Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini—terperangkap dalam pesona seorang pria yang seharusnya tidak kusinggahi. Om Reza, duda berkarisma yang selalu membawa aura dominasi ke mana pun ia pergi. Aku menyebutnya Om Duda Hyper, bukan hanya karena usianya yang jauh di atasku, tapi juga karena tatapannya yang selalu membuatku gelisah, seperti pemangsa yang telah menemukan mangsanya.
Ruangan ini terasa begitu sempit saat ia berdiri di hadapanku, menatapku dengan mata tajamnya. Aku bisa mencium aroma maskulinnya, campuran wangi aftershave dan sesuatu yang lebih pekat—sesuatu yang berbahaya.
"Kenapa kau gemetar, hm?" suara beratnya menyelinap ke telingaku, mengguncang kewarasanku.
Aku menelan ludah, mundur selangkah. "Om, kita nggak boleh ... Ini salah."
Om Reza menyeringai, satu tangannya bersandar di dinding, menjebakku dalam sudut ruang sempit yang membuat napasku semakin berat. "Salah? Atau kau hanya takut mengakui bahwa kau menginginkanku?"
Jantungku berdebar kencang, telapak tanganku berkeringat. Aku tahu aku harus pergi. Aku tahu aku tidak boleh terjebak dalam situasi ini. Tapi tubuhku tetap terpaku di tempatnya, seolah ada magnet tak terlihat yang menahanku.
"Aku—" suaraku tercekat saat jemarinya yang hangat mengangkat daguku, memaksaku menatap matanya yang berkilat penuh ketertarikan.
"Jangan berbohong, Maya," bisiknya, napasnya menyapu kulitku. "Aku tahu setiap kali aku dekat, tubuhmu bereaksi. Kau bisa mencoba menyangkalnya, tapi tidak ada gunanya."
Aku menggeleng cepat, mencoba mengatur napas. "Ini tidak seperti yang Om pikirkan."
Dia tertawa pelan, nada rendahnya membuat udara di antara kami semakin tegang. "Lalu kenapa kau tidak menjauh? Kenapa kau masih di sini, membiarkan aku mendekat?"
Aku ingin berlari. Aku ingin lari sejauh mungkin dari aura berbahayanya, dari godaan yang menyesakkan ini. Tapi tubuhku seakan tak punya kehendak sendiri. Aku merasakan panas yang menjalar di kulitku saat jemarinya bergerak turun, menyusuri lengan hingga pergelangan tanganku.
Aku menggigit bibir, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang menjalar di tubuhku. "Om, kita nggak boleh seperti ini ..."
Om Reza mengangkat alisnya, seolah menikmati kebimbangan yang tergambar jelas di wajahku. "Kau yakin?"
Aku tidak menjawab. Bukan karena aku tidak yakin, tapi karena aku takut akan jawabanku sendiri.
Tangannya terangkat, menyelipkan sehelai rambut ke belakang telingaku. "Kau terlalu cantik untuk pura-pura tidak menikmati ini, Maya."
Aku menggertakkan gigi, menolak godaan ini dengan sekuat tenaga. "Aku bukan mainan, Om."
Om Reza terkekeh, suaranya dalam dan penuh makna. "Siapa bilang aku menganggapmu mainan? Aku serius, Maya. Dan aku tahu kau juga merasakan sesuatu yang sama."
Aku membenci kenyataan bahwa ia benar.
"Aku takut," lirihku akhirnya, mengakui sesuatu yang selama ini kusangkal.
Om Reza terdiam sejenak, lalu jemarinya bergerak ke daguku, memiringkan wajahku hingga aku benar-benar menatapnya. "Takut karena kau tidak bisa menghindari apa yang terjadi di antara kita?"
Aku mengangguk kecil. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri lagi. Setiap kali aku berada di dekatnya, ada sesuatu yang membara di dalam diriku. Sesuatu yang berbahaya, tapi juga terlalu menggoda untuk diabaikan.
"Kau tidak perlu takut, Maya." Jemarinya menyusuri pipiku, sentuhan ringan yang justru membuat seluruh sarafku menegang. "Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku juga tidak akan berpura-pura bahwa aku tidak menginginkanmu."
Aku menutup mata sejenak, mencoba mencari celah untuk keluar dari jerat yang ia buat. Tapi saat aku membuka mata, aku melihat sesuatu di sana—sesuatu yang lebih dari sekadar nafsu.
Dan itu membuat segalanya semakin berbahaya.
Aku tahu ini bukan hanya tentang keinginan semata. Ada sesuatu di antara kami, sesuatu yang semakin sulit untuk dihindari.
"Kau selalu menguji batas, Om," bisikku, suaraku bergetar.
Dia menyeringai, jari-jarinya menelusuri lenganku dengan lembut. "Batas itu dibuat untuk dilewati, bukan?"
Aku menggeleng, mencoba menahan diri. "Tapi kalau kita terlalu jauh ... kita nggak akan bisa kembali."
"Mungkin aku memang tidak ingin kembali," bisiknya, mendekatkan wajahnya padaku.
Aku menahan napas, merasakan jarak yang semakin menipis di antara kami. Napasku beradu dengan napasnya, panas dan membakar. Aku tahu jika aku tetap di sini lebih lama, aku akan jatuh lebih dalam.
Tapi, mungkin ... aku memang sudah jatuh.
Aku berdiri di depan jendela, menatap kosong ke luar. Hujan turun deras, menciptakan suasana hening yang mencekam, suara hatinya hampir tenggelam dalam riuhnya pikiran.
"Kenapa kita selalu bertemu saat keadaan seperti ini, Om?" Aku bertanya dengan nada yang rendah, suaraku hampir tak terdengar, seolah berat menahan kata-kataku.
Om Reza berdiri di belakangku, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Aku tidak tahu, Maya. Mungkin karena kita berdua tidak bisa menghindarinya," jawab Om Reza, suaranya serak, seperti berusaha menenangkan diri.
Aku berbalik dengan cepat, mataku menatap tajam ke arah Om Reza, raut wajahnya penuh kebingungan dan sedikit kepahitan.
"Apakah kamu pernah merasa terjebak, Om?" Aku kembali bertanya dengan suara yang bergetar sedikit, mencerminkan kebingungan yang mendalam.
Om Reza terdiam, lalu menghela napas panjang. Dia menatapku sejenak, seolah mencari kata yang tepat untuk menjelaskan perasaan yang begitu rumit.
"Setiap hari," jawabnya pelan, suara itu hampir terdengar seperti keluhan, menyiratkan kelelahan batin.
Aku kembali menunduk, menggigit bibir dengan cemas. Air mata hampir tumpah, tapi aku berusaha keras untuk menahannya.
"Aku juga," ucapnya pelan, suara itu nyaris hilang dalam desah napasnya.
Lalu aku kembali menatap Om Reza dengan mata yang penuh kesedihan, seolah bertanya tanpa kata.
"Tapi kita tidak bisa terus seperti ini, kan?" Aku menambahkan dengan nada yang lebih ragu, matanya mencari jawaban.
Om Reza melangkah lebih dekat, merasakan jarak yang semakin menebal antara kami. Dia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut, namun ketegangan masih terasa di antara kami berdua.
"Aku tidak ingin membuatmu merasa terjebak, Maya. Aku tidak ingin ini menjadi beban bagimu," Om Reza mengungkapkan dengan tulus, suaranya lembut namun penuh penyesalan.
"Tapi, Om, setiap kali kita berbicara seperti ini, aku merasa semakin jauh dari apa yang seharusnya aku jalani. Aku ... aku ingin semuanya berjalan lancar, tanpa ada perasaan yang saling menyakiti," ujarku.
Om Reza menghela napas berat, mengamatiku dengan tatapan yang penuh dengan penyesalan.
"Aku tahu, Maya. Aku juga menginginkannya. Tapi kita tidak bisa mengabaikan perasaan yang ada di sini. Kita berdua tahu itu,"* katanya, matanya penuh dengan konflik yang sama.
Aku kembali menundukkan kepalanya, menahan diri agar tidak menangis. Tatapan mataku tetap menghindar dari tatapan Om Reza.
"Kita tidak bisa. Ini salah, Om. Apa yang kita rasakan ini ... tidak seharusnya ada," Aku berkata dengan suara yang sedikit tercekat, penuh dengan ketegasan yang mencairkan ketegangan di udara.
Om Reza terdiam sejenak, wajahnya memucat seolah kalimatku itu menghujam dalam hatinya.
"Aku tahu. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Dan aku rasa kamu juga tidak bisa," jawab Om Reza dengan suara yang lebih rendah, penuh rasa sakit yang sulit disembunyikan.
Aku menatapnya, matanya penuh dengan pertentangan. Ada keraguan, ada keinginan untuk berlari, namun ada pula perasaan yang tak bisa dibendung.
"Aku tidak ingin kehilangan ... segalanya. Tapi aku takut jika terus seperti ini, aku akan kehilangan diriku sendiri," kata Kataku dengan suara bergetar, tanganku terangkat seolah ingin menyentuh wajah Om Reza, namun akhirnya terhenti di udara, tak mampu melanjutkan.
Om Reza mendekatkan wajahnya, hanya sejengkal dari wajahku. Napas mereka bertautan, menciptakan atmosfer yang semakin tegang, seakan waktu berhenti begitu saja.
"Maya ... apa yang harus kita lakukan?"* Om Reza bertanya dengan suara serak, suaranya hampir tak terdengar dalam hening yang mengisi ruangan itu.