Pagi itu, udara Bandung terasa menusuk, dingin dan sedikit basah setelah hujan malam sebelumnya. Kabut tipis masih menyelimuti beberapa bagian jalan ketika Annelies berdiri di depan gerbang utama SMK Bintang. Ia menarik napas panjang, berusaha mengusir kegugupan yang terus menghantuinya sejak memutuskan untuk pindah ke sekolah ini.
"Selamat pagi!" Suara riang mengejutkannya. Ann menoleh dan melihat seorang pria berjas cokelat berdiri di belakangnya. "Annelies, ya?" tanyanya sambil tersenyum ramah.
"Ah, iya, Pak." Ann menjawab dengan sedikit terbata-bata. Ternyata itu Mr. Nathan, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas barunya. Mr. Nathan juga adalah orang yang sama yang membimbingnya dalam pemberkasan ketika pindah ke sana.
"Ayo, saya antar ke kelas. Sudah tahu di mana ruangannya?"
Ann menggeleng pelan. Ia mengikuti Mr. Nathan menyusuri lorong sekolah yang terasa lebih panjang daripada seharusnya. Dinding-dinding sekolah tampak biasa, tapi suasana di sini membuat bulu kuduknya meremang. Mata-mata siswa yang melintas menatapnya sejenak, lalu berbisik satu sama lain.
"Sudah terbiasa dengan sekolah sebelumnya, ya?" Mr. Nathan bertanya, berusaha mencairkan suasana.
"Lumayan, Pak," jawab Ann singkat. Ia menatap lantai, berusaha menghindari kontak mata. Perasaannya bercampur aduk – gugup, tapi juga penasaran dengan apa yang akan ia temukan di sini.
"Ini kelasmu. Kamu masuk saja, masih ada waktu sebelum pelajaran dimulai," ujar Mr. Nathan sambil tersenyum. "Kalau butuh bantuan, jangan ragu tanya saya."
Ann mengangguk sopan. Begitu masuk, suasana kelas langsung berubah. Beberapa siswa menoleh ke arahnya, beberapa tersenyum, tapi banyak yang hanya menatapnya datar. Ann menarik napas dan mencoba membaur.
Seminggu berlalu sejak hari pertama Ann di SMK Bintang, tak bisa dipungkiri kalau ia masih merasa asing. Sekolah ini penuh dengan aturan tak tertulis yang sulit ia pahami. Siswa-siswanya terobsesi dengan nilai, beberapa dari mereka bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, padahal sekolah itu bahkan tidak masuk dalam 100 besar sekolah terbaik.
"Ann, tahu LV, kan?" tanya Selma, salah satu gadis populer di kelas. Mereka sedang duduk bersama di kantin, mencoba mengajaknya masuk ke dalam lingkaran pertemanan mereka.
"Oh… anggota one direction?" Ann menjawab ragu. Pikirannya sedang penuh dan ia tak terlalu mengikuti obrolan ketika mendapat pertanyaan mendadak.
"Astaga! Louis Vuitton, Ann!" Felisha menimpali, ia kemudian tertawa keras.
"Kalau itu kan Louis Tomlinson." balas Reva di sela-sela tawanya.
Ann tertawa canggung, wajahnya memanas. Ia sejujurnya tak bisa megejar energi mereka yang meledak-ledak, baterai sosialnya sangat lemah, ia hanya ada di sana untuk mendengar gosip terbaru, mencari informasi kecil yang mungkin bisa membawanya lebih dekat pada misteri kematian Azriel.
Di sisi lain, Leksa sedang duduk sendirian di pojok kantin, menatap kosong ke luar jendela sebelum mendengar jawaban Ann yang membuatnya tersenyum tipis, cukup lucu. Sejak awal, ia memperhatikan gadis itu. Gadis itu terlalu mencolok – bukan karena penampilannya, tapi karena caranya mencoba berbaur terlihat tidak alami dimatanya.
Leksa kemudian beranjak menuju ke kelas setelah menyadari waktu istirahat akan segera habis.
---
"Kamu terlalu banyak mikir," suara berat menyentaknya dari lamunan. Eksistensi Ms. Mariska, guru TI yang selalu bersikap tegas berada tepat di samping mejanya.
"Maaf, Ms." Leksa mencoba tersenyum, meski senyum itu lebih terlihat seperti upaya basa-basi. Dia mengerjapkan matanya beberapakali setelah tertangkap sedang melamun.
Ms. Mariska mengangguk singkat. Ia meletakkan selembar kertas di mejanya. "Ini tugas kelompok. Kamu dan Annelies kerja bareng. Saya nggak mau ada alasan apa pun untuk nggak selesai."
Leksa mengedarkan pandangannya ke sekitar, Ms. Mariska terlihat melanjutkan membagikan kertas selembar dan tampaknya ia sendiri yang mengatur kelompoknya, karena beberapa siswa mulai beranjak dari bangku masing-masing menuju teman sekelompoknya, tidak ricuh seperti biasanya.
Leksa mengerutkan dahi. Tugas bersama Ann? Gadis itu mungkin menyimpan banyak rahasia, tapi ia juga sulit dipahami. Sebagai intel muda, Leksa tahu bagaimana membaca bahasa tubuh orang, tapi Ann… Dia seperti buku dengan halaman-halaman yang sengaja diacak, selama satu minggu di sana sikapnya sangat tidak konsisten.
Leksa hendak beranjak untuk menemui Ann, namun bel sekolah yang berbunyi membuatnya yakin kalau tugas itu adalah pekerjaan rumah, membuatnya mengurungkan niatnya.
---
Hari itu, setelah jam pelajaran selesai, Ann memilih tinggal di laboratorium komputer setelah menjalani hukuman untuk membersihkan kaca di sana, karena hari ini ia lupa untuk memakai dasi. Ia membuka buku harian Azriel yang selalu ia bawa. Halaman-halaman buku itu penuh coretan – sebagian tertulis rapi, sebagian seperti diluapkan dengan amarah.
"Apa yang sebenarnya kamu alami di sini?" gumam Ann sambil membalik halaman demi halaman. Tidak benar-benar membacanya, karena Ann sudah membaca semuanya sekilas.
'tap' 'tap'
Suara langkah kaki mendekat. Ann reflek menutup buku itu dan menoleh. Leksa berdiri di ambang pintu, lengan kirinya terangkat mengetuk pintu kaca yang sudah terbuka, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak.
'tok tok'
"Jadi … di sini, ya?" tanyanya santai, tapi nada suaranya mengandung sesuatu yang lebih.
"Emangnya kenapa?" Ann berusaha terdengar defensif. Selama satu minggu di sekolah ini, hanya karakter Leksa diantara teman sekelasnya yang belum bisa ia pastikan. Lihatlah, bahkan cara bicaranya aneh, seolah ada hal yang membatasinya sehingga ia tak bisa berkata banyak.
Leksa tidak menjawab. Ia melangkah masuk dan meletakkan kertas tugas di meja. "Kita kerja kelompok, kan? Mulai sekarang, kita harus sering ketemu. Ms. Mariska nggak mau dengar alasan tugas ini nggak selesai."
Ann menatap kertas itu, lalu kembali menatap Leksa. Ada sesuatu di mata pemuda itu yang membuatnya merasa terpojok.
"Oke, kapan mulai?" Ann mencoba mengalihkan perhatian dengan nada yang lebih santai.
"Sekarang," jawab Leksa tegas.
Ann tahu ia tidak punya pilihan. Tapi di balik tatapan tajam Leksa, ia merasa ada pertanyaan-pertanyaan yang belum diucapkan. Sama seperti dirinya, Leksa juga menyimpan sesuatu. Ann hanya berharap Leksa tidak curiga pada penyelidikan amatirnya.
"Jadi, tema apa yang mau kita angkat?" tanya Ann, menyadari kalau tugasnya adalah membuat ide inovasi terkait teknologi informasi.
Leksa yang baru saja duduk menoleh, menatapnya sejenak, "gimana kalau … dari apa yang dialami?"