Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Wasn't Even Mine

🇮🇩jihanvelia
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
21
Views
Synopsis
Bercerita tentang Josh Andriano, seorang fotografer yang jatuh cinta pada Windy Alisha, temannya sejak SMA. Josh sudah lama mencintai Windy sebelah pihak; cinta yang Josh miliki bertahun-tahun itu kian menguat seiring dengan kedewasaan mereka. Bisa dibilang Josh terlalu mencintai Windy. Ia rela melakukan segalanya, mengorbankan segalanya; ia selalu ada untuk Windy. It was always Windy. She's all he can think about. Jadi, ketika sebulan yang lalu Windy menerima cintanya, Josh merasa sangat bahagia. Namun, tiba-tiba Windy memutuskan hubungan mereka dengan alasan bahwa dia sudah punya tunangan. Josh hancur. Ia depresi. Ia kehilangan arah, kehilangan tujuan; ia bahkan tidak tahu lagi bagaimana bentuk dunianya saat ini, sebab sebelumnya dunianya adalah Windy. Namun, suatu hari, sahabat Josh yang bernama Alvin mengenalkan seseorang pada Josh. Seorang model bernama Keisha yang dapat menjadi objek dalam koleksi foto-foto terbaru Josh. Kepribadian Kei yang berbeda jauh dari Windy, kecantikannya yang luar biasa, kepribadiannya yang supel dan menarik, sukses membuat Josh bertanya-tanya. Jika ia lihat kembali hubungannya dengan Windy, apakah cinta memang serumit ini? Josh terlalu fokus terhadap Windy, terhadap kesedihannya, hingga ia lupa bahwa, ....dia juga berhak dicintai. Ada orang lain di luar 'dunianya' itu, yang mau mencintainya dengan sepenuh hati, yang jauh lebih baik daripada Windy.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Bersamanya

Bab 1 :

Bersamanya

 

******

 

APABILA seseorang meniti karir sebagai fotografer, sebetulnya perjalanannya tidak selalu mulus. Acap kali, orang mengira bahwa pekerjaan fotografer itu gampang sekali, seperti orang yang sedang bersenang-senang. Ada juga yang mengira bahwa fotografer itu bukanlah 'karir' utama atau sungguhan. Pertanyaan seperti, "Oh... Kamu tukang foto, ya? Terus, kapan mau cari kerja tetap, nih?" sering kali keluar dari mulut orang-orang yang minta ditabok.

 Terkadang pula, klien senang dengan hasil jepretan kita, tetapi dia ingin memberi sentuhan lainnya seperti filter. Sangat-sangat tidak menghargai apa yang sudah dipotret apa adanya. Apalagi persoalan bayar membayar. Karya yang bagus tidak selalu dihargai dengan bayaran yang setimpal. Banyak sekali masalah. Masalah dengan modelnya, masalah dengan teman-teman yang selalu aji mumpung ingin difoto tiap kali berjalan-jalan bersama (tanpa dibayar), serta masalah dengan orang-orang yang mengira bahwa fotografer tugasnya hanyalah memfoto orang-orang yang mau pre-wedding.

Josh Andriano juga memiliki permasalahan yang kurang lebih sama. Dulu, saat dia tengah menjadi fotografer di sebuah acara pernikahan anak anggota DPRD, dia juga pernah mendengar ada seorang anak muda yang mengomentarinya dari belakang. Kira-kira yang Josh dengar itu begini: "Pantas fotonya bagus, kameranya itu pasti mahal banget. Kalau aku punya kamera mahal juga pasti bisa kayak dia."

Ngg…nggak salah dengar, nih?

Benar-benar menyebalkan. Josh belajar menggunakan kamera itu selama bertahun-tahun, lho. Bukan satu hari dua hari.

Josh sudah mulai merintis karirnya pelan-pelan secara part-time saat kuliah dan baru benar-benar mendedikasikan dirinya sebagai fotografer sepenuhnya setelah lulus kuliah. Layaknya pekerjaan yang lain, karir Josh juga awalnya naik turun. Penuh dengan trial dan error. Terkadang bermasalah dengan klien, terkadang juga bermasalah dengan dirinya sendiri yang kekurangan motivasi ataupun kekurangan inspirasi. Namun, Josh begitu menyukai dunia fotografi. Fotografi telah menjadi bagian dari hidupnya. Bagian dari dirinya. Baginya, sebuah foto bisa mengandung ribuan makna. Ribuan kesan. Sebuah foto yang bagus akan terasa seolah hidup. Kau dapat merasakan itu seolah kau mengetahui segala cerita yang ada di dalamnya dan menonton kejadian di dalam foto itu secara langsung. Inilah yang Josh anggap sebagai seni yang tiada tandingannya.

Namun, meski Josh selalu terpukau dengan fotografi, sesungguhnya Josh belum merasakan makna mendalam dari fotografi ini di dalam kehidupannya sendiri. Dari balik lensa, Josh selalu melihat berbagai momen, berbagai kejadian, berbagai perasaan, dan berbagai memori. Akan tetapi, makna yang sebenarnya dari fotografi, yaitu 'melihat' perspektif baru dari kehidupannya, belum pernah benar-benar ia rasakan sendiri. Dia masih memiliki perspektif lama yang baginya adalah sebuah keabsahan. Sebuah jalan terbaik. Jadi, meski Josh adalah seorang perasa, dia masih belum memahami makna yang satu itu, meski sepertinya makna itu adalah jalan menuju pemahaman yang penuh pada fotografi yang tengah ia tekuni. Seperti kata fotografer profesional Deniek G. Sukarya, fotografi mengajarkan pada kita cara yang unik dalam melihat dunia dan sekaligus memberikan penyadaran baru akan segala keindahan yang ada di sekitar kita.

 Namun, nanti dulu, deh, memikirkan soal itu. Josh sore ini sedang istirahat dan memutuskan untuk mengiyakan ajakan Alvin, sohibnya, yang kepengin makan mie ayam di warung langganan mereka. Warung itu lumayan besar, jenis warung lesehan yang desainnya simpel dan dominan berwarna coklat. Di warung itu, semua meja-meja kayunya tertata rapi dan kebersihannya terjaga.

"Makasih, Bu," ucap Josh dan Alvin nyaris bersamaan tatkala ibu-ibu pemilik warung itu tengah duduk bertumpukan lutut untuk menaruh pesanan mereka ke atas meja. Dua mangkuk mie ayam bakso dan dua gelas es teh. Ibu itu berusia sekitar 45 tahunan ke atas dan seperti biasa dia berpakaian kebaya lawas. Ibu-ibu yang mengantarkan pesanan mereka tersebut kemudian berdiri, lalu membungkuk sejenak dan berkata, "Monggo, Mas."

Sepeninggal ibu-ibu tersebut, Alvin dan Josh langsung menambahkan cabai, kecap, serta saus ke dalam mangkuk mie ayam mereka sesuai dengan selera mereka masing-masing. Tatkala Josh tengah mengaduk mie ayamnya, Alvin yang masih memasukkan saus ke dalam mangkuk mie ayamnya tersebut tiba-tiba berkata, "Eh, lo masih, ya, sama Si Windy?"

Josh melirik Alvin sejenak, lalu dia tersenyum manis—terlihat seakan sedang memamerkan kebahagiaannyadan mengangguk. Kemudian, seraya mencicipi mie ayamnya, dia berkata, "Iya, masih."

Tanpa Josh sadari, Alvin menghela napas samar. Alvin Bastian sudah mengenal Josh dan Windy sejak lama, tetapi dari segala hal yang ia sukai dari Josh, ada satu hal yang tidak ia sukai.

Yaitu kenyataan bahwa Josh terlalu mencintai Windy Alisha, teman sekelas mereka saat SMA dulu. Josh Andriano sudah lama jatuh cinta sebelah pihak pada Windy Alisha dan cinta yang Josh miliki bertahun-tahun itu kian menguat seiring dengan kedewasaan mereka.

Alvin tidak menyukai Windy sama sekali. Akan tetapi, melihat Josh yang terlalu mencintai wanita itu, Alvin jadi sedikit kelimpungan. Dia tentu harus berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata larangan pada orang yang tengah dimabuk cinta. Josh dan Windy kini justru sudah jadian, sudah berpacaran, selama tiga bulan lamanya.

Namun, Alvin tetap berusaha, mengingat dia juga sebenarnya bukanlah orang yang benar-benar bisa menahan unek-uneknya di dalam hati. "Josh. Lo yakin dia nggak manfaatin lo doang?"

Josh, yang baru saja menyuap sesendok mie ayam ke dalam mulutnya itu pun menatap ke arah Alvin dengan dahi yang berkerut karena heran. "Vin, lo udah nanyain itu ke gue lebih dari sepuluh kali, tau nggak?"

Alvin yang baru saja selesai mengaduk mie ayamnya tersebut tampak hanya mengedikkan bahu, lalu ia memasukkan sebuah bakso ke dalam mulutnya. Ia tampak masih mengunyah tatkala mulai berbicara lagi, "Ya abisnya diliat-liat dia cuman baik sama lo pas ada maunya doang. Dari dulu kan dia nggak pernah nunjukin kalo dia suka sama lo. Jadi, agak aneh aja lihat dia tiba-tiba nerima lo."

Alvin, Josh, dan Windy berasal dari SMA yang sama dan kelas yang sama. Mereka bersekolah di salah satu SMA swasta yang ada di Jakarta. Ketika kuliah, Alvin dan Josh bernasib baik dan menempuh perkuliahan di universitas yang sama, ITB. Dulu, Alvin dengar dari Josh—berhubung Josh selalu memperhatikan Windy—bahwa Windy lanjut kuliah di Yogyakarta dan mengambil jurusan perhotelan. Lama mereka tidak bertemu satu sama lain—wajar saja, Alvin dan Josh tidak dekat dengan Windy, mereka hanya satu kelas—sehingga Alvin kira, Josh akan melupakan Windy.

Namun, ternyata tidak semudah itu. Kalau Alvin boleh berkomentar pedas, sesungguhnya Alvin juga tak mengerti apa yang Josh lihat dari Windy. Wanita itu tidak begitu cantik. Dia juga tidak menganggap Josh ada selama ini. Dia tidak memedulikan Josh sama sekali. Akan tetapi, Josh terus saja mencintainya.

Saat Alvin dan Josh lulus kuliah, mereka berdua memutuskan untuk merantau ke Surabaya. Meniti karir di Kota Surabaya; Alvin sebagai graphic designer (dia juga berprofesi sebagai fotografer, tetapi hanya part-time) dan Josh sebagai full-time fotografer. Saat ini, Josh sudah bisa terbilang sebagai fotografer profesional. Dia cukup dikenal orang-orang.

Sialnya, lima bulan yang lalu, mereka tak sengaja bertemu dengan Windy di sebuah restoran tatkala sedang meeting dengan klien perihal proyek advertisement. Mau tidak mau, mereka jadi harus saling menyapa satu sama lain. Josh berasa bertemu dengan cinta lamanya di sana, cinta lama yang belum ia lupakan. Alvin kontan berspekulasi bahwa mungkin saja Josh langsung berpikir bahwa Windy ini jodohnya karena mereka tetap dipertemukan, meski telah tak berkabar sekian tahun. Namun, Alvin tak tahu apakah Josh sudah pernah menghubungi sosmed Windy selama beberapa tahun belakangan ini atau tidak. Alvin malas mencari tahu, soalnya Alvin tidak menyukai Windy. Sesuatu terasa mengganjal tatkala Alvin melihat perempuan itu.

Dari pertemuan itulah, Josh dan Windy jadi bertukar kontak. Setelah bertukar kontak, seperti yang Alvin duga, Josh langsung mengejar-ngejar Windy. Hingga akhirnya, setelah dua bulan 'dekat', Josh dan Windy akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih. Agak aneh, pasalnya Alvin tahu persis bahwa Windy itu dari dulu cuek-cuek saja, dia tidak berkomentar apa-apa soal perasaan Josh; dia berpura-pura tidak tahu bahwa Josh menyukainya. Alvin sering memberitahu soal ini pada Josh saat SMA dulu, tetapi jawaban Josh hanyalah:

"Jangan gitu, Vin. Lo kok berburuk sangka terus, sih? Dia itu memang nggak tau. Gue kan nggak pernah kasih tau dia."

Halah. Cinta memang bisa membuat orang jadi bodoh setengah mampus. Alvin juga punya pacar sampai sekarang, tetapi buktinya pacar Alvin—Meira—tidak serumit itu. Kalau sama-sama suka ya tinggal gas.

"Vin, kan udah gue bilang berkali-kali sama lo. Tenang aja. Dia sayang kok, sama gue. Coba untuk berhenti berburuk sangka sama dia, Vin, lo itu sahabat gue," pinta Josh seraya mendengkus sejenak, lalu ia kembali memakan mie ayamnya.

Alvin menghela napas. Akhirnya, hari ini pun dia memilih untuk menyerah. Entah kapan mata Josh akan terbuka, yang jelas, hari ini Alvin sudah mencoba meyakinkan Josh untuk yang kesekian kalinya.

Untuk sejenak, mereka sama-sama diam dan fokus untuk memakan mie ayam masing-masing. Bukan diam karena canggung, tetapi diam hanya karena mau fokus makan sebentar. Tidak lama kemudian, seperti teringat akan sesuatu, Alvin pun menegakkan kepalanya lagi untuk melihat ke arah Josh. Matanya agak melebar; kedua tangannya masih memegang sendok dan garpu yang ia gunakan untuk makan. "Oh iya, Josh."

"Hm?" Josh menatap Alvin dan mengangkat kepalanya singkat untuk mengisyaratkan 'Apa?'

"Lo nyari orang yang bisa jadi model untuk foto-foto lo, 'kan? Semacam muse gitu, untuk pameran lo?" tanya Alvin.

Josh mengangguk. "Iya, sih, kalau seandainya gue bener-bener bisa bikin pameran gue sendiri."

Seolah dapat pencerahan yang bagus, Alvin langsung menjentikkan jarinya, lalu menunjuk Josh dengan jari telunjuknya. "Nah, bingo! Ya kalau foto-foto lo bagus, kenapa nggak? Pasti sukses. Makanya lo butuh seseorang yang bener-bener bisa jadi muse lo. Seseorang yang cocok untuk foto-foto lo."

"Hmm." Josh mengangguk. "Bener. Emang kenapa?"

Dalam hati, Alvin bersyukur bahwa Josh tidak kepikiran untuk menjadikan Windy sebagai objek dalam foto-fotonya. Apa jangan-jangan diam-diam Josh juga mengakui bahwa Windy tidak begitu kelihatan estetik? Yaa Windy itu tidak jelek, sih, tetapi tidak cantik juga. Dia manis, tetapi bukan yang semanis gula. Sedang-sedang saja. Namun, dia enak dilihat karena berpakaian rapi dan elegan. Rambutnya sepunggung, agak bergelombang di bagian bawahnya, dan berwarna hitam pekat. Dia juga orang yang percaya diri. Cocok dengan profesinya sekarang, yaitu resepsionis hotel.

"Gini. Inget waktu kita ngerjain proyek Humanity bareng Kak Aji?" tanya Alvin, memastikan.

Josh mengangguk. "Iya, inget. Kenapa?"

Alvin pun tersenyum. Dia kelihatan bersemangat. "Nah. Itu Kak Aji punya kenalan. Model. Namanya Keisha; Keisha Nathalie. Lo pernah denger?"

Josh menyatukan alis, matanya melihat ke arah lain; dia kelihatan berpikir. "Hmm…nggak, pernah, sih." Josh lalu melihat ke arah Alvin lagi. "Orangnya gimana?"

"Hah, seriusan lo? Dia terkenal, lho, Josh," ucap Alvin, memutar bola matanya jengah. "Lo jarang foto cewek, sih, makanya nggak tau. Apalagi lo sibuk mikirin Windy terus."

Sialnya, Josh malah tersenyum malu bak sedang kasmaran. Astaga, padahal Alvin sedang benar-benar mengolok-oloknya. Ucapan Alvin barusan itu adalah sindiran asli.

Namun, setelah menghela napasnya sekali lagi, Alvin pun memutuskan untuk melanjutkan, "Kak Aji pernah ngerjain proyek bareng dia, makanya kenal. Jadi, pas gue bilang kalo lo lagi nyari model, dia langsung rekomendasiin Keisha ke gue. Gue udah kenalan sama Keisha dan setelah gue perhatiin, dia memang cocok banget buat jadi model lo. Breath of fresh air banget. Lo nggak bakal nyesel."

Mendengar itu, Josh jadi mengangguk-angguk. Dia pun menatap Alvin dengan tatapan bersemangat. Dalam hatinya dia betul-betul berterima kasih pada Alvin yang mau membantunya dalam segala hal, walau tanpa diminta. "Wah, mantap, dong, kalau gitu! Thank you banget, Vin. Eh, tapi Kak Aji boleh juga, ya, punya kenalan model terkenal gitu."

"Dia udah lebih senior dari kita, Bro. Wajar," ujar Alvin, lalu Josh tertawa.

"Iya, sih. Okelah kalau gitu," ujar Josh. "Jadi, gimana? Lo udah dapat nomornya?"

"Nomor Keisha?" tanya Alvin, sedikit mengangkat alisnya untuk mengonfirmasi. Kemudian, Alvin mengangguk. "Aman. Udah gue minta. Kami udah ngobrol-ngobrol dan dia udah tau soal proyek lo. Dia bilang, tentukan aja kapan ketemuannya. Dia mau ketemu lo dulu untuk memutuskan dia mau atau nggaknya."

"Gila, Man, makasih banget, ya," ujar Josh, lalu ia bertos ria dengan Alvin. Mereka sama-sama tertawa, lalu Josh melanjutkan, "Banyak banget utang budi gue sama lo."

Mendengar itu, Alvin langsung tertawa terbahak-bahak. "Aman. Ganti emas batangan aja nanti."

"Kampret," umpat Josh, lalu mereka berdua sama-sama tertawa.

"Ya udah, deal nih, 'kan, jadinya?" tanya Alvin. "Biar gue ajak Kei ketemuan."

"Oh, panggilannya Kei, ya?" tanya Josh, pria itu sedikit memiringkan kepalanya.

 

Namanya cantik.

 

Alvin mengangguk mengiyakan. "Yoi."

Josh pun tersenyum pada Alvin. Matanya yang jernih itu tampak berkilat, merasa bahwa rencana untuk mengadakan pameran tunggalnya memiliki kemungkinan untuk bisa sukses. "Oke. Deal. Ajak dia ketemuan, ya. Gue mau ketemuan sama dia."

Alvin pun tersenyum, dia juga bersemangat. Pria itu lalu mengacungkan jempolnya pada Josh. "Oke, Bro. Sip!"

Baru saja Alvin selesai mengucapkan itu, tiba-tiba ponsel Josh berbunyi, pertanda ada chat dari aplikasi WhatsApp yang baru saja masuk. Josh langsung merogoh saku celana jeans denimnya dan meraih ponselnya yang ada di dalam sana. Begitu memeriksa siapa pengirim chat tersebut, Josh pun langsung tersenyum.

Alvin yang memperhatikan gerak-gerik Josh sedari tadi, kontan langsung mendengkus. Itu pasti adalah chat dari Windy. Alvin langsung mengedikkan bahu dan kembali memakan mie ayamnya.

Terlihat Josh yang terus tersenyum-senyum tatkala membalas chat. Dia membalas chat seraya memakan mie ayam yang belum habis di mangkuknya. Alvin hanya men-scroll Shorts di YouTube tatkala Josh sibuk senyum-senyum sendiri seraya mengetik balasan chat dari Windy.

 Namun, tiba-tiba saja Josh bersuara. Membuat Alvin langsung mengalihkan pandangan dari ponselnya dan menatap ke arah Josh dengan mata yang melebar.

"Eh, Vin, gue duluan, ya," ujar Josh. "Windy minta dijemput."

Alvin semakin melebarkan matanya. "Lah, sekarang? Serius lo? Makanan belum habis, nih."

"Ga apa apa, lo di sini aja, habisin makanan lo. Gue duluan, ya?" ujar Josh, terdengar buru-buru. Josh langsung membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja dan mulai mengenakan tasnya. Kontan Alvin menganga. Mata pria itu melebar.

"Kampret, gue ditinggalin, nih?!" tanya Alvin kesal dan Josh malah tertawa.

"Sorry, sorry. Soalnya dia udah pulang. Ntar dia ngambek," ujar Josh, kalimatnya terdengar seperti sebuah protes, tetapi dia mengucapkannya dengan penuh kasih sayang. Tatapan matanya juga terlihat melembut tatkala mengucapkan itu.

Dia benar-benar sedang dimabuk cinta.

Alvin hanya bisa menghela napas. Dia pun mengizinkan Josh untuk pergi terlebih dahulu, meninggalkannya di warung mie ayam itu sendirian, dan menjemput Windy. Alhasil, Alvin hanya duduk sendirian di warung itu, memakan mie ayamnya sampai habis seraya menonton YouTube.

 

******

 

Josh memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu putar hotel besar tempat Windy bekerja. Mobil Josh tadi masuk ke area depan hotel tersebut dan memutari sebuah air mancur berbentuk lingkaran. Hotel itu adalah salah satu hotel bintang empat yang ada di Kota Surabaya.

Tak lama kemudian, Josh melihat sosok Windy yang tengah berlari menghampiri mobilnya. Belum sempat Josh keluar dari mobilnya untuk menyambut Windy, Windy sudah sampai di samping mobilnya dan mengetuk kaca mobil Josh seraya menampilkan senyuman manis.

Josh pun membukakan pintu mobil tersebut dari dalam dan Windy pun mulai membuka pintu mobil tersebut. Josh tersenyum, wajahnya terlihat senang tatkala melihat wajah kekasihnya sore ini. Windy masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu mobil itu kembali.

Tatkala sudah masuk ke dalam mobil, Windy pun langsung memeluk Josh singkat dan hal itu sontak berhasil membuat Josh membulatkan mata. Jantung pria itu berdegup kencang. Siapa sangka rasa cintanya yang telah bertahun-tahun terpendam, akan menjadi kenyataan seperti ini?

Dia bahagia bukan kepalang.

Tatkala Windy melepaskan pelukannya, wanita itu pun langsung tersenyum pada Josh dan berkata, "Hai, Sayang."

Ah. Rasanya Josh seperti berada di langit ketujuh. Tubuhnya ringan seperti sedang berada di awang-awang. Melihat Windy yang menatapnya dengan senyuman manis, memeluknya, lalu mengucapkan panggilan 'Sayang' untuknya. Josh benar-benar bahagia.

"Hai, Sayang," jawab Josh. "Lama nggak kamu nunggunya tadi?"

Windy menggeleng. "Nggak, kok."

Kemudian, Windy kembali ke posisinya; dia kembali duduk di kursi samping kemudi. Setelah memasang seat belt, Windy lalu tersenyum lagi kepada Josh. "Ayo, jalan, Sayang."

Josh pun membalas senyuman Windy, mengangguk, kemudian berkata, "Oke, Sayang."

Tak membutuhkan waktu yang lama, Josh pun mulai melajukan mobilnya untuk keluar dari area hotel dan akhirnya mobil itu mulai masuk ke jalan besar.

"Gimana kerjaan tadi, Sayang?" tanya Josh, pria itu melirik sejenak ke arah Windy yang terlihat sedang memainkan ponselnya. Sesekali, Windy terlihat tersenyum tatkala memainkan ponselnya; Windy tampak tengah mengetikkan sesuatu di sana.

Ketika mendengar pertanyaan dari Josh, Windy yang tengah asik memainkan ponselnya tersebut lalu menatap ke arah Josh dan menampilkan sebuah senyum yang manis. Familierkah kau dengan senyuman yang teramat manis hingga tidak terlihat seperti benar-benar ingin tersenyum, melainkan hanya memberikan senyuman karena rasa hormat? Karena hanya ingin menghargai, atau semacam itu. Windy terlihat seperti…memberikan senyuman yang sama, tetapi Josh tidak terlalu memperhatikan hal itu. Atau lebih tepatnya, Josh memiliki setitik firasat soal itu, tetapi memilih untuk tak mengacuhkannya. Soalnya, mungkin itu hanya perasaan Josh saja.

Kedua mata wanita itu pun tertutup seolah ikut tersenyum. Josh tidak mengatakan sesuatu yang sangat luar biasa untuk membuat Windy bisa tersenyum semanis itu.

"Tidak ada apa-apa, kok, Sayang," jawab Windy, masih tersenyum manis. Wanita itu sedikit memiringkan kepalanya. "Aku terus-terusan mikirin kamu waktu aku lagi kerja."

Josh yang mendengar pengakuan itu kontan terkekeh. Ada sedikit semburat merah pertanda kebahagiaan yang muncul di pipi pria itu. "Ada-ada aja kamu ini, Sayang."

Windy yang mendengar Josh terkekeh itu pun kontan tertawa pelan. Tertawa sekadarnya untuk merespons Josh. Kemudian, ketika Josh menatap ke arahnya, ia pun lagi-lagi memberikan Josh sebuah senyuman yang manis, sebelum akhirnya ia melihat kembali ke arah ponselnya.

Josh tengah fokus membelokkan kemudinya ke arah kanan tatkala ada sebuah chat yang masuk ke ponsel Windy. Windy kontan tersenyum tatkala menerima chat tersebut, matanya berbinar karena merasa senang. Dia terlihat bersemangat tatkala membuka chat itu; sebetulnya ia sudah chatting-an dengan pengirim chat tersebut sejak tadi.

Windy langsung membuka chat WhatsApp terbaru itu dengan jemari lentiknya.

 

Frans Mahendra❤️

Sudah sampai rumah, Sayang?

 

 Windy tersenyum, sama seperti semua orang yang senyum-senyum sendiri ketika sedang kasmaran melalui chat.

 Windy pun membalas chat dari manager umum hotelnya tersebut.

 

Me

Belum, Sayang. Lagi diantar dia, nih.

 

Frans Mahendra❤️

Kalau sudah sampai kabarin, ya, Sayang. Kangen. Ntar video call, ok?

 

Me

Iya, Sayang. Aku juga kangen kamu 😚

 

 "Oh ya, Sayang, malam ini mau jalan, nggak?" tanya Josh, suaranya tiba-tiba terdengar lagi.

 Mendengar pertanyaan itu, Windy pun kontan menatap ke arah Josh dan tersenyum canggung. Dengan ekspresi wajah yang terlihat tidak enak pada Josh, Windy pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan menggigit bibirnya sejenak karena merasa bingung.

 "Aduh, gimana, ya, Sayang…" ujar Windy. Bibirnya manyun. "Aku…kayaknya hari ini agak capek… Besok-besok aja, ya? Gapapa kan, Sayang?"

 Josh melebarkan matanya; dia langsung menatap ke arah Windy dan menjawab, "Oh, gitu, ya, Sayang? Oke, Sayang. Nggak apa-apa. Istirahat aja dulu, ya. Jangan sampai kecapekan… Ntar malam langsung istirahat, oke?"

 Setelah mendengar jawaban dari Josh tersebut, ekspresi Windy pun langsung berubah lagi.

 Dia tersenyum sangat manis.

 "Oke, Sayang." []