Langit senja Jakarta memancarkan warna oranye keemasan, memantul di kaca jendela gedung-gedung pencakar langit.
Di sebuah halaman rumah mewah di kawasan elit Menteng, sebuah mobil sport berhenti perlahan di depan pintu utama.
Seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun keluar dari mobil tersebut, wajahnya tampan dengan rahang tegas dan sorot matanya tajam memancarkan aura dingin.
Dikara Aryasatya Hartanto, atau yang biasa disapa Dika, adalah pewaris tunggal Artex Group, salah satu perusahaan terbesar di Indonesia.
Di mata orang lain, kehidupan seorang Dikara tampak sempurna karena memiliki segalanya dan sangat di segani.
"Dika... Kamu baru pulang, sayang?" suara lembut Ratna menyapanya dari balik pintu.
"Hmm," gumam Dika singkat sambil berlalu begitu saja melewati sang ibu.
Ratna menghela napas panjang, menatap punggung putranya yang menjauh menuju tangga.
"Anak itu, pulang sekolah malah keluyuran. Kebiasaan sekali," gumamnya pelan.
Di kamar yang luas dengan desain modern dan furnitur serba hitam, Dika membuka jas seragam sekolahnya. Ia melirik sekilas ke arah jam dinding di kamar, jarum pendek menunjukkan pukul tujuh. Ia menghela napas berat, menyandarkan tubuh ke kursi di dekat meja belajarnya.
"Huhh… kenapa firasatku tidak enak lagi malam ini? Jangan sampai mimpi itu muncul lagi…" gumamnya pelan dengan kedua mata menerawang ke langit-langit kamarnya.
Sudah satu bulan ini Dika sering bermimpi aneh. Ia selalu terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya.
Dalam mimpi itu, ia berada di tengah hutan yang sangat gelap, dikelilingi ular-ular besar yang berbisik dalam bahasa asing.
"Pangeran Mahakara… waktumu telah tiba…"
Dika tidak mengerti apa arti mimpi itu, tetapi setiap malam, mimpi itu terus menghantui pikirannya.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuat Dika tersadar dari lamunannya.
"Siapa?" tanyanya malas tanpa menoleh sedikitpun.
"Ini Mama, Nak. Boleh Mama masuk?" suara lembut Ratna terdengar dari balik pintu.
"Masuk saja, pintunya tidak dikunci," jawab Dika.
Ratna melangkah masuk sambil membawa senyum hangat. "Sayang, malam ini kamu ikut dengan Papa dan Mama ke acara gala perusahaan, ya."
Dika mengernyitkan dahi, jarang sekali kedua orang tuanya melibatkan dia dalam urusan bisnis keluarga.
"Untuk apa, Ma? Tumben sekali kalian mengajakku ke acara resmi seperti itu."
"Kami ingin memperkenalkanmu sebagai pewaris utama Artex Group. Para investor dan relasi perusahaan perlu tahu siapa yang akan menggantikan Papa-mu suatu hari nanti," jelas Ratna sambil menepuk pundak Dika.
Dika mendesah, "Baiklah Ma. Aku akan bersiap sekarang."
"Oke, Mama tunggu di bawah. Jangan lama-lama, ya. Papa-mu sudah hampir selesai bersiap."
Setelah bersiap keluarga besar Hartanto langsung menuju Gedung megah tempat acara gala berlangsung.
Tempat itu dipenuhi tamu undangan dari berbagai kalangan. Para pria dengan setelan jas mahal dan wanita dengan gaun elegan berbincang dengan gelas anggur di tangan. Dika berdiri di sudut ruangan, merasa asing meskipun ini adalah dunia yang seharusnya menjadi miliknya.
Saat ia tengah memandangi keramaian, seorang wanita misterius bergaun hitam tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajahnya cantik, tetapi tatapan matanya dingin dan menusuk menembus jiwa.
"Kau…" Wanita itu berbisik dengan suara pelan, tetapi penuh tekanan. "Kau bukan manusia."
Dika tertegun, dahinya berkerut dalam. "Maksud Anda apa?" tanyanya.
Namun, sebelum ia bisa mendapatkan jawaban, wanita itu sudah menghilang begitu saja di tengah keramaian.
"Eh, kemana dia? K-kenapa cepat sekali perginya?" Gumam Dika bingung.
Ratna melihat putranya tengah mematung di antara keramaian, wanita paruh baya itu segera menghampiri sang putra.
"Sayang, kamu mencari siapa?"
"Ah," ia tersadar dan mengalihkan pandangannya pada sang ibu.
"A-aku…aku mencari wanita bergaun hitam. T-tadi dia mengajakku berbicara Ma." Kata Dika.
"Wanita bergaun hitam? Maksudmu dia." Tunjuk Ratna pada seorang wanita yang tengah mengobrol dengan suaminya.
Dika menoleh, memandang seseorang yang tengah tersenyum pada sang ayah. Perlahan kepalanya menggeleng pelan.
"Bukan dia Ma. Tapi wanita muda yang sangat cantik." Kata Dika.
"Ya sudah, tidak perlu di pikirkan. Ayo ikut Mama." Ajak Ratna sambil menarik tangan Dika dan menyeretnya ke sekumpulan orang-orang berpakaian mewah.
"Halo semuanya…." Sapa Ratna sambil tersenyum.
"Eh, selamat malam Nyonya. Terima kasih loh sudah mengundang kami ke acara gala perusahaan anda. Sebagai relasi bisnis Artex Grup saya ikut senang dengan pencapaian tuan William selama ini." Puji seorang wanita tulen.
"Terimakasih Nyonya Merta,…" Ratnapun mengenalkan putra sulungnya pada mereka semua.
Setelah acara selesai, Dika tidak bisa menghapus rasa aneh yang menghantui pikirannya sejak pertemuan dengan wanita itu.
Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memperhatikan pantulan wajahnya yang lelah.
Namun sesuatu terjadi padanya, kulit di lehernya tiba-tiba berubah menjadi bersisik, mengkilap seperti kulit ular. Ia tersentak mundur.
"Hah! A-apa yang terjadi padaku?" bisiknya dengan kedua tangan gemetar.
Malam itu, listrik rumah tiba-tiba padam. Kegelapan meliputi seluruh ruangan, tetapi Dika menyadari sesuatu yang aneh.
Ia bisa melihat dengan jelas dalam kegelapan. Setiap sudut kamar terlihat seolah diterangi cahaya.
"Mungkinkah… semua ini ada hubungannya dengan mimpiku?" pikirnya sambil memandangi tangannya yang mulai kembali normal.
"Apa perkataan wanita itu benar? A-aku bukan manusia? T-tidak! Tidak mungkin…i-ini hanya halusinasiku saja. Ya, benar ini hanya halusinasiku saja." Ucap Dika menyakinkan dirinya sendiri.
Ia langsung berganti pakaian dan bersiap untuk tidur. Dalam hitungan detik, tubuhnya terhanyut dalam mimpi yang kembali datang.
"U-ular! Tolong! Tolong aku, siapapun tolong!" Teriak Dika sangat ketakutan saat sadar dirinya di kelilingi ular berukuran besar.
Dari kegelapan, seorang pria berwajah rupawan muncul. Dika menatapnya dengan penuh keheranan. Pria itu tinggi besar, mengenakan pakaian kolosal yang terbuat dari bahan mewah, lengkap dengan mahkota emas yang berkilauan.
"Siapa dia?" Gumamnya pelan.
"Hey, kau! Siapapun kau dan dari manapun kau berasal, tolong aku….bawa aku keluar dari sini." Teriaknya.
Pria itu memandang Dika dengan mata yang penuh wibawa. Senyumannya begitu tenang. Tanpa berkata sepatah kata pun, pria itu melangkah mendekat dan mengulurkan tangannya. Seketika ular besar yang mengelilinginya mundur, seolah memberi penghormatan pada sosok yang baru saja datang.
"Ikutlah denganku, Putraku." ujar pria itu.
"Putra?" Batinnya. "Ah, pesetan dengan perkataannya. Yang terpenting aku bisa keluar dari sini."
Dengan gerakan cepat Dika mengulurkan tangannya dan mengikuti langkah pria itu pergi.
"Hey…Ngomong-ngomong siapa namamu?" tanya Dika santai.
Pria itu menghentikan langkahnya, lalu menatap Dika sambil tersenyum. "Namaku Raden Panji Mahakara."
Dika hanya manggut-manggut, menurutnya nama itu sangat jarang di gunakan di zaman sekarang.
"Oh yah, aku Dikara Aryasatya Hartanto." Dika mengulurkan tangannya.
"Ya, aku tahu." Jawab pria itu membuat Dika terkejut.
"Apa? B-bagaimana bisa? Hey, kau jangan becanda ya."
"Hahaha! Kau pikir aku sedang becanda? Dengar…aku tahu semua hal tentangmu, karena kau adalah putraku." Jawaban itu membuat Dika mematung.
"Hahaha! Candaanmu sangat garing. Hey, lihat…bahkan kau terlihat seumuran denganku. Baliklah, baiklah…berikan nomor rekeningmu. Aku akan membayarmu karena kau sudah membantuku keluar dari ular-ular besar itu." Kata Dika sambil tertawa.
Ia merasa semua masalah akan selesai dengan uang, termasuk hutang budinya pada pria aneh di hadapannya.
Dik…Dika…bangun, nak!
Suara sang ibu membangunkannya dari mimpi yang terasa nyata itu.
"Dika, sayang…bangun Nak. Ini sudah siang, memangnya kamu gak sekolah?"
Dika meregangkan badannya, rasa kantuk masih menggelayutinya.
"Jam berapa memangnya sekarang, Ma?" Tanya Dika santai.
"Tuh lihat, sekarang udah jam enam lewat." Mendengar jawaban sang ibu membuat Dika terperejat.
matanya terbelalak saat melihat jarum jam menunjukkan pukul enam lewat 10 menit.
"Astaga! Kenapa Mama baru bangunin sih." Gerutu Dika sambil beranjak dari tempat tidur.
"Kamu ini gimana sih, Dik. Dari tadi Mama bangunin loh, kamu-nya aja yang gak bangun-bangun. Makanya, jangan gadang terus. Ya sudah, lebih baik kamu mandi dan bersiap." Titah sang ibu.
Dika tak membantah lagi dan segera bersiap.
Selesai sarapan ia melangkah cepat menuju mobil, matanya masih terasa berat, meskipun tubuhnya sudah terbangun sepenuhnya.
"Huaaahhh!" Sesekali dia menguap.
Saat ia akan menyalakan mesin mobilnya, tak sengaja ekor matanya menangkap sosok misterius dari kejauhan.
"Dia…" batinnya bergemuruh dikala menyadari sosok itu adalah pria dalam mimpinya.