Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Orhan Bey

🇮🇩Vichy_Von_Zeppelin
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
45
Views

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1: Awal

Kota Karasönmez, kota kecil di tepi Laut Aegea, tempat dua budaya bertemu: Yunani dan Utsmaniyah. Kota ini selalu ramai dengan aktivitas pelabuhan, tapi belakangan, suasana mulai berubah. Pemberontakan dan korupsi merajalela. Aku, Orhan, seorang pelajar berusia 17 tahun, merasa terjebak di tengah semua ini. Ayahku, Ahmed Bey, adalah wali kota Karasönmez. Aku ingin membantunya, tapi setiap kali aku mencoba berbicara, dia selalu bilang, "Kau masih terlalu muda, Orhan. Fokuslah pada pelajaranmu."

Tapi aku tidak bisa hanya duduk diam. Ada sesuatu yang menggelisahkan di dalam diriku, sesuatu yang membuatku merasa harus bertindak. Meski aku belum tahu harus mulai dari mana.

Hari ini, aku memutuskan untuk berkeliling kota. Aku melewati pasar, di mana para pedagang menawarkan ikan segar, rempah-rempah, dan kain-kain berwarna-warni. Tiba-tiba, aku mendengar suara yang familiar.

"Orhan! Kemarilah, nak!"

Aku menoleh dan melihat paman Halil, saudara jauh keluargaku, yang sedang berdiri di depan kedai kecilnya. Paman Halil adalah seorang pedagang yang ramah, dengan tubuh gemuk dan senyum yang selalu hangat. Kedainya terkenal dengan hidangan ikan bakar yang lezat.

"Sudah makan, Orhan? Ayo, paman traktir!" kata paman Halil sambil melambai-lambaikan tangannya.

Aku tersenyum kecil dan menggeleng kepala. "Terima kasih, Paman. Aku tidak lapar."

"Ah, kau ini selalu menolak. Padahal kelihatannya kurus sekali. Jangan-jangan kau hanya makan angin saja!" canda paman Halil sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum dan melanjutkan perjalananku. Aku tidak ingin merepotkan paman Halil, meski perutku sebenarnya sedikit keroncongan.

Setelah meninggalkan pasar, aku berjalan menuju pelabuhan. Di sana, aku duduk di atas tumpukan kayu, memandang kapal-kapal yang berlabuh. Beberapa kapal dagang sedang bongkar muat, sementara nelayan lokal sibuk memperbaiki jaring mereka. Aku mengeluarkan buku sketsa kecil dari sakuku dan mulai menggambar. Aku suka melukis pemandangan pelabuhan, terutama kapal-kapal yang datang dan pergi.

Tanpa kusadari, aku terlalu asyik dengan sketsaku. Aku tidak menyadari bahwa seseorang telah mengamatiku dari kejauhan.

"Orhan, apa yang kau lakukan di sini?"

Suara itu membuatku terkejut. Aku menoleh dan melihat pamanku, Obeit Efendi, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Obeit adalah seorang polisi senior di Karasönmez, dengan tubuh tinggi dan wajah yang selalu terlihat dingin.

"Ah, Paman Obeit. Aku hanya... menggambar," jawabku sambil menutup buku sketsaku.

Obeit mendekat dan memandangiku dengan tatapan yang sulit kubaca. "Kau seharusnya tidak berkeliaran sendirian di sini. Kota ini tidak aman, apalagi dengan pemberontakan yang sedang terjadi."

Aku mengangguk, "Aku hanya ingin melihat kapal-kapal, Paman. Tidak ada yang salah dengan itu."

Obeit menghela napas. "Baiklah, ayo aku antar kau pulang. Sudah mulai gelap."

Aku tidak membantah. Aku berdiri dan berjalan bersamanya menuju rumah. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Eren, seorang polisi muda yang sedang berpatroli.

"Selamat sore, Obeit Efendi. Orhan," sapa Eren dengan ramah.

"Eren, apa kabar?" tanya Obeit singkat.

"Baik. Hanya memastikan semuanya aman," jawab Eren.

Obeit hanya mengangguk dan terus berjalan. Aku melirik Eren, yang terlihat sedikit gugup di hadapan Obeit.

Sesampainya di rumah, ayah sedang duduk di teras, menikmati secangkir teh. Wajahnya terlihat lelah, tapi ia tersenyum ketika melihatku dan Obeit datang.

"Ah, kalian pulang bersama. Bagus. Ayo, masuk. Aku baru saja membuat teh," kata ayah sambil mengangkat teko.

Aku dan Obeit duduk di kursi kayu di teras. Ayah menuangkan teh untuk kami bertiga. Udara sore yang sejuk membuat suasana terasa tenang.

"Bagaimana keadaan di pelabuhan?" tanya ayah kepada Obeit.

"Biasa saja. Beberapa kapal dagang dari Yunani sedang bongkar muat. Tapi kita harus tetap waspada," jawab Obeit dengan suara datar.

Ayah mengangguk pelan. "Kita harus melindungi kota ini, Obeit. Rakyat kita sudah menderita cukup banyak."

Aku diam-diam memperhatikan percakapan mereka. Aku ingin sekali ikut berbicara, tapi aku tahu ayah akan menganggapku masih terlalu muda.

Setelah beberapa saat, Obeit berdiri. "Aku harus pergi. Masih ada urusan di kantor polisi."

"Baiklah, hati-hati di jalan," kata ayah.

Setelah Obeit pergi, aku menatap ayahku. "Ayah, aku ingin membantu. Aku tidak bisa hanya duduk diam melihat semua ini terjadi."

Ayah tersenyum lemah. "Aku tahu, Nak. Tapi kau masih muda. Ada waktu untuk semuanya."

Aku menghela napas. Aku tahu ayah hanya ingin melindungiku, tapi aku merasa terjebak.

Malam itu, aku duduk di kamarku, memandang foto ibuku yang tersimpan di meja kecil. Ibuku telah tiada, tertembak dalam insiden antara polisi dan pemberontak beberapa tahun lalu. Kepergiannya meninggalkan luka yang dalam bagiku dan ayah.

—

Pagi itu, suara azan subuh bergema di seluruh Karasönmez. Aku membuka mataku perlahan, masih setengah mengantuk. Aku berwudu, lalu turun ke lantai bawah untuk pergi ke masjid.

Sepulang dari masjid, Ayah sudah duduk di ruang makan, menyeruput teh hangat sambil membaca beberapa dokumen.

"Kau akan berangkat sekolah hari ini?" tanya ayah tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertas itu.

Aku mengangguk. "Ya, Ayah."

Aku mengambil sepotong roti. Sarapanku sederhana, seperti biasanya. Saat hendak pergi, ayah tiba-tiba berbicara.

"Orhan, nanti sepulang sekolah, mampirlah ke kantor polisi. Berikan surat ini kepada Paman Obeit."

Aku menatap amplop yang diletakkan di meja. "Kenapa aku?"

"Karena aku mempercayaimu."

Aku terdiam sejenak, lalu mengambil surat itu dan memasukkannya ke dalam saku.

Sekolah berlalu seperti biasa. Aku lebih banyak diam, mendengarkan gurunya berbicara. Aku masih berpikir tentang surat di sakuku.

Saat lonceng tanda pulang berbunyi, aku berjalan melewati pasar yang semakin ramai. Aku sempat mampir di kedai paman Halil, tapi hanya untuk menyapa sebentar. Setelah itu, aku langsung menuju kantor polisi.

Bangunan itu berdiri kokoh di pusat kota, dengan dinding batu yang tampak lebih tua dari kebanyakan rumah di Karasönmez. Dua penjaga berdiri di pintu masuk, mengawasi setiap orang yang masuk dan keluar.

Aku melangkah masuk ke kantor polisi, melewati beberapa petugas yang sibuk dengan urusan mereka. Aku langsung mencari Paman Obeit, tapi tidak menemukannya. Biasanya, Paman Obeit duduk di meja di dekat jendela, membaca laporan atau berbincang dengan polisi lain. Tapi kali ini, tempat itu kosong.

Aku mendekati meja petugas jaga, seorang pria tua yang mengenalku sejak kecil.

"Selamat siang, Paman Yahya," sapaku sopan.

Yahya menoleh dan tersenyum samar. "Ah, Orhan. Ada perlu apa di sini?"

"Ayahku menitipkan surat untuk Paman Obeit. Apakah beliau ada?"

Yahya menggeleng. "Tidak. Beliau keluar sejak pagi, ada urusan di luar kota."

Aku mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih sebelum berjalan lebih dalam ke kantor.

Di sudut ruangan, aku melihat dua orang yang kukenal — Eren dan Aksel. Mereka tampak lebih santai dibanding petugas lain. Aksel bersandar ke dinding dengan tangan terlipat, sementara Eren duduk menulis sesuatu.

Aku mendekat. "Paman Obeit sedang tidak ada. Bisa kutitipkan surat ini kepada kalian?"

Aksel melirikku, lalu mengambil amplop itu tanpa banyak bicara. Ia membolak-baliknya sejenak, lalu menyelipkannya di tangannya. "Aku akan memberikannya nanti."

Aku menatapnya sesaat, dengan ragu. "Pastikan Paman Obeit menerimanya langsung."

Aksel tersenyum tipis, tapi sorot matanya membuatku tidak nyaman. "Tentu saja."

Saat meninggalkan kantor polisi, aku merasa ada sesuatu yang menggangguku. Cara Aksel menatap surat itu terlalu lama, ekspresinya sungguh datar, dan senyumnya yang tidak benar-benar tersenyum.

Langit mulai berubah warna ketika aku berjalan pulang. Para pedagang masih sibuk di pasar, suara tawar-menawar dan gelak tawa bercampur dengan suara burung camar.

Ketika aku tiba di rumah, aku melihat sesuatu yang tidak biasa — di depan rumahku, ada beberapa kuda terikat, dan dua prajurit berseragam Utsmaniyah berjaga di dekat pintu.

Aku masuk dengan hati-hati. Dari dalam ruang tamu, aku bisa mendengar suara ayah berbicara dengan seseorang. Aku menaiki tangga dengan cepat, lalu berhenti di lantai dua, tepat di atas ruang tamu, di mana ada celah kecil di antara papan lantai yang bisa kugunakan untuk menguping.

"…mereka akan menyerang malam ini," suara berat seorang pria berbicara.

Aku menahan napas.

"Seberapa pastikah informasi ini?" suara ayah terdengar tegang tapi tetap tenang.

"Cukup pasti," jawab pria itu, rupanya ia adalah seorang komandan. "Mata-mata kami di dalam kelompok mereka telah memberikan konfirmasi. Mereka tidak akan menunggu lebih lama. Karasönmez adalah target utama karena posisinya yang strategis."

Ayah menghela napas panjang. "Dan berapa banyak yang kita hadapi?"

"Sulit dikatakan dengan pasti, tapi cukup untuk membuat kekacauan di kota ini."

Ada keheningan sejenak. Aku bisa mendengar seseorang menyeruput teh.

"Kami butuh persiapan," kata ayah akhirnya. "Kota ini tidak bisa jatuh."

"Kami sudah mengirim pesan ke gubernur Aydın. Tapi mereka mungkin tidak akan tiba tepat waktu," kata komandan itu. "Yang kita miliki sekarang adalah pasukan yang ada di kota ini — termasuk polisi."

"Apakah Obeit Efendi sudah tahu?" tanya ayah.

Komandan mengangguk perlahan. "Kemungkinan besar sudah. Tapi aku tidak yakin dia akan bertindak cepat."

Paman Obeit tahu, tapi mengapa ia tidak ada di kantor polisi?

Terdengar suara kursi digeser. Komandan kembali berbicara, "Kami butuh dukungan penuh dari Anda, Ahmed Bey. Jika kota ini jatuh ke tangan pemberontak, jalan menuju kota lain akan terbuka bagi mereka."

Ayah terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara mantap, "Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan."

Setelah beberapa saat, Komandan itu berdiri. "Kami harus kembali ke pos kami, Ahmed Bey. Malam ini akan panjang."

Ayah mengangguk, lalu berdiri untuk mengantar mereka keluar. Dua tentara yang tadi berjaga mengikuti Komandan keluar dari rumah, menaiki kuda mereka tanpa banyak bicara.

Aku tetap di atas, memperhatikan dari jendela. Begitu ayah masuk kembali dan menutup pintu, aku turun ke lantai bawah. Ayah sedang menuangkan teh ke dalam cangkirnya, ekspresinya terlihat lebih lelah dari sebelumnya.

"Kau menguping?"

Aku tersentak, tapi aku tidak bisa berbohong. "Aku mendengar beberapa hal."

Ayah menatapku sejenak, lalu menghela napas. Ia menunjuk kursi di seberangnya. "Duduk."

Aku menurut. Aku masih belum tahu harus berkata apa.

Ayah mengaduk tehnya pelan. "Aku tahu kau ingin membantu, Orhan."

Aku langsung menegakkan punggungku. "Aku bisa membantu, Ayah. Aku bisa melakukan sesuatu — apa pun itu."

Ayah menggeleng pelan. "Membantu bukan berarti harus mengangkat senjata."

"Tapi bagaimana kalau kota ini benar-benar diserang? Aku bisa belajar menembak, aku bisa—"

"Kau bahkan tidak tahu bagaimana cara menembakkan pistol."

Aku terdiam.

Ayah melanjutkan, "Dan aku tidak ingin anakku menjadi tentara atau polisi. Aku ingin kau hidup lebih lama dari ayahmu."

"Tapi ini rumah kita. Kota kita," balasku.

Ayah menatapku dengan mata lelah namun penuh ketegasan. "Justru karena ini rumah kita, kau harus berpikir dengan kepala dingin. Kau bisa membantu dengan cara lain."

Aku mengepalkan tanganku di atas pahaku, frustrasi. Aku ingin melakukan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa. Aku masih ingin membantah, tapi di dalam hatiku, aku tahu ayah benar.

Ayah meletakkan cangkir tehnya dan menghela napas. "Orhan, aku tahu kau tidak puas dengan jawabanku. Tapi ini bukan tentang menjadi pahlawan atau membuktikan diri."

Aku menunduk, merasa sedikit malu. "Aku hanya… aku tidak ingin menjadi orang yang tidak melakukan apa-apa."

Ayah tersenyum tipis. "Kadang, mengetahui apa yang sedang terjadi jauh lebih penting daripada berlari ke medan perang tanpa arah." Ia menatapku dalam-dalam. "Aku butuh seseorang yang bisa melihat dan mendengar lebih dari yang orang lain sadari. Aku butuh seseorang yang bisa berpikir jernih."

Aku terdiam.

"Percayalah, Nak," lanjut ayah, "dengan situasi seperti ini, setiap orang punya peran. Dan aku ingin kau menemukan peranmu, bukan hanya memaksakan diri."

Sebelum aku sempat membalas, suara azan ashar menggema dari menara masjid di tengah kota. Ayah bangkit perlahan.

"Setelah shalat, aku ada pertemuan dengan Paman Obeit."

Aku mengangkat kepala. "Paman Obeit?"

Ayah mengangguk sambil merapikan bajunya. "Aku perlu mendengar langsung darinya soal keadaan di kota. Juga tentang surat yang kau titipkan tadi."

Aku teringat kembali kejadian di kantor polisi. Aku merasa sedikit gelisah, tapi tetap menjawab, "Aku menitipkannya pada paman Aksel. Paman Obeit sedang tidak ada di kantor."

Ayah berhenti sejenak, ekspresinya sedikit berubah. "Paman Aksel, ya?"

Aku mengangguk. Ayah terdiam, lalu menarik napas dalam dan berkata, "Ayo ke masjid."

Kami pun keluar rumah, berjalan beriringan menuju masjid yang tak jauh dari sana.

—

Selepas dari masjid, aku berjalan pulang lebih dulu, sementara ayah menuju kantor polisi untuk bertemu dengan Paman Obeit. Matahari sudah mulai condong ke barat, dan bayangan bangunan-bangunan di Karasönmez semakin panjang.

Sesampainya di rumah, aku membuka pintu dan disambut oleh keheningan. Aku melangkah ke ruang tamu, lalu melihat sesuatu di atas meja kecil dekat pintu masuk — sebuah amplop dengan segel resmi gubernur Aydın.

Aku mengambilnya, lalu berjalan ke ruang kerja ayah. Ruangan itu selalu rapi dan teratur, dengan rak buku yang penuh dan meja kayu besar yang tertata rapi. Aku meletakkan surat itu di atas meja, memastikan tidak ada yang berubah dari posisi awalnya.

Setelah itu, aku kembali ke kamarku. Hari ini cukup panjang, dan aku merasa ingin menenangkan diri. Aku duduk di tepi jendela, mengambil buku sketsaku, lalu mulai menggambar sudut-sudut kamarku — meja kecil dengan lampu minyak, rak buku yang berantakan, dan tempat tidurku yang sedikit kusut.

Malam mulai turun ketika aku mendengar suara kuda berhenti di depan rumah. Aku menutup bukunya dan berdiri, berjalan ke jendela untuk melihat. Di bawah cahaya lentera, aku melihat ayah turun dari kuda, diantar oleh Paman Obeit.

Ayah masuk ke dalam rumah, terlihat sedikit lelah, tapi tetap menjaga posturnya yang berwibawa. Aku turun dari kamarku untuk menyambutnya.

"Bagaimana pertemuan dengan Paman Obeit?" tanyaku saat ayah melepas serbannya dan meletakkannya di gantungan.

Ayah menghela napas. "Biasa saja, hanya membahas langkah-langkah keamanan kota. Tapi besok lusa aku harus pergi ke Aydın untuk menghadiri pertemuan dengan gubernur."

Aku mengingat sesuatu. "Ngomong-ngomong soal gubernur, ada surat untukmu tadi. Aku meletakkannya di meja kerja."

Ayah mengangkat alis, lalu berjalan ke ruang kerjanya dengan aku mengikutinya. Ia mengambil amplop itu, membukanya dengan hati-hati, lalu mulai membaca isinya.

Wajahnya berubah serius. Aku memperhatikannya, menunggu reaksi ayah.

Setelah beberapa saat, ayah menutup surat itu perlahan dan mengusap dagunya. "Ini lebih besar dari yang kukira," gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Ayah bangkit dari kursinya, meraih mantelnya, lalu mengenakannya.

"Aku harus pergi lagi," katanya sambil merapikan kerahnya. "Ada beberapa orang yang harus kutemui untuk memastikan kota ini tidak benar-benar tanpa perlindungan malam ini."

Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi aku hanya mengangguk. Aku tahu ayah tidak akan tinggal diam ketika keadaan semakin genting.

Ayah berjalan menuju pintu, lalu berhenti sejenak. "Jangan keluar rumah malam ini, Orhan. Apa pun yang terjadi."

Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ayah melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya.

—

Malam semakin gelap ketika ayah kembali ke rumah. Aku, yang sedang duduk di ruang tamu, segera bangkit begitu mendengar pintu depan terbuka. Wajah ayah tampak lebih lelah dari sebelumnya.

"Bagaimana di luar, Ayah?" tanyaku.

Ayah melepaskan mantelnya dan duduk di kursi dekat perapian. "Jalanan di sekitar Karasönmez semakin tidak aman," katanya pelan. "Beberapa kereta kuda dijarah. Ada juga yang dipaksa membayar 'tol masuk' oleh orang-orang yang entah dari mana."

Aku menelan ludah. "Jadi… mereka benar-benar sudah mulai bergerak?"

Ayah mengangguk pelan, mengusap dahinya. "Jika apa yang dikatakan Komandan tadi benar, maka seharusnya malam ini ada serangan. Aku berharap itu salah, tapi…" Ia menghela napas panjang. "Polisi kita dalam posisi sulit. Sebagian besar dari mereka masih berada di pedesaan, menyelesaikan masalah yang terjadi minggu lalu. Saat itu, para pemberontak mulai mengancam warga, dan kita tak punya pilihan selain mengirim pasukan untuk menenangkan keadaan."

Ayah bangkit dari duduknya dan berjalan ke jendela. Dari sana, ia menatap keluar ke jalanan Karasönmez yang mulai sepi, hanya diterangi oleh cahaya lampu minyak di beberapa sudut. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya.

Aku ikut berdiri di samping ayah, ikut memandang ke luar.

"Jika memang terjadi sesuatu malam ini…" suara ayah terdengar pelan namun tegas, "tetaplah di dalam rumah. Apa pun yang terjadi, jangan bertindak gegabah."

Aku mengangguk, meskipun dalam hatiku ada keinginan untuk melakukan lebih dari sekadar menunggu.