Chereads / The Pure Blood & The Scientists / Chapter 2 - CH. 01 : Pria Bermata Merah (1)

Chapter 2 - CH. 01 : Pria Bermata Merah (1)

Jenewa, Swiss - WHA Headquarters

22:45 PM

'Wanita Jenius' merupakan nama panggilan Riana, yang sering disebut oleh semua orang yang mengenal-nya. Lahir dari ayah asal Indonesia dan ibu keturunan British, kecerdasannya sudah terlihat sejak dini. dia menyelesaikan sekolah lebih cepat dari anak-anak seusianya dan diterima di University of Oxford pada usia 18 tahun.

Dengan gelar Bachelor of Science in Biochemistry, ia lulus terhormat sebagai cum laude di usia 21 tahun. Setelah itu, Riana melanjutkan studi jenjang doktoral dalam bidang Virology and Infectious Diseases sembari bekerja sebagai virologis di WHA.

Saat ini, Dr. Riana Evelyn Mahesa duduk tepat di depan layar komputer di dalam laboratorium virologi WHA. Di balik jas lab putih dan kacamata tipis yang selalu bertengger di hidungnya, walaupun bekerja sebagai ilmuwan. Namun, secara fisik Riana memiliki paras cantik alami seperti aktris.

Wajah oval yang dihiasi oleh sepasang mata cokelat tua yang tajam dan cerdas, seolah mampu membaca setiap detail seseorang yang menatapnya, hidungnya mancung proporsional, dan bibirnya yang ranum selalu tampak natural tanpa perlu banyak polesan.

Namun saat ini Riana tidak sempat merawat dirinya, rambut pirangnya yang tergerai berantakan, menandakan ia yang berjam-jam bekerja selama seharian. Mata cokelat yang mulai lelah tetap fokus meneliti hasil analisis DNA dari 3 sampel darah seseorang yang terjangkit virus.

"Sial, ini tidak masuk akal! Kenapa hasilnya bisa berbeda seperti ini...?" desisnya, menekan jemari ke pelipisnya sendiri menunjukkan rasa frustasi.

Dengan sigap, tangannya meraih sarung tangan lateks dan mengenakannya. Dia mengambil salah satu pipet otomatis, dan perlahan meneteskan plasma dari tiap sampel ke dalam well plate untuk diuji dengan metode ELISA.

Setelah itu, Riana beralih ke mesin PCR Thermocycler yang telah menyelesaikan amplifikasi DNA virus dari masing-masing sampel.

"Baiklah, sepertinya aku harus melihat lebih dekat lagi" gumamnya, sembari mengambil hasil dan membawanya ke komputer utama.

Hasilnya diluar dugaan, hasil data DNA yang terpampang di layar komputer tidak sesuai dengan hipotesis awal yang dia perkirakan.

Matanya menyipit, membaca perbedaan pola mutasi di antara ketiga sampel.

'S-001: Virus berkembang pesat, tapi tubuh pasien tampaknya bisa beradaptasi.'

'S-002: Mutasi terjadi lebih agresif, menyebabkan respons imun berlebihan.'

'S-003: Tidak ada respons imun yang signifikan-seolah-olah tubuh pasien membiarkan virus berkembang tanpa hambatan.'

"Ini gila... Ketiganya memiliki virus yang sama, tapi reaksi tubuh mereka sangat berbeda," bisiknya.

Riana menghela napas panjang, tanpa pikir panjang dia meraih ponselnya. Jarinya yang lentik menyentuh layar dan mencari kontak yang paling sering Riana hubungi saat-saat ini. Nomor kontak yang dicari dapat ditemukan dengan mengetikkan nama Dr. Alexander Grand atasan sekaligus mentornya di WHA.

"Dia harus tahu tentang ini," gumam Riana, sambil menekan tombol panggilan.

Beberapa dering terdengar, sebelum suara Dr. Grand menjawab.

"Riana, ada apa? Menelepon jam segini," jawab Dr. Grand. "Sebentar, apakah kamu masih di lab...?" suaranya terdengar tenang, tapi ada nada penasaran di baliknya.

"Itu tidak terlalu penting Dr. Grand! Disini, saya menemukan sesuatu yang... luar biasa. Saya butuh bertemu dengan Anda. Ini sangat penting," kata Riana, mencoba menahan nada antusias di suaranya.

"Baiklah, datanglah ke kantor saya besok pagi. Kita bisa membicarakan penemuan dengan tenang esok hari" balas Dr. Grand, masih dengan nada yang sama.

"Tunggu, ini tidak bisa menunggu! Please Mr. Grand, mentorku yang paling baik..." jawab Riana, sembari meyakinkan mentor sekaligus atasannya sendiri.

Hening

Ada jeda singkat di ujung telepon dan suara helaan nafas, sebelum Dr. Grand akhirnya menjawab, "Riana kamu memang keras kepala," ujarnya singkat. "Baiklah, kamu datanglah duluan ke kantor saya di lantai 11 nanti saya akan menyusul. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, ini harus benar-benar penting!"

"Ini benar-benar hal penting saya berjanji, Anda tidak perlu khawatir." jawab Riana, tegas sebelum menutup telepon.

Dia segera merapikan dokumen dan data penelitiannya, menyimpannya ke dalam flash drive kecil yang selalu dia bawa dan segera membuat salinannya. Dengan cepat, dia melepas jas lab putihnya dan bergegas mengenakan jaketnya

"Penemuan ini akan mengubah segalanya!" gumamnya sembari tersenyum kecil, sambil berjalan keluar dari laboratorium.

***

Riana tiba di kantor Dr. Grand yang berada di lantai 11. Ruangan megah, dengan dinding kayu mahoni beserta rak buku berisikan banyaknya buku yang tersusun apik. Meja kerjanya besar dan berantakan dengan dokumen penting, sementara jendela besar di belakangnya memberikan pemandangan kota Jenewa yang indah.

Mata Riana masih tetap terkesima ketika melihat ruangan mentornya walaupun bukan pertama kali dia melihatnya, disaat bersamaan dia melihat pemandangan kota Jenewa melalui jendela besar yang sangat indah di malam hari.

Dia duduk di sofa kulit hitam yang nyaman, menunggu Dr. Grand datang. Dengan matanya yang masih terkesima, sembari mencoba menenangkan diri sambil memegang flash drive berisi data penelitiannya.

"Dia pasti akan terkejut," pikir Riana, sambil menatap pemandangan kota Jenewa melalui jendela besar.

DOR! DOR!

Riana melompat dari tempat duduknya, jantungnya berdebar kencang. "HAH-Apa-apaan itu!" pikirnya, matanya melirik ke arah pintu.

Suara tembakan itu berhenti, tapi kemudian digantikan oleh suara gemuruh mendobrak pintu yang datang dari arah luar ruangan. Riana merasa nafasnya semakin berat, tangannya gemetar memegang flash drive.

"Stay calm... Aku harus keluar dari sini!" bisiknya dalam hati, tapi sebelum dia sempat bergerak pintu ruangan terbuka dengan keras.

BRUAK!

Beberapa orang berseragam hitam dan bertopeng kain masuk ke ruangan dengan senjata api. Mereka terlihat sangat terorganisir dan terlatih, menunjukkan bahwa mereka bukan orang sembarangan yang hanya bisa memegang senjata api.

Riana mundur ke belakang, mencoba mencari jalan keluar. "-Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan...?" tanyanya, suaranya gemetar ketakutan.

"Dr. Riana Evelyn Mahesa," kata salah satu dari mereka, dengan suara dingin yang menusuk. "Kami datang kesini untuk membawa hasil penelitian milikmu, berikan flash drivenya atau kami akan menggunakan cara paksa." jawab salah satu dari mereka, dengan suara tenang dan percaya diri.

Riana melihat sekeliling ruangan, mencoba mencari celah untuk melarikan diri. Tapi dia terjepit.

Jendela besar di belakangnya adalah satu-satunya jalan keluar, tapi itu berarti dia harus melompat dari lantai 11 tidak ada bedanya dengan membunuh diri sendiri.

"Aku tidak punya pilihan," pikirnya, sambil mencoba menahan gemetar dan mencoba menenangkan diri saat situasi genting ini.

"Jika aku memberikannya... kalian tidak akan membunuhku- kan?" jawab Riana, berusaha bernegosiasi dengan salah satu dari mereka.

"Betul sekali, jadi katakan kepada kami. Dimana flash drive itu disimpan olehmu?" jawabnya lagi, pria bertubuh kekar itu menodongkan senjata api dan berbicara sembari menghampiri Riana secara perlahan.

"Oh Tuhan, aku masih ingin hidup... Tolong selamatkan aku," doanya dalam hati, sambil memejamkan matanya.

PRANG!

Disaat Riana ingin mengambil flash drive dari kantong jaket yang dikenakannya, secara tiba-tiba... Jendela besar dari arah belakang di samping Riana pecah berantakan.

Seorang pria dengan jaket hitam dan mata bersinar merah menembus masuk melewati jendela besar ke dalam ruangan. Dengan kecepatan yang tidak mungkin dilakukan manusia biasa.

Sebelum semua orang termasuk diri Riana sendiri dapat bereaksi, dengan sangat sigap pria bermata merah misterius itu langsung menendang pria yang menodongkan senjata api kepada Riana.

DUAKH!

"UGHHH--!" erangnya kesakitan, menerima tendangan yang sangat kuat dari pria misterius yang muncul dari luar jendela.

Pria bersenjata api yang terkena tendangan itu terpental seperti boneka, melayang di udara sebelum tubuhnya menghantam tembok beton di sisi ruangan dengan sangat keras.

BRUAGH!

Tembok itu retak dan hancur sebagian,

serpihan beton berhamburan ke segala penjuru ruangan.

Riana menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak lebar, otaknya seakan berhenti bekerja. "Apa yang baru saja tadi terjadi?!" pikir Riana dalam hati.

Tubuh pria yang dihantam tembok jatuh tergeletak tak berdaya, mengerang untuk menahan sakit, sementara pria misterius bermata merah berdiri tegap di depan Riana.

DUKK!

Nafas Riana memburu, tubuhnya mulai

melemas dan bergetar. Kengerian yang sangat aneh yang baru saja ia lihat membuatnya kehilangan keseimbangan, lututnya melemas dan tanpa sadar ia jatuh terduduk di lantai.

Sementara itu, pria bermata merah menoleh ke arah Riana. Sorot matanya tajam dan dalam, seperti seorang predator yang mengamati buruannya.

"Namamu benar Riana kan...?" suaranya terdengar tenang, tapi penuh ketegasan. "Dr. Riana kita harus pergi." lanjutnya bicara.

la mengulurkan tangannya ke arah Riana.

Tapi Riana masih bergetar ketakutan belum bisa merespons dan ragu akan ajakan dari pria misterius itu.

DRAP! DRAP! DRAP!

Suara gemuruh langkah kaki terdengar dari belakang pria misterius itu yang sedang sibuk memperhatikan Riana tertunduk ketakutan.

"Jangan bergerak! sekali saja badanmu bergerak... Kau akan mati, Sialan!" ujarnya, salah satu pria pemegang bersenjata api.

Dengan cepat, tiga pria bersenjata tersebut telah mengepung Riana dan pria misterius itu.

Pemandangan yang tidak asing, seperti manusia yang berusaha melingkari binatang buas yang ingin diburu.

Smirk

Pria bermata merah hanya tersenyum tipis.

"Hmmm... Kalian yakin benar-benar ingin mencoba?" jawab pria bermata merah itu dengan percaya diri, sama sekali tidak merasa terintimidasi.