Pria tua itu menatap Arga dengan tatapan yang tajam dan penuh makna, seakan-akan ia bisa membaca setiap lapisan perasaan yang tersembunyi di balik kata-kata Arga. "Kau harus berhati-hati," katanya perlahan, suaranya seperti berbisik meskipun mereka berada dalam ruangan yang hening. "Dimensi ini bukan hanya sekadar tempat. Itu adalah medan pertempuran, di mana nasib setiap dunia ditentukan. Ada yang ingin menjaga keseimbangan, ada yang ingin menghancurkannya, dan ada yang hanya ingin memanipulasinya demi keuntungan mereka sendiri."
Arga mengangguk, meresapi kata-kata pria tua itu. Keseimbangan. Manipulasi. Keuntungan. Semua itu mengingatkan Arga pada apa yang telah dia temui di dunia ini, dan juga pada ancaman yang sedang mengintainya. Pemangku Takdir, makhluk-makhluk yang telah menjaga aturan sejak zaman pertama dimensi ini terbentuk mereka jelas bukan entitas yang akan diam begitu saja. Namun, di sisi lain, perubahan adalah keharusan, bukan hanya untuk melawan mereka, tetapi untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar.
"Apakah Anda bisa memberi saya petunjuk lebih lanjut?" Arga bertanya, suara tegas meskipun ada sedikit keraguan yang terpendam di dalam hatinya. Dia merasa sudah berada di ujung sebuah jalan yang tak bisa kembali, dan dia ingin memastikan bahwa setiap langkahnya menuju ke tempat yang benar.
Pria itu mengangkat tangan, dan sebuah cahaya biru muncul dari telapak tangannya. Cahaya itu berputar dan membentuk sebuah bola kecil yang terapung di udara, lalu mengembang hingga memperlihatkan gambar-gambar yang bergerak, sebuah gambaran yang sangat berbeda dari peta energi yang sebelumnya dilihat Arga. Dalam bola cahaya itu, muncul sebuah gambaran dunia lain, yang tampaknya sangat terhubung dengan dunia yang sedang Arga jelajahi.
"Dunia ini hanya bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar," pria itu berkata, "apa yang kamu lihat di depanmu adalah dimensi yang berada di ambang kehancuran, namun di baliknya ada banyak dimensi lain yang saling berhubungan. Di sini, di Pusat Peralihan, kamu akan menemukan mereka yang punya pemahaman lebih jauh tentang apa yang terjadi. Mereka yang memahami bahwa takdir bukanlah sesuatu yang bisa diatur, tapi sesuatu yang bisa diubah."
Arga menyimak gambar-gambar itu, yang menunjukkan dimensi-dimensi lain dengan warna-warna yang berkilau dan terkadang saling bertabrakan, menciptakan pola yang tidak bisa dia pahami sepenuhnya. "Mereka? Siapa mereka?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia membiarkan bola cahaya itu menghilang perlahan, hanya meninggalkan sisa-sisa kilauan yang memudar. "Mereka adalah para penjaga yang sejati, bukan mereka yang mengklaim diri sebagai penjaga seperti Pemangku Takdir. Mereka yang melihat dimensi ini dan yang lain sebagai satu kesatuan, yang memahami bahwa perubahan adalah bagian dari keberlanjutan, bukan kehancuran."
Lira mengangguk pelan, seolah-olah mendukung penjelasan pria tua itu. "Kamu harus bertemu dengan mereka, Arga. Mereka yang akan membantu kamu menentang Pemangku Takdir, jika kamu benar-benar berniat untuk menciptakan kebebasan. Namun, mereka tidak mudah ditemukan. Dan tidak semua dari mereka bisa dipercaya."
Pria itu melirik Lira dengan tatapan yang lebih tajam. "Kau seharusnya tahu, Lira, bahwa di antara penjaga, ada yang lebih memilih untuk tetap diam, menjaga ketertiban lama, daripada membiarkan kebebasan itu merusak tatanan yang mereka anggap sudah tepat."
Lira hanya tersenyum tipis, tanpa membalas. Arga bisa merasakan ketegangan di antara mereka, tetapi dia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk mencari jawaban atas ketegangan itu. Fokus utamanya sekarang adalah menemukan mereka yang bisa membantunya.
"Bagaimana saya bisa menemukannya?" Arga bertanya, memusatkan perhatian pada pria tua itu. "Dimana mereka bisa ditemukan?"
Pria itu menatap Arga untuk beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "Mereka akan datang kepada kamu, tetapi hanya jika kamu siap untuk menghadapi ujian mereka. Tidak ada jalan yang mudah menuju mereka, dan setiap langkahmu akan semakin mendalam ke dalam misteri yang lebih besar. Salah satu tempat yang bisa kamu coba adalah Kuil Nexus, sebuah tempat yang tersembunyi di antara dimensi, di mana batas-batas antar dunia hampir tidak terlihat. Di sana, mereka berkumpul. Tapi ingat, Arga, Kuil Nexus bukanlah tempat yang bisa dijangkau dengan mudah. Hanya mereka yang memiliki kemampuan untuk melintasi dimensi yang bisa menemukannya."
Arga mengerutkan kening, berusaha memahami informasi yang diberikan. Kuil Nexus... tempat tersembunyi yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki kekuatan tertentu. Itu berarti dia harus mempersiapkan dirinya lebih jauh lagi.
"Apa yang harus saya lakukan untuk sampai ke sana?" tanya Arga, bertekad.
Pria itu memandangi Arga untuk sesaat, lalu mengangguk pelan. "Kamu harus melintasi Gerbang Abstrak. Itu adalah gerbang yang menghubungkan dunia ini dengan Kuil Nexus. Namun, Gerbang Abstrak hanya akan terbuka bagi mereka yang memahami esensi perubahan, bukan hanya perubahan dunia fisik, tetapi perubahan dalam pikiran dan jiwa. Jika kamu gagal, gerbang itu akan tertutup selamanya."
Arga merasakan sebuah kekuatan yang datang dari dalam dirinya. Ini adalah langkah yang berisiko besar, tetapi jika dia ingin melanjutkan perjalanannya, dia harus melangkah lebih jauh. Dia harus menemukan Kuil Nexus dan mendapatkan jawaban yang akan membantunya menghadap Pemangku Takdir.
"Saya mengerti," kata Arga dengan suara yang mantap. "Terima kasih atas petunjuknya."
Pria itu tersenyum tipis, seolah lega melihat tekad Arga. "Semoga kamu berhasil, Arga. Tetapi ingat, semakin dekat kamu dengan kebenaran, semakin besar pula pengorbanan yang harus kamu lakukan. Kekuatan yang kamu miliki bukanlah tanpa harga."
Dengan kata-kata itu, pria tua itu kembali berjalan ke belakang meja dan mengambil sebuah buku kuno dari rak di sampingnya. "Ini adalah sebuah peta tentang Gerbang Abstrak," katanya, menyerahkan buku itu kepada Arga. "Baca dengan hati-hati. Hanya dengan memahami petunjuk-petunjuk yang ada, kamu akan bisa membuka gerbang itu."
Arga menerima buku itu dengan tangan yang sedikit gemetar, menyadari bahwa apa yang baru saja dimulai adalah ujian yang tidak akan mudah. Namun, ia tidak bisa mundur. Tidak sekarang. Dunia yang telah ia ciptakan, dan semua yang dipertaruhkan di dalamnya, menuntut keberanian untuk menghadapi kegelapan yang lebih dalam.
Dengan langkah yang penuh tekad, Arga dan Lira meninggalkan kedai itu. Kota yang penuh dengan energi dan kemungkinan masih menyelimuti mereka, namun kini tujuan mereka sudah jelas. Pusat Peralihan hanyalah langkah pertama, dan perjalanan yang lebih berat masih menunggu di depan perjalanan menuju Kuil Nexus.
Arga melangkah keluar dari kedai itu, merasakan udara dingin yang menyentuh wajahnya. Langkahnya mantap, namun di dalam pikirannya bergelora banyak pertanyaan yang belum terjawab. Kuil Nexus, Gerbang Abstrak, Pemangku Takdir semua itu adalah teka-teki yang harus dipecahkan, dan tiap potongan informasi yang baru didapatkan semakin memperdalam misteri yang mengelilinginya.
Lira berjalan di sampingnya, diam, hanya sesekali melirik Arga dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, tetapi di saat yang sama, keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Lira mungkin tidak akan pernah berbicara banyak tentang tujuannya, tetapi Arga tahu bahwa ia punya peran dalam perjalanan ini walaupun peran itu masih samar baginya.
"Apakah kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi di Kuil Nexus?" tanya Arga akhirnya, mencoba membuka percakapan, meskipun suara hatinya lebih banyak bertanya pada dirinya sendiri.
Lira menghela napas panjang, matanya mengamati jalanan kota yang semakin sepi saat malam menjelang. "Aku tidak tahu semuanya," jawabnya pelan, "Tapi aku tahu bahwa Kuil Nexus adalah tempat yang penuh dengan paradoks. Banyak yang datang mencari jawaban, tapi tidak semua yang kembali utuh."
Arga menatap Lira, mencoba mengartikan kata-katanya. "Maksudmu... banyak yang gagal?"
Lira mengangguk, masih dengan tatapan kosong. "Gerbang Abstrak bukan hanya soal kemampuan fisik. Ini tentang pemahaman. Seberapa dalam kamu bisa menggali pemahamanmu tentang dunia ini, tentang dirimu sendiri, dan tentang segala sesuatu yang mengelilingimu. Mereka yang tidak siap akan terjebak di sana, dalam dimensi yang tak bisa mereka pahami. Dalam kebingungannya, mereka akan kehilangan diri mereka sendiri."
"Dan kau?" tanya Arga, suara semakin dalam, "Apakah kau siap?"
Lira menoleh padanya, matanya yang penuh rahasia bertemu dengan tatapan Arga. "Aku bukan yang harus menyeberang. Itu jalanmu, Arga. Tapi, aku akan ada di sini, memastikan kamu tetap berada di jalur yang benar."
Arga merasa berat dengan kata-kata Lira. Ada sesuatu yang tidak dia mengerti, sesuatu yang membuat Lira tetap berada di sampingnya, tetapi juga membuatnya terkesan seperti seorang pengamat yang tidak akan terlibat langsung dalam pertempuran besar ini.
Namun, tak ada waktu untuk menunggu penjelasan lebih jauh. Di hadapan mereka terbentang jalanan yang lebih gelap, dan perjalanannya menuju Gerbang Abstrak semakin dekat.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang terasa asing namun sangat dikenal. Di depan mereka, sebuah bangunan tua yang tampaknya telah berdiri selama berabad-abad. Gerbang besar yang tersembunyi di balik semak-semak lebat dan pepohonan raksasa berdiri kokoh, seolah menunggu kedatangan mereka. Ini adalah Gerbang Abstrak tempat di mana semua dimensi bertemu, dan tempat di mana keputusan terbesar dalam perjalanan Arga akan diambil.
"Lihatlah," ujar Lira, suaranya sedikit bergetar meskipun ia mencoba untuk tetap tenang, "Tempat ini bukan hanya penghubung antar dimensi, Arga. Ini juga tempat untuk menguji siapa yang benar-benar pantas melintasi batasan."
Arga melangkah maju, matanya terpaku pada gerbang yang tampak seperti gerakan cahaya berputar, hampir seperti sebuah layar yang menampilkan potongan-potongan dunia yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Gambaran dari masa depan, masa lalu, dan kemungkinan tak terbatas yang melintas begitu cepat.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan seberkas ketegangan yang begitu kuat menghimpit dada. Di sinilah ujian dimulai. Tak ada jalan yang mudah, tak ada janji keberhasilan. Semua yang ia miliki meliputi: pengetahuan, kekuatan, tekad akan diuji di hadapan Gerbang Abstrak ini. Jika ia gagal, segalanya akan berakhir, dan tak ada kesempatan kedua.
Arga melangkah lebih dekat, merasakan getaran dimensi di sekelilingnya. Sesaat, pikirannya menjadi kabur. Sebuah suara terdengar di dalam kepalanya, begitu dalam dan misterius. "Apakah kamu siap mengubah takdirmu?"
Arga menggigit bibirnya, mengingat setiap pesan yang diterimanya dari pria tua di kedai dan Lira yang masih berdiri di belakangnya. Dengan mantap, ia mengangguk kepada dirinya sendiri. "Saya siap."
Sekejap, Gerbang Abstrak itu terbuka, seolah mengundang Arga untuk melangkah masuk.
Lira menatap Arga dengan tatapan yang penuh makna, sebelum akhirnya berkata, "Ingat, Arga... takdir yang akan kau pilih, takkan pernah bisa diubah kembali setelah ini."
Arga hanya mengangguk, dan tanpa ragu, ia melangkah memasuki gerbang tersebut, meninggalkan dunia yang ia kenal untuk memasuki yang tak terhingga dan penuh dengan bahaya yang belum ia pahami.
Begitu Arga melangkah masuk ke dalam Gerbang Abstrak, rasa kabur itu menyelimutinya dalam sekejap. Segala sesuatu di sekitarnya berputar, berkelip-kelip dalam pola yang tak terdefinisikan, seolah ia terjebak dalam pusaran waktu yang tak berbatas. Udara terasa kental dan bergerak dengan cara yang tidak wajar berdesir pelan, seperti bisikan-bisikan yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang siap menerima.
Di tengah kegelapan yang mulai meresap, Arga melihat sebuah cahaya yang jauh di depan. Cahaya itu tidak seperti cahaya biasa; ia berkelap-kelip dan berwarna-warni, seperti semburat pelangi yang terbalik, memantulkan bayangan-bayangan yang tidak seharusnya ada. Semua rasanya bergerak, mencair, dan mengalir dengan sendirinya, sebuah dimensi yang benar-benar melampaui pemahaman manusia.
Ia berusaha fokus pada cahaya itu, dan perlahan-lahan melangkah ke arahnya. Di sekitarnya, bentuk-bentuk abstrak muncul dan menghilang dalam kedipan, tak jelas apakah itu adalah dunia lain, bayangan dari masa lalu, atau gambaran masa depan. Setiap langkah yang diambilnya menggetarkan seluruh jiwanya, karena ia tahu bahwa di sini, di tempat ini, ia berada di luar hukum alam yang ia kenal.
"Apa yang kamu cari, Arga?" sebuah suara tiba-tiba bergema di dalam pikirannya. Suara itu datang dari segala arah, dalam nada yang dalam dan penuh dengan kekuatan yang tak tampak.
Arga berhenti sejenak, menatap sekeliling. Di mana suara itu berasal? Dia tidak tahu. Namun, entah kenapa, ia merasa suara itu seperti datang dari dirinya sendiri, dari bagian terdalam dari pikirannya.
"Apa yang aku cari?" Arga bertanya, meskipun ia merasa sedikit ragu untuk menjawab. "Saya... saya mencari jawaban. Saya mencari cara untuk mengalahkan Pemangku Takdir. Untuk menciptakan kebebasan bagi dunia ini dan dunia-dunia lainnya."
Suara itu tertawa pelan, namun tidak terdengar mengejek. "Kebebasan? Mengalahkan Pemangku Takdir? Itu bukan tujuan yang sederhana, Arga. Apakah kamu benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihanmu?"
Keringat dingin mulai menetes di pelipis Arga. Ia merasakan seolah-olah tanah yang ia injak semakin menghilang, menggantikan dirinya dengan kesadaran yang lebih besar, yang melampaui dimensi fisik. Namun, ia tidak bisa mundur. Ia harus tetap berjalan, meskipun ketakutan mulai merayap masuk ke dalam dirinya.
"Saya siap," jawab Arga dengan suara yang lebih tegas kali ini. "Saya tahu risikonya. Tapi saya tidak akan mundur."
Tiba-tiba, cahaya di depannya semakin terang, dan sebuah bentuk mulai terbentuk di tengah-tengah kilau itu. Itu adalah sebuah sosok tinggi, tidak jelas apakah manusia atau bukan, namun wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang. Hanya mata yang terlihat. Mata yang penuh dengan kedalaman dan misteri, seperti ada ribuan dimensi yang terpantul di dalamnya.
"Kamu datang untuk mencari kebebasan," suara itu terdengar lebih dekat, kali ini dengan rasa berat yang jelas terdengar. "Namun kebebasan tidak pernah datang tanpa pengorbanan. Apa yang kau sangka akan kau temukan di Kuil Nexus adalah kenyataan yang tidak akan kau terima begitu saja. Ada yang harus hilang dalam prosesnya. Ada yang harus kamu lepaskan."
Arga menggigit bibirnya, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. "Apa yang harus saya lepaskan?"
Mata sosok itu bersinar lebih terang, dan sebuah gambaran mulai muncul di hadapan Arga. Itu adalah gambaran dari dirinya sendiri, namun berbeda. Ia melihat dirinya berdiri di sebuah dunia yang hancur, dengan api yang membakar segala sesuatu di sekitarnya. Ia melihat orang-orang yang ia cintai, termasuk Lira, terjatuh dalam kegelapan yang tak bisa dia selamatkan. Lalu, gambaran itu berubah menjadi kehampaan, sebuah kehampaan yang melahap segala sesuatu yang ada, termasuk dirinya.
"Ini adalah pengorbanan yang harus kamu hadapi," kata sosok itu, suaranya kini terdengar penuh dengan kedukaan. "Setiap pilihan yang kamu buat akan mengubah jalan takdir, namun tidak tanpa harga. Di Kuil Nexus, kamu akan diberi kekuatan untuk mengubah segalanya, tapi harga itu akan membuatmu bertanya: apakah kebebasan yang kamu cari benar-benar sepadan dengan apa yang akan kamu hilangkan?"
Arga merasa dadanya sesak, dan matanya mulai berkaca-kaca, meskipun ia berusaha keras untuk tetap teguh. Apa yang ia lihat adalah gambaran dari ketakutan terdalamnya. Bahwa dalam usahanya untuk memperbaiki dunia ini, ia akan kehilangan segalanya. Orang-orang yang ia sayangi, tujuan yang ia perjuangkan, bahkan dirinya sendiri.
Namun, satu hal tetap jelas di dalam hatinya: ia tidak bisa mundur. Ia harus bertarung, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia yang lebih besar. Ia harus melangkah menuju Kuil Nexus, bahkan jika itu berarti ia harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Dengan napas yang dalam, Arga mengangkat kepalanya dan berkata, "Saya tidak takut. Jika itu harga yang harus saya bayar, saya siap menghadapinya. Kebebasan ini... tidak hanya untuk saya. Tapi untuk semua dunia."
Sosok itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Arga. Lalu, perlahan-lahan, ia mengangguk. "Maka lanjutkan perjalananmu, Arga. Tetapi ingatlah... kamu hanya akan sampai pada Kuil Nexus jika kamu benar-benar memahami apa yang ingin kamu ubah."
Tiba-tiba, gerbang di depan Arga mulai terbuka lebih lebar, menyambutnya dengan sebuah cahaya yang tak terukur. Arga tidak ragu lagi. Ia melangkah maju, memasuki cahaya itu, merasakan dirinya terhisap ke dalam sebuah dunia yang lebih besar, lebih kompleks, lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.
Langkah pertama menuju Kuil Nexus telah dimulai. Dan hanya waktu yang akan memberitahunya apakah ia benar-benar siap menghadapi kebenaran yang menanti di sana.
Dengan setiap langkah yang ia ambil, Arga merasakan dirinya semakin tenggelam ke dalam dimensi yang lebih asing. Sekelilingnya seperti berubah dalam sekejap, tak bisa diukur dengan pemahaman biasa. Dinding-dinding cahaya yang menyilaukan, bayangan-bayangan yang bergerak tak teratur, dan suara-suara yang seolah berasal dari kedalaman tak terjangkau memenuhi kesadarannya. Ia merasakan kekosongan yang dalam, namun di balik itu, ada getaran energi yang memanggilnya, seolah menariknya lebih dalam ke dalam perjalanan yang belum selesai.
Di tengah kebingungannya, Arga bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya dunia yang terbelah di sekelilingnya, tetapi juga dirinya sendiri. Dimensi ini bukan sekadar ruang fisik yang bisa dijelaskan, tapi sebuah lapisan dari alam semesta yang lebih besar lapisan yang lebih dalam dari jiwanya, dari pikiran dan perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan. Setiap pikiran, setiap keputusan yang pernah ia buat, tampak terperangkap dalam aliran waktu yang berputar-putar di sekelilingnya.
"Apa yang sebenarnya kamu cari, Arga?" suara itu kembali terdengar, lebih jelas dari sebelumnya, namun kali ini bukan lagi dalam bentuk pertanyaan kosong. Ada tekanan di dalamnya, seolah suara itu menyelidiki dirinya lebih dalam.
Arga berusaha untuk tetap fokus, meskipun hatinya berdegup kencang. "Saya mencari kebebasan," jawabnya, meskipun ia tahu kata-kata itu terasa terlalu sederhana. "Saya mencari cara untuk mengubah takdir. Untuk mengalahkan Pemangku Takdir dan memberi dunia ini kesempatan untuk berkembang."
Suara itu tertawa pelan, kali ini dengan nada yang lebih mengerikan. "Kebebasan... apakah kamu yakin tahu apa itu? Kebebasan sejati bukanlah sesuatu yang diberikan, Arga. Itu adalah sesuatu yang harus diperebutkan, dan seringkali, itu berarti kehilangan segala sesuatu yang kita anggap kita miliki."
Arga merasakan ada sesuatu yang merayap di dalam hatinya, keraguan yang tiba-tiba muncul. Tapi ia mengusirnya dengan cepat. Ia tahu ia tidak bisa mundur. Tujuannya sudah jelas, dan meskipun jalan menuju ke sana penuh dengan bahaya, ia tidak akan berhenti.
Sekitar beberapa saat, Arga merasakan getaran yang lebih kuat, dan seiring itu, sebuah cahaya besar tiba-tiba menyelimuti dirinya, membawa Arga ke tempat yang sama sekali berbeda. Di depannya, sebuah pemandangan yang sangat kontras dengan segala yang telah ia lihat sebelumnya terbuka.
Ia kini berdiri di sebuah aula yang sangat luas, dengan langit-langit tinggi yang seakan-akan tak berujung. Di setiap sisi aula, ada gerbang-gerbang besar yang mengarah ke dunia-dunia lain, dunia-dunia yang tak tampak dengan jelas, namun Arga bisa merasakannya. Pintu-pintu yang masing-masing menyimpan rahasia, masa depan, dan pilihan yang belum ia buat.
Di tengah aula, sebuah takhta besar berdiri. Takhta itu kosong, namun ada aura yang sangat kuat yang mengelilinginya. Arga tahu takhta itu bukan sekadar simbol, itu adalah simbol dari kekuatan yang telah mengatur takdir seluruh dimensi ini selama ini. Takhta yang dikendalikan oleh Pemangku Takdir.
Di hadapan takhta, ada sebuah sosok yang berdiri tegak, menghadap Arga. Sosok itu tidak tampak jelas, seperti sebuah bayangan yang terbuat dari cahaya dan kegelapan, namun Arga bisa merasakan bahwa sosok itu memiliki kekuatan yang sangat besar, lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
"Selamat datang, Arga," suara itu bergema, kali ini lebih dalam, lebih berat. "Kamu akhirnya sampai juga. Ini adalah Kuil Nexus. Di sini, takdir dipilih, dan masa depan ditentukan. Apa yang akan kamu pilih?"
Arga menatap sosok itu, perasaan cemas mulai merayap masuk. Namun, di balik kecemasan itu, ada sebuah tekad yang semakin menguat. "Saya datang untuk mengubah takdir. Saya datang untuk mengalahkan Pemangku Takdir."
Sosok itu tertawa, suara yang seperti pecahan kaca yang pecah. "Kamu benar-benar yakin bahwa kamu bisa mengalahkan mereka? Takdir bukanlah sesuatu yang bisa diubah sesederhana itu. Pemangku Takdir bukan hanya penjaga, mereka adalah kekuatan yang mengalir dalam setiap dimensi. Mengalahkan mereka berarti mengubah seluruh struktur dunia ini."
Arga merasa dada dan pikirannya semakin sesak. Meskipun ia tahu benar bahwa perjalanannya bukanlah tanpa risiko, kata-kata sosok itu mulai meresap ke dalam dirinya. "Saya tidak takut," jawabnya, mencoba menahan kegelisahan yang mulai muncul. "Saya percaya bahwa ada cara untuk mengubahnya. Jika takdir ini bisa diubah, saya akan melakukannya. Saya akan menciptakan kebebasan untuk dunia ini."
Sosok itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Arga dengan tatapan yang kosong namun dalam, seperti memindai setiap lapisan dalam dirinya, setiap lapisan pikirannya.
"Tetapi, ada harga yang harus dibayar, Arga," akhirnya sosok itu berkata, lebih pelan, namun sangat serius. "Kebebasan ini bukan sesuatu yang bisa diberikan dengan mudah. Setiap dunia yang kamu ubah, setiap langkah yang kamu ambil untuk membebaskan mereka, akan menuntut pengorbanan yang lebih besar. Jika kamu ingin menghancurkan Pemangku Takdir, kamu harus siap untuk kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagi dirimu. Ada sesuatu yang harus kamu tinggalkan sesuatu yang sangat kamu cintai."
Arga menatap sosok itu dengan tatapan penuh tekad. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Apa pun yang harus dikorbankan, ia akan melakukannya. Dunia ini tidak bisa terus dibiarkan berada di bawah cengkeraman Pemangku Takdir.
"Saya siap," katanya dengan suara tegas, "Apapun yang harus saya bayar, saya akan membayarnya."
Sosok itu terdiam sejenak, lalu mengangguk, seolah memutuskan sesuatu yang tak bisa ditunda lagi. "Maka kamu akan diberi kekuatan untuk melawan mereka, Arga. Tetapi ingatlah, ketika kamu berhadapan dengan Pemangku Takdir, kamu tidak hanya melawan mereka. Kamu akan melawan waktu, dan segala sesuatu yang telah tercatat dalam takdir."
Dengan kata-kata itu, sosok itu melambaikan tangannya, dan sebuah kilatan cahaya tiba-tiba melingkupi Arga. Ia merasa tubuhnya mengalir dengan energi yang luar biasa, kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, di balik kekuatan itu, ada sebuah rasa kehilangan yang menggelayuti, sebuah bayangan akan apa yang akan ia korbankan dalam perjalanannya.
Sosok itu menghilang dalam cahaya, meninggalkan Arga sendirian di aula yang luas. Cahaya yang mengalir di tubuhnya perlahan mereda, namun rasa berat di dadanya semakin menguat. Ia bisa merasakan betapa besarnya kekuatan yang kini mengalir dalam dirinya, namun ada sesuatu yang lebih mengganggu: perasaan bahwa setiap kekuatan yang ia terima membawa harga yang belum ia pahami sepenuhnya.
Aula yang luas itu terasa semakin menekan. Setiap gerakan yang ia lakukan memantul dalam ruang kosong, seolah-olah suara langkahnya sendiri mengingatkannya pada kesendirian yang harus ia hadapi. Di sekelilingnya, pintu-pintu gerbang yang mengarah ke dunia-dunia lain tampak lebih jelas sekarang, namun tidak ada satu pun yang membuka jalan untuknya. Semua dunia itu terasa begitu jauh, terpisah oleh dimensi yang tak bisa dia jangkau, seperti ilusi yang menunggu untuk dihancurkan.
Kekuatan yang kini mengalir dalam dirinya adalah kunci untuk menumbangkan Pemangku Takdir, namun Arga tahu bahwa ini bukanlah akhir. Ini hanya langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar, dan langkah itu bisa berakhir dengan mengubah lebih dari sekedar takdir dunia ini. Ia merasakan sesuatu yang lebih dalam sebuah kesadaran bahwa ia sedang berjalan di jalan yang tak bisa ia mundurkan, jalan yang penuh dengan pertanyaan dan konsekuensi yang tak terbayangkan.
Di hadapannya, sebuah suara bergema, kali ini datang dari gerbang besar yang terletak di tengah aula. Gerbang itu perlahan-lahan terbuka, menyembulkan cahaya putih yang semakin terang, seperti cahaya yang datang dari dunia yang tak terjangkau oleh manusia. Dalam cahaya itu, Arga melihat bayangan seseorang yang tampaknya mengenalnya, seseorang yang sangat penting dalam perjalanan ini.
"Lira..." Arga berbisik, hatinya berdebar. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa ada sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang akan menghubungkan dirinya dengan bayangan itu.
Lira muncul dalam cahaya, sosoknya tampak lebih terang dari sebelumnya, namun juga lebih kabur, seolah-olah ia hanyalah bagian dari sebuah ilusi yang tak bisa disentuh. Arga merasa bingung, namun hatinya tahu bahwa apa yang terjadi di depan matanya adalah sesuatu yang harus ia hadapi.
"Lira?" Arga bertanya, suaranya penuh keraguan.
Lira tersenyum, namun senyum itu tampak berbeda, tidak seperti senyum yang pernah ia lihat sebelumnya. "Kamu sudah sampai ke sini, Arga," jawabnya, suaranya terdengar ringan namun penuh makna. "Tapi sekarang kamu harus memilih."
Arga merasakan ketegangan yang semakin membelit dirinya. "Memilih? Apa maksudmu?"
Lira mengangguk, meskipun matanya tak lagi terlihat sepenuhnya jelas. "Kamu bisa melanjutkan perjalanan ini, Arga, dan melawan Pemangku Takdir. Tapi ada sesuatu yang harus kamu bayar. Setiap langkah yang kamu ambil di dunia ini, setiap pilihan yang kamu buat, akan mempengaruhi dunia yang kamu cintai. Dan ada yang harus hilang."
Arga merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Apa yang hilang, Lira? Apa yang akan saya hilangkan?"
Lira tak menjawab, hanya mengangkat tangannya, seolah memberi petunjuk pada sebuah gambaran yang muncul di sekitar mereka. Dalam cahaya itu, Arga melihat bayangan dunia yang hancur, diliputi api dan kehancuran. Dunia itu terlihat seperti tempat yang sangat familiar, dunia yang ia kenal, dunia tempat ia dilahirkan.
"Apakah kamu siap untuk kehilangan semuanya, Arga?" suara Lira terdengar lebih dalam, dan Arga bisa merasakan ketegangan yang terbangun di dalam dirinya. "Jika kamu melangkah lebih jauh, kamu mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke dunia yang kamu kenal. Takdir yang kamu ubah akan mengubah segalanya, bahkan dirimu sendiri."
"Apakah kamu mengatakan bahwa saya harus memilih antara dunia ini dan orang-orang yang saya cintai?" Arga bertanya, suaranya serak, penuh kebingungan. "Apa yang harus saya lakukan, Lira?"
Lira tersenyum tipis, wajahnya tampak penuh dengan rahasia. "Bukan dunia atau orang-orang yang kamu cintai, Arga. Tapi dirimu sendiri. Kebebasan yang kamu cari, tak akan datang tanpa pengorbanan. Setiap perubahan, setiap keputusan yang kamu ambil, akan mengubah siapa dirimu."
Arga merasa gemetar. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, namun ia tidak pernah memikirkan apa yang akan hilang dalam prosesnya. Ia melihat dunia yang hancur, bayangan orang-orang yang ia cintai, dan ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menghentikan Pemangku Takdir, tetapi tentang menghadapi dirinya sendiri. Siapa dia sebenarnya dan apa yang benar-benar ia inginkan.
"Lira," kata Arga dengan suara berat, "Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus memilih jalan ini?"
Lira hanya mengangguk, dan saat itu, sosoknya mulai menghilang. "Hanya kamu yang bisa memilih, Arga. Ingat, tak ada jalan yang mudah. Semua pilihan ada harganya. Pilih dengan hati-hati."
Dengan kata-kata itu, Lira menghilang sepenuhnya, meninggalkan Arga sendirian di tengah aula yang semakin gelap. Gerbang besar di depannya kini terbuka sepenuhnya, menunjukkan jalan yang penuh dengan cahaya yang lebih terang dari apa pun yang pernah ia lihat. Itu adalah jalannya menuju Pemangku Takdir, jalan yang penuh dengan bahaya dan tantangan. Tetapi di balik itu semua, Arga tahu bahwa ia harus melanjutkan.
Dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya, Arga melangkah maju, memasuki cahaya itu, dan meninggalkan bayangan yang telah mengganggu pikirannya. Ia tahu bahwa perjalanan ini adalah tentang memilih bukan hanya antara kemenangan dan kekalahan, tetapi antara siapa dia sebenarnya dan siapa yang ingin ia menjadi.
Sosok Pemangku Takdir menunggu di ujung jalan, dan Arga siap untuk menghadapi takdirnya tak peduli apa yang harus ia korbankan.
Setiap langkah yang ia ambil akan membawa dampak besar, dan hanya waktu yang akan memberi tahu apakah kebebasan yang ia cari sebanding dengan harga yang harus dibayar.
Saat kilatan cahaya menghilang, Arga merasa tubuhnya terisi dengan kekuatan yang tak terkatakan. Energi yang mengalir melalui dirinya terasa sangat asing, tetapi kuat, seolah ia bisa merasakan aliran dimensi yang tak terhingga di sekelilingnya. Semua itu membawa kesadaran baru: Ia tidak hanya melawan Pemangku Takdir, tetapi juga seluruh tatanan yang telah mengatur dunia dan dimensi ini selama berabad-abad.
Namun, meskipun kekuatan itu terasa luar biasa, ada perasaan kehilangan yang tidak bisa ia hindari. Sebuah kesadaran bahwa setiap kekuatan yang diberikan pasti akan datang dengan harga yang sangat mahal. Apa yang harus ia tinggalkan? Apa yang harus ia korbankan dalam perjalanan ini?
"Siapakah kamu sebenarnya?" Arga akhirnya bertanya, menatap sosok bayangan itu dengan tatapan penuh keraguan. "Apa yang kamu inginkan dariku?"
Sosok itu, yang masih berdiri di hadapan takhta kosong, menundukkan kepalanya. Seolah ada berat yang harus ditanggung, atau mungkin, sebuah pengakuan yang harus diterima. "Aku adalah bagian dari Kuil Nexus. Aku adalah penuntun bagi mereka yang ingin mengubah takdir mereka. Dan seperti kamu, aku pernah berada di persimpangan yang sama. Namun, setiap pilihan memiliki konsekuensi, Arga."
"Sama seperti yang kamu katakan sebelumnya," Arga menjawab dengan tegas, "Setiap pilihan ada harganya. Tapi saya sudah membuat keputusan. Saya tidak bisa mundur."
Sosok itu mengangguk perlahan, wajahnya kini tampak lebih jelas sebuah sosok yang hampir manusiawi, namun tak sepenuhnya. Mata sosok itu bersinar, seperti dua lubang yang menghisap cahaya, mengandung kedalaman tak terhingga. "Keberanianmu sangat besar, Arga. Tapi ketahuilah, tidak ada jalan yang mulus di depanmu. Kuil Nexus adalah tempat untuk mereka yang ingin mengubah dunia. Namun, ingat, dunia yang ingin kamu ubah juga akan berusaha mengubahmu."
Arga menatap sosok itu, merasakan peringatan yang disampaikan begitu dalam. Tetapi dia tahu, apa pun yang terjadi, dia tidak bisa kembali. Perjuangannya untuk kebebasan dan untuk melawan Pemangku Takdir adalah takdirnya. Ini adalah jalan yang ia pilih.
"Jadi, apa yang harus saya lakukan?" tanya Arga, berusaha fokus pada tujuan utamanya.
Sosok itu tidak langsung menjawab, sebaliknya, ia melangkah maju, mengarah ke sebuah pintu besar yang terletak di ujung aula pintu yang sebelumnya tidak terlihat. "Untuk menemukan jawaban yang kamu cari, kamu harus melewati gerbang terakhir di Kuil Nexus. Gerbang ini bukan sekadar penghalang fisik, tetapi juga ujian untuk jiwamu. Di baliknya, kamu akan bertemu dengan cermin dari dirimu sendiri."
"Cermin dari diriku sendiri?" Arga bertanya, bingung.
"Cermin yang memperlihatkan siapa kamu sebenarnya," jawab sosok itu, suaranya penuh dengan misteri. "Di sana, kamu akan dihadapkan dengan dirimu yang paling gelap, dengan ketakutan terbesarmu, dengan pilihan yang akan menentukan nasibmu dan seluruh dunia yang kamu perjuangkan."
Arga menggigit bibirnya, merasakan beban yang semakin berat. Tetapi dia tidak bisa mundur. Tidak sekarang. "Saya siap menghadapi apa pun itu."
Sosok itu memandangnya satu detik lagi, seolah menilai tekad Arga, sebelum akhirnya melangkah mundur. "Maka langkahmu menuju gerbang itu dimulai sekarang. Namun, ingatlah, Arga. Setiap langkah yang kamu ambil akan membawa dunia ini lebih dekat ke takdir yang kamu pilih atau lebih jauh dari harapanmu."
Dengan suara itu, sosok itu menghilang dalam kabut tipis, meninggalkan Arga sendirian di tengah aula yang luas. Tanpa ragu, Arga melangkah maju ke arah gerbang besar itu, yang kini terbuka sedikit, seolah memanggilnya untuk melangkah lebih jauh ke dalam dunia yang lebih misterius dan berbahaya.
Langkah demi langkah, Arga merasakan jantungnya berdegup kencang. Setiap detik yang berlalu semakin menambah ketegangan dalam dirinya, namun juga menguatkan tekadnya. Begitu ia mencapai gerbang, pintu itu terbuka sepenuhnya, dan di hadapannya terbentang sebuah ruang yang gelap, dengan cermin besar di tengahnya.
Cermin itu bukan cermin biasa. Ia tampak hidup, berkilau dengan cahaya yang bersinar redup, seolah mengandung ribuan bayangan yang saling tumpang tindih. Arga melangkah mendekat, dan cermin itu mulai bergetar, mengeluarkan suara gemerisik yang mengganggu. Tiba-tiba, cermin itu memantulkan bayangan dirinya.
Namun, itu bukanlah Arga yang ia kenal. Sosok yang muncul di cermin adalah Arga, tetapi lebih gelap, lebih tegas, dengan mata yang penuh kemarahan dan kepahitan. Wajahnya dipenuhi dengan luka-luka dan darah, dan di sekelilingnya tampak bayangan dunia yang hancur, terbakar dan penuh kehancuran.
"Ini kamu, Arga," suara dari cermin itu bergema, lebih dalam dan lebih menakutkan daripada sebelumnya. "Ini adalah pilihan yang akan kamu buat. Jika kamu terus melangkah di jalan ini, ini adalah apa yang akan terjadi. Dunia yang akan kamu ciptakan, penuh dengan kehancuran dan pengorbanan yang tak terbayangkan."
Arga terkejut, mundur sedikit. "Tidak! Itu bukan jalan yang ingin saya pilih."
Tapi cermin itu hanya tersenyum sinis. "Kamu yakin? Apakah kamu tahu apa yang kamu tinggalkan untuk mendapatkan kebebasan ini? Jika kamu ingin mengalahkan Pemangku Takdir, kamu harus siap kehilangan lebih banyak dari yang bisa kamu bayangkan."
Cermin itu bergetar lagi, memantulkan gambaran-gambaran lain. Bayangan orang-orang yang ia cintai, termasuk Lira, yang jatuh dalam kegelapan yang tidak bisa dia selamatkan. Momen-momen yang penuh penderitaan dan penyesalan yang begitu nyata.
Arga merasa hatinya terhimpit. "Apa yang harus saya lakukan?" Ia berteriak, tak tahu lagi apa yang harus dipilih.
Suara cermin itu semakin dalam dan berat, seperti datang dari kedalaman jiwa. "Hanya kamu yang bisa memilih, Arga. Apa yang benar-benar ingin kamu ubah? Dunia ini, atau dirimu sendiri?"
Arga menatap bayangan di hadapannya, merasa kebingungannya semakin besar. Semua yang ia lihat adalah cerminan dari ketakutannya, takut akan kehilangan segalanya, termasuk dirinya sendiri. Namun, di dalam hatinya, ada satu jawaban yang lebih kuat daripada ketakutan itu.
"Saya tidak takut," katanya dengan tegas, menatap bayangan gelap itu. "Saya memilih untuk melawan, untuk menciptakan kebebasan. Tidak peduli apa yang harus saya korbankan."
Begitu ia mengucapkan kata-kata itu, bayangan dalam cermin mulai berubah. Sosok yang gelap itu memudar, digantikan oleh gambaran dirinya yang lebih tenang, lebih terang. Di belakangnya, tampak dunia yang terbentang dengan potensi, dunia yang bebas dari belenggu Pemangku Takdir.
Cermin itu berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut, lebih bijaksana. "Jika itu yang kamu pilih, maka kamu siap. Lanjutkan perjalananmu, Arga. Kuil Nexus bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan yang lebih besar. Perjuanganmu baru saja dimulai."
Cermin itu akhirnya menghilang, dan Arga berdiri sendiri di tengah ruangan gelap, dengan rasa lega dan tekad yang baru. Sekarang, tidak ada yang bisa menghalanginya. Ia siap untuk menghadapi Pemangku Takdir, dan apa pun yang datang setelah itu.
Dengan langkah mantap, Arga melangkah keluar dari ruangan cermin, siap untuk menghadapi ujian yang lebih berat lagi di dunia yang tak terduga ini.