Chereads / crazy couple Starboud / Chapter 1 - Aku di mana?

crazy couple Starboud

Alian_HN
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 41
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Aku di mana?

[2020]

Malam yang sepi, hanya suara angin yang sesekali menyentuh daun-daun kering. Di sepanjang jalan sepi itu, langkah Dearen terdengar jelas, berat, dan berpadu dengan hentakan sepatu yang terasa begitu sunyi. Tangannya merogoh saku jaket hitamnya, sementara matanya sedikit terpejam, menikmati kesendirian malam yang terasa agak aneh.

Pikirannya melayang, mengingat kejadian-kejadian yang tak pernah selesai. Begitu banyak beban yang menggerogoti pikirannya, tetapi malam ini rasanya seperti semuanya berhenti sejenak.

Langkahnya tiba-tiba terhenti, tubuhnya membeku seiring dengan suara decitan keras dari belakang. Ia berbalik, dan sebelum ia sempat menyadari, sebuah kendaraan besar melaju dengan kecepatan yang tak terhitung. Seketika, tubuhnya terlempar, ditabrak dengan kekuatan yang membuat segala sesuatu terasa terbalik.

Namun—sesaat sebelum tubuhnya menabrak tanah, segalanya terhenti. Waktu bagaikan membeku. Dearen, yang sudah pasrah, bisa merasakan dirinya mengambang. Semua terasa hampa.

Dan tiba-tiba—BLAMM!—pandangannya berputar. Dunia yang gelap dan sunyi berubah menjadi ruang yang terasa tak terjangkau. Lorong panjang dan besar yang dipenuhi dengan cahaya redup yang berkedip-kedip muncul di hadapannya.

"Hah?" Dearen terengah, mencoba menatap dengan bingung, tubuhnya tergeletak di lantai dingin. Koridor besar, berlantaikan logam, seperti lantai bawah tanah atau sebuah ruang tersembunyi yang tak pernah ia bayangkan. Udara lembab menyelubungi. Ia melirik ke kanan-kiri, merasa ada yang aneh.

Sebelum bisa berpikir lebih jauh, layar hologram muncul di depan matanya. Membentuk tulisan besar yang memancarkan cahaya biru muda.

"Selamat datang di Starboud, penyintas."

"Star...boud?" mulut Dearen terkatup, tak percaya. Ia memandang ke sekitar, berusaha mencari petunjuk, tetapi hanya ada dinding logam yang kokoh dan langit-langit yang terlalu tinggi untuk dilihat dengan jelas.

Tubuhnya masih terasa lemas, tetapi rasa takut mulai merayapi. "Apa ini? Apa yang terjadi?" Pikiran-pikirannya saling bertabrakan, bingung, bahkan lebih bingung daripada ketika ia pertama kali melihat layar tersebut.

"Aku masih hidup?" Dearen bergumam pada dirinya sendiri, merasa absurd dengan kenyataan ini. "Apa maksudnya 'penyintas' itu? Aku... mati, kan? Tapi kok... aku di sini sekarang? Enggak mungkin kan akhirat gini?" Matanya berkeliling, dan dadanya sedikit sesak dengan kekhawatiran yang semakin mengganggu.

Kakinya masih terasa berat untuk berdiri, tetapi tanpa bisa ditahan, ia mencoba untuk bergerak, melangkah perlahan mengikutinya. Setiap langkah terdengar menggelar gema yang menghantui keheningan yang aneh ini.

"Jangan-jangan... aku nggak sekadar nyaris mati doang."

Seketika, pikirannya terhenti. Apa kalau... ini semua memang bukan kenyataan? Sebuah dunia yang tak dikenal, yang hanya bisa ia temui setelah hampir kehilangan nyawa. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Dan siapa yang akan memberikan penjelasan tentang tempat ini?

Di tengah kebingungannya, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang mengawasi dirinya. Suara dalam hati semakin mengganggu. "Apa aku bisa keluar dari sini?"

Hologram itu kembali berbunyi—"Akan ada ujian yang lebih berat menantimu, penyintas."

Dearen merasakan sejenak kegelisahan mendera hatinya. "Ujian...?"

Dearen masih mencoba memahami teks hologram yang terus bergulir di depannya. Lalu status tubuhnya ditampilkan seolah ia karakter dalam gim RPG.

---

Nama: Dearen Reafer

Level: 1

Stats: Selengkapnya->

Kemampuan: Tidak ada

Poin Star [PS]: 0

---

"Sistem telah memverifikasi penyintas."

Hologram membisikkan kalimat itu dengan nada netral namun dingin. Dearen mendengus, setengah yakin ia sudah gila.

"Ini isekai apa gim, sih?" pikirnya sinis. "Kayaknya Aku baru tabrakan, terus malah jadi begini. Klasik banget, ya kan?"

Belum sempat ia lanjut mengutuk nasib, layar biru menyala lebih terang di hadapannya:

"Misi Pemula"

"Bertahan hidup dari kejaran Alimora Type Crator."

"Hadiah: 3 PS"

Dearen mengerutkan dahi, tubuhnya mulai tegang membaca kalimat itu. "Bertahan hidup? Maksudnya apaan?!"

Hanya dalam hitungan detik, suara gemuruh keras mengguncang lantai besi di bawah kakinya. BRAK! Sebuah dinding di sampingnya hancur berkeping-keping, serpihan logam beterbangan, melukai kulit Dearen.

"K—kampret!" makinya sambil mundur terhuyung.

Dari reruntuhan, makhluk itu perlahan muncul. Sesosok monster berbadan besar, sekitar dua kali lipat dari tinggi manusia. Tubuhnya berlendir dan berkilau di bawah cahaya yang berkedip-kedip, menyerupai perpaduan aneh antara kadal dan kanguru, dengan kepala lonjong dan pipih yang terlihat seperti... entahlah. Cakar panjang berkilat tajam menghias kedua lengannya, sementara deretan taring rapat yang menjijikkan muncul dari mulutnya yang lebar.

Makhluk itu berdiri diam seolah menunggu, lalu mengeluarkan suara mencicit yang menyeramkan.

"Krack... kikikikikikik... kik."

Suara itu menggema, membuat bulu kuduk Dearen berdiri. Kakinya mendadak terasa seberat baja, sementara napasnya terengah-engah. Ia membeku di tempat, tidak tahu harus lari atau bertahan.

"Sial... otak ku buntu! Ini gimana cara kabur?! Aku nggak punya senjata, nggak tahu tempat ini, dan... SHIT, dia lebih gede dariku!" pikir Dearen panik.

Dia melirik ke sekeliling—tidak ada tempat berlindung, hanya koridor besi yang memanjang dengan sudut gelap di ujung sana. Pilihan yang buruk: Lari atau Mati.

Makhluk itu masih diam, mulut terbuka penuh nafsu predator kearah Dearen tanpa menutup. Seolah memberi kesempatan untuk lari.

Dearen merasa darahnya berdesir cepat.

"Oke, oke... Aku mikir." Ia menguatkan hatinya. "Kalo Aku lari lurus, Aku bakal jadi mangsa gampang. Tapi kalo diem terus begini, Aku bakal dicincang kapan aja."

Keringat dingin membanjiri wajahnya. Tiba-tiba, ingatannya melayang ke satu adegan klise di film survival yang pernah dia tonton.

"Predator gini biasanya reaktif... kan? Kalo Aku nggak gerak, dia diem aja?"

Dearen menarik napas dalam-dalam, menahan tubuhnya tetap kaku. Perlahan ia geser mata ke arah kiri, berharap ada sesuatu yang bisa dipakai—pipa besi, serpihan tajam, apapun.

Kosong.

"Ya udah, apa boleh buat."

---

Lorong besi itu dipenuhi suara langkah kaki Dearen yang berderap panik, berpadu dengan dentuman berat makhluk menjijikkan yang mengejarnya di belakang.

"Krack—kikikikikikikikik!"

Suara itu menggema, seperti ancaman kematian yang terus mendekat. Dearen menelan ludah, jantungnya berdegup liar seolah akan meledak.

"Bertahan hidup sama dengan melarikan diri," gumamnya cepat sambil memacu kakinya lebih kencang. Udara di lorong itu terasa lembap dan berat, tapi rasa takut membuatnya terus bergerak tanpa peduli.

Matanya melirik ke belakang. Sosok besar itu merangkak dengan gesit, tubuh berlendirnya memantulkan kilatan cahaya redup dari dinding logam.

"Kalau aku atlet lari..." desis Dearen, wajahnya penuh keringat. "...dia nih atlet merangkak! tai!"

Monster itu melesat seperti peluru, cakarnya menghantam dinding dan lantai besi, menciptakan suara berderak yang membuat gendang telinga Dearen berdenging.

Dearen hampir terpeleset saat belok ke kiri, mendapati lorong bercabang lagi. Tanpa berpikir panjang, ia memilih jalur yang lebih gelap.

"Pokoknya kabur dulu aja, mikir nanti!" teriaknya dalam hati.

Namun tak lama kemudian, suara hantaman keras terdengar lagi. Makhluk itu menabrak dinding di belakangnya, menghancurkan sudut koridor yang baru saja dia lewati.

"SERIOUSLY?! Monster ini nggak punya rem apa? plis author jangan di jadiin standar gini ceritanya." keluh Dearen dengan napas terengah.

Kakinya terus melangkah, meski otot-ototnya mulai berteriak minta istirahat. Setiap sudut lorong terasa sama—gelap, besi berkarat, tanpa ujung yang jelas.

Di belakang, makhluk itu tak menyerah, semakin cepat, semakin agresif.

"Krack—KRAAACK! Kikikikik!"

Dearen berusaha keras mencari akal. "Sempak! Aku nggak bisa lari selamanya. Lorong kek nggak ada habisnya. Kalau nggak ada jalan keluar, aku bakal jadi cemilan tuh kadal jumbo!"

Dia melihat tumpukan besi tua di sudut lorong berikutnya. Mata Dearen menyala.

"Mungkin Aku bisa pancing dia buat tabrakan lagi!" pikirnya sambil tersenyum miring, meski napasnya makin berat.

Dearen mempercepat langkah, melompat ke atas tumpukan besi dan berguling cepat ke samping.

"Ayo, sini ku kasih musibah!"

Makhluk itu, seperti yang Dearen harapkan, tak bisa berhenti tepat waktu. Tubuh besar berlendirnya menghantam tumpukan besi dengan keras. Logam berhamburan ke udara, menciptakan dentuman memekakkan telinga.

"Kena kau, BAJINGAN!" teriak Dearen dengan senyum kemenangan, meski dadanya masih berdebar keras.

Namun kemenangan itu hanya sesaat. Monster itu menggeliat dari balik puing-puing dengan geraman rendah, menoleh langsung ke arah Dearen.

"Ah, tai lah."

Tanpa pikir panjang, Dearen kembali bangkit dan berlari seperti hidupnya bergantung penuh pada kecepatan kaki. Karena ya... memang begitu kenyataannya.

---

Dearen terus berlari tanpa henti, napasnya terputus-putus. Setiap langkah terasa menyiksa otot-otot kakinya, tapi dia tidak punya pilihan lain selain terus maju. Dentuman kaki makhluk besar yang berlendir itu masih terdengar di belakang, menggema menyusuri lorong yang berkelok-kelok.

Belokan demi belokan membuat Dearen muak. Keringat membanjiri wajahnya, menetes hingga menusuk matanya yang mulai perih.

"Standar banget nih cerita tai!" umpatnya dengan suara kasar. "Lari terus, belok, terus lari lagi! Mana klimaksnya?! Aku di gim murahan atau sinetron, huh?"

Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang berbeda di ujung lorong. Cahaya terang.

Dearen langsung bersorak dalam hati. "Jalan keluar! Akhirnya!" pikirnya dengan semangat yang mendadak membakar tubuhnya. Kelelahan yang tadi menyiksa seolah lenyap begitu saja.

Ia tak lagi peduli pada makhluk menjijikkan yang masih mengejar di belakang. Kakinya bergerak semakin cepat menuju cahaya itu.

Namun semakin dekat, pandangannya mulai jelas. Raut wajahnya yang semula penuh harapan berubah menjadi horor.

"Ah, sial... ini bukan jalan keluar."

Yang ada di hadapannya bukanlah pintu keselamatan, melainkan jurang besar yang menganga, seolah menunggu tubuhnya jatuh bebas.

Dearen mencoba berhenti mendadak, tapi lantai besi yang licin membuat kakinya terpeleset.

"KAMPRET!" teriaknya.

Tubuhnya terjatuh dan terguling keras di lantai, lutut dan siku menghantam lantai hingga robek. Luka terbuka di lengannya, darah mengalir deras.

Dearen berusaha menghentikan dirinya tepat di tepi jurang itu. Kakinya nyaris tak lagi memiliki pijakan. Nafasnya tersengal, otot-ototnya gemetar.

Makhluk di belakangnya masih mendekat dengan cepat, tak peduli pada jurang yang ada di depan. Penuh nafsu memburu.

Dearen mendengar suara lompatannya—BRUGH!

Refleks, ia menoleh ke belakang. Matanya melebar saat melihat monster itu terbang di udara, siap menabraknya.

"Mampus Aku—"

Namun, insting bertahan hidup Dearen mengambil alih. Dengan sigap, dia berguling ke samping, meski luka di lengannya terasa seperti disayat-sayat.

BUUAAANG!

Makhluk itu tak sempat mengubah arah. Tubuh besar berlendirnya terjun bebas ke jurang, mengeluarkan suara jeritan menggema yang perlahan hilang ditelan kegelapan.

Dearen terdiam sejenak, napasnya berat. Darah masih mengalir dari lengannya yang perih.

Tiba-tiba, sistem muncul dengan suara monoton.

"Selamat. Misi selesai. Hadiah diberikan."

"Tidak membunuh langsung Alimora: Crator. Tidak mendapatkan EXP."

Dearen mendesis pelan. "Tai lah, peduli amat sama EXP."

Dengan susah payah, dia berdiri. Lututnya masih gemetar. Matanya perlahan melirik ke bawah jurang itu—tapi kemudian dia tertegun.

"Tunggu..."

Ternyata itu bukan jurang.

Dearen menyadari bahwa tempat ia berdiri sekarang adalah sebuah benteng tinggi. Di langit, dinding kaca besar yang membungkusnya. Di luar kaca itu, bintang-bintang bersinar terang, menghiasi lautan gelap angkasa.

Pemandangan galaksi yang luas terbentang di hadapannya.

Di bawah sana, jauh di bawah benteng tempat ia berdiri, terlihat sebuah kota. Namun kota itu tidak utuh—hancur lebur, dengan bangunan roboh dan jalanan yang dipenuhi puing-puing.

Meski kecil dari pandangannya sekarang, jelas sekali kota itu besar, mungkin sebesar metropolis yang pernah ia lihat di Bumi.

Dan di setiap sudut kota yang rusak itu...

Dearen bisa melihat makhluk-makhluk aneh bergerak, hampir mirip dengan monster yang baru saja ia jatuhkan. Tapi wujud mereka bervariasi—ada yang besar dengan tentakel, ada yang kecil merayap dengan kaki-kaki tajam, bahkan ada yang terbang dengan sayap berlapis besi.

"Gila... Aku sebenarnya lagi di mana?" bisik Dearen pelan, matanya tak lepas dari pemandangan luar biasa mengerikan itu.

Dearen hanya bisa berdiri terpaku, pikirannya berputar mencari jawaban. Tapi satu hal yang jelas... ini bukan Bumi.

[STARBOUD]