Chereads / Adikara : Warisan yang Terlupakan / Chapter 1 - Awal Mula Pertemuan

Adikara : Warisan yang Terlupakan

🇮🇩Cocos_Nucifera
  • 14
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 312
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Awal Mula Pertemuan

Pagi itu, Reksa melangkah ragu menuju gerbang utama Kampus-nya. Udara Jakarta yang panas dan lembab langsung menyambutnya begitu ia keluar dari angkutan umum yang membawanya ke kampus. Semua terasa baru baginya, mulai dari lingkungan yang sangat sibuk hingga gedung-gedung kampus yang tinggi menjulang. Jakarta, dengan segala keramaiannya, memang sangat berbeda dari kehidupan yang biasa ia jalani di daerah Jogja. Ia mengatur napas, berusaha menenangkan diri untuk menghadiri hari pertama kuliah, dan ia tahu bahwa ini adalah titik awal dari perjalanan yang akan mengubah hidupnya.

Reksa adalah seorang pemuda pendiam yang lebih suka menikmati waktu di alam, berlatih bela diri, dan meresapi ajaran-ajaran leluhurnya. Kehidupannya jauh dari keramaian kota besar, lebih banyak dihabiskan di dalam kesunyian, berlatih dengan pusaka keris yang diwariskan oleh keluarganya. Keris itu adalah pusaka yang turun-temurun dijaga oleh keluarganya. Reska yang tidak tahu menahu perihal pusaka itu haya menganggap itu hanya warisan keluarga biasa. Meskipun begitu, Reksa merasa ada sesuatu aura misterius dari keris itu yang menunggu untuk terungkap dalam hidupnya.

Langkah kakinya membawanya ke koridor utama kampus. Mahasiswa baru lainnya terlihat sangat sibuk dengan orientasi mereka, berbincang-bincang tentang berbagai hal, dan sebagian besar di antaranya sudah saling mengenal. Reksa merasa sedikit terasingkan di tengah keramaian itu. Ia lebih memilih menyendiri, melangkah dengan tenang menuju ruang kelasnya, dan berharap bisa mengikuti segala sesuatu dengan lancar.

Namun, tak lama kemudian, ia mendengar suara seseorang menyapanya.

"Hai, kamu Reksa Adikara, kan?"

Reksa menoleh ke belakang dan melihat seorang gadis cantik berdiri dengan senyum ramah. Ia mengenakan seragam mahasiswa yang rapi dan membawa tumpukan buku. Reksa sedikit terkejut mendengar namanya disebut, karena ia tidak mengenali gadis ini.

"Iya, aku Reksa. Ada apa ya?" Reksa menjawab, mencoba memberi respon yang sopan meskipun merasa sedikit bingung.

"Aku Nadira, Nadira Putri" gadis itu memperkenalkan dirinya dengan suara yang ceria. "Kebetulan kita satu jurusan, Arsitektur."

"Oh, iya. Senang bertemu," Reksa menjawab, sedikit merasa canggung. Dia memang sempat mendengar nama Nadira saat orientasi, tapi belum sempat benar-benar berbincang. Meski begitu, Nadira terlihat ramah dan tidak canggung, membuat Reksa sedikit merasa lebih nyaman.

"Bagaimana kalau kita jalan bareng ke ruang kelas? Aku juga baru pertama kali ke sini, dan seperti yang kamu lihat, aku cukup kesulitan membawa semua benda ini" ucap Nadira yang agak kesulitan namun dengan senyum yang menenangkan.

Reksa mengangguk, dan mengambil separuh bawaan Nadira dengan sigap. Meskipun ia sudah sedikit terbiasa dengan dunia kampus, pertemuan pertama dengan Nadira sedikit memberikan rasa nyaman yang membuatnya tidak merasa begitu keberatan dengan permintaan gadis itu. Keduanya pun berjalan bersama menuju ruangan.

Selama perjalanan menuju ruang kelas, mereka mulai berbicara tentang berbagai hal. Nadira terlihat sangat antusias menceritakan banyak hal, dari pengalaman kuliah di universitas baru, hingga perbedaan antara Jakarta dan kampung halamannya di Padang.

"Jakarta benar-benar berbeda, ya. Sebelumnya, aku tinggal di Padang. Tapi aku tertarik untuk kuliah di sini, di universitas ini. Banyak kesempatan yang bisa didapatkan," ujar Nadira dengan semangat.

Reksa mendengarkan dengan seksama, meskipun ia sendiri tidak banyak berbicara tentang dirinya. Nadira bercerita banyak tentang kehidupan di Jakarta yang begitu cepat dan penuh warna, sementara Reksa hanya mendengarkan dengan santai menjadi seorang pendengar yang baik. Dari cara Nadira berbicara, Reksa bisa merasakan bahwa ia adalah orang yang mudah beradaptasi dan bisa terbuka dengan orang lain, sementara Reksa sendiri merasa agak canggung di lingkungan yang baru ini.

"Aku asli Jawa," kata Reksa setelah beberapa saat, mencoba berbicara tentang dirinya. "Tapi aku lebih lama tinggal di daerah, di Jogja. Jakarta ini benar-benar berbeda, rasanya seperti kehidupan di dunia lain."

"Wah, Jogja! Aku pernah dengar tentang kota itu. Ada banyak tempat wisata ya? Kalau ke sana, rasanya seperti kembali ke masa lalu. Dulu aku pernah ke sana bersama keluarga," Nadira berkata dengan antusias. "Kamu pasti punya banyak cerita tentang kota itu, kan?"

Reksa mengangguk. "Ya, Jogja memang kota yang tenang dan kaya akan budaya. Tapi setelah pindah ke Jakarta, aku merasa... seperti terlempar ke dunia yang sangat berbeda."

Nadira tersenyum simpul. "Iya, Jakarta memang berbeda. Tapi aku merasa senang bisa berada di sini. Banyak yang bisa dipelajari. Ah.. dan tentunya aku juga senang bisa bertemu denganmu yang tahan dengan semua ocehanku" timpal senyum lebar di wajahnya.

Percakapan mereka berlanjut dengan mudah. Nadira tidak tampak tertekan atau canggung, sementara Reksa merasa semakin nyaman dalam percakapan mereka. Mereka berbicara tentang kuliah, harapan, dan rencana untuk masa depan. Nadira mengatakan bahwa ia memilih jurusan arsitektur karena tertarik dengan seni dan desain, sementara Reksa, meskipun lebih pendiam, merasa kuliah di universitas ini bisa membuka peluang untuknya yang sebelumnya sangat terbatas.

Sesampainya di ruang kuliah, mereka berdua langsung mengambil tempat duduk. Kuliah pertama dimulai dengan perkenalan dosen dan pengenalan materi yang akan dipelajari selama semester pertama. Reksa duduk di bangku belakang, masih memikirkan percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun mereka baru saja bertemu, ia merasa ada ikatan yang aneh di antara mereka. Ikatan itu bukan sesuatu yang langsung terasa, tapi ada perasaan seolah-olah mereka memang ditakdirkan untuk bertemu.

Kuliah berjalan lancar, meskipun Reksa tidak terlalu banyak berbicara. Ia lebih fokus pada materi yang diberikan, mencoba menangkap informasi yang akan berguna dalam perkuliahan mendatang. Sementara itu, Nadira terlihat lebih aktif, mencatat setiap penjelasan dosen dengan antusias. Sesekali, mata mereka bertemu, dan Nadira memberikan senyum ramah yang membuat Reksa merasa sedikit gugup karena ketahuan diam-diam melirik gadis itu.

Setelah kuliah selesai, mereka berdua berjalan keluar ruang kelas dan menuju koridor kampus. Nadira, yang tampaknya sudah lebih berpengalaman dalam beradaptasi dengan kehidupan kampus, mengajak Reksa untuk pergi ke kafe kampus.

"Kalau kamu mau, kita bisa belajar bareng untuk tugas pertama," Nadira menawarkan dengan senyum yang sangat ramah. "Mungkin kita bisa saling membantu, kan? Tugas pertama ini cukup berat, sih."

Reksa berpikir sejenak. Meski ia merasa belum terlalu kenal dengan Nadira, tawaran itu terdengar sangat menarik. Ia memang masih merasa sedikit canggung di kampus, dan terkadang, berbicara dengan orang lain bisa menjadi hal yang menantang baginya. Namun, Nadira memberikan rasa nyaman yang membuatnya menyetujui ide tersebut.

"Iya, itu ide yang bagus. Aku juga masih perlu banyak bantuan," jawab Reksa sambil tersenyum.

Mereka pun berjalan menuju kafe kampus. Saat itu, Reksa merasa sedikit lebih lega, meskipun di dalam hatinya ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa seolah-olah pertemuan ini bukan kebetulan belaka. Sesuatu yang lebih besar sedang menunggu untuk ditemukan. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia merasakannya. Seperti ada panggilan yang tak bisa diabaikan.

Di kafe, mereka duduk bersama, mengobrol santai tentang tugas kuliah dan kehidupan mereka masing-masing. Suasana di sekitar mereka cukup ramai, dengan banyak mahasiswa lain yang juga sedang menikmati waktu istirahat. Namun, Reksa merasa seperti dunia di sekitarnya mulai melambat, dan ia hanya fokus pada percakapan dengan Nadira. Mereka berbicara tentang berbagai topik, dan tanpa disadari, waktu pun berlalu begitu cepat.

Saat matahari mulai terbenam, mereka berdua memutuskan untuk pulang. Reksa merasa lebih ringan setelah berbicara dengan Nadira. Meskipun ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia merasa bahwa pertemuan pertama ini adalah awal dari sesuatu yang penting.

Di perjalanan pulang, Reksa menyadari satu hal. Mungkin pertemuan itu bukan hanya kebetulan. Mungkin saja ada ikatan yang lebih dari sekadar teman sekelas, dan bisa jadi, takdir mereka akan saling berkaitan lebih dalam lagi seiring berjalannya waktu. Namun, untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati setiap langkah perjalanan ini, sedikit demi sedikit.