"Kau baru pulang sekolah?" tanya Obeit.

Orhan mengangguk. "Iya, baru saja."

Obeit tersenyum tipis. "Bagaimana pelajaranmu? Masih suka gambar-gambar di kelas?"

Orhan sedikit kaget. Ia memang suka menggambar, dan entah bagaimana, Paman Obeit tahu. "Kadang-kadang," jawabnya singkat.

Obeit mengangguk. "Baguslah."

Ilham kembali dengan dua gelas teh panas. Orhan mengambil satu, tapi pikirannya masih pada percakapan Aksel dan Eren tadi.

Akhirnya, ia memutuskan bertanya. "Tadi aku dengar Aksel bicara dengan Eren. Tentang apa?"

Ruangan seketika sunyi. Aksel menatap Orhan tajam, sementara Eren menghindari tatapannya.

Aksel menyipitkan mata. "Apa kau menguping, Orhan?"

Orhan menegakkan badan. "Aku cuma lewat dan dengar sedikit."

Aksel mendengus. "Hati-hati dengan kebiasaan itu. Menguping bisa bikin salah paham."

"Aku tidak salah paham," balas Orhan cepat. "Kalian bicara sesuatu yang penting, kan?"

Obeit menghela napas. "Orhan, ada banyak hal terjadi di kota ini, tapi tidak semuanya perlu kau tahu," katanya dengan nada lembut tapi tegas.

Orhan menatapnya, tidak puas. "Tapi aku berhak tahu kalau itu menyangkut kota ini."

Aksel tertawa kecil. "Dengar, bocah. Kami cuma bicara soal tugas kami sebagai polisi. Itu aja."

Orhan tidak yakin. "Kalau cuma tugas biasa, kenapa Eren terlihat ragu?"

Eren tegang, tapi sebelum ia bisa bicara, Obeit menaruh gelas tehnya di meja. "Cukup. Orhan, kau tidak perlu pikirkan ini. Aksel dan Eren cuma berdebat soal strategi patroli. Itu hal biasa."

Orhan masih ingin membalas, tapi tatapan Obeit membuatnya mengurungkan niat. Ia tahu pamannya tidak akan biarkan topik ini lanjut.

Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.

Obeit menatap Orhan cukup lama sebelum berkata, "Sudah cukup kau di sini. Pulanglah. Ayahmu pasti nunggu di rumah."

Orhan menghela napas. Ia tahu tak ada gunanya berdebat lebih lanjut. Ia berdiri. "Baiklah, Paman."

Saat ia hendak keluar, Eren tiba-tiba berdiri dan mengikutinya. "Aku juga harus pergi," katanya singkat.

Obeit hanya mengangguk, sementara Aksel menatap Eren tajam.

Begitu mereka keluar dari kantor polisi, Eren menoleh ke Orhan. "Rumahmu jauh. Mau naik bersamaku?" katanya sambil menunjuk kudanya.

Orhan diam sebentar sebelum mengangguk. "Baiklah."

Eren naik dulu, lalu membantu Orhan naik ke belakangnya. Kuda itu bergerak perlahan di jalanan berbatu.

"Kau sepertinya tidak nyaman tadi," ujar Orhan setelah beberapa saat.

Eren terdiam sejenak sebelum menjawab, "Tidak semua orang bisa pilih apa yang mereka mau, Orhan."

Orhan mengangkat alis. "Maksudmu?"

Eren menghela napas. "Lupakan saja."

Mereka terus melaju melewati pasar yang mulai sepi. Udara terasa lebih dingin, dan langit mulai berubah warna keemasan. Orhan masih memikirkan pembicaraan di kantor polisi tadi. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi sebelum ia sempat buka mulut — tiba-tiba suara tembakan terdengar dari atas atap!

Eren langsung menarik tali kekang kudanya. "Pegangan erat!" serunya.

Orhan merunduk dengan refleks cepat. Ia melihat bayangan orang-orang bergerak di atas atap rumah-rumah toko. Mereka mengenakan pakaian gelap, dengan senjata di tangan.

"Tunggu, siapa mereka?!" seru Orhan panik.

"Bukan waktunya bertanya!" balas Eren, menendang sisi kudanya agar berlari lebih cepat.

Peluru melesat. Kuda itu berlari kencang melewati jalanan sempit, sementara Orhan hanya bisa berharap mereka selamat.

Saat mereka melewati akhir gang kecil, kuda Eren tiba-tiba berhenti mendadak. Di depan mereka, sekelompok pria bersenjata berdiri menghadang, beberapa membawa senapan, sementara yang lain menggenggam belati.

Eren langsung menarik tali kekang kudanya. Orhan menegang di belakangnya.

"Sial…" gumam Eren pelan.

Salah satu pria melangkah maju. "Turun dari kuda, sekarang."

Eren melirik sekeliling. Mereka terpojok. Tidak ada pilihan selain menuruti perintah itu. Dengan hati-hati, ia turun dari kudanya. Orhan mengikutinya, berusaha tenang.

"Aku tidak mau ada masalah," kata Eren, tangannya sedikit terangkat.

Salah satu bandit mendekat, menodongkan senjatanya ke dada Eren. "Bagus. Sekarang, serahkan pistolmu."

Eren diam sejenak, lalu dengan perlahan meraih pistol di pinggangnya. Ia tahu melawan dalam situasi ini hanya akan membuat mereka terbunuh. Dengan enggan, ia menyerahkan senjatanya.

Tiba-tiba —

DUARR!

Suara tembakan menggema keras dari kejauhan. Seketika, kekacauan pecah. Dari sudut lain, terdengar teriakan, "Tentara datang!"

Bandit-bandit itu langsung menoleh ke atas. Dari atap-atap rumah, para pemberontak yang bersembunyi mulai ditembaki oleh pasukan tentara Utsmani. Balasan tembakan datang dari segala arah.

"Cepat! Hajar mereka!" teriak salah satu bandit, langsung membidik senjatanya ke arah tentara.

Sementara itu, beberapa orang yang tersisa tetap menodongkan senjata mereka ke Orhan dan Eren.

"Jangan bergerak kalau tidak mau mati!" desis salah satu bandit sambil mencengkeram lengan Orhan.

Orhan menahan napas. Dadanya berdegup kencang.

"Kita bawa mereka ke tempat lain. Mereka bisa berguna," kata salah seorang bandit dengan nada memerintah.

Sebelum Orhan sempat bereaksi, seorang bandit menariknya kasar, memaksanya berjalan. Eren juga didorong ke depan. Mereka tak punya pilihan selain mengikuti. Kuda Eren dirampas.

Saat mereka dipaksa berjalan dengan todongan senjata di punggung, suara tembakan kembali menggema di udara. Kali ini lebih dekat.

DUARR!

Beberapa bandit terkejut oleh serangan mendadak itu. Dari ujung jalan, para tentara Utsmani muncul dengan senjata terangkat, menembaki para bandit yang mencoba melawan.

"Tiarap!" salah satu tentara berteriak.

Eren melihat kesempatan. Dengan cepat, ia melayangkan sikunya ke wajah pria yang menahannya, membuatnya tersungkur. Tangan Eren langsung mencengkeram lengan Orhan dan mendorongnya ke belakang sebuah tong kayu besar.

"Orhan, berlindung!" seru Eren sambil berbalik dan menangkis serangan dari salah satu bandit.

Orhan terjatuh ke tanah, lututnya tergores sedikit oleh bebatuan, tapi ia tetap patuh. Ia mengintip dari balik tong, melihat Eren bertarung dengan tangan kosong sementara tembakan masih terdengar jelas.

Bandit-bandit yang tersisa mulai mundur, beberapa melarikan diri ke gang-gang sempit, termasuk pria yang tadi merampas pistol Eren.

Tak lama kemudian, pertempuran mereda. Tentara Utsmani berdiri di tengah jalan, memastikan bahwa tidak ada ancaman tersisa.

Seorang perwira mendekati Eren. "Kalian baik-baik saja?"

Eren mengatur napasnya sejenak sebelum mengangguk. "Aku baik. Tapi… pistolku dibawa kabur."

Saat keadaan benar-benar tenang, Orhan keluar dari tempat persembunyiannya. Beberapa tentara meliriknya, memastikan bahwa ia juga selamat.

Dari kejauhan, para warga mulai keluar dari rumah dan toko mereka, mengintip dengan hati-hati.

Seorang perwira berpakaian rapi dengan lambang kesatuan Utsmani di dadanya melangkah maju.

"Apakah kalian terluka?" tanyanya lagi, kali ini lebih kepada Orhan yang baru saja keluar dari persembunyiannya.

Orhan menggeleng, masih sedikit terkejut. "Aku tidak apa-apa."

Eren membersihkan debu dari pakaiannya dan menatap perwira itu dengan serius. "Apa yang terjadi di sini? Sepertinya mereka lebih berani dari biasanya."

Perwira itu menatapnya sejenak sebelum mengangguk pelan. "Kau benar. Ini bukan serangan biasa. Kami telah mendapat laporan dari Konstantiniye — perwira tinggi di Aydın, Hafiz Pasha, mengirim perintah langsung kepada kami. Kota ini akan segera mengalami penyerbuan besar."

Orhan dan Eren saling berpandangan. Jantung Orhan berdetak sangat cepat.

"Penyerbuan besar?" ulang Eren, memastikan ia tidak salah dengar.

Perwira itu mengangguk. "Kami mendapatkan informasi bahwa pemberontak telah merencanakan serangan terorganisir. Tidak hanya geng bandit seperti ini — mereka memiliki orang-orang yang jauh lebih berbahaya. Hafiz Pasha telah memerintahkan kami untuk mempersiapkan pertahanan di Karasönmez. Itulah sebabnya kami berada di sini."

Para warga yang mulai berkumpul mendengar itu dengan ekspresi ngeri. Mereka saling berbisik, beberapa tampak ketakutan.

"Lalu… apa yang harus kita lakukan?" kata Orhan.

Perwira itu menarik napas dalam, lalu melihat sekeliling. "Pertama-tama, kami harus menenangkan warga. Tidak ada gunanya membuat semua orang panik. Kedua, kami akan menggabungkan pasukan kami dengan polisi kota. Beberapa dari mereka sedang berada di luar kota karena urusan pemberontakan di desa. Ini artinya kita kekurangan orang untuk bertahan."

Eren mengangkat alis. "Jadi kita dalam keadaan lemah?"

"Kita dalam keadaan waspada," jawab perwira. "Kami tidak akan membiarkan mereka menguasai kota ini. Namun, kami juga tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa mereka memiliki mata-mata di dalam kota."

Perkataan itu membuat Orhan merasa tidak nyaman. Ia teringat percakapan antara Aksel dan Eren di kantor polisi tadi. Apakah itu ada hubungannya dengan ini?

Sementara itu, tentara lainnya mulai menyebar, berbicara dengan warga untuk menenangkan mereka. Beberapa tentara membantu membawa korban yang terluka, sementara yang lain berpatroli untuk memastikan tidak ada bandit yang bersembunyi.

Eren menghela napas panjang. "Kalau begitu, apa yang bisa kami lakukan?"

Perwira itu menatapnya sejenak. "Untuk sekarang, tetaplah waspada. Kalian baru saja diserang, jadi kemungkinan besar mereka mengincar sesuatu atau seseorang. Jika kalian melihat sesuatu yang mencurigakan, segera laporkan."

Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Kota yang selama ini ia kenal mulai terasa asing.

Perwira itu kemudian menoleh ke anak buahnya. "Pastikan setiap sudut kota diperiksa. Jangan biarkan mereka menyelinap lagi."

Para tentara memberi hormat dan segera bergerak. Orhan memperhatikan mereka satu per satu, menyadari bahwa hari ini sangat kacau.

Eren menepuk bahu Orhan sebelum mereka naik ke kudanya. "Kita pulang sekarang. Hari ini sudah cukup kacau."

Orhan hanya mengangguk, Kuda Eren melangkah pelan melewati jalan-jalan kota, Beberapa warga yang melihat mereka berdua, mereka berbisik-bisik, mungkin karena kejadian tembak-menembak tadi.

Saat mereka tiba di rumah Orhan, ia segera turun dari kuda dan berterima kasih kepada Eren.

"Jaga dirimu, Orhan," kata Eren dengan nada serius. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti malam."

Orhan mengangguk. "Kau juga, paman Eren."

Eren menghela napas dan menarik tali kendali kudanya sebelum pergi. Orhan melangkah ke ruang utama, ia justru menemukan ayahnya sedang duduk bersama Obeit dan beberapa tentara. Mereka berbicara dengan nada rendah, namun dari ekspresi wajah mereka, Orhan bisa melihat bahwa ini adalah pertemuan serius.

Ahmed Bey melirik ke arah Orhan begitu ia masuk. "Kau sudah pulang?"

Orhan mengangguk. "Apa yang terjadi?"

Obeit menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. "Kota ini dalam keadaan bahaya, Orhan. Kami sedang membahas langkah selanjutnya."

Seorang tentara yang duduk di sebelah ayahnya menatap Orhan sejenak, lalu kembali fokus ke pembicaraan. Orhan mengenali seragamnya — ia pasti salah satu perwira dari pasukan yang datang tadi.

"Tentara sudah mendapat informasi yang lebih jelas tentang pemberontak," kata Ahmed Bey dengan suara berat. "Mereka tidak akan menunggu lama. Bisa jadi serangan datang malam ini, atau mungkin besok."

"Jadi… apa yang bisa kita lakukan?" jawab Orhan

Salah satu perwira menoleh ke arahnya. "Untuk saat ini, kami memperkuat pertahanan kota dan menyiapkan pasukan cadangan. Kami juga sedang menyelidiki siapa saja yang terlibat dengan mereka di dalam kota."

Orhan melirik ke arah Obeit, yang tetap diam dan hanya mengamati percakapan.

Ayahnya menghela napas dan berdiri. "Orhan, pergilah ke kamarmu. Ini bukan sesuatu yang perlu kau pikirkan sekarang."

Orhan ingin membantah, tapi melihat tatapan ayahnya, ia tahu bahwa ini bukan saatnya berdebat.

Orhan duduk di tepi tempat tidurnya, mengangkat ujung celananya untuk melihat lututnya yang tergores. Luka itu tidak parah, cuma lecet karena jatuh tadi. Tapi rasanya masih perih kalau disentuh. Ia berharap lukanya nggak tambah parah. Sambil menarik napas panjang, ia ambil kain kecil dari meja dan mulai membersihkan lukanya pelan-pelan. Setelah selesai, ia rebahkan diri di kasur, tapi pikirannya masih penuh tanda tanya.

Tiba-tiba, suara dari lantai bawah menarik perhatiannya.

Ia buru-buru bangkit dan mendekati celah di lantai, lalu menempelkan telinganya ke sana.

"Kita harus siap sebelum mereka menyerang duluan," suara ayahnya terdengar jelas.

"Betul," jawab salah satu tentara. "Pasukan kami akan jaga titik-titik penting, tapi kami butuh bantuan polisi setempat untuk amankan jalanan. Kalau terlalu banyak kekacauan, kita bisa kehilangan kendali atas kota ini."

Lalu, suara Obeit terdengar tenang tapi tegas. "Aku akan pastikan polisi kota siap. Aku harus pergi dulu untuk mengatur mereka."

Orhan nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam nada bicara pamannya yang bikin ia merasa nggak nyaman.

"Kami percayakan itu padamu, Obeit Efendi," kata ayahnya.

Setelah itu, terdengar suara kursi bergeser, lalu langkah kaki menuju pintu. Orhan buru-buru mundur ke kamarnya dan kembali ke kasur, pura-pura nggak peduli. Beberapa saat kemudian, suara pintu depan terbuka dan tertutup lagi.

Malam harinya, langit gelap tanpa bintang. Setelah shalat Isya di masjid, Orhan keluar ke jalan yang mulai sepi. Lampu-lampu minyak menyala redup di sepanjang jalan, memberikan cahaya samar. Ia pengen cepat pulang, tapi langkahnya terhenti ketika dua polisi kota menghentikannya di persimpangan jalan. Mereka pakai seragam biru gelap, dan satu di antaranya pegang lentera kecil.

"Orhan, sebaiknya kau pulang sekarang," kata salah satu polisi dengan nada mendesak.

"Ada apa?" tanya Orhan.

"Kota nggak aman malam ini," jawab polisi lainnya, suaranya rendah seperti nggak mau menarik perhatian. "Kami dapat perintah untuk pastikan wargat tidak berkeliaran. Pulanglah."

Orhan mengangguk pelan. "Baiklah," katanya, lalu lanjutkan perjalanan ke rumah.

Tapi, semakin dekat ia ke pusat kota, semakin jelas terlihat persiapan yang sedang dilakukan. Di persimpangan utama, para tentara mulai bangun barikade sementara pakai peti kayu, karung pasir, dan gerobak. Beberapa prajurit berdiri siaga dengan senapan di tangan, sementara yang lain sibuk pasang barikade di titik-titik lain. Warga mulai berkumpul di sekitar barikade, beberapa terlibat debat dengan para tentara.

"Kami mau bantu!" teriak seorang pria pakai jubah panjang dan sorban. "Ini kota kami juga! Kami nggak bisa diam saja!"

"Lebih baik kalian pulang ke rumah masing-masing," jawab seorang perwira dengan suara tegas. "Kami nggak mau ada korban sipil!"

"Kami bisa bawa air untuk kalian! Bisa bantu bawa amunisi!" sahut warga lain.

Para tentara tampak ragu, tapi jelas mereka nggak bisa terima bantuan terlalu banyak. Seorang prajurit akhirnya kasih isyarat. "Baik, siapa pun yang mau bantu, tetap di belakang barikade! Jangan maju ke depan pertempuran!"

Orhan mempercepat langkahnya, tapi sebelum ia bisa lewati barikade, seorang tentara menahannya.

"Hei, anak muda! Ngapain kau di sini?"

Orhan menoleh. Seorang perwira muda menatapnya tajam. Ia pakai seragam Utsmaniyah dengan sabuk kulit di pinggang, dan senapan tergantung di bahu.

"Aku cuma mau pulang," jawab Orhan, sedikit gugup.

Perwira itu menyipitkan mata, lalu tampak mengenalinya. "Kau... anak Ahmed Bey, ya?"

"Iya," Orhan mengangguk cepat.

Perwira itu menghela napas, lalu menoleh ke salah satu tentara di dekatnya. "Biarkan dia lewat."

Lalu, ia menatap Orhan lagi dan menurunkan suaranya. "Dengar baik-baik, Nak. Gerbang kota akan diserang malam ini. Kami sudah dapat info dari intel kami."

Orhan mengangkat alis. "Apa?"

Perwira itu lanjutkan, "Kalau para tentara yang jaga di tembok kota mulai tumbang, barikade ini adalah pertahanan terakhir kami sebelum mereka sampai ke pusat kota. Dan pilihan terakhir kita adalah mundur ke kantor polisi."

"Kau harus cepat pulang," lanjut perwira itu. "Jangan keluar rumah. Ayahmu pasti mau kau aman."

Orhan mengangguk cepat. "Terima kasih," katanya, lalu buru-buru lewati barikade.

Orhan mempercepat langkahnya, tapi tiba-tiba suara tembakan terdengar dari kejauhan.

Dor! Dor!

Suara itu berasal dari arah gerbang utama. Jeritan perintah langsung terdengar di antara para tentara.

"Bersiap! Mereka datang!"

Para prajurit di barikade langsung angkat senapan, sementara yang lain lari ke arah gerbang untuk perkuat posisi. Beberapa tentara di belakangnya bergerak cepat ke titik-titik pertahanan lain. Seorang prajurit muda lari sambil teriak perintah dari perwira di depan, "Cepat ke barikade timur! Polisi kota butuh bantuan!"

Orhan nggak bisa tinggal lebih lama. Ia harus pulang sebelum terlambat.

Ia lalu lari melewati jalan-jalan sempit yang masih kosong. Bayangan rumah-rumah dan toko yang tertutup terlihat semakin menyeramkan dalam cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip tertiup angin malam.

Suara tembakan semakin banyak. Kadang terdengar rentetan senapan, kadang cuma satu peluru, tapi semuanya bikin jantung Orhan berdetak semakin cepat. Ia lewati gang kecil untuk hindari kerumunan, lalu akhirnya sampai di depan rumahnya.

Orhan buru-buru buka pintu dan tutup dengan cepat. Di dalam, ia lihat ayahnya berdiri di ruang tamu, wajahnya khawatir.

"Apa yang terjadi?" tanya Ahmed Bey dengan suara tegas.

Orhan masih berusaha mengatur napas. "Tembakan... di gerbang utama... mereka menyerang," katanya terputus-putus.

Ahmed Bey tarik napas dalam, lalu menghela napas berat. Wajahnya semakin serius. "Jadi... sudah mulai."

Orhan mengangguk. Ayahnya menatapnya lekat-lekat, lalu berkata dengan tegas, "Jangan keluar rumah. Apa pun yang terjadi, kau tetap di dalam. Mengerti?"

Orhan pengen tahu lebih banyak, pengen bantu, tapi lihat ekspresi ayahnya, ia tahu nggak ada ruang untuk debat.

"Baik, Ayah," jawabnya pelan.

Orhan menuju ke kamarnya. Malam itu, Orhan nggak bisa tidur. Ia berbaring menatap langit-langit, tapi matanya nggak bisa terpejam.

Saat fajar mulai terbit, ia putuskan untuk keluar. Udara pagi terasa dingin dan lembab, bau asap mesiu masih tercium. Orhan berjalan melewati jalan-jalan sepi, menuju kantor polisi tempat pamannya berada.

Ketika ia tiba, pemandangan yang menyambutnya bikin perutnya mual. Beberapa mayat tentara dan polisi tergeletak di depan kantor polisi, beberapa masih pegang senapan. Beberapa prajurit dan polisi yang masih hidup sibuk angkut jenazah ke gerobak.

Di dekat pintu kantor polisi, seorang perwira tinggi berbicara dengan Obeit.

"Senjata mereka... dari kita sendiri," kata perwira itu. "Ada orang di dalam yang bantu mereka. Pengkhianat."

Obeit mendengarkan dengan tenang.

"Dan yang lebih parah," lanjut perwira itu, "beberapa pemberontak pakai seragam polisi. Mereka menyelinap di antara kita, berbaur seperti rekan sendiri. Itu sebabnya semalam kita kehilangan banyak orang."

Obeit menghela napas. "Kita harus cari tahu siapa dalangnya. Kalau nggak, kita akan terus diserang dari dalam."

Saat itu, Obeit lihat Orhan berdiri nggak jauh dari mereka. Matanya menyipit sebelum ia mendekat.

"Orhan?" suaranya khawatir. "Kau baik-baik saja? Kau terluka?"

Orhan menggeleng. "Aku nggak apa-apa, Paman."

Obeit menatapnya, lalu menurunkan suaranya. "Lalu kenapa kau di sini? Seharusnya kau di rumah."

Orhan ceritakan kejadian tadi malam. Obeit mendengarkan dengan seksama, lalu mengangguk pelan. "Jalanan belum aman. Setelah ini, pulanglah."

Orhan mengangguk pelan. Ia tahu pamannya mau lindungi dia, tapi gimana mungkin ia bisa diam aja ketika kota ini di ambang kehancuran? Dengan langkah ragu, ia mulai berjalan menjauh dari kantor polisi.

Tapi, baru beberapa langkah, telinganya dengar suara perdebatan di halaman kantor polisi. Ia melirik ke samping dan lihat Aksel dan Eren.

Aksel berdiri dengan wajah memerah, ekspresi geram terlihat jelas. Tangannya dikepal di sisi tubuh, seperti menahan dorongan untuk memukul. Sementara itu, Eren berdiri di hadapannya.

"Kau benar-benar nggak tahu di mana tempatmu, hah?" suara Aksel terdengar tajam.

"Aku tahu di mana tempatku," jawab Eren dengan nada rendah tapi tegas. "Aku seorang polisi. Aku bukan... pengkhianat."

Aksel menyeringai. "Pengkhianat? Kau pikir aku pengkhianat?" Ia mendekat, wajahnya hampir sejajar dengan Eren. "Aku lakukan apa yang perlu dilakukan. Kau yang terlalu takut hadapi kenyataan."

Eren mengepalkan tangannya. "Kenyataan?" katanya, suaranya mulai bergetar. "Kenyataan apa? Bahwa kau lebih milih bersekongkol sama orang-orang yang bantai rekan-rekan kita semalam? Itu yang kau sebut kenyataan?"

Orhan menahan napas di balik dinding, tidak berani bergerak.

Aksel mendengus. "Jangan sok suci, Eren. Kau tahu kita nggak punya pilihan. Kota ini akan jatuh. Dan ketika itu terjadi, kau mau berada di pihak yang kalah? Kau mau mati sia-sia kayak mereka?" Ia lambaikan tangan ke arah mayat-mayat yang masih tergeletak di halaman.

Eren mengepalkan tangannya semakin kuat. "Lebih baik mati dengan kehormatan daripada hidup sebagai pengkhianat."

Aksel tertawa kecil, tapi nggak ada humor dalam suaranya. "Kehormatan? Kehormatan nggak akan selamatkanmu, Eren. Nggak akan selamatkan keluargamu. Nggak akan selamatkan siapa pun."

Mereka diam sejenak, cuma terdengar napas mereka yang berat.

Eren akhirnya bicara, suaranya lebih pelan tapi tajam. "Jangan seret aku ke dalam ini, Aksel."

Aksel miringkan kepala. "Kau sudah ada di dalam ini, Eren. Mau atau nggak."

Eren tampak mau bilang sesuatu, tapi sebelum kata-kata itu keluar, Aksel sudah balik dan pergi.

Orhan segera mundur beberapa langkah, pura-pura baru tiba ketika Eren menoleh dan lihat dia.

Eren menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas. "Orhan, kau seharusnya pulang."

Orhan mengangguk dan langsung pulang.

Orhan masuk ke rumah dan lihat ayahnya sudah berpakaian rapi. Ahmed Bey pakai pakaian formal, sesuatu yang jarang ia pakai kecuali untuk pertemuan penting.

"Nanti siang, aku akan berangkat temui Gubernur," kata ayahnya sambil perbaiki fez-nya di depan cermin. "Paman Obeit dan beberapa polisi akan ikut awalku. Kalau nggak ada halangan, aku akan pulang malam ini."

Orhan mengangguk. Namun, ada perasaan gelisah di hatinya, Ia tahu dengan keadaan kota yang semakin kacau, perjalanan keluar dari Karasönmez pasti penuh risiko.

"Apakah... perjalanan ini aman, Ayah?" tanyanya hati-hati.

Ahmed Bey menatapnya sekilas lewat bayangan cermin sebelum balik menghadap Orhan. "Nggak ada perjalanan yang benar-benar aman akhir-akhir ini. Tapi ini harus dilakukan." Ia tepuk pundak Orhan dengan lembut. "Kau nggak perlu khawatir. Aku akan bersama Obeit dan pasukan pengawal."

Orhan mengangguk pelan. Ayahnya tampak tenang, tapi Orhan nggak bisa hilangkan perasaan cemas yang terus menghantuinya.

Beberapa menit kemudian, langkah berat terdengar dari pintu depan. Obeit Efendi masuk dengan ekspresi serius seperti biasa. Dengan tangan terlipat di belakang punggung, ia menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat ke Ahmed Bey.

"Kereta kuda sudah siap," katanya singkat. "Kita harus segera berangkat sebelum matahari terlalu tinggi."

Ahmed Bey menghela napas dan rapikan jubahnya sekali lagi sebelum menoleh ke Orhan. Ia menatap putranya sejenak.

"Orhan," katanya lembut, "jaga rumah ini. Aku nggak tahu apakah aku akan pulang larut atau lebih cepat, tapi yang terpenting, jangan keluar tanpa alasan mendesak."

Orhan mengangguk, meskipun hatinya masih penuh kegelisahan.

"Dan satu lagi," lanjut ayahnya, "kalau sesuatu terjadi... tetaplah bersama orang-orang yang bisa kau percaya."

Orhan menatap ayahnya, mencoba pahami makna di balik kata-kata itu. Tapi sebelum ia sempat tanya lebih jauh, Ahmed Bey sudah melangkah ke pintu, diikuti Obeit.

Dari jendela, Orhan melihat ayahnya naik ke kereta kuda, sementara beberapa polisi bersenjata sudah siap awalkan mereka. Suara roda kayu berderit di jalan berbatu, perlahan menjauh dari rumah.