Chapter 1 :
On a Snowy December Night
******
ADA beberapa mitos yang beredar di masyarakat tentang turunnya salju pertama. Di Korea Selatan, kau akan mendengar beberapa mitos; mitos yang pertama adalah jika kau membuat permohonan saat salju pertama turun, maka permohonanmu akan menjadi kenyataan. Mitos yang kedua adalah jika kau menyaksikan salju pertama bersama dengan orang yang kau sukai atau bersama pasanganmu, maka cinta sejati akan bersemi di antara kalian berdua dan hubungan kalian akan bertahan lama. Nah, mitos yang ketiga ini cukup mampu untuk membuatmu menjadi penerka andal. Soalnya isi mitosnya adalah untuk menemukan cinta pertama, seseorang harus mengecat kukunya dengan warna merah bunga balsam. Namun, bukan hanya mengecat saja, melainkan harus bisa mempertahankan warna merah tersebut sampai salju pertama turun. Kalau warnanya tidak memudar, itu adalah pertanda bahwa kau akan bertemu dengan cinta pertamamu. Menarik, bukan?
Akan tetapi, mitos yang beredar di Jepang tidak seindah itu. Di sana, mitosnya tidak berkaitan dengan cinta. Salju pertama adalah pertanda jika musim dingin telah tiba dan kalau di Jepang, ini menandakan kehadiran Yuki Onna. Yuki Onna atau hantu salju sendiri digambarkan sebagai seorang wanita cantik yang berambut hitam kelam, berkulit seputih salju, memiliki tatapan mata yang kelam, dan berkimono putih. Yuki Onna diceritakan akan selalu muncul disaat terjadinya badai salju. Ketika berjalan, ia tidak akan meninggalkan jejak kaki sama sekali. Jika kau tumbuh besar dengan memercayai mitos yang satu ini, kau jelas takkan mau menanti salju pertama sama sekali. Kau bahkan takkan mau keluar saat musim dingin tiba.
Terkait dengan mitos-mitos tersebut, Kanna Inori memilih berada di posisi netral. Dia tidak begitu percaya dan tidak juga menyangkalnya seratus persen. Dia memilih berada di tengah-tengah sebab bisa jadi salah satunya merupakan kebenaran. Jika salah satunya terbukti benar, maka Kanna bisa mengambil keuntungan dari sana. Namun, untuk mitos yang dari Jepang, mungkin tidak dulu, deh. Jangan sampai mitos Yuki Onna jadi kenyataan.
Jadi, saat ini Kanna sedang berjalan pulang dari kantor. Ini sudah jam delapan malam dan seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal. Di penghujung tahun seperti ini, orang-orang biasanya sudah mempersiapkan akan pergi liburan ke mana, bersama siapa, dan lainnya, tetapi di sinilah Kanna, masih berkutat dengan pekerjaan dan malah lembur hingga jam delapan malam untuk mempersiapkan presentasi milik atasannya. Dia sampai makan di kantor dengan memesan makanan delivery. Namun, Kanna tidak bisa protes sebab dia hanyalah seorang admin biasa di kantornya. Untungnya, gaji dari perusahaan tersebut masih sesuai untuk biaya hidup Kanna sehingga untuk saat ini, Kanna masih bisa bekerja dengan baik.
Saat keluar dari pintu putar perusahaannya, Kanna menemukan bahwa di luar sedang turun salju. Sebenarnya ini bukan salju pertama, tetapi karena Naomi dan Lee sibuk membicarakan soal mitos-mitos salju pertama saat jam makan siang tadi, Kanna jadi kepikiran soal salju pertama tatkala melihat cuaca di luar. Sebetulnya di negara tempat Kanna tinggal, bulan Desember identik dengan musim dingin atau salju, jadi ini sudah masuk dalam ekspektasi semua orang. Kanna pun membuka payungnya, lalu pulang dengan berjalan kaki. Untungnya apartemen Kanna berada tidak jauh dari sini. Cuaca dingin tersebut membuat napas Kanna terlihat seolah berasap.
Kanna lelah bukan main. Lehernya terasa pegal, tetapi bukannya memijat lehernya sendiri, Kanna justru mengusapkan kedua tangannya, berusaha untuk mengurangi rasa dingin yang dengan cepat menerjang seluruh tubuhnya. Dia malah tidak mengenakan mantel sama sekali karena merasa bahwa rumahnya tidak jauh. Cukup bodoh, memang, mengingat dia hanya memakai rok hitam selutut, kemeja putih, jas hitam, stocking, dan sepatu kerjanya yang juga berwarna hitam. Tentu saja rasa dinginnya akan merambat ke seluruh tubuh, lalu menembus hingga ke tulang.
Di dalam perjalanan pergi atau pulangnya dari kantor, Kanna biasanya akan melewati sebuah taman. Taman itu berupa tanah yang lumayan lapang, segala sisinya dipagari kecuali sedikit gap di bagian depan yang digunakan sebagai 'pintu' masuknya. Di dalam taman itu ada dua buah kursi panjang yang memiliki sandaran, sebuah ayunan, dua buah jungkat-jungkit, perosotan, dan satu kotak pasir. Kalau Kanna pulang di jam normal, yaitu jam lima sore, biasanya masih ada anak-anak kompleks yang bermain di sana. Terkadang ditemani oleh ibunya, terkadang juga hanya bermain bersama teman-teman mereka. Jujur, Kanna terkadang juga duduk-duduk di kursi taman itu atau duduk di ayunannya jika sedang bersedih atau hanya sedang ingin rileks sejenak, tetapi biasanya ia akan memilih momen di mana taman itu sedang sepi.
Malam ini pun ia melewati rute seperti biasa. Dia melewati jalanan kecil kompleks dan tatkala belok ke kanan dari pertigaan, ia akan langsung menemukan taman itu di sebelah kanannya. Taman itu tidak dibiarkan gelap; saat malam hari, lampu-lampu bertiang di taman tersebut akan menyala.
Kanna kira, taman itu akan benar-benar kosong karena ini sudah jam delapan malam. Namun, tatkala ia menoleh ke kanan dan menatap ke arah taman itu, yang ia lihat justru di luar ekspektasinya.
Ada seseorang di taman itu.
Kanna sedikit melebarkan mata. Dia sejujurnya agak kaget dengan eksistensi orang itu. Malam ini cuacanya dingin. Bersalju. Apa yang orang itu lakukan di sana?
Orang itu agaknya laki-laki. Dia duduk di salah satu kursi taman yang panjang; dia duduk di bagian tengahnya. Pemuda itu memakai pakaian yang sekilas terlihat seperti piama. Seperti sepasang piama berwarna putih yang beberapa bagiannya terlihat kotor dan lusuh. Rambut pria itu pun berwarna…putih? Sebentar, dia terlihat masih muda. Apa rambutnya di-bleaching?
Pemuda itu tampak hanya duduk diam dengan kepala yang tertunduk. Ia terlihat tidak peduli dengan rasa dingin, tidak peduli dengan dunia sekitar, bahkan tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Ia terlihat menyedihkan.
Mungkin itulah sebabnya Kanna jadi sedikit iba. Sebenarnya Kanna tahu bahwa setiap orang memiliki hari buruknya masing-masing, tetapi entah mengapa, kali ini Kanna benar-benar iba. Orang itu sepertinya memerlukan bantuan.
Kanna pun berhenti sejenak. Dia hanya berdiri dan memperhatikan pemuda itu dari jauh, melihatnya lamat-lamat selama kurang lebih tiga detik, sebelum akhirnya dia memantapkan keputusannya untuk menghampiri pemuda itu.
Kanna akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam area taman tersebut. Dia terus menatap ke arah pemuda itu dan ia sadar bahwa pemuda itu bahkan tidak menyadari kehadirannya. Mungkin sampai-sampai tidak mendengar langkah kakinya karena memikirkan hal lain…atau semacam itu. Tatkala Kanna sudah benar-benar berdiri tepat di depan pemuda itu, Kanna bisa melihat dengan jelas kulit pemuda itu yang tampak putih pucat. Jemarinya terlihat mulai membiru karena kedinginan. Tubuhnya ternyata lebih kurus daripada yang Kanna lihat dari jauh. Ia terlihat tidak berdaya. Lemas dan kehilangan harapan.
Perlahan, Kanna mencoba untuk mengeluarkan suaranya.
"Anu… Apakah kau baik-baik saja?"
Kanna menunggu reaksi dari pemuda itu seraya meneguk ludah. Ia lalu menatap pemuda itu dengan prihatin; alisnya menyatu.
Sekitar dua detik kemudian, Kanna pun melihat ada reaksi dari pemuda itu. Ada pergerakan. Pemuda itu perlahan menaikkan kepalanya. Pelan-pelan, kepala pemuda itu pun berada dalam posisi tegak; Kanna kini dapat melihat sepasang mata pemuda itu yang sudah menatap balik ke arahnya.
Pemuda itu memiliki sepasang mata indah yang berwarna mint. Warnanya terang seperti lampu neon, tetapi seolah kehilangan binarnya. Warnanya terang, tetapi entah mengapa tidak memperlihatkan binar sama sekali. Dull. Tidak ada cahaya di sana. Wajah pemuda itu terlihat tampan, tetapi pucat. Tidak memiliki warna. Dia seperti orang mati yang masih bernapas.
Melihat keadaan pemuda itu, Kanna pun mulai berinisiatif untuk berjalan pelan-pelan ke arah pemuda tersebut, semakin mendekatinya. Tatkala sudah sangat dekat, Kanna pun merundukkan tubuhnya dan memayungi pemuda itu. Membagi payung itu untuk kepala mereka berdua. Kanna menatap wajah pemuda itu yang kini sudah berada semakin dekat dengan wajahnya; pemuda itu ikut mendongakkan kepala tatkala melihat Kanna mendekat.
Lagi-lagi, dengan hati-hati, Kanna pun kembali berucap, "Di…rumahku…ada makanan dan minuman hangat. Apakah kau mau mampir sebentar?"
Di luar dugaan, pemuda itu melebarkan mata. Seolah tak percaya dengan apa yang Kanna katakan.
Selang beberapa detik, pemuda itu akhirnya bersuara.
"Apakah…boleh?"
Suara pemuda itu terdengar pelan dan serak. Namun, Kanna tidak terlalu fokus ke sana. Kanna hanya merasa…senang, merasa lega, tatkala pemuda itu bersuara untuknya. Meresponsnya dengan kata-kata.
Mengingat mereka sama-sama orang asing bagi satu sama lain, Kanna sempat memikirkan kemungkinan terburuk, yaitu ditolak mentah-mentah dan ditatap dengan sinis karena sok ingin mengasihani. Namun, rupanya ia mendapat respons positif seperti apa yang ia harapkan.
Kanna pun lantas tersenyum dengan ramah. "Iya, boleh. Tidak apa-apa. Ayo."
Dengan kalimat itu, Kanna pun membawa pemuda itu ke apartemennya. Ini membuat Kanna jadi tidak mematuhi perintah ibunya untuk tidak sembarangan membawa masuk orang asing ke dalam apartemennya, terutama seorang laki-laki.
******
Setelah sampai di dalam apartemennya yang berada di lantai tiga, Kanna pun menyuruh pemuda itu untuk duduk di sofa ruang tamu terlebih dahulu. Di sepanjang perjalanan menuju ke apartemen tadi, Kanna sudah mengetahui nama pemuda itu.
Dia bernama Riley Winter.
Kanna meletakkan payungnya di tempat penyimpanan payung—setelah membersihkan permukaannya dari salju—lalu ia masuk ke dalam kamar dan melemparkan tasnya dengan sembarang ke kasur. Ia lantas membuka lemari pakaiannya dan mulai mencari-cari pakaian yang kira-kira bisa Riley pakai. Kanna sebenarnya suka memakai piama dan t-shirt saat berada di dalam rumah, tetapi dia ragu apakah dia memiliki t-shirt polos yang ukurannya cukup besar untuk Riley. Soalnya, meski Riley terbilang kurus, dia masih lebih besar dan tinggi daripada Kanna.
Setelah menemukan pakaian yang pas—yaitu kaus putih polos dan celana training berwarna abu-abu—Kanna pun langsung bernapas lega dan tersenyum. Ia pun langsung keluar dari kamar dan menyuruh Riley untuk berganti pakaian.
Beberapa saat kemudian, Riley pun keluar dari kamar mandi dan sudah mengenakan pakaian yang Kanna berikan padanya. Riley tampak lebih enak dipandang, lebih rapi, lebih memiliki aura kehidupan tatkala mengenakan pakaian itu, meskipun wajahnya masih pucat dan terlihat lemas. Kanna pun menyuruh Riley untuk duduk kembali di sofa.
"Tunggu sebentar, ya," Kanna mengatakan itu seraya tersenyum pada Riley. "aku akan memanaskan supnya terlebih dahulu."
Riley pun hanya menatap Kanna dengan mata mint-nya yang terlihat tak berbinar itu, lalu mengangguk perlahan.
Kanna pun berbalik dan mulai masuk ke dapur. Ia tadi hanya sempat membuka jasnya tatkala Riley tengah berganti pakaian di kamar mandi; dia belum benar-benar berganti pakaian. Soalnya jika dia ingin mengganti pakaian, setidaknya dia harus sekalian mandi.
Di dapur, Kanna mulai memanaskan sup yang ia masak tadi pagi. Ia tadinya meletakkan sup itu di dalam kulkas, memang sengaja membuat sup karena sup akan terasa begitu nikmat untuk disantap saat cuaca dingin. Setelah memanaskan sup, Kanna pun mulai memeriksa kabinet yang tergantung di dinding. Dia memeriksa apakah ada minuman hangat yang bisa ia sajikan untuk Riley.
Sayangnya, Kanna tidak pernah menyetok kopi. Dia hanya selalu membeli teh dan...bubuk untuk minuman coklat hangat. Ia berencana untuk menghidangkan teh, tetapi rupanya teh yang ia miliki sudah habis. Menghela napas, Kanna pun mulai mengambil bubuk minuman coklat dan membuatkan minuman coklat hangat untuk Riley.
Tatkala membawa keluar seluruh hidangan itu dengan menggunakan nampan, Kanna pun melihat Riley yang masih terduduk di atas sofa. Riley melihat ke arah Kanna tatkala menyadari kehadiran gadis itu, kemudian Kanna memberikannya sebuah senyuman.
Tatkala Kanna meletakkan sup hangat dan minuman coklat hangat itu satu per satu ke atas meja, Riley melihat makanan itu lamat-lamat. Ia sadar bahwa ini semua adalah buatan Kanna.
"Umm…untuk minumannya…aku membuat coklat hangat. Apakah tidak apa-apa?" tanya Kanna yang berhasil membuat Riley menengadah, menatap ke arah gadis itu. Kanna tampak tersenyum agak canggung dan sedikit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Hmm." Riley berdeham pelan, mengiyakan pertanyaan Kanna. "Terima kasih, Kanna."
Mendengar namanya disebut oleh Riley, Kanna spontan membelalakkan mata. Sejak mereka bertemu, baru sekaranglah namanya dipanggil oleh Riley. Namanya yang keluar dari mulut Riley, diucapkan oleh lidah Riley, entah mengapa terdengar begitu…indah.
Kemudian, Kanna tersenyum senang. Ia pun jadi memiliki semangat, rasa lelahnya akibat lembur tadi sudah hilang entah ke mana. Kanna pun lalu memiringkan kepalanya dan bertanya lagi, "Mau nasi hangat? Aku ambilkan, ya."
Tanpa menunggu jawaban dari Riley, Kanna pun kembali berjalan ke dapur dan mengambilkan semangkuk nasi hangat untuk pemuda itu. Ia kembali ke sofa ruang tamu seraya membawa nasi hangat tersebut, lalu meletakkan satu mangkuk nasi itu di atas meja. "Ini. Makan, ya."
Riley mengangguk pelan. Ia pun mulai meraih sendok yang Kanna sediakan, lalu mengambil sesendok sup. Tatkala satu sendok sup itu masuk ke dalam mulutnya lalu melewati kerongkongannya, mendadak Riley melebarkan mata.
Itu…enak.
Supnya terasa enak.
Enak. Hangat…
Tatapan Riley berubah menjadi sendu. Ia mengedipkan matanya sebanyak dua kali dalam tempo lambat, tampak seperti memikirkan sesuatu yang begitu…menyedihkan. Seolah dipenuhi dengan perasaan haru.
"Um… Riley?" panggil Kanna, sukses membuat Riley kembali menoleh ke arahnya. Memecah apa pun yang tadi ada di dalam pikiran pemuda itu.
Kanna pun tersenyum. "Apa kau masih kedinginan?"
Mendengar itu, Riley mulai menggeleng. "Tidak lagi, Kanna."
"Apa kau…punya tujuan?" tanya Kanna.
Riley diam sejenak. Dia seolah tengah mencerna maksud dari pertanyaan Kanna.
"Tidak, Kanna," jawab Riley pada akhirnya.
Kanna memiringkan kepala. "Keluarga? Atau…kerabat?"
Riley hanya menatap Kanna.
Kemudian, Riley menggeleng samar.
"Tidak ada juga."
Setelah mendengar jawaban Riley itu, Kanna pun menghela napas penuh iba. Dia memandang Riley dengan tatapan sendu; ia benar-benar tidak tega melihat Riley. Akan tetapi, pada akhirnya Kanna menarik napasnya dalam-dalam. Mengeluarkannya perlahan. Menenangkan hatinya. Ia mencoba untuk tetap tersenyum dengan ramah pada Riley, agar Riley tetap merasa nyaman untuk mengobrol dengannya.
"Apa supnya enak?" tanya Kanna lagi, mengalihkan pembicaraan.
Mendengar pertanyaan itu, Riley mengangguk pelan. "Iya."
Riley pun mulai kembali memakan sup itu. Sup itu berisi sayuran dan ada potongan-potongan daging sapi di dalamnya. Riley memakan sup itu bersamaan dengan nasi hangat yang Kanna sediakan.
Kanna memperhatikan Riley yang sedang makan itu dengan perasaan senang. Melihat seseorang memakan masakannya dengan lahap, menikmatinya dengan anteng, membuat Kanna berasa seperti seorang ibu yang tengah memperhatikan anaknya makan dengan sangat baik.
Beberapa menit kemudian, Kanna pun mulai melontarkan pertanyaan yang sebetulnya sejak tadi ingin ia tanyakan.
"Riley, mengapa kau…duduk sendirian di taman itu?"
Secara mendadak, gerakan Riley terhenti.
Tangannya yang tengah memegang sendok—hendak menyendok sup—itu terhenti di udara. Pemuda itu mematung. Matanya tampak melebar tatkala mendengar pertanyaan itu.
Melihat reaksi dari pemuda itu, mata Kanna kontan terbelalak dan ia buru-buru mencairkan suasana. Dia memutuskan untuk men-cancel pertanyaan itu. Menunda seluruh rasa ingin tahunya dan menyisihkannya untuk nanti. Ia tidak ingin menanggung risiko berupa Riley yang merasa tidak nyaman dan langsung keluar dari apartemennya saat itu juga.
Melihat respons Riley, sepertinya itu merupakan hal yang sensitif bagi pemuda itu. Kanna harus berhati-hati. Lagi pula, secara logika, tidak mungkin pemuda seperti Riley berada di taman itu dalam keadaan yang memprihatinkan, di bawah salju, kalau tidak karena keadaan yang sulit.
Kanna tertawa canggung. Ia buru-buru mengangkat kedua tangannya ke depan dada, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan, mengisyaratkan 'tidak' melalui gestur itu. "A—aahh, tidak, tidak. Tidak apa-apa kalau kau tidak mau menjawabnya. Silakan makan lagi."
Pada akhirnya, Kanna pun hanya berdiam diri di sofa itu—di samping Riley—dan memperhatikan Riley yang tengah memakan sup beserta nasinya sampai habis. Riley juga meminum minuman coklat hangat yang Kanna sediakan. Setelah Riley benar-benar selesai, Kanna pun tersenyum dan mulai mengangkat mangkuk-mangkuk serta gelas yang kotor itu. Gadis itu lantas permisi pada Riley untuk pergi mencuci piring dan mandi; ia meminta Riley untuk menunggunya sebentar.
Riley mengangguk.
Kanna menghidupkan televisi untuk Riley dan menawarkan Riley untuk menunggunya seraya menonton televisi.
Akan tetapi, tatkala Kanna sudah selesai mandi—gadis itu memakai piama berwarna biru dan ada sebuah handuk yang melingkar di kepalanya—dan berjalan menuju ke ruang tamu, ia malah melihat pemandangan yang begitu…menenangkan.
Ia melihat Riley yang tertidur di sofanya. Pemuda itu berbaring menyamping—menghadap ke arah televisi—dan kedua kakinya naik ke atas sofa, sedikit terlipat. Wajahnya tampak begitu tampan, begitu innocent, dan begitu damai. Tentram. Napasnya berembus dengan teratur. Ia tertidur dengan begitu nyaman.
Kanna pun tersenyum. Gadis itu lantas masuk ke dalam kamarnya, membuka lemari pakaian, dan mengambil salah satu cadangan selimutnya dari dalam sana. Setelah mengambil selimut itu dan menutup lemari pakaiannya kembali, Kanna pun berjalan lagi menuju ke sofa ruang tamu, lalu menyelimuti tubuh Riley.
Ia menghela napas dan melihat Riley dengan tatapan lembut. Senyuman di bibirnya belum sirna. Baru kali ini dia memiliki impresi serta perasaan seperti ini kepada orang asing. Kanna seolah ingin…merawatnya…
Setelah beberapa detik lamanya memandangi Riley, Kanna pun akhirnya beranjak masuk ke dalam kamarnya dan pergi tidur.
******
Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah gorden yang tersingkap itu sukses menerpa kedua mata Kanna yang masih tertutup. Kanna merasa cahaya itu seolah menembus masuk melalui kelopak matanya yang tertutup. Gadis itu mendadak merasa silau dan secara spontan mengerutkan dahinya. Tubuhnya pun secara alami mulai menggeliat. Kedua tangannya terentang ke atas dan kakinya ia dorong ke bawah; ia refleks merenggangkan seluruh otot-otot tubuhnya.
Tatkala kedua kelopak matanya terbuka, Kanna sempat menyipitkan matanya karena merasa silau. Cahaya matahari langsung menabrak pupilnya. Namun, tatkala matanya sudah mulai beradaptasi dengan cahaya itu, Kanna justru mulai merasakan hal yang lain.
Seperti ada sesuatu yang kokoh di sebelah kakinya.
Kanna lantas melihat ke bawah—ke arah kakinya—dan betapa terkejutnya ia tatkala melihat bahwa ada Riley di sana, di samping kakinya, tertidur dalam posisi meringkuk menghadap ke kaki kirinya.
Sontak mata Kanna terbelalak. Gadis itu langsung terbangun sepenuhnya, dia sontak terduduk dan melihat Riley dengan mata yang terbuka lebar.
Sebentar, mengapa Riley ada di sini?
Kanna melihat ke arah pintu kamarnya. Pintu kamar itu tertutup. Akan tetapi, satu detik kemudian mulut Kanna menganga karena ia teringat sesuatu.
Ia memang tidak pernah mengunci pintu kamarnya.
Namun, mengapa Riley memilih untuk…tidur di sini?
Tiba-tiba, Kanna melihat ada sedikit pergerakan dari tubuh Riley. Tubuh Kanna sontak menegang, matanya semakin melebar. Ia benar-benar gugup.
Riley ada di sini!
Mereka…yang sama-sama orang asing, tidur bersama tadi malam!
Secara perlahan, Riley terlihat membuka kedua matanya. Kemudian, pemuda itu mulai mendongak. Menatap ke arah Kanna dengan iris mata berwarna mint miliknya.
Anehnya, pagi ini…mata itu tidak terlihat se-lifeless tadi malam. Pagi ini, ada sebuah…binar di mata itu. Belum terlalu kentara, tetapi sudah ada.
Riley pun bangkit. Perlahan namun pasti, pemuda itu pun duduk di hadapan Kanna.
"Selamat pagi, Kanna," sapa Riley pelan seraya mengusap matanya. Suara pemuda itu terdengar serak. Itu adalah suara pertamanya di pagi hari. "Maafkan aku, ya. Aku pindah tidur ke sini karena tadi malam aku bermimpi buruk. Maaf bila aku membuatmu terkejut."
Mendengar penjelasan dari Riley, Kanna yang tadinya agak shock itu kontan menggeleng. Dengan matanya yang masih melebar, buru-buru Kanna menjawab, "Ah, t—tidak apa-apa, kok. Aku hanya…sedikit terkejut."
Kemudian, tanpa disangka sangka…
Riley tersenyum.
Seulas senyuman terbit di wajah tampannya yang kini tidak lagi pucat. Sudah ada warna di pipi serta bibirnya. Senyuman itu tampak begitu lembut…begitu pula dengan tatapannya.
"Terima kasih karena sudah membiarkanku tidur di sini semalam," ujar Riley kemudian.
Kanna yang masih terpaku dengan mata melebar karena shock yang bertubi-tubi itu, kini mendadak kembali dibuat kaget. Jantungnya serasa ingin lepas dari tempatnya, mencelus ke perut, tatkala tiba-tiba,
…Riley merangkak mundur, merundukkan kepalanya, lalu mencium kaki Kanna.
Riley mencium kaki Kanna seraya memejamkan mata. Ciuman itu terasa selembut kapas. Riley melakukan itu dengan perasaan yang sepenuhnya tulus. Waktu seolah berjalan dengan begitu lambat, begitu penuh dengan penghayatan, tatkala Riley melakukan itu.
Kini, tubuh Kanna benar-benar kaku. Ia benar-benar terpaku, tak bisa bergerak. Matanya terus menatap ke arah Riley dengan tatapan yang penuh dengan keterkejutan, keheranan, dan ketidakpercayaan.
Tak lama kemudian, Riley kembali mengangkat wajahnya. Ia pun tersenyum lembut pada Kanna.
"Kau seperti malaikat, Kanna," ujar Riley tulus.
Untuk beberapa detik lamanya, mereka hanya saling bertatapan. Menatap dengan tatapan yang dalam, lamat-lamat, dan saling terikat. Seolah tidak mampu mengalihkan pandangan ke arah lain. Terpaku dan menarik satu sama lain seperti magnet. Saling tenggelam di dalam tatapan masing-masing, seolah menemukan sebuah dunia yang terasa begitu menyesatkan. Memabukkan.
Kanna mulai merasa bahwa ini gawat. Tubuhnya seakan mulai menyampaikan sinyal darurat. Sebab di dalam hatinya, di dalam benaknya, di dalam otaknya, mulai tebersit keinginan untuk mempertahankan situasi ini. Gadis itu mulai berpikir bahwa:
Akan lebih baik jika keadaan terus berjalan seperti ini…
Dia mulai berpikir bahwa dia tak ingin lepas…dari Riley. Tak ingin…melepaskan Riley.
Dia agaknya mulai…membawa perasaannya ikut serta, bukan hanya sekadar rasa iba.
Dia betah, sangat betah, melihat Riley ada di sini bersamanya.
Karena terpengaruh oleh pikiran itu, dibutakan oleh perasaannya sendiri, Kanna pun mulai terbawa suasana. Gadis itu tanpa sadar mulai berbicara.
"Riley," panggilnya. "Ke mana…kau akan pergi setelah ini?"
Kanna melihat Riley yang hanya semakin melebarkan senyumannya. Menatap Kanna dengan kelembutan yang masih tidak berkurang. Dengan pelan, pemuda itu sedikit memiringkan kepalanya dan mulai menjawab.
"Aku tidak tahu. Apakah Kanna khawatir padaku?"
Mendengar jawaban Riley, kontan Kanna melebarkan mata. Untuk beberapa saat, Kanna hanya diam. Ia pun mulai mengedipkan matanya ragu, dahinya sedikit berkerut, dan kedua jemarinya mulai mengepal. Ia meremas jemarinya sendiri akibat merasa gelisah.
Ia merasa gelisah karena mungkin saja, apa yang akan keluar dari mulutnya beberapa detik ke depan akan ditolak mentah-mentah oleh Riley. Namun, kalau…kalau saja Riley menyetujuinya, maka hal itu akan membuat dunianya betul-betul jungkir balik. Berubah 180 derajat. Begitu pula dunia Riley.
Akhirnya, meski timbul keringat dingin yang amat tipis di dahinya, Kanna pun mengepalkan tangan dan memberanikan diri untuk berbicara pada Riley. Ia mulai menatap Riley dengan tatapan yang penuh dengan keyakinan, seakan sudah memantapkan keputusannya. Dia harus berani. Berani satu kali atau menyesal selamanya. Ini kesempatan yang hanya ia miliki sekali seumur hidup.
"I—itu… Kalau kau mau…" ujar Kanna, suaranya sedikit terbata. Kanna menggigit bibirnya sejenak, kemudian ia melanjutkan dengan lebih berani. Lebih yakin lagi. "Kau boleh…tinggal di sini." []