Dunia ini selalu penuh ketidakadilan.
Beberapa orang terlahir di bawah cahaya keemasan, dimanja oleh keberuntungan dan kasih sayang. Yang lain… hanya bisa berjalan di kegelapan, tanpa nama, tanpa tempat untuk pulang.
Aku mungkin termasuk di antaranya.
Tak peduli seberapa keras aku mencoba meraih kebahagiaan, rasanya seperti menggenggam pasir yang terus mengalir di antara jemariku. Setiap langkah yang kuambil, setiap harapan yang tumbuh… selalu berakhir dengan kenyataan pahit—jauh dari harapan.
Seperti malam itu.
Api membakar langit. Angin membawa jeritan yang terputus, bercampur bau anyir yang memenuhi udara. Aku berdiri di tengah kehancuran, tubuhku bergetar, napasku tertahan.
Ayah ada di sana.
Di antara puing-puing, aku melihat darah menodai zirah putihnya yang dulu begitu megah. Ia berusaha bangkit, meski tubuhnya telah terkoyak-koyak. Dengan sisa kekuatannya, ia menatap ke arahku—mata yang dulu terasa hangat kini mulai menjadi redup.
Aku ingin bergerak. Aku ingin berlari dan menyelamatkannya. Tapi kakiku tak mau menurut.
Lalu, suara tawa itu datang.
Di antara bayangan yang berkedip di atas nyala api, makhluk itu berdiri tegak. Mata merahnya bersinar dalam gelap, suaranya mengalun, seperti racun yang menetes ke dalam pikiranku.
"Lihat dirimu, gadis kecil… Kau tak bisa berbuat apa-apa."
Aku menggigit bibir. Air mata mengalir begitu saja, jatuh ke tanah yang terbakar lumuran darah.
Tidak… Ini tidak seharusnya terjadi.
"Selamat tinggal, gadis kecil!"
Aku tidak ingin akhir seperti ini. Aku tidak ingin… mati.
Namun, tanpa bisa mengubah apa pun, pandanganku segera terjatuh di atas genangan darah.
Darah yang kubuat sendiri.
Di akhir, dengan kedua mata emas khas amber yang meredup, aku pun mengukir harapan kecil.
Jauh pada kedalaman lubuk hati.
—
Keheningan.
Aku membuka mata perlahan.
Langit-langit putih bersih menyambut pandanganku—terasa begitu familiar. Seperti biasanya, helaian rambut panjang berkilau, menyatu dengan selimut putih yang menghangatkan.
Aku tetap diam, membiarkan napasku teratur. Namun, entah mengapa dada ini terasa sesak.
Aku menyentuh wajahku. Basah.
Aku, menangis?
Beberapa kali kukerjapkan mata, mencoba mengusir bayangan kehancuran yang samar masih terukir dalam pikiranku. Tak dapat melakukan apa pun. Sensasi itu tetap tinggal, seolah-olah mimpi tadi lebih dari sekadar bunga tidur.
"Tuan Putri, Anda akhirnya bangun."
Namun, sebuah suara lembut menarikku kembali ke realitas. Aku menoleh dan melihat Cherryl, pelayan pribadiku, duduk dekat meja rias dengan buku di tangannya. Ia menutupnya perlahan, lalu bangkit dan melangkah ke arahku dengan senyum cerah, sama seperti yang biasa ia lakukan.
"Selamat pagi, Putri."
Ah, berapa kali aku melihatnya? pikirku melankolis, segera tersadar dari lamunanku.
Aku mengangguk pelan. Tanganku masih sedikit gemetar, tapi aku mencoba menenangkan diri.
"Cherryl…."
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya terasa berat di tenggorokanku. Dalam diam, aku menyapu air mata yang membasahi pipiku—perlahan bangkit sambil merenggangkan tubuh. Aku berpikir sejenak.
"Cherryl. Satu hal... ada yang ingin kusampaikan padamu."
"Apa, Tuan Putri? Begitu tiba-tiba...." Dengan lembut, ia membantuku bangun dan merapikan selimut. Tatapannya penuh 'kan tanda tanya.
Aku menapakkan kaki di atas lantai kayu yang berderit, agak dingin. Sambil diam-diam mengumpulkan semangat pagi dalam hati, aku bergegas menuju meja rias dengan kaca besar yang terpajang di depan. Di sana, kutatap cerminanku sendiri.
Seorang gadis muda, berusia 15 tahun, dengan rambut seputih salju dan mata amber berkilau emas bak boneka hidup. Mengingat apa yang terjadi akhir-akhir ini, sudut mulutku naik dengan sendirinya.
Aku tersenyum.
Putri Rubah Salju, ya? Yah, kupikir tidak begitu buruk.
Setelah hening sejenak, aku menarik napas panjang dan berkata dengan suara yang nyaris berbisik,
"Cherryl. Aku… sangat senang bisa bertemu denganmu."
Mendengarnya, Cherryl tampak terkejut. Namun sesaat, senyum di wajahnya melebar, dan ia tertawa kecil.
"Yang benar saja, Putri? Kalau begitu, aku akan jauh~ jauh lebih senang bisa bertemu dengan Anda~!" katanya riang, sebelum tiba-tiba melingkarkan lengannya erat di sekelilingku.
Tidak seperti kegelapan yang tadi menelanku dalam mimpi, pelukan ini terasa lebih hidup—lebih manusiawi.
Aku menutup mataku sejenak. Kehangatannya terasa jelas, disertai kelembutan dan aroma yang samar—anehnya menenangkan.
"A—Ahaha... begitu ya?"
Singkat, kubalas senyumnya dengan nada ringan. Wajahku sedikit memerah.
Meskipun tampak seperti candaan baginya, tak ada keraguan dalam ucapan itu.
Dari awal, aku sudah mengetahuinya.
"Baiklah… kupikir ku tak punya pilihan lain."
Tak peduli apa artinya mimpi, tak peduli seberapa suramnya masa depan yang menanti… Aku hanya perlu menikmati kehidupan ini.
Sampai saat itu tiba.