Dunia Xelvaris
Sebuah dunia luas yang dipenuhi keberagaman yang luar biasa. Dari puncak gunung berapi yang menjulang tinggi hingga hutan kuno yang menyimpan rahasia peradapan lama, dari padang pasir tandus yang dijilat angin kering sampai lautan tak berujung yang menyembunyikan makhluk makhluk misterius. Xelvaris bukan hanya sekedar tanah bagi para penghuninya, tetapi juga panggung bagi kisah-kisah yang telah terukir selama ribuan tahun.
Didunia ini, ras, budaya dan kepercayaan berkembang dengan cara yang berbeda pada setiap sudutnya. Para Selynari yang bijaksana mengukir sejarah dengan pengetahuan dan sihir kuno mereka, sementara ras Nyxari yang hidup dalam kegelapan memainkan perannya dalam bayang-bayang. Dravak, para penakluk dari tanah yang keras, hidup dengan semangat juang yang tak pernah padam. Disisi lain, Azterion, tanah para pemimpi dan petualang, melahirkan generasi yang ingin menggapai takdir mereka diantara bintang bintang.
Namun, keindahan ini selalu dibayangi oleh hasrat keinginan manusiawi yang tak pernah berubah---kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Sejak zaman dahulu, peperangan telah menjadi bagian dari napas Xelvaris. Kekaisaran bangkit dan runtuh, persekutuan terbentuk dan terpecah, janji damai diucapkan hanya untuk dikhianati. Mereka yang kuat menggenggam tahta, sementara yang lemah hanya bisa bertahan diantara reruntuhan.
Xelvaris adalah dunia yang tidak mengenal kedamaian abadi. Seperti roda nasib yang terus berputar, selalu ada seseorang yang ingin menuliskan namanya dalam sejarah, bahkan jika itu berarti menodai tanah dengan darah dari orang orang tak bersalah.
Dan di sinilah semuanya dimulai—sebuah kisah yang akan mengguncang Xelvaris, mengubah takdir banyak orang, dan mengukir legenda yang akan diingat selama berabad-abad.
Kael melangkah pelan di sepanjang jalan berdebu yang membelah kota kecil di bawah kekuasaan kekaisaran. Pikirannya melayang jauh, lebih jauh dari riuhnya aktivitas sekitar. Sejak meninggalkan tanah kelahirannya, dia terus bertanya-tanya tentang langkah pertama yang harus dia ambil untuk mewujudkan perdamaian yang dia impikan. Perang telah menjadi bagian dari kehidupan Xelvaris begitu lama. Namun apakah kedamaian bisa dicapai tanpa mengorbankan banyak nyawa? Apakah ada jalan untuk menahan perang tanpa membuat semua pihak merasa kehilangan?
Di sekelilingnya, kehidupan berjalan seperti biasa—atau setidaknya, seperti yang dilihat Kael. Pedagang menjajakan dagangannya, anak-anak berlarian dengan riang, dan para penduduk beraktivitas seperti biasanya. Namun, suasana ini tiba-tiba terputus oleh suara keras yang berasal dari jalan utama di depan.
"Tidak ada yang peduli dengan kami!" teriak seorang pria dengan wajah marah, berdiri di atas tumpukan batu.
"Kami hanya dimanfaatkan oleh kekaisaran! Tanah kami dirampas, keluarga kami terhimpit, dan kita tak punya tempat untuk bertahan hidup!"
Kael berhenti sejenak, menatap kerumunan yang semakin ramai di depan. Para warga yang biasanya tampak tenang kini mulai meluapkan kemarahan mereka. Sebuah demo. Kael bisa merasakannya, suara-suara penuh amarah bergema, beberapa orang membawa spanduk sederhana yang berisi tuntutan akan keadilan. Para penduduk yang terkepung, tak lagi takut dengan tangan kekaisaran, berdiri bersatu di hadapan kekuatan yang lebih besar—kekuasaan yang selama ini menindas mereka.
Kael mengamati lebih dekat, melihat para prajurit kekaisaran yang berdiri beberapa meter didepan kerumunan. Mereka tidak mengayunkan senjata, tapi Kael bisa merasakan ketegangan di udara. Para prajurit menunggu perintah untuk bertindak, tidak lama kemudian, beberapa tentara maju dengan langkah tegas, mencoba meredakan kericuhan dengan perkataan.
"Tenang! Kalian melawan pemerintah yang telah menjaga keamanan kalian. Jangan menghancurkan apa yang telah dibangun untuk kalian!" seru salah satu prajurit.
Namun, kata-kata itu tak menyentuh hati orang-orang yang sudah jatuh kedalam amarah. Mereka tau, dalam diamnya kekaisaran, tak ada lagi ruang untuk mereka.
"Keamanan?" seorang wanita di depan Kael berteriak. "Kami hidup dalam ketakutan! Kami bekerja tanpa hasil, sementara kekaisaran terus menindas kami!"
Kael merasa dadanya berdebar, lihatlah bagaimana mereka bersatu dalam amarah. Mereka mungkin merasa tak ada lagi harapan. Pemerintah di sini tak akan mendengarkan mereka—atau bahkan peduli. Dalam hati Kael, sebuah pertanyaan muncul, lebih mendalam daripada sebelumnya: Bisakah perdamaian tercapai di tempat yang penuh dengan kebencian seperti ini?
Kael tahu bahwa menahan kekerasan di sini bukanlah hal yang mudah. Di dunia yang seperti ini, yang kuatlah yang akan bertahan. Namun, jika dia mengikuti jejak orang lain—memilih kekuatan, maka apa bedanya dia dengan mereka yang telah menguasai dunia dengan tangan berdarah? Kael tidak ingin itu. Dia tau, jalan yang benar adalah jalan yang tak akan menambah api kebencian ini.
Sebelum konflik bisa berkembang lebih jauh, Kael melangkah maju, menatap tentara yang berada di depan. Matanya tajam, penuh keyakinan. "Berhenti," katanya dengan suara yang cukup keras untuk didengar.
Semua mata beralih ke Kael, dan suasana yang semula ricuh seketika terhenti sejenak. Kael mengangkat tangannya, memberikan isyarat untuk menenangkan para pendemo.
"Saya tau kalian marah. Saya tau kalian merasa tertindas," Kael melanjutkan, menatap ke wajah-wajah yang penuh kemarahan. "Tapi kalian harus ingat, kekerasan tidak akan membawa kalian ke mana-mana selain ke jalan yang lebih gelap. Cobalah berbicara dengan mereka. Cobalah untuk menemukan jalan keluar, bukan hanya saling menghancurkan."
Beberapa pendemo tampak ragu, tetapi kerumunan tetap riuh. Para prajurit kekaisaran tetap siaga, tangan mereka pada pedang, menunggu komando.
Kael merasa, dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya, dia sedang menguji dirinya sendiri. Dia tahu langkah ini bisa berbahaya, bisa berakhir dengan bentrokan yang tak terelakkan, tapi dia tidak bisa mundur. Ini adalah awal dari apa yang dia perjuangkan—perdamaian.
Suasana semakin tegang, dan meskipun kata-kata Kael tampak memberi sedikit ruang untuk harapan, kerumunan itu tak mudah dipuaskan. Beberapa dari mereka mulai berbicara keras, menyuarakan ketidakpercayaan mereka terhadap kata-kata manis yang diucapkan oleh seorang asing. Sementara itu, prajurit-prajurit kekaisaran berdiri tegang, siap menghadapi segala kemungkinan.
Kael tau waktu semakin sempit. Keputusan harus diambil sekarang, sebelum ketegangan ini berubah menjadi pertumpahan darah. Namun, sebelum dia bisa mengucapkan kata-kata lain, suara keras terdengar dari arah para prajurit.
"Perintah dari komandan!" teriak salah seorang tentara, suaranya tegas namun penuh ancaman. "Siapa yang menghalangi penegakan hukum akan dihadapi dengan tindakan tegas!"
Kerumunan mendesis, namun mereka tetap berdiri tegak. Kael bisa merasakan kebencian yang mendalam dalam setiap tatapan mereka. Mereka merasa bahwa dunia ini tak lagi berpihak pada mereka. Dan Kael tau bahwa jika perdamaian yang diimpikannya benar-benar akan terwujud, dia harus menemukan cara untuk menggali lebih dalam, untuk menembus ketidakpercayaan ini.
Tanpa pikir panjang, Kael melangkah maju. Kali ini, dia tidak lagi hanya berbicara dengan kata-kata. Dengan langkah mantap, dia menghampiri pemimpin pasukan yang berdiri di depan kerumunan. Prajurit itu mengangkat alis, terlihat tidak terkesan dengan kedatangan Kael yang tampaknya hanya seorang pengamat.
"Saya tau Anda ingin menghindari pertumpahan darah," kata Kael, menatap langsung ke mata sang pemimpin pasukan. "Tapi ini bukanlah cara untuk menegakkan kedamaian, ini hanya akan membuat lebih banyak orang mati sia-sia."
Sang pemimpin mendengus, lalu memandang Kael dengan tatapan curiga. "Dan siapa anda, yang berani mengajari kami bagaimana melakukan tugas kami?" tanyanya dengan nada sinis. "Kami hanya melaksanakan perintah."
Kael menghela napas. Ini bukan saatnya untuk terlibat dalam percakapan yang tak ada ujungnya. "Saya Kael, dan saya ada di sini karena saya ingin melihat sebuah dunia yang lebih baik—di mana kita semua bisa hidup tanpa rasa takut, tanpa ada yang merasa diabaikan," jawab Kael, matanya penuh keyakinan.
Sang pemimpin terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Kael, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Mungkin, tapi jika Anda berani menghalangi tugas kami lagi, Anda akan tau apa akibatnya," katanya dengan suara lebih tenang, meskipun ancaman itu tetap terpendam.
Kael mengangguk, namun tidak bergerak. Saat ini, dia tau, perang bukanlah solusi untuk masalah ini. Mereka yang terlibat dalam demo ini memiliki alasan yang sah, dan kekaisaran—dalam bentuk apapun—harus mendengarkan mereka.
"Saya tidak akan menghalangi Anda," Kael berkata pelan. "Tapi saya berharap suatu saat nanti, kita bisa berdialog, bukan berperang. Semua orang di sini hanya ingin hidup lebih baik. Itu saja."
Dengan itu, Kael berbalik dan melangkah menuju kerumunan pendemo. Mata-mata kerumunan mengikuti langkahnya, beberapa orang menatapnya dengan keheranan, sementara yang lain tampak kecewa. Namun, Kael tau, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah gerakan yang akan membutuhkan lebih dari sekedar kata-kata. Tapi setidaknya, dia sudah menunjukkan bahwa ada cara lain selain kekerasan.
Saat dia berada ditengah tengah kerumunan, angin yang semula kering dan terik mulai membawa hembusan dingin yang menenangkan namun itu tidak bertahan lama.
Kael tau bahwa kata kata saja tidak akan cukup untuk mengubah keadaan, suasana menjadi panas kembali dan bahkan lebih panas dari sebelumnya, meskipun Kael sudah mencoba menenangkan kerumunan, rasa tidak percaya semakin mengental diudara.
Tiba tiba seorang pendemo muda dibarisan depan berteriak keras, "Apa yang kalian lakukan disini, orang orang ini tidak peduli dengan kami! Mereka hanya ingin memerintah dan menikmati jerih payah kami!"
Mendengar teriakan itu, beberapa orang mulai bersorak setuju. Mereka mulai maju kearah para prajurit yang masih berdiri, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kael merasakan ketegangan diantara kedua belah pihak yang semakin mendalam, semua orang mulai siap untuk bertindak, dan waktu seakan-akan berhenti.
"Cukup" Kael berteriak keras, suaranya memecah keributan. "Ini tidak akan menyelesaikan apapun!"
Namun, alih-alih mendengarkan, salah satu pemimpin pendemo yang lebih berani, seorang pria tinggi besar dengan pedang dipinggang, melangkah maju dengan ekspresi marah berkata kepada Kael. "Kau tidak tau apa yang kami hadapi! Kami sudah cukup menderita!" Serunya.
Disaat yang bersamaan, salah satu prajurit tiba tiba bergerak cepat, mencoba meredakan situasi dengan ancaman yang lebih nyata. Tanpa peringatan, sang prajurit mencoba menebas sang pemimpin pendemo namun beruntung, sang pemimpin berhasil menghindar dan hanya mengalami luka gores ringan dibagian sekitar bahunya.
Ini adalah titik balik yang Kael tak harapkan, karena kejadian itu, amarah para demonstran sudah tak tertahankan lagi, keadaan langsung berubah menjadi kacau.
Kerumunan yang sebelumnya tegang kini pecah menjadi keributan besar, pendemo yang marah melemparkan batu dan benda benda kearah para prajurit, sementara prajurit kekaisaran mulai maju, menggunakan kekuatan untuk menekan massa. Kael bisa merasakan panasnya api amarah yang menyelimuti kedua belah pihak.
"Sial" Kael menggeram. Dia harus bertindak cepat sebelum ini berubah menjadi pertempuran besar. Jika ini berlanjut, perdamaian yang ia impikan akan semakin jauh.
Dengan cepat, Kael melompat kedepan, menghalangi prajurit yang berusaha mendorong pendemo lebih jauh. "Tidak!" Seru Kael. "Ini bukan jalan yang benar!".
Namun, dia tak sempat melangkah lebih jauh. Seorang prajurit dari belakangnya mengangkat pedangnya dengan niat menyerang, dan dalam sekejap, pedang itu hampir menghantam Kael. Namun, instingnya lebih cepat dari pedang prajurit itu, Kael bergerak cepat, setelah menghindari tebasan sang prajurit, ia secara mengejutkan mengangkat dan melemparkan tubuh sang prajurit ke tanah.
"Jangan menyerang siapapun" Kael berseru,menatap prajurit yang ia lempar, "Aku tidak ingin menyakiti siapapun!" Katanya.
Namun, aksi Kael justru membuat suasana semakin panas, Kael membuat dirinya terlihat sebagai ancaman yang nyata. Kerumunan pendemo melihatnya sebagai harapan baru, merasa ada seseorang yang peduli dengan nasib mereka. Prajurit kekaisaran yang merasa terancam, langsung mempersiapkan serangan yang lebih besar. Kael bisa mendengar langkah langkah prajurit bala bantuan dari kejauhan.
Pada saat itu, Kael merasa sebuah tekanan yang sangat besar dipundaknya. Apakah ia harus melawan kekaisaran yang kuat ini dengan cara yang keras? Ataukah dia harus mencari cara lain, yang lebih bijaksana untuk mencari keadilan?
Namun, sebelum Kael bisa memutuskan, sebuah suara keras bergema dari arah luar kerumunan yang sedang saling menyerang
"Berhenti!" Suaranya kuat dan tegas seperti harimau, membuat siapapun yang mendengarnya merasa tegang.
Seketika pertikaian segera terhenti, para pendemo, prajurit dan Kael menoleh dan melihat seorang pria berbaju zirah hitam sedang berada diatas kudanya, matanya tajam menilai keadaan disekitarnya.
"Hormat, kepada komandan Rylos" arahan dari sang pemimpin pasukan kepada para prajurit lain.
Komandan itu menatap Kael dengan mata penuh tantangan. "Kau yang memulai hal ini anak muda?" Tanya komandan Rylos dengan suara dingin dan tajam sambil mendekati Kael. "Aku tidak tau siapa kau dan aku juga tidak peduli kau siapa, tapi jika kau tidak berhenti dan menyerahkan dirimu sekarang, maka kau akan merasakan konsekuensinya" ancam sang komandan.
Kael tidak gentar. "Saya tidak akan membiarkan orang orang ini terus ditindas!" jawabnya, matanya penuh keteguhan, Kael sudah memutuskan untuk membela para penduduk yang tertindas!
Komandan Rylos hanya tertawa sinis. "Kau pikir bisa mengubah apapun hanya dengan kata kata? Dunia ini sudah terlalu keras untuk orang sepertimu anak muda"
Semua mata tertuju pada komandan Rylos dan Kael, Kael tau bahwa ujian pertama menuju hal yang diimpikannya akan dimulai, ujian untuk menunjukkan apakah dia cukup kuat untuk menghadapi tantangan tantangan yang akan ada dijalannya, Kael menarik napas dalam dalam, bersiap menghadapi segala sesuatu yang akan terjadi, komandan Rylos mulai turun dari kudanya, sambil menarik pedangnya dari sarungnya, ia berkata "Bersiaplah anak muda karena mungkin kamu tidak akan bisa pulang lagi setelah ini", Kael menjawabnya dengan nada penuh rasa percaya diri "Mungkin kamulah yang seharusnya bersiap, menghadapi hal yang tidak akan pernah kamu sangka!"