Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Jarak yang menyatu - Love story

🇮🇩Vann_Story
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
23
Views
Synopsis
Rara, yang bosan dengan rutinitas hidupnya, secara tak terduga bertemu dengan Dito di sebuah kafe. Percakapan singkat mereka meninggalkan kesan mendalam. Tanpa diduga, mereka bertemu lagi, dan perasaan Rara mulai tumbuh. Namun, Rara terjebak dalam hubungan yang tidak jelas dengan Ardy, sementara Dito membawa angin segar yang membuatnya mulai mempertanyakan arah hidupnya. Apakah Dito akan mengubah segalanya, atau justru memperumit perasaannya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga

Dini hari di kota ini selalu terasa sedikit lebih tenang. Hanya suara kendaraan yang kadang melintas dan hembusan angin yang menusuk di antara gedung-gedung tinggi. Di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan, Rara duduk di pojokan dekat jendela, memandangi langit yang mulai memerah, menandakan bahwa pagi telah datang.

Pagi ini terasa berbeda. Mungkin karena hujan yang baru saja berhenti semalam, udara menjadi segar dan membawa sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Rara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang terus melayang. Dua minggu terakhir ini, hidupnya rasanya seperti berjalan di tempat. Rutinitas yang sama, pekerjaan yang monoton, dan hubungan yang tak jelas dengan seseorang yang selalu membuatnya bingung. Dia pun mulai merasa lelah.

Di depannya, secangkir cappuccino yang sudah hampir habis. Dia menyesapnya perlahan, sambil berpikir, apakah ada hal lain yang bisa dia lakukan untuk mengubah arah hidupnya. Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dengan keras, dan seorang lelaki masuk dengan langkah cepat. Rara tidak terlalu memperhatikannya pada awalnya, tapi entah mengapa, kali ini dia merasa ada sesuatu yang berbeda.

Lelaki itu, dengan jaket kulit dan rambut acak-acakan, terlihat seperti baru saja berlari dari hujan. Dia berhenti di meja kasir, membeli secangkir kopi hitam, dan kemudian melangkah ke sudut kafe. Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan mata Rara yang sedang menatapnya.

"Maaf, kursinya kosong?" suara lelaki itu terdengar pelan, sedikit ragu, tapi tidak ada tanda-tanda kejenakaan.

Rara hanya mengangguk, memberi isyarat untuk duduk. Tanpa banyak bicara, lelaki itu duduk di kursi yang berseberangan dengannya, lalu membuka laptop di meja. Ada sesuatu yang menarik dalam diri lelaki itu, meskipun wajahnya tampak asing. Mungkin karena tatapannya yang dalam, atau mungkin ada aura tertentu yang membuatnya menarik perhatian.

Rara melanjutkan menyesap kopi, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan lelaki yang baru saja duduk itu. Tapi ternyata, tidak bisa. Selama beberapa menit, dia merasa matanya tak bisa lepas dari sosok itu. Pria itu seperti tidak peduli dengan sekelilingnya, tenggelam dalam dunia digitalnya sendiri, mengetik dengan cepat di atas keyboard.

Sampai akhirnya, lelaki itu menatapnya lagi, kali ini dengan senyuman tipis.

"Maaf, boleh tanya?" tanya lelaki itu, suara baritone yang agak dalam, tapi tidak mengganggu.

Rara sedikit kaget, tapi tersenyum tipis. "Iya?"

"Apa kamu sering datang ke sini?" Dia mengangkat bahu, seperti mencoba membuat obrolan itu terdengar santai.

Rara mengangguk. "Lumayan sering. Tempatnya nyaman untuk sekadar melarikan diri."

Lelaki itu tertawa pelan. "Aku baru pertama kali ke sini, sebenarnya. Tapi aku rasa, tempat ini punya sesuatu yang bisa bikin orang betah."

"Hmm, iya juga," jawab Rara, sedikit tersenyum. Ada sesuatu yang mudah dengan lelaki ini, seolah-olah mereka sudah saling mengenal cukup lama.

Tiba-tiba, suasana hening menyelimuti mereka berdua. Namun, Rara merasa tidak canggung. Justru ada perasaan nyaman yang entah bagaimana datang begitu saja. Lelaki itu membuka laptopnya lagi, tapi kali ini tampak lebih santai.

"Aku Dito," katanya tiba-tiba, memecah kesunyian. "Kamu?"

"Rara." Rara mengulurkan tangan, terkejut dengan dirinya sendiri yang tidak merasa ragu.

Dito menyambut dengan senyuman yang sedikit lebih lebar. "Rara, ya? Nama yang indah."

Rara tersenyum tipis, merasa ada sesuatu yang aneh dengan percakapan ini. Tidak ada usaha berlebihan untuk berbicara, tidak ada obrolan yang dibuat-buat. Semua terasa alami, meskipun mereka baru saja bertemu.

Lama kelamaan, mereka mulai berbicara lebih banyak, mengungkapkan hal-hal yang ringan tapi menarik. Tentang kota, tentang pekerjaan, tentang hidup. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Saat Dito berdiri untuk pergi, Rara merasa sedikit kecewa. Keberadaannya, meskipun singkat, telah memberi rasa nyaman yang jarang dia temui.

"Senang bisa ngobrol," kata Dito sambil merapikan tas ranselnya.

"Iya, sama-sama. Semoga kita bertemu lagi," jawab Rara, meski kalimat itu terasa seperti ucapan yang tidak terlalu serius.

Dito hanya tersenyum. "Mungkin saja."

Setelah Dito pergi, Rara duduk beberapa saat, merenung. Ada perasaan aneh di dalam hatinya, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Tapi dia mencoba menepisnya, menganggapnya sebagai kebetulan semata.

Namun, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa pertemuan itu bukanlah kebetulan. Sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di depan, dan Rara tidak tahu apa itu. Tapi perasaan itu, meskipun samar, mulai menggoda pikirannya.

Mungkin hidupnya memang perlu sedikit perubahan. Mungkin, setelah pertemuan ini, semuanya akan berbeda.

Rara duduk terpaku beberapa menit setelah Dito pergi, menatap pintu kafe yang kini tertutup rapat. Angin pagi yang semilir masuk lewat jendela terbuka, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya, seperti ada sesuatu yang belum tuntas, tapi dia tidak tahu apa itu. Dito memang baru saja pergi, tapi entah kenapa, seolah ada bagian dari dirinya yang masih tersisa di meja itu, menunggu untuk dia kenal lebih jauh.

Rara menatap jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sembilan. Dengan sedikit rasa enggan, dia merapikan tas dan mengambil jaket yang tergeletak di samping kursi. Sementara itu, kafe perlahan mulai ramai. Beberapa orang datang, sebagian duduk di meja-meja dekat jendela, sementara yang lain duduk di sofa empuk yang terletak di sudut. Musik jazz lembut mengalun di latar belakang, memberi kesan nyaman di setiap sudut ruangan.

Namun, rasa tidak nyaman itu tidak hilang. Rara merasa seperti ada yang mengikat dirinya pada pertemuan tadi pagi, meskipun semuanya terasa begitu singkat. Saat dia melangkah keluar dari kafe, udara pagi menyambut dengan hangat, tetapi hatinya seolah diliputi oleh kabut yang tidak bisa dia singkirkan.

Langkah kakinya otomatis membawa dia ke arah jalan yang biasa ia lewati menuju kantor. Begitu banyak pikiran yang datang dan pergi, tapi semuanya terasa kabur, seolah dia tidak bisa memutuskan mana yang harus lebih dulu dipikirkan. Tentang pekerjaannya yang sedang tidak stabil? Tentang hubungan dengan lelaki bernama Ardy yang sudah lama tidak jelas arah dan tujuannya? Atau tentang Dito, lelaki asing yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya dan membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang lebih?

Ketika tiba di kantor, Rara mencoba mengalihkan perhatian dengan memfokuskan diri pada pekerjaannya. Tapi di dalam hati, pikirannya masih kembali kepada Dito. Setiap kali dia mencoba mengingat wajahnya, ada perasaan hangat yang muncul, seolah sosok itu membawa angin segar dalam hidupnya yang mulai terasa stagnan. Rara tahu, perasaan ini hanya datang karena kebetulan, atau mungkin hanya efek dari percakapan singkat yang tidak berarti apa-apa. Tapi setiap kali dia menepisnya, perasaan itu malah semakin menguat.

Hari itu berjalan lambat. Rara merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang tiada habisnya. Jam makan siang tiba, dan seperti biasa, dia memilih untuk makan sendiri di kafe kecil favoritnya. Saat melangkah masuk, dia terkejut. Dito. Lagi.

Lelaki itu sedang duduk di meja yang sama, dengan laptop terbuka di depannya, seolah-olah kafe ini adalah tempat kerjanya yang paling nyaman. Dia tidak melihat Rara masuk, terlalu sibuk dengan layar komputernya. Rara sempat ragu sejenak, tetapi akhirnya memutuskan untuk mendekat. Ia tidak tahu apa yang membuatnya begitu percaya diri hari itu. Mungkin karena rasa ingin tahu yang tak tertahankan, atau mungkin hanya karena kafe itu terlalu kecil untuk menghindari pertemuan yang tak terelakkan.

"Eh, kamu lagi?" Rara berkata, mencoba menyapa dengan nada yang tidak terlalu canggung.

Dito menoleh, terlihat terkejut, tapi seketika itu juga senyum tipis muncul di wajahnya. "Wah, ternyata kita bertemu lagi, ya. Aku pikir kamu sudah pergi tadi."

Rara tertawa kecil. "Aku? Sudah pergi? Aku baru saja berangkat kerja." Dia duduk di kursi yang kosong, tidak sabar untuk memulai percakapan ini lagi. Mungkin kali ini mereka bisa berbicara lebih lama.

"Benarkah? Maaf, aku agak terbawa suasana tadi." Dito menutup laptopnya dengan lembut. "Kamu sering makan siang di sini?"

Rara mengangguk. "Iya, tempat ini lumayan enak dan cukup tenang. Kalau aku butuh waktu buat berpikir, biasanya aku datang ke sini."

Dito menatapnya dengan penuh perhatian, seolah berusaha menangkap setiap kata yang keluar dari bibir Rara. "Jadi kamu bekerja di kantor yang tidak jauh dari sini?" tanyanya.

"Benar," jawab Rara, sedikit bingung dengan intensitas tatapan Dito. "Aku di bagian marketing, bukan posisi yang spesial sih. Masih belajar banyak." Dia tidak tahu mengapa dia merasa perlu memberi penjelasan tentang pekerjaannya. Mungkin karena Dito seperti orang yang selalu ingin tahu lebih banyak.

"Aku di dunia digital marketing," ujar Dito sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi bukan di sini. Aku baru saja pindah ke kota ini, jadi masih dalam tahap menyesuaikan diri."

Rara mengangguk. "Pindah ke sini untuk pekerjaan, ya?"

Dito tertawa pelan. "Bisa dibilang begitu. Tapi, ada alasan lain yang membuat aku memilih kota ini. Aku rasa, tempat ini punya sesuatu yang menarik. Aku belum tahu apa, tapi aku merasa harus tinggal lebih lama."

Rara menatap Dito dengan cermat, seolah ada sesuatu yang tak bisa dia tangkap dari kata-kata lelaki ini. Ada kesan misterius yang terus mengiringinya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi Rara tidak ingin terburu-buru menilai. Dia hanya ingin menikmati percakapan ini, mungkin untuk melupakan sejenak kebingungannya tentang hidup.

"Menarik," jawab Rara, mencoba menahan rasa penasaran yang mulai tumbuh. "Apa kamu sudah menemukan sesuatu yang menarik di sini?"

Dito tersenyum, seolah tidak ingin mengungkapkan segalanya. "Mungkin… belum, tapi aku rasa akan segera tahu. Kadang, pertemuan yang tak terduga bisa membawa perubahan besar."

Kalimat itu terasa dalam. Rara merasa seperti ada sesuatu yang tersirat, tapi dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi. Keheningan tiba-tiba hadir di antara mereka. Tanpa sadar, Rara tersenyum.

"Mungkin saja," jawabnya pelan, dan itu adalah kalimat yang membawa mereka berdua ke dalam perenungan yang sama.

Setelah beberapa saat, mereka mulai berbicara lagi tentang hal-hal sepele, pekerjaan, kehidupan kota ini, hingga cuaca yang mulai mendung. Tetapi entah mengapa, suasana itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengikat mereka berdua, meskipun mereka baru bertemu dua kali.

Hari itu berakhir dengan cepat. Saat Dito beranjak untuk pergi, Rara kembali merasa sedikit kecewa. Bukan karena pertemuan itu berakhir, tetapi karena dia tidak bisa menjelaskan perasaan yang tumbuh begitu cepat dalam dirinya.

"Sampai jumpa, Rara," kata Dito sambil memberi senyum yang sama seperti sebelumnya.

"Sampai jumpa, Dito," jawab Rara, meski dalam hati, dia tidak bisa menghilangkan rasa penasaran yang membelenggunya.

Saat Dito meninggalkan kafe itu, Rara merasa seperti ada bagian dari dirinya yang tertinggal di sana, dalam percakapan yang tidak selesai. Mungkin saja, pertemuan ini akan membuka babak baru dalam hidupnya. Tapi, satu hal yang pasti, Rara tidak bisa melupakan lelaki itu begitu saja.