Bab 4 :
Jalan-Jalan, yuk?
******
"KAMU tau ke mana chicken nugget yang Mama simpen di kulkas, Nad?" tanya Elin, mama Nadya, saat Nadya baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di dapur untuk mencuci tangan. Nadya terperanjat, ia sempat menyangka bahwa yang bertanya padanya barusan adalah hantu. Mata Nadya memelotot, sebelah tangannya mengusap dadanya karena lega bahwa yang memanggilnya ternyata adalah mamanya.
Nadya menggeleng. "Ya ampun, Ma! Kirain tadi siapa looh!"
Elin mengernyitkan dahi, menutup pintu kulkas, lalu menatap ke arah anak sulungnya itu sembari berkacak pinggang. Wanita itu menghela napas. "Kamu kira siapa? Hantu? Itu chicken nugget yang Mama simpen di freezer kok hilang, ya?"
Nadya menyatukan alis, mendekati mamanya sembari berkata, "Mana aku tau, Ma. Mungkin Papa, tuh, Papa kan suka nggoreng chicken nugget kalo tengah malem. Sambil nonton bola, katanya."
"Ck," decak Elin. "padahal adikmu ngerengek tuh minta digorengin."
"Lha, kan dia udah makan malem," ujar Nadya dengan wajah keheranan. Elin kemudian mengangkat bahu dan beranjak mengambil botol susu yang ada di lemari perabotan makan. Susu itu jelas akan diberikan kepada adik Nadya yang bungsu, Mario, yang baru saja berumur satu tahun. Adik bungsunya itu tidak mau meminum ASI, jadi Elin memilih untuk mengonsumsi susu bayi yang dibeli dalam kemasan kotak, tiga sampai empat kotak setiap bulannya.
Adik Nadya yang ingin chicken nugget itu pasti adalah Beni, si nomor dua yang baru kelas tiga SD. Wajahnya hampir mirip dengan Nadya, hanya beda jenis kelamin dan umur (tak salah lagi), tetapi bagi Nadya, Beni itu nakal bukan main. Pengacau kelas kakap. Hiperaktif, songong, nyebelin, pokoknya semuanya, deh. Namun, biar begitu... Nadya tetap sayang juga. That's what sibling is.
Nadya kemudian memilih untuk pamit kepada mamanya. "Ma, aku ke kamar, ya."
"Iya. Besok kamu ada ulangan nggak?" tanya mamanya. Nadya sudah meninggalkan dapur, posisinya sudah agak jauh, sehingga cewek itu menjawab mamanya sembari berteriak, "Gak ada, Ma!"
Sesampainya di kamar, Nadya mendapati ponselnya yang ada di atas bantalnya itu bergetar. Cewek itu melebarkan mata dan mendekati ranjangnya, kemudian meraih ponselnya dan mendapati bahwa ada sebuah pesan masuk.
Jantung Nadya serasa berhenti berdegup saat ia melihat nama Aldo tertera di layar ponselnya. Tangan cewek itu rasanya tak sabar, ia benar-benar ingin membuka pesan itu cepat-cepat, tetapi ia merasa sangat malu dan gugup.
Aldo mengiriminya pesan?
Mengingat kembali kejadian dua hari yang lalu, saat ia diantar Aldo pulang karena terkena bola, Aldo mengatakan sesuatu yang membuatnya merasa seolah terbang ke langit ketujuh. Terngiang di benaknya suara Aldo yang terdengar begitu merdu bersamaan dengan embusan angin saat itu:
'...sebenarnya alasan aku itu banyak, Nad, tetapi pada akhirnya aku cuma bisa bilang ke kamu kalau alasanku itu hanya satu...karena aku nggak bisa membedakannya. Soalnya...semua alasannya itu adalah kamu.'
Nadya merona. Darahnya yang terasa seakan menghangat itu mengalir di dalam dirinya, membawa seluruh kehangatan yang diberikan oleh Aldo ke dalam jiwanya. Satu hal yang ia tahu, Aldo itu ternyata begitu manis. Ia tak pernah merasakan perasaan apa-apa kepada Aldo, tetapi kali ini ia benar-benar yakin bahwa... Aldo berhasil mencuri hatinya. Aldo berhasil mengalihkan dunianya. Aldo berhasil membuat Nadya menatap ke arah cowok itu, hanya cowok itu.
Dunia Nadya terasa seolah dijungkirbalikkan, padahal di sisi lain, Nadya sendiri merasa bahwa cerita aneh tentangnya dan Aldo ini hanyalah mimpi. Mimpi: sebuah dunia yang bisa mengantarkanmu masuk ke dalam petualangan dan kejadian-kejadian yang tak masuk akal.
Duh, kok Aldo ngomong gitu, sih...
Ia tak tahu apakah ia yang tolol ataukah Aldo yang terlalu mendadak mengatakan hal itu tanpa keterangan yang pasti. Akan tetapi, pada akhirnya Nadya membuka pesan dari Aldo itu dengan jantung yang berdebar.
Nad, lagi apa?
Kita...jalan-jalan, yuk? Kalo kamu mau, aku jemput. Biar aku yang minta izin ke ortu kamu.
Nadya terenyak. Aldo...mengajaknya jalan-jalan? Tunggu, sekarang jam setengah tujuh malam. Apa dibolehkan dengan kedua orangtuanya?
******
"Malam, Om, Tante," sapa Aldo saat pintu rumah dibuka oleh mama Nadya. Papa Nadya kebetulan sedang duduk di sofa ruang tamu, lalu mama Nadya mempersilakan Aldo untuk masuk. Mama Nadya menyambut Aldo—tamu yang menurut mama Nadya agak asing itu—dengan senyuman manis, soalnya Nadya sudah bilang bahwa akan ada 'teman'nya yang datang.
"Eh...malam juga... Kamu temennya Nadya? Ayo masuk!" ajak mama Nadya dengan ramah. Aldo merunduk seraya berterima kasih. Aldo menyapa papa Nadya sejenak dan dibalas anggukan ramah oleh papa Nadya.
Sesungguhnya, Elin tahu kalau cowok tampan yang datang ini pastilah bukan hanya berteman dengan anak perempuannya. Cowok ini sepertinya sudah berhasil mengambil hati Elin dan juga suaminya sejak cowok itu menyapa mereka berdua.
"Tante siapin minum dulu, ya?" ujar Elin. Aldo, yang duduk berseberangan dengan papa Nadya, kini matanya agak melebar dan cowok itu langsung menatap mama Nadya sembari berkata dengan cepat, "Ah...nggak usah, Tante," tolaknya. "nggak usah repot-repot."
"Udah, nggak apa-apa. Sebentar, ya," ujar Elin dan wanita itu langsung beranjak pergi dari ruang tamu menuju ke dapur. Aldo agak menganga, kemudian cowok itu tersenyum dan menyadari bahwa ada seseorang yang baru saja sampai di ruang tamu.
Itu Nadya. Memakai baju tidur bergambar panda yang di atas kepalanya ada tulisan 'Chuu!' serta ada lambang love di dekat tulisan itu. Aldo menatap baju Nadya lamat-lamat kemudian cowok itu tersenyum. Ia menatap sebentar ke wajah Nadya yang kini juga sedang menatapnya dengan mata bulat milik cewek itu.
"Yaya? Ngapain kamu di situ? Sini, temen kamu dateng, nih," panggil papa Nadya. Nadya biasa dipanggil 'Yaya' hanya oleh papanya sehingga Nadya langsung paham bahwa panggilan itu untuknya dan itu artinya papanya menyuruhnya untuk mendekat. Nadya agak terperanjat saat papanya memanggilnya tiba-tiba, tetapi akhirnya, Nadya berjalan pelan dan duduk di sebelah papanya. Nadya menatap Aldo sejenak, tersenyum, lalu sedikit tertunduk. Nadya masih merasa malu dengan ucapan Aldo dua hari yang lalu, terutama...sekarang Aldo terlihat sangat tampan. Aldo tampak begitu macho memakai jaket kulit berwarna hitam, jaket itu tampak digunakan untuk melapisi kaus tipis V-neck yang berwarna abu-abu. Kalung perak Aldo yang bermainan lambang infinite itu begitu pas di leher Aldo yang terlihat sangat menggoda.
Nadya sudah tahu dari lama kalau Aldo itu ganteng. Akan tetapi, sekarang rasanya Nadya benar-benar memperhatikannya. Apakah itu terjadi karena sekarang otak Nadya berpikir bahwa Aldo itu adalah...kekasihnya? Iya, mereka memang sepasang kekasih, tetapi...bagi Nadya, sulit sekali untuk menjelaskannya.
Tambahannya, harum Aldo yang selalu sama: harum segar yang membuat nyaman dan membuat siapa pun ingin terus menghirupnya. Parfum merk apa yang sebenarnya Aldo pakai? Nadya mendadak ingin tahu. Akan tetapi, cewek itu tak sempat berpikir lama-lama tentang merk parfum karena ia malah tertunduk dan merona terlebih dahulu sebelum benar-benar memikirkan soal itu.
Aldo tersenyum, kemudian Aldo menggeleng dan memilih untuk beralih menatap ke arah papa Nadya yang kini menatapnya dengan tatapan penasaran.
Papa Nadya terlihat seperti berumur tiga puluh tahun, padahal sejatinya, umur pria paruh baya itu sudah empat puluh satu tahun. Tanpa bantahan, Nadya benar-benar mewarisi wajah manis dari papanya.
"Ada apa kamu datang malam-malam, Nak?" tanya papa Nadya sembari menatap Aldo dengan alis yang menyatu. Tak biasanya ada teman Nadya yang bermain ke rumah Nadya malam-malam begini. Siang-siang saja jarang ada, apalagi yang bermain ini adalah laki-laki.
"Em... Maaf ganggu malam-malam, Om," ujar Aldo dengan sopan. "Sebenarnya begini, Om... Jika Om sama Tante mengizinkan...saya mau mengajak Nadya jalan-jalan."
Nadya meneguk ludahnya, menunggu respons papanya. Sementara itu, papanya mengernyitkan dahi pada Aldo. "Jalan-jalan ke mana?"
Tibalah mama Nadya dari dapur, kini menaruh beberapa gelas sirup ke atas meja. Aldo tersenyum pada mama Nadya, kemudian cowok itu menatap ke arah papa Nadya lagi dan menjawab dengan sopan, "Saya mau mengajak Nadya ke mall yang dekat dari sini, Om. Di sana ada konser dari band lokal. Saya janji bakal bawa Nadya pulang sebelum jam sepuluh malam."
Mama Nadya kini baru saja duduk di sebelah Aldo dan menatap Aldo dengan senyuman jail. "Kamu pacar Nadya, ya?"
Kontan saja Nadya terenyak. Nadya langsung menatap mamanya dengan mata melebar bukan main. Nadya lalu melihat ke arah Aldo yang juga tampak sedikit melebarkan mata, tetapi tidak terlalu terlihat terkejut.
Tiba-tiba, Aldo tersenyum lagi. Senyumannya tampak begitu manis dan begitu tulus. Aldo tampak begitu tenang dan bersahaja. Cowok itu kemudian mengangguk singkat pada mama Nadya.
"Iya, Tante," ujar Aldo. "saya pacarnya Nadya. Saya minta maaf karena saya baru ngasih tahu hal ini sama Om dan Tante, tapi...saya janji, saya bakal jaga Nadya."
Mama Nadya kontan terenyak. Wanita itu tak mampu berkata apa-apa. Anak sulungnya tak pernah berpacaran, lalu sekarang anak sulungnya itu tiba-tiba mendapatkan seorang kekasih yang mampu menarik hati kedua orangtuanya dalam hitungan detik seperti ini.
"Nama kamu siapa? Kamu boleh ngenalin diri kamu ke Om sama Tante. Om pengen tau tentang pacar pertama Nadya ini," ujar papa Nadya, kemudian pria paruh baya itu menatap ke arah Nadya. Kontan Nadya terperanjat dan menatap papanya sembari salah tingkah.
"Nga—ngapa, Pa?!" tanya Nadya gusar.
"Sejak kapan kamu bisa pacaran?" tanya Reynald, papa Nadya, dengan tatapan menyelidik. "Masih bau kencur, masih sering berantem sama Adek, udah pacaran aja sekarang, ya?"
Nadya kontan merona bukan main. Mengapa harus diungkit di depan Aldo, sih...
"Papa nih," ujar Nadya. "Yaya jarang kok berantem ama Adek."
"Heleh, kamu ini dibilangin malah nggak mau ngaku," ujar papa Nadya.
Pria paruh baya itu lalu kembali menatap ke arah Aldo. Ternyata, Aldo sedari tadi tersenyum manis memperhatikan perdebatan antara Nadya dan papanya. Cowok itu juga sibuk memperhatikan wajah Nadya yang terus tersipu malu. Tanpa Nadya sadari, Aldo adalah satu-satunya orang di ruangan itu yang benar-benar merasa lega karena mengetahui bahwa Nadya belum pernah berpacaran sebelumnya.
Plus, Aldo kini tahu bahwa ternyata Nadya sering berkelahi dengan adiknya. Sesungguhnya, hal itu sangat menggemaskan.
"Ya udah, kenalin diri kamu, ya. Om pengen denger. Bentar aja, habis itu kalian boleh pergi jalan-jalan," ujar papa Nadya pada Aldo.
Mendadak Nadya terperanjat. "Eh?! Papa bolehin, Pa?"
Papanya mengangguk. "Iya, boleh. Asal jangan pulang malam. Ganti baju kamu sana, selagi pacar kamu ngenalin dirinya ke Papa."
Nadya meneguk ludahnya, lantas mengangguk, meskipun sedikit ragu. Cewek itu menatap Aldo sejenak, melipat bibir, lalu ikut tersenyum saat Aldo tersenyum manis padanya. Selagi berdiri dan berbalik, Nadya meneguk ludahnya. Ia gugup memikirkan tentang bagaimana nanti saat ia jalan-jalan berdua dengan Aldo.
"Nama saya Aldo, Om," ujar Aldo begitu Nadya menghilang di balik lorong. "Aldo Gabriel Nugraha. Saya satu sekolah dan satu kelas dengan Nadya. Saya tinggal di Menteng sama keluarga saya. Saya udah kenal Nadya dari kelas satu."
"Ooh, sekelas, toh... Kamu ikut ekskul apa aja?" tanya mama Nadya dengan penasaran. Wajah wanita itu terlihat begitu berseri saat rasa penasarannya kepada Aldo memuncak.
Aldo tersenyum. "Saya ikut OSIS, basket, futsal, sama voli. Sebenarnya, saya ikut semua ekskul yang menjurus ke kegiatan olahraga, Tante, tapi saya nggak begitu aktif berhubung saya sibuk di OSIS."
"Kamu Ketua OSIS, ya?" tebak papa Nadya dengan alis terangkat.
"Iya, Om. Saya juga jadi kapten di tim basket sekolah, Om. Kalau di futsal...agak sulit untuk ikut semua jadwalnya yang latihan hampir tiap hari, meski saya hobi main futsal."
"Sama, dong. Om juga suka futsal, hahaha!" Papa Nadya tiba- tiba tertawa. Aldo dan Elin ikut tertawa. Dalam sekejap, Aldo mampu menyingkirkan sebersit ketakutan yang dirasakan oleh papa Nadya. Ketakutan tersendiri bagi seorang 'ayah' terhadap anak gadisnya. Papa Nadya mulai merasa bahwa Nadya mampu memilih laki-laki dengan tepat untuk dijadikan sebagai seorang kekasih.
Reynald tersenyum. Pria paruh baya itu kemudian menatap Aldo dan berkata, "Om sebenarnya kaget. Nadya nggak pernah pacaran sebelumnya...dan Om kira dia bakalan terlalu polos untuk memilih. Tapi ternyata, dia nggak mengecewakan Om sama sekali. Entah mengapa Om ngerasa kalau kamu bisa menjaga dia di sekolah. Sering-sering liat Nadya, ya, Aldo? Dia itu agak males belajar juga, tuh."
Aldo terkekeh, kemudian cowok itu mengangguk sopan. Sebenarnya, menurut Aldo Nadya itu tidak malas. Akan tetapi, mungkin saja Nadya agak sulit untuk disuruh belajar ketika di rumah. Aldo jadi pengin melihat wajah Nadya sekarang juga karena hal itu terdengar menggemaskan sekali, tetapi cowok itu paham akan perbedaan pandangan orangtua dan anaknya. Hal ini biasa terjadi.
Cowok itu lalu menatap ayah Nadya dengan mata jernihnya yang terlihat sangat indah. "Iya, Om. Saya bakal jaga Nadya."
******
Nadya menatap ke arah Aldo yang menggenggam tangannya begitu mereka masuk ke dalam mall. Suasana mall yang ramai sebenarnya enggan Nadya lihat, tetapi berjalan bersama Aldo membuatnya melupakan semua itu.
Nadya juga tahu bahwa banyak sekali tatapan yang tertuju kepada Aldo. Nadya sudah biasa dengan bisik-bisik kekaguman yang selalu diberikan orang-orang kepada Aldo yang memiliki paras tampan karena dia adalah bule blasteran. Nadya hanya bisa menatap ke sekeliling—entah apa yang ia lihat—menatap orang yang berlalu lalang, meskipun kenyataannya jantungnya berdebar-debar. Ia menatap orang-orang hanya untuk meredakan debaran di dadanya yang muncul tanpa ia sadari. Debaran itu terasa begitu aneh.
Ini salah karena ia terlalu cepat untuk terpaut pada Aldo yang masih kurang jelas mengapa bisa memilihnya sebagai kekasih. Ini salah, tetapi ia tak bisa menahan perasaan itu. Perasaan itu...muncul dengan sendirinya. Setidaknya, Nadya paham bahwa ia sepertinya suka dengan Aldo, meskipun kenyataannya ia tak pernah berpacaran selama ini.
Novel romantis yang sering ia baca ternyata sedikit bisa untuk menjadi petunjuknya.
"Nad, makan, yuk?" ajak Aldo tiba-tiba. Nadya kontan sedikit mendongak untuk menatap Aldo. Mata cewek itu sedikit membulat.
"Em...tadi aku udah makan, Aldo. Hehe. Kamu belum makan, ya?" tanya Nadya apa adanya.
Genggaman tangan Aldo terasa mengerat. "Udah, sih. Tapi aku ngerasa laper lagi," ujar Aldo sembari tersenyum geli.
Kontan Nadya tertawa. Aldo berhasil membuat debarannya sedikit mereda akibat kecanggungan yang sudah menghilang. Nadya kemudian menatap Aldo lagi dan mengedip bodoh beberapa kali. "Kamu mudah laper, ya?" tanya Nadya.
"Hmm... Sebenarnya iya, Nad. Aku bahkan kadang makan lebih dari lima kali sehari," ujar Aldo. "Kalau kamu?"
"Aku?" ujar Nadya. "Aku, sih...makannya gak tentu. Kalau laper juga bisa berkali-kali. Hehe."
Entah sejak kapan...bicara dengan Aldo bisa senyaman ini. Entah mengapa, hal sesederhana ini mampu menimbulkan kebahagiaan di hati Nadya, kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. Entah sejak kapan juga...mereka jadi pasangan yang mulai mencoba untuk saling mengetahui satu sama lain. Ini seperti baru ingin saling mengerti setelah berhubungan sebagai sepasang kekasih.
Rasanya seperti menikah dengan teman tanpa ada perasaan sebelumnya. Perasaan tumbuh justru setelah berkomitmen. Perasaan tumbuh setelah merasa selalu menjalani hari-hari bersama.
Aldo tersenyum lalu mengacak rambut Nadya sejenak. Nadya kontan tersipu malu, kemudian Aldo mencubit kecil hidung Nadya. "Makan di KFC aja, yuk. Kalau kamu nggak laper, aku pesenin kamu makanan ringan aja. Kamu suka burger nggak?"
"Nggak, aku...kurang suka, Aldo," ujar Nadya sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal. Aldo melebarkan matanya.
"Kenapa? Enak, lho, Nad," ujar Aldo. Tangan mereka masih bertautan.
Nadya menggeleng pelan. Cewek itu tertawa hambar dan berusaha untuk menatap Aldo, tetapi entah mengapa rasanya sekarang menatap Aldo berlama-lama itu adalah hal yang sulit. Nadya bahkan jadi heran sendiri. Mengapa ia merasa bahwa kini, menatap mata Aldo adalah hal yang sangat sulit dan langsung membuat jantungnya berdegup sangat kencang? Seolah menatap mata Aldo itu sama seperti menatap sebuah dunia di mana ia akan masuk jauh ke dalam diri Aldo, dunia yang akan membawa hatinya melayang menjauh ke atas langit layaknya helaian bunga yang tertiup angin.
Ini pasti karena kata-kata Aldo dua hari yang lalu.
Nadya melipat bibirnya. "Aku punya trauma, Aldo...cuma nggak tau juga itu bisa disebut trauma atau nggak."
Aldo melebarkan matanya dan menatap Nadya lamat-lamat, sementara Nadya, cewek itu menatap Aldo sembari tersenyum. Aldo kemudian bertanya dengan alis menyatu, cowok itu tampak penasaran dan khawatir. "Kamu trauma sama burger? Trauma kenapa, Nad?"
"Ah..." Nadya menggaruk tengkuknya lagi. "Bukan apa-apa, sih, Aldo. Kamu jangan ketawa, ya?"
Aldo terkekeh. Cowok itu tersenyum geli. "Nggak, Nad, nggak kok."
Nadya sempat merona melihat pemandangan wajah Aldo yang sedang terkekeh seperti itu. Sungguh bersinar. Sungguh...menyejukkan hati. Akan tetapi, Nadya berusaha untuk mendapatkan kembali kesadarannya.
Nadya mulai menjelaskan, "Dulu waktu aku sama keluarga pergi ke Palembang, kami naik travel. Terus, waktu travelnya berhenti di sebuah tempat untuk istirahat—aku nggak inget itu di mana, entah itu di depan restoran atau di depan ruko—sopir travel-nya ngebagiin burger untuk penumpang travel. Kayaknya burger itu baru dibeli. Nah, ceritanya, aku itu setengah sadar...soalnya aku mabuk perjalanan. Terus, Mamaku ngasih burger itu ke aku. Ya aku makan satu gigitan, tapi ternyata bau daging dari burger itu bikin aku tambah mual. Alhasil, aku muntah-muntah terus sepanjang perjalanan. Sampai sekarang, tiap aku makan roti isi daging, aku selalu muntah. Aku bahkan gak mau mencium bau roti isi daging lagi, terutama burger."
Aldo terperangah. Cowok itu menatap Nadya sejenak sebelum akhirnya cowok itu membuka pintu masuk KFC karena Nadya menyelesaikan kalimatnya bertepatan dengan mereka sampai di depan pintu masuk. Aldo kemudian menggandeng Nadya masuk ke dalam, cowok itu memilih tempat duduk di pinggir restoran, tepatnya di dekat jendela. Begitu Nadya duduk, Aldo memegang punggung tangan Nadya sembari tersenyum manis. Cowok itu memilih untuk tidak duduk terlebih dahulu. Nadya kontan merasa kaget dan cewek itu menatap Aldo dengan mata bulatnya yang tampak heran.
Aldo lalu berkata, "Nad, kamu itu lucu, ya. Mudah traumaan gitu," ujar cowok itu dengan tatapan jenaka. "tapi aku tau banget rasanya muntah itu gimana. Jadi, aku nggak bakal ngetawain kamu. Aku bakal pesenin kamu kentang goreng sama es krim. Kamu suka es krim, 'kan? Kamu sering beli di sekolah. Em...aku pesen ayamnya banyak deh, biar kamu bisa ikut makan ayamnya," ujar Aldo, kemudian cowok itu meremas punggung tangan Nadya.
Nadya terperangah. Cewek itu menatap Aldo dengan matanya yang berbinar tak menyangka. Aldo benar-benar baik hati. Terutama...Aldo...Aldo tahu bahwa Nadya suka beli es krim di sekolah.
Apa Aldo memperhatikan Nadya selama ini? Tidak mungkin, 'kan?
Jadi...mengapa...
Saat Aldo tersenyum manis dan mengacak rambutnya, Nadya balas tersenyum tulus. Rona di wajah Nadya enggan lagi hilang. Wajahnya benar-benar memerah. Begitu Aldo berbalik untuk memesan makanan pun... Nadya memperhatikan punggung Aldo dengan tatapan yang penuh arti.
Nadya sadar bahwa...dia jatuh cinta.
******
Nadya duduk di boncengan Aldo saat mereka menonton konser di depan mall itu. Konser mini dari band lokal yang diadakan di belakang mall itu tampak begitu ramai. Mall itu berada di pinggir jalan besar sehingga orang-orang yang ada di pinggir jalan pun tampak berusaha masuk untuk menonton konser itu.
Karena motor Aldo diparkir di parkiran belakang mall, serta tempat motor Aldo diparkir itu tak jauh dari panggung konser, maka Aldo memilih untuk mengajak Nadya menonton sembari duduk di motor. Banyak juga orang-orang yang memilih jalan yang sama, soalnya tak semua orang menyukai berdiri berdesak-desakan, apalagi jika banyak orang yang berteriak dan melompat-lompat.
Lagu yang dinyanyikan oleh vokalis band itu mengalun indah di telinga Nadya, kebetulan saat ini band itu sedang menyanyikan lagu ballad. Rupanya, band lokal ini juga memiliki banyak lagu yang bagus, meski kebanyakan lagu mereka yang dinyanyikan sejak tadi adalah bergenre pop-rock.
Aku berteriak, mengatakan 'hai' padamu, akankah dirimu mendengarkan salamku, Sayang?
Aku merasa seperti jatuh di jurang yang terdalam, tetapi entah mengapa aku merasa bahagia.
Tahukah engkau apa yang terjadi padaku? Aku bukan orang yang sempurna.
Aku bukan orang yang sehebat apa yang orang bilang, tetapi aku hanya orang yang rapuh. Rapuh, karena terlalu mencintaimu.
Biarkan cintaku mengalir padamu seiring berjalannya waktu, Sayang.
Karena Tuhan punya caranya sendiri.
Nadya meneguk ludah. Entah mengapa, jantungnya berdegup kencang saat mendengarkan lirik itu. Tidak ada percakapan yang terjadi antara ia dengan Aldo. Saat ini yang terdengar hanyalah suara napas Aldo yang berdiri dengan jarak yang sangat dekat dengannya, suara berisik penonton, suara keras dari alat musik, dan nyanyian dari vokalis band.
Nadya terdiam dan terus melihat ke arah band itu. Ia tak mau melihat Aldo karena tiba-tiba ia merasa sangat gugup. Namun, debaran di hati Nadya seolah membuat Nadya merasakan kebahagiaan tersendiri, kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia hanya bertanya-tanya, apakah begini rasanya jika kita menyukai seseorang? Ia sadar bahwa ia menyukai Aldo. Semudah itu.
Nadya benar-benar gugup, tetapi ia bingung...karena ia juga tak ingin waktu ini berakhir begitu saja. Suka dengan seseorang itu kok...rumit, ya. Ternyata benar kata orang, cinta itu rumit dan membingungkan. Cinta itu susah dimengerti. Yang jelas, saat kau merasakannya, semua akan terasa indah. Semua terasa seperti bukan dirimu yang biasanya.
Bagaimana jika Aldo mengetahui perasaannya? Apa yang akan terjadi jika Aldo tahu? Nadya yakin Aldo itu...tidak mencintai Nadya. Nadya sendiri bingung dengan kata-kata Aldo dua hari yang lalu, meskipun kata-kata itu nyatanya sangatlah manis.
Nadya merasakan pergerakan di sampingnya. Duduk menyamping dengan kaki bertumpu di tanah membuat mereka mudah saja menghapus jarak di antara mereka jika salah satu dari mereka ada yang bergerak.
Sekarang...jarak itu dihapus oleh Aldo.
Nadya belum memiliki keberanian untuk menatap Aldo, meskipun ia bisa merasakan bahwa Aldo tengah menatap ke arahnya dengan intens. Degupan di jantung Nadya terdengar semakin mengganggu. Nadya bahkan takut kalau-kalau Aldo bisa mendengarnya, meski di tempat yang berisik seperti ini.
"Nad?" panggil Aldo pelan.
Akhirnya, Nadya berusaha untuk menoleh, menatap Aldo dan menyahut, "Iya, Aldo?"
Tampak senyuman manis Aldo merekah di bawah lampu indah yang bergelantungan menutupi bagian atas area halaman belakang mall, yang dibuat bersusun bagaikan tenda. Mata Aldo tertutup seolah ikut tersenyum. Setelah itu, mata Aldo terbuka kembali, menampakkan sepasang mata berwarna hitam milik Aldo yang begitu jernih.
Nadya terpana. Hingga beberapa detik lamanya, cewek itu masih terpana dengan senyuman Aldo yang membuat ketampanan cowok itu bertambah sepuluh kali lipat. Senyuman itu bukan senyuman palsu. Bukan senyuman paksa. Senyum Aldo itu...
Selalu tulus...
Nadya merasa ingin terus melihat senyuman itu. Nadya jadi benar-benar ingin Aldo terus bahagia agar bisa selalu tersenyum seperti itu selamanya. Nadya tadi bahkan ingin menghentikan waktu, kalau bisa.
Setelah itu, waktu benar-benar seakan terhenti.
Hanya dikarenakan satu hal yang tak pernah Nadya duga.
Satu hal yang berhasil membuat mata Nadya membulat penuh.
Satu hal yang manis, yaitu saat Aldo menarik pinggang Nadya dan mendekap Nadya, lalu memberikan satu kecupan manis di kening cewek itu.
Bibir Aldo...terasa basah. Bibir itu menempel di keningnya.
Nadya menahan napasnya. Jantungnya bagai berhenti berdegup. Beberapa saat kemudian, saat wajah Aldo menjauh secara perlahan...saat itu jugalah degupan jantung Nadya menggila.
Pipi Nadya memerah sampai ke telinga. Nadya yakin Aldo bisa melihatnya di bawah lampu indah yang menerangi malam di belakang mall itu, meski Nadya tertunduk dan tak mau menatap Aldo. Nadya juga malu karena mungkin saja yang tadi itu dilihat oleh orang banyak. Nadya hanya bisa berdoa semoga tidak ada orang yang menyadarinya. Wajah Nadya memanas bukan main.
Aldo... Aldo menciumnya!
Kedua tangan Aldo masih ada di pinggang Nadya. Napas Aldo bahkan masih terasa, itu artinya wajah Aldo masih dekat dengan wajah Nadya. Setelah itu, Aldo sekali lagi membuat Nadya menahan napasnya saat tiba-tiba cowok itu merunduk untuk mencari wajah Nadya dan meraih dagu Nadya agar mata mereka bertemu.
Saat mata mereka bertemu, Aldo bisa melihat betapa merahnya wajah Nadya. Aldo tersenyum sejenak, tetapi kemudian cowok itu menatap Nadya dengan intens lagi.
Cowok itu memiringkan kepalanya. "Tadi itu...nggak ada yang ngeliat kok, Nad."
Nadya tertunduk lagi. Wajahnya semakin memerah. Aldo melebarkan matanya.
Nadya ini...lucu banget.
Akan tetapi, tanpa Aldo sangka, kepala Nadya tiba-tiba menengadah untuk menghadap ke arahnya. Cewek itu melipat bibirnya dan matanya tampak menatap Aldo dengan penuh rasa ingin tahu. Di tengah wajahnya yang memerah seperti kepiting rebus itu, Nadya meneguk ludahnya, kemudian bertanya kepada Aldo:
"Aldo, em...kemaren kamu udah jelasin alasan kenapa kamu jadiin aku sebagai pacar kamu. Cuma...aku masih kurang ngerti, Aldo... Aku nggak tau maksudnya. Kalo boleh, kamu bisa nggak ngasih tau aku dengan lebih jelas? Aku—duh... Aku...bingung."
Mendengar pertanyaan dari Nadya itu, Aldo jadi semakin mendekatkan wajahnya. Senyuman di wajah cowok itu muncul lagi, tetapi kali ini senyumnya itu adalah senyuman tipis yang penuh arti. Tatapannya terasa begitu dalam.
Aldo kemudian memiringkan kepalanya. "Apa kamu tau kalo aku sering merhatiin kamu?" []