Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

PERTEMPURAN PARA FATALIS

🇮🇩KEN_AROK
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
33
Views
Synopsis
Di Nuswantorra, sebuah dunia di mana elf, orc, manusia, hybrid hewan, dan banyak ras lainnya hidup berdampingan, kedamaian adalah harta paling berharga. Tapi harmoni itu tidak tercipta dengan mudah. Di balik tirai kehidupan sehari-hari, ada para penjaga yang disebut Fatalis, individu terpilih dengan kekuatan mistis yang mampu mengubah jalannya sejarah. Mereka bukan hanya pelindung, tetapi juga harapan terakhir Nuswantorra. Tugas mereka adalah menghadapi Raksha, makhluk jahat yang tidak pernah lelah menghancurkan dunia ini. Namun, ancaman kali ini bukan hanya tentang kekuatan yang terlihat, tetapi juga rahasia-rahasia kelam yang mulai mencuat ke permukaan. Saat ancaman gelap semakin mendekat, para Fatalis dihadapkan pada keputusan sulit—mereka harus melampaui batas kekuatan mereka, merajut aliansi dengan musuh lama, dan bahkan menghadapi ketakutan terbesar mereka sendiri. Perjalanan ini bukan hanya tentang melawan Raksha, tetapi juga tentang menemukan siapa diri mereka sebenarnya. Akankah Nuswantorra bertahan, ataukah dunia yang mereka cintai akan runtuh di bawah tekanan takdir yang kejam? Hanya mereka yang berani melawan batasannya yang mampu menentukan akhir cerita ini.

Table of contents

Latest Update1
ch 0018 hours ago
VIEW MORE

Chapter 1 - ch 001

___~V~___

Nazzares abhiseka - Awal dari takdir

Di malam yang sunyi di Desa Gousan, sebuah perkampungan kecil di pinggiran hutan Blora bagian barat, wilayah Kerajaan Majapahit, berdiri sebuah rumah sederhana yang diterangi cahaya lampu minyak. Di dalamnya, tinggal seorang pria tua bernama Abail, mantan tabib kerajaan yang kini memilih menjalani masa tua dengan damai bersama putra satu-satunya, Nazzares Abhiseka.

Nazzares, bocah lelaki berusia dua belas tahun, memiliki rambut hitam panjang dan wajah yang rupawan, mengingatkan siapa pun pada almarhum ibunya. Pupil matanya yang merah—ciri khas yang diwarisinya—memberikan kesan unik pada penampilannya.

Di salah satu sudut rumah, Nazzares sibuk memeriksa deretan ramuan di atas meja. Tangannya cekatan menata botol-botol kecil berisi cairan berwarna-warni, memastikan semuanya tersusun rapi. Ketika selesai, ia menghela napas lega, lalu menatap hasil kerjanya dengan rasa puas.

"Mmm... sepertinya semuanya sudah siap," gumamnya pelan sambil menyeka keringat di dahinya.

Dari ruang kerja, suara Nazzares terdengar memanggil. "Ayah! Aku sudah menyelesaikan semuanya. Sisanya kuserahkan padamu!"

Abail, yang tengah menyiapkan ramuan terakhir di ruang lainnya, tersenyum kecil mendengar suara putranya. "Baiklah, anakku. Kau tidur saja," balasnya hangat.

Ketika langkah Nazzares perlahan menjauh menuju kamar tidurnya, Abail kembali memusatkan perhatian pada meja kerjanya. Di depannya terdapat beberapa bahan ramuan yang sudah diracik setengah jadi. Ia mengambil sebuah botol kosong, menuangkan cairan dari beberapa tabung, lalu mengaduknya dengan hati-hati.

"Hmm, tinggal satu lagi," gumamnya sambil melirik daftar pesanan di sampingnya. Ia tersenyum kecil saat membaca nama salah satu ramuan. "Ramuan kuat 'sayang istri'... selalu jadi favorit keluarga bangsawan kerajaan. Hahaha," ujarnya, terkekeh pelan. Dengan telaten, ia melanjutkan pekerjaannya, memastikan semuanya sempurna sebelum fajar tiba.

Keesokan harinya, Pagi yang cerah menyelimuti Desa Gousan. Di depan sebuah rumah sederhana, Nazzares berdiri dengan keranjang besar tergantung di punggungnya. Keranjang itu terlihat terlalu besar untuk tubuh mungilnya, namun ia terbiasa dengan rutinitas pagi ini.

"Ayah, aku sudah siap!" serunya, suaranya menggema di sekitar rumah.

Dari dalam rumah, terdengar jawaban Abail. "Tunggu sebentar, anakku!" Ayahnya masih sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk perjalanan mereka mencari tanaman obat di hutan.

Rutinitas ini adalah bagian dari kehidupan Nazzares. Setiap pagi, ia akan menemani Abail masuk ke hutan untuk mencari berbagai jenis tanaman obat. Biasanya, kegiatan ini berlangsung hingga siang hari, namun ada kalanya mereka baru kembali saat matahari hampir terbenam jika tanaman yang dicari sulit ditemukan.

Saat Nazzares duduk di depan rumah menunggu ayahnya, suara lembut seorang gadis memanggilnya. "Nazzares..."

Ia menoleh, dan di sana berdiri Kandhita, seorang gadis desa yang dikenal sebagai kembang desa. "Eh, Kandhita? Pagi sekali kau ke sini," katanya sambil tersenyum.

Kandhita membalas senyum itu dengan lembut. "Iya, aku hanya ingin memastikan kau dan ayahmu baik-baik saja. Kau mau mencari tanaman lagi hari ini?" tanyanya.

"Tentu saja," jawab Nazzares sambil tersenyum lebar.

Kandhita, yang telah menjadi bagian dari keluarga Nazzares, memiliki kebiasaan memasak untuk mereka. Pagi ini pun, ia datang dengan tujuan yang sama. "Baiklah, nanti siang aku akan menyiapkan makanan untuk kalian. Jangan lupa makan dengan lahap, ya," ucapnya sambil tersenyum manis.

Nazzares mengangguk antusias. "Masakanmu selalu enak, Kandhita. Terima kasih!"

Tak lama kemudian, Abail keluar dari rumah, membawa peralatan tambahan yang akan mereka gunakan di hutan. Ia terkejut melihat Kandhita sudah berada di sana. "Wah, menantuku pagi-pagi sudah datang," ujarnya dengan nada bercanda.

"Iya, Ayah. Aku akan memasakkan makanan enak untuk kalian makan siang nanti," jawab Kandhita dengan sopan.

Abail tertawa kecil. "Baiklah, aku percayakan rumah ini padamu. Jaga diri, ya."

"Ya, Ayah. Hati-hati di jalan, Ayah, Nazzares," balas Kandhita sambil melambaikan tangan saat mereka mulai berjalan menuju hutan.

Di sepanjang jalan, Abail sempat merenungkan hubungan antara Nazzares dan Kandhita. Mereka telah dijodohkan sejak masih bayi, sebuah tradisi yang lumrah di desa ini. Pada usia lima belas tahun, mereka akan resmi dinikahkan, mengikuti kebiasaan masyarakat pada masa itu. Abail percaya bahwa gadis seperti Kandhita adalah pendamping yang tepat untuk putranya, dan ia merasa lega mengetahui bahwa rumahnya selalu aman dalam penjagaan gadis itu.

Abail dan Nazzares menyusuri jalan setapak yang menuju hutan, tempat mereka biasa mencari dan memetik tanaman obat. Sejak lama, Abail telah memiliki kebun tanaman obatnya sendiri yang terletak di dalam hutan, jauh dari keramaian desa.

"Ayah...!" panggil Nazzares, memecah keheningan di antara langkah-langkah mereka.

"Ada apa, anakku?" jawab Abail sambil menoleh ke arah putranya yang berjalan di sampingnya.

"Ayah bilang, usia ayah sekarang 52 tahun, bukan?" tanya Nazzares penasaran.

"Ya, kenapa?" Abail sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Kenapa usia aku baru 12 tahun? Bukankah orang-orang menikah di usia belia?" tanya Nazzares dengan keheranan yang jujur.

Abail tertawa kecil, mengenang masa lalu yang penuh perjuangan. "Hahaha... Yah, dulu aku dan ibumu sempat kesulitan memiliki keturunan. Baru setelah bertahun-tahun, kami bisa mendapatkanmu, anakku." Senyum Abail terlukis tipis, sedikit mengingat mendiang istrinya yang telah tiada.

Nazzares terdiam sejenak, merenung. "Mm, baiklah... Lalu, untuk hari ini, apa yang ayah inginkan? Aku akan wujudkan!" serunya dengan semangat.

Abail tertawa, sedikit menggodanya. "Cepatlah dewasa, dan beri aku cucu, itulah yang aku inginkan... Hahaha!"

Nazzares tersipu dan sedikit tersenyum malu. "Aduh, kalau itu sabar ya, ayah. Aku masih anak-anak," jawabnya, tanpa sengaja teringat pada Kandhita.

Abail tertawa puas mendengar jawaban polos putranya. "Hahaha, santai saja, anakku... Aku akan menunggunya," katanya dengan senyum hangat di wajahnya.

Sejak kepergian istrinya, Abail membesarkan Nazzares sendirian. Meski sempat terpukul oleh kehilangan yang mendalam, waktu telah membantu mengobati luka itu. Keberadaan Nazzares yang tumbuh semakin mirip dengan ibunya sedikit meringankan rasa rindu yang selalu ada di hati Abail.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di kebun tanaman obat di tengah hutan. Mereka pun segera memulai pekerjaan mereka, memilah-milah tanaman yang mereka tanam, merawatnya, membuang bagian yang sudah busuk, dan memanen tanaman yang telah siap.

"Anakku, kau urus tanaman di sebelah sana. Bagian sini biar aku yang mengurusnya," perintah Abail dengan lembut, memecah fokus Nazzares yang sedang asyik bekerja.

"Baiklah, Ayah," jawab Nazzares dengan sigap, segera melanjutkan pekerjaan yang diberikan.

Di tengah teriknya matahari, mereka berdua bekerja dengan penuh senyum. Meski panas terik mulai terasa, Nazzares tetap melaksanakan tugasnya dengan penuh kebahagiaan. Ada sesuatu yang membahagiakan dalam setiap langkah yang ia ambil bersama ayahnya di kebun ini—sebuah ikatan yang kuat antara ayah dan anak, yang telah terbentuk dengan waktu dan cinta yang tulus.

hingga siang hari menjelang nazzares dan abail segera kembali kerumahnya karena, keranjang yang dibawa mereka berdua juga sudah penuh, dan kandhita dirumah pasti sudah menunggu.

"Nazzares ayok pulang, kandhita pasti sudah menunggu" ucap abail sembari memikul keranjang besarnya dipunggungnya.

"Baik ayah" jawab nazzares. Lalu mereka pun kembali dari dalam hutan menuju desa kembali.

___~V~___

Pertemuan dengan Mahkluk raksha

Ditengah hari, dibawah sinar matahari yang terik menuju sore, mereka pulang dengan hasil panen yang cukup untuk stok obat obatan selama satu minggu.

"TAP TAP TAP" suara langkah kaki mereka dalam ketenangan hutan dan hembusan angin yang sedang.

namun ketenangan itu segera pecah ketika sesosok makhluk menyeramkan tiba-tiba muncul menghadang mereka.

"Ayah, apa itu?" tanya Zares dengan suara gemetar.

Abail mencoba menenangkannya. dan menyembunyikan anaknya dibelakang tubuhnya lalu berkata "Tenanglah," jawabnya singkat. Namun, matanya tetap waspada.

Terlihat mahkluk itu memiliki tubuh seperti manusia, namun dengan gigi tajam dan terdapat lubang mata yang menembus sampai ke belakang tubuhnya, dibagian dada. Jalanya lambat menggesrek ditanah.

"Kenapa ada Raksha di sini? Apa yang dilakukan para prajurit kerajaan? Mereka seharusnya berjaga dan membasmi makhluk seperti ini," pikir Abail sambil berkeringat, memandangi Raksha yang menakutkan di depannya.

"Anakku, ketika aku menyerang Raksha itu, lari lah sekuat tenaga..!" ucap Abail dengan nada cemas.

"Bagaimana denganmu, Ayah?" tanya Zares, suaranya penuh kekhawatiran.

"Hei, jangan banyak bicara..." Perkataannya terhenti saat ia menyadari Raksha itu telah berdiri tepat di belakangnya, mengeluarkan suara lirih yang menyeramkan.

"HARGGKK" suara Raksha itu membuat Zares menjerit Ketakutan.

"AAA!" teriak Zares dengan mata terbelalak.

Abail, dengan penuh keberanian, mencoba menyerang dengan pisaunya. "SlASH!" Namun, serangannya hanya menimbulkan goresan kecil. Raksha itu tampak tidak terpengaruh.

"RRKKHH" suara Raksha bergema tatapannya penuh nafsu membunuh.

Dengan cekatan, makhluk itu mencekik Abail hingga tubuhnya terangkat.

"HEGHK! HEGHK!" suara abail tersendat karena cengkeraman tangan raksha itu yang begitu kuat.

Melihat itu, Zares tanpa berpikir panjang langsung menyerang, sang raksha menyadari bocah itu mau menyerangnya, merespon dengan menampar anak itu sampai terpental menabrak pohon.

"BLAM!!"

"AAA!" Zares teriak saat tubuhnya menghantam tanah.

Bersambung..