Chereads / Jejak Yang Menghilang / Chapter 1 - Bab 1

Jejak Yang Menghilang

xyztar
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 37
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1

Langit bagaikan kanvas kelam yang diusap awan pekat, menelan cahaya bulan hingga hanya menyisakan redup samar di cakrawala. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur dengan bau logam dan debu kota. Jalanan berkilauan oleh pantulan lampu dari gedung-gedung tinggi, menciptakan ilusi berlian yang berserakan di genangan air. Jatuhan hujan terakhir masih menetes dari dedaunan, suara kecil namun tak henti-hentinya, seperti bisikan samar di tengah kesunyian.

Angin malam menusuk, berembus dingin, menyusup hingga ke tulang. Namun bagi seseorang, dingin bukanlah sesuatu yang bisa menyentuhnya lagi.

Di atas balkon sebuah mansion megah yang menjulang di pusat kota, seorang pria duduk dalam diam. Ia seperti patung batu di puncak dunia, tak tergoyahkan oleh riuh rendah kehidupan di bawahnya. Angin menyibak helaian rambut hitamnya yang sedikit berantakan, memperlihatkan garis-garis wajah yang dulu penuh pesona—kini dipenuhi kelelahan dan luka samar. Cahaya lampu dari dalam ruangan menyorot samar profilnya, menekankan rahang tajam dan sorot mata yang dingin seperti es yang tak pernah mencair.

Di tangan kirinya, cerutu yang menyala redup mengepulkan asap tipis, melayang-layang sebelum akhirnya lenyap, seolah mengejeknya dengan kefanaan segalanya. Di tangan kanannya, gelas wine berisi cairan merah tua berputar perlahan, pantulannya seperti darah yang mengering di bawah sinar lampu.

Keheningan menemani pikirannya yang dipenuhi bayang-bayang masa lalu.

Lima tahun.

Lima tahun sejak dunia yang ia kenal hancur berkeping-keping.

Lima tahun sejak nama Elian menjadi racun yang mengalir dalam darahnya.

Setiap sudut kota ini mengingatkannya pada sesuatu—pada seseorang—yang telah lama menghilang. Setiap gedung, setiap gang sempit, setiap bayangan yang bergerak di tepi jalan, seolah menyimpan rahasia yang belum terungkap. Ia telah menyusuri lorong-lorong gelap, menelusuri jejak yang semakin lama semakin kabur, seperti pasir yang terus terlepas dari genggamannya. Setiap kali ia merasa telah menemukan sesuatu, ia hanya berakhir dengan lebih banyak pertanyaan, lebih banyak kebuntuan, lebih banyak malam yang dihabiskan dengan kesadaran bahwa ia masih berdiri di titik yang sama.

Dulu, ia masih memiliki harapan.

Namun waktu telah menggerogotinya perlahan.

Sekarang, yang tersisa hanyalah kehampaan.

Dan kehampaan itu telah menjelma menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.

Amarah.

Mereka bilang waktu akan menyembuhkan luka. Tapi bagi Diego, waktu justru memperdalamnya. Rasa sakit yang ia coba kubur malah tumbuh menjadi monster yang merayap di setiap jengkal kesadarannya, mengubahnya menjadi seseorang yang bahkan ia sendiri tidak kenali.

Kini, kota ini adalah miliknya. Semua yang bergerak di dalamnya tunduk padanya—baik karena ketakutan, ataupun karena kesetiaan yang dipaksakan. Namun kekuasaan yang ia genggam terasa kosong, tak lebih dari bayangan tanpa substansi. Karena yang paling berharga telah hilang.

Dan malam ini, seperti ratusan malam sebelumnya, Diego kembali bertanya pada dirinya sendiri.

Apa yang tersisa untuknya sekarang?

---

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari dalam ruangan, memecah kesunyian yang telah menyelimuti mansion itu.

Pintu balkon terbuka pelan. Seorang pria bersetelan hitam berdiri di ambang pintu, menunduk hormat sebelum berbicara dengan nada hati-hati, seolah sadar bahwa satu kata yang salah bisa memicu badai.

"Tuan, ada undangan dari keluarga Router."

Diego tetap diam. Hanya satu alisnya yang sedikit terangkat, tanda bahwa ia mendengar.

"Dan?"

"Undangan ini dikirim oleh Nona Yeona."

Hening.

Tak ada reaksi yang jelas. Namun jika diperhatikan lebih dekat, jemari Diego yang menggenggam gelas sedikit menegang.

Yeona.

Nama yang membawa lebih banyak lagi rahasia. Salah satu dari sedikit orang yang masih berani menyebut nama Elian di hadapannya.

Diego menghisap cerutunya sekali lagi, menghembuskan asap dengan pelan sebelum akhirnya bersuara.

"Simpan." Suaranya rendah, dingin, nyaris tanpa emosi. "Aku akan datang. Persiapkan semuanya."

Pelayan itu mengangguk dalam. "Baik, Tuan."

Namun sebelum ia berbalik pergi, suara Diego kembali terdengar—lebih tajam kali ini.

"Kenapa dia tidak datang langsung?"

Pelayan itu tampak sedikit ragu sebelum akhirnya menjawab, "Mungkin dia sibuk, Tuan. Undangan ini dikirim melalui asistennya."

Keheningan menggantung.

Diego menatap kota di bawahnya sejenak, lalu mengangkat gelasnya, menatap cairan merah tua di dalamnya sebelum meneguknya habis dalam sekali minum.

"Aku mengerti," katanya akhirnya. "Pergilah."

Pelayan itu segera mundur, meninggalkan balkon dalam keheningan yang semakin pekat.

---

Diego menghabiskan tetes terakhir winenya sebelum akhirnya bangkit. Langkahnya mantap saat ia memasuki ruang kerjanya—sebuah tempat yang lebih mirip museum dari masa lalu.

Dinding-dindingnya dipenuhi potongan foto, peta yang penuh coretan, serta catatan yang terhubung oleh benang merah. Di tengah-tengahnya, terpampang satu wajah yang terus menghantuinya.

Elian.

Diego mengangkat tangan, jemarinya menyentuh foto itu, seolah berharap bisa merasakan sesuatu yang nyata darinya.

Kau di mana?

Lima tahun… dan satu-satunya yang tersisa hanyalah ini. Obsesinya. Kejatuhannya.

Namun undangan ini… bisa jadi sesuatu.

Apakah Yeona menemukan sesuatu? Atau ini hanya permainan lain?

Diego melangkah ke meja kerjanya dan melihat tumpukan berkas perusahaan. Berusaha mengalihkan pikirannya, ia mulai bekerja. Satu per satu dokumen ia periksa, menandatangani beberapa di antaranya, menyingkirkan yang tidak penting. Namun pikirannya tetap kembali ke satu titik.

Tanpa ia sadari, waktu terus berlalu.

Tengah malam telah tiba.

Diego akhirnya menyandarkan punggungnya, menatap langit-langit dengan mata lelah.

Hidup seperti ini… sampai kapan?

Ia bangkit, berjalan menuju sudut ruangan. Sebuah cermin besar memantulkan sosoknya—mata yang semakin gelap, wajah yang semakin tirus, dan jas yang tampak lusuh meski masih memancarkan wibawa.

Dengan gerakan lambat, ia menarik laci.

Di dalamnya, beberapa botol kecil tersusun rapi.

Diego menatap benda-benda itu dalam diam sebelum akhirnya mengambil satu butir pil. Dengan tangan gemetar, ia memasukkannya ke dalam mulut, menelannya dengan tegukan wine yang tersisa.

Pil itu… satu-satunya yang membantunya bertahan selama ini.

Langkahnya terasa lebih berat saat ia berjalan menuju ranjang. Dunia mulai terasa berputar, detak jam di dinding terdengar semakin jauh.

Diego membiarkan tubuhnya jatuh ke kasur, membiarkan kesadarannya perlahan tenggelam dalam kegelapan.

Namun, di tengah kegelapan itu, ada sesuatu.

Sebuah suara.

Sebuah peringatan.

Bahwa malam ini, segalanya akan berubah.