Hari itu hari hari awal semester baru. Aku duduk di pojok dekat jendela, saf kedua, tempat favoritku. Angin pagi yang sejuk masuk lewat celah jendela, membawa aroma khas buku pelajaran baru dan sedikit hembusan bunga melati dari taman sekolah. Dan seperti biasa, aku memulai jam pertama dengan menatap kosong ke papan tulis yang masih kosong sampai dia masuk.
Pintu kelas terbuka perlahan. Gadis itu melangkah masuk didampingi oleh wali kelas kami, dan suasana kelas langsung berubah. Kegaduhan mulai terdengar dan semua mata, termasuk milikku, tertuju padanya.
Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai, membuatnya terlihat cantik. Tubuhnya ramping, seragamnya terpasang sempurna, tapi bukan itu yang paling menarik perhatianku. Bukan, bukan juga ukuran dadanya. Melainkan ada sesuatu di wajahnya: campuran rasa gugup, semangat, tekad, dan mungkin sedikit keterpaksaan. Entahlah, aku juga tidak yakin, soalnya aku sendiri sebenarnya tidak bisa menafsirkan ekspresi orang. Yang jelas, entah mengapa, ekspresi itu menarik bagiku."
Dia berhenti di depan kelas dan mulai berbicara.
"Nama saya Ambar. Saya baru pindah ke sini. Senang bertemu kalian semua."
Tidak ada yang berlebihan. Tidak ada suara gemetar atau kesalahan yang mencolok. Apalagi event pasaran komedi romantis seperti bertemu dengan kenalan atau terlibat dialog konyol dengan seseorang di kelas. Hanya ada kalimat sederhana, disampaikan dengan senyum manis yang tak kalah sederhana. Tapi entah kenapa, ia berhasil membuat kelas hening esaat, sebelum mulai riuh lagi.
Masih ada rona merah samar di pipinya, tetapi muncul senyum kecil seperti mengatakan bahwa dia bangga, senang atau mungkin lega sudah melewati momen itu.
Aku tidak sadar bahwa aku menatapnya terlalu lama, sampai Yadi, temanku yang duduk di belakang mencolek ku, "Apa? Tertarik, ya?" katanya sambil terkekeh.
"Sok tau, njir," gumamku sambil mengalihkan pandangan.
Tapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Dia berbeda dari murid pindahan biasanya. Ada sesuatu tentangnya. Seperti seseorang yang sedang berusaha keras dan dengan tekat yang cukup kuat.
Hari berlalu, tapi pikiranku masih sesekali kembali ke momen itu. Siapa dia sebenarnya?
"Anaknya pengusahaan Sawit," Ucap Yadi yang duduk di sampingku saat jam ekonomi. Hari Rabu.
"Serius?" Aku menanggapi setengah hati, masih skeptis dengan klaimnya.
"Orang tuanya juga punya bisnis konstruksi di Kalimantan sana."
"Kalo ngehoax ngotak dikit lah."
"Hoax? Satria, lu nggak tau ya?" Saat dia mengatakan itu, dia menatapku seperti melihat seseorang yang paling kudet di dunia.
"Dia itu lumayan terkenal lho walaupun cuman sebentar."
"Artis?"
"Bukan, tapi dia sepupu jauhnya member SMG 45."
"Member yang mana?"
"Nggak tau. Dia juga nggak ada mirip miripnya sama member SMG manapun. Lagian gua juga wota jalur fomo, jadi nggak tau banyak. Tapi gua ingat dia pernah muncul sekali waktu live streaming. Dia kebetulan sedang lewat dan diperkenalkan sebagai sepupunya member SMG. Dah gitu aja. Kejadiannya begitu cepat. Itu juga udah lama."
"He~"
Tepat setelah aku menggumamkan itu, aku menoleh ke arah Ambar yang sedang duduk di kursinya. Dia sedang mengobrol dengan beberapa gadis lainnya di sana.
Entah ini kebetulan, takdir atau apa, yang jelas kali ini aku tertangkap basah saat sedang memperhatikannya. Untuk sesaat mata kami bertemu. Dengan matanya yang indah itu dia menatapku. Aku segera mengalihkan pandangan ke depan, tapi aku terlalu penasaran hingga aku kembali melirik ke arahnya. Tatapannya masih sama.
Sebagai jones tentu saja aku merasa gugup jika diperhatikan oleh seorang gadis cantik seperti Ambar. Tapi, aku rasa bukan tindakan yang bijak lagi sopan jika kembali membuang muka. Jadi kuputuskan,untuk mengangguk tanda kesopanan dengan senyum kecil gugup yang agak aku kupaksakan.
Aku agak sedikit menyesali keputusanku. Bagaimana jika tatapannya tidak dimaksudkan untukku? Saat aku sibuk galau karena pikiran itu, dia malah memberikan reaksi yang wajar tapi sulit aku antisipasi sepenuhnya dari tadi. Dia dengan percaya diri mengangguk kecil kemudian tersenyum lembut tepat mengenai jantungku sebelum tetapannya akhirnya kembali kepada teman temannya.
Guru BK kami, Rahmat, datang menggantikan guru Ekonomi yang sedang cuti. Tidak banyak yang dia katakan kecuali tugas harus dikumpulkan. Dan kelas berjalan seperti biasanya hingga jam istirahat. Dan aku kembali menatap kepada dia yang selalu tersenyum di hadapan semua orang.
Sesaat aku mengingat salah satu prinsip yang kupegang. Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, bahkan sesuatu yang kau anggap kelebihan, bisa saja menjadi kelemahan terbesarmu.
Sama seperti mata uang, semua hal pasti memiliki sisi lain yang tidak bisa kita lihat. Sudah sewajarnya seseorang memiliki dua-tiga muka, setidaknya menyembunyikan sesuatu yang ada di dalam dirinya untuk bertahan di atas kerasnya dunia.
Dan sekarang, meskipun bukan hakku untuk mencari tahu. Aku penasaran, apakah ada hal yang tidak dia tunjukkan di balik senyumannya yang luar biasa indah itu?
Entahlah. Sekali lagi, bukan hakku untuk mencari tau.