Di suatu sudut dunia yang terlupakan, di antara pegunungan yang tinggi dan lembah yang dalam, hidup seorang pemuda yang dikenal oleh sebagian orang sebagai Yang Terbuang. Namanya Zane. Seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara, tanpa keluarga dan tanpa tempat untuk berlindung. Sejak kecil, ia diperlakukan lebih buruk dari hewan. Para petani di desa tak pernah memperhatikannya. Mereka hanya melihat Zane sebagai anak miskin yang tak ada artinya.
Zane terbangun setiap pagi di sebuah gubuk tua yang dibangun dengan kayu-kayu lapuk yang hampir roboh. Tak ada siapa-siapa di dunia ini yang peduli padanya, selain dirinya sendiri. Namun, meski hidup dalam kesulitan, Zane tidak pernah menyerah. Ia terus berlatih, berusaha keras untuk mengasah kemampuannya dalam seni kultivasi yang tak pernah diajarkan oleh siapapun.
Namun, kenyataan tidak seindah harapannya. Setiap kali Zane mencoba untuk mendaftar ke sekte-sekte besar di sekitar wilayahnya, ia selalu ditolak. "Bakatmu terlalu rendah," kata mereka. "Tidak ada tempat untuk orang seperti kamu di sekte kami."
Itulah yang selalu dia dengar. Kata-kata yang menyakitkan. Mereka semua menganggapnya tak lebih dari sekadar sampah. Tapi Zane tidak menyerah.
Pagi itu, dengan pakaian lusuh dan tubuh yang lelah, Zane memutuskan untuk mencoba sekali lagi. Sekte Cahaya Seribu Pedang, sekte yang terkenal dengan kemampuan kultivator pedangnya yang luar biasa, mengadakan ujian penerimaan. Zane tahu, ini mungkin kesempatan terakhirnya. Ia berjalan dengan tekad menuju gerbang sekte.
Namun, seperti sebelumnya, ia tahu bahwa dunia ini tidak akan memberinya sesuatu dengan mudah. Ia tiba di sekte dengan harapan tinggi, namun dipandang dengan sinis oleh para penjaga yang berdiri di gerbang. Setelah menyerahkan formulir pendaftaran, penjaga itu memandang Zane dengan tatapan meremehkan.
"Kamu... seorang pemula yang tak berbakat. Kami tidak butuh orang seperti kamu," kata penjaga itu dengan dingin. "Jauhkan dirimu dari sini."
Zane merasakan sakit di hatinya, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahan. Ia menundukkan kepalanya dan berjalan mundur, meski hatinya penuh dengan rasa malu dan kekecewaan.
Namun, dalam hatinya, ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar rasa malu. Ada keinginan untuk bertahan hidup. Keinginan untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih dari yang mereka pikirkan. Zane tahu, meskipun mereka meremehkannya, ia tidak akan berhenti berjuang. Ia tidak akan membiarkan dunia menekannya lebih jauh lagi.
"Suatu hari, aku akan membuktikan bahwa aku lebih dari yang mereka kira."
Dan dengan tekad itu, Zane memulai langkah baru dalam perjalanannya. Tanpa sekutu, tanpa bantuan, hanya dengan dirinya sendiri. Namun, dalam setiap langkah yang diambil, ia tahu bahwa perjuangannya baru saja dimulai.
Zane tidak kembali ke gubuknya setelah ditolak begitu saja oleh sekte Cahaya Seribu Pedang. Dengan langkah berat, ia berjalan menjauh dari gerbang sekte yang kokoh, menyusuri jalan setapak menuju hutan di sekitar desa. Tak ada yang peduli padanya, dan tak ada yang akan menunggu. Ia benar-benar sendirian.
Namun, di tengah kesendiriannya, ada sesuatu yang membara di dalam dirinya. Sebuah tekad yang tak terucapkan, sebuah keinginan yang menyalakan api di dalam hatinya. "Aku akan berlatih lebih keras. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa lebih dari sekadar anak miskin yang diabaikan."
Saat Zane menyusuri hutan, ia kembali teringat akan masa lalunya yang penuh penderitaan. Sejak kecil, ia harus berjuang sendirian. Tak ada yang mau merawatnya. Tak ada yang mengajarinya cara bertahan hidup. Semuanya harus ia pelajari sendiri, dari mulai berburu makanan hingga mencoba memahami dasar-dasar kultivasi yang didapatnya dari buku-buku usang yang ditemukan di pasar loak. Meskipun bakatnya rendah, Zane tidak pernah menyerah.
Ia berhenti sejenak di depan sebuah pohon besar yang sudah tua. Akarnya mencuat dari tanah, membentuk jaring-jaring yang menguatkan tanah di sekitarnya. Zane merentangkan tangan, menutup matanya, dan mencoba merasakan energi alam sekitar. Energi yang sudah ia pelajari untuk mengendalikan selama bertahun-tahun.
Sambil menarik napas dalam-dalam, ia mulai mengumpulkan energi kultivasi yang terbatas dalam tubuhnya. Ia tahu, meskipun lambat, setiap latihan sedikit demi sedikit membantunya semakin kuat. Setiap usaha yang ia lakukan tidak sia-sia.
Tiba-tiba, sebuah suara menghentikan konsentrasinya.
"Kamu lagi... Tidak kapok-kapok?" suara itu datang dari belakang.
Zane membuka matanya dan berbalik. Di sana, berdiri beberapa pemuda desa yang sering mengolok-oloknya. Mereka tampak seperti anak-anak dari keluarga kaya di desa, yang selalu merasa lebih baik darinya.
"Kau pikir, dengan latihannya yang sepele itu, kau bisa jadi kultivator? Hahaha, kau cuma buang-buang waktu!" salah satu dari mereka tertawa sinis.
Zane mengatur napasnya dan menatap mereka dengan tenang. Ia sudah terbiasa dengan penghinaan ini. Namun, kali ini ada perasaan yang berbeda. "Aku akan membuktikan pada kalian semua," gumam Zane dalam hati.
Para pemuda itu terus tertawa, tetapi Zane tidak membalas. Ia tahu, kata-kata mereka tidak akan membantunya menjadi lebih kuat. Hanya tindakan yang bisa membuktikan segalanya.
Tanpa berkata-kata, Zane melangkah pergi meninggalkan mereka. Pemuda-pemuda itu masih tertawa dan mengejeknya dari belakang, namun langkah Zane tetap mantap. Ia tidak peduli.
"Suatu hari, mereka akan melihatku. Aku akan menjadi lebih dari sekadar yang mereka kira."
Di bawah cahaya matahari yang redup, Zane melangkah lebih dalam ke dalam hutan, memulai perjalanan yang lebih keras dari sebelumnya. Dunia ini memang kejam, tapi ia tidak akan berhenti berusaha. Tidak peduli seberapa banyak orang yang meremehkannya, Zane tahu satu hal: ia akan terus bertahan.