Chereads / Hymen no Fuku / Chapter 2 - Smell of Young Woman

Chapter 2 - Smell of Young Woman

Chapter 2 :

Smell of Young Woman

 

******

 

SETELAH diskusi yang lumayan panjang, akhirnya di sinilah Hiyori, berdiri di kaki gunung tempat di mana Kuil Dewa Kemakmuran berada. Gunung itu tidak terlalu tinggi; gunung itu dipenuhi dengan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang terawat. Seluruh tumbuhan di sana tumbuh dengan cantik dan tidak ada semak belukar. Jika kau naik ke atas gunung, kau akan disuguhi dengan pemandangan hutan yang indah di sepanjang jalan.

Hiyori diantar oleh Raiden-sama beserta banyak warga Desa Shinrei. Mereka semua mengantar Hiyori menggunakan rakit hingga ke bagian kaki gunung yang tidak terendam banjir. Sungguh aneh bin ajaib. Shinrei dan Shinra benar-benar bersebelahan, tetapi bisa-bisanya air dari banjir ini tidak mengalir ke Desa Shinra. Bisa-bisanya juga hujan badai hanya terjadi di Desa Shinrei. Jelas saja ini berkaitan dengan Dewa.

Hiyori menatap ke atas gunung ketika dia baru saja turun dari rakit milik ayahnya. Kedua tangannya tengah memegang satu nampan persembahan untuk Dewa. Gadis itu menghela napas; dia sendiri merasa percaya tidak percaya dengan perkiraan penduduk desa mengenai penyebab dari bencana yang tengah melanda desa mereka ini. Kalau dianalisis lebih dalam, memang sepertinya masalah itu mulai terjadi setelah naiknya Hiyori ke atas gunung untuk mengantarkan persembahan kepada Dewa. Akan tetapi, di sisi lain, sebenarnya Hiyori agak ragu. Apa benar Dewa marah karena sesuatu yang menyangkut Hiyori?

Waktu Hiyori naik ke atas gunung saat itu, Hiyori memang melihat Dewa Kemakmuran sebagai dewa yang tidak terlalu serius. Tidak galak atau semacamnya. Dia justru…agak membuat Hiyori jengkel saat itu. Akan tetapi, benarkah karena itu dewa jadi marah?

"Hiyori, hati-hati, ya, Nak," ujar Raiden-sama, suaranya yang serak karena sudah berusia lanjut itu pun membuat Hiyori berbalik. Hiyori lantas melihat Raiden-sama yang berdiri di atas sebuah rakit bersama Jinzo-san. Raiden-sama berdiri dengan bertumpukan tongkat kayu berwarna hitamnya, lalu Sang Tetua Desa itu pun tersenyum pada Hiyori. "Kami mengandalkanmu. Tolong tanyakan soal bencana ini kepada Dewa, ya. Wakilkan kami semua untuk meminta maaf kepadanya."

Hiyori diam, dia masih berpikir. Dia menatap Raiden-sama sedikit gelisah, tetapi belum sempat dia menjawab, tiba-tiba Jinzo-san ikut berbicara. "Kami serahkan semuanya kepadamu, ya, Hiyori. Apabila kau butuh bantuan, kami siap naik ke atas sana untuk menolongmu."

"Iya, Hiyori," tambah Naoto-san. "Warga yang lainnya akan pulang, tetapi aku, ayahmu, Jinzo-san, dan Raiden-sama akan menunggumu di sini. Jika terjadi sesuatu yang buruk, berteriaklah, kau mengerti?"

Hiyori sedikit tertunduk. Gadis itu tampak masih berpikir. Dua detik kemudian, ia pun mengangkat kepalanya dan menatap ke arah ayahnya. Seakan meminta sebuah semangat, motivasi, atau seberkas keyakinan dari ayahnya bahwa ini tidak salah, bahwa apa yang mereka lakukan ini tepat.

Hiyori melihat ayahnya tersenyum simpul. Ayahnya mengangguk perlahan seakan ingin memberitahu Hiyori bahwa, 'Naiklah. Tidak apa-apa.'

Melihat respons dari ayahnya itu, Hiyori pun akhirnya menghela napas. Gadis itu mengangguk, lalu ia melihat ke arah semua warga yang telah mengantarnya beramai-ramai.

"Baiklah. Aku akan naik sekarang," ujar Hiyori kemudian dengan yakin.

Hiyori pun berbalik. Didengarnya para warga desa menyemangatinya dari belakang, terus berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja dan mereka akan berdoa untuk Hiyori. Hiyori mendengar semua itu, tetapi gadis itu terus lanjut melangkah menuju ke atas gunung.

Di sepanjang jalan, Hiyori hanya menatap lurus ke depan. Dia fokus berjalan dan tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, Dia hanya berpikir, kalau misalnya dugaan penduduk desa mereka itu benar, maka Dewa Kemakmuran ini sangatlah menyebalkan. Tatkala memikirkan itu, bibir Hiyori jadi mengerucut, dia jadi menggerutu sendiri.

Setelah kurang lebih dua puluh menit mendaki, akhirnya Hiyori pun melihat sebuah susunan tangga yang melintang ke bagian puncak gunung dan di bagian akhir tangga tersebut berdirilah sebuah gerbang kuil yang berwarna merah. Gerbang ini berfungsi sebagai 'pintu masuk' ke area kuil dan merupakan pembatas antara kawasan tempat tinggal manusia dengan kawasan suci tempat tinggal dewa.

Hiyori berhenti sejenak. Dia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya keluar dengan sedikit keras. Gadis itu lalu berjalan lagi dan mulai menaiki susunan tangga tersebut, satu per satu, hingga akhirnya dia sampai di depan gerbang kuil berwarna merah itu.

Hiyori kini berdiri di gerbang dan ia memperhatikan lagi kuil yang ada di depannya lamat-lamat. Kuil itu terlihat seperti bangunan panggung yang konstruksi lantainya ditinggikan; kuil itu memiliki kolong dibawahnya dengan tiang-tiang penopang. Kuil itu memiliki dua lantai dan dominan berwarna coklat (karena terbuat dari susunan kayu yang kokoh) dengan beberapa garis kemerahan. Ada sebuah balkon di lantai dua kuil tersebut. Atapnya didesain membentuk seperti kuil pagoda; atap itu berwarna hitam dan di pinggir-pinggirnya bergaris merah. Kuil itu besar dan terbilang mewah. Di dinding-dinding serta pilar-pilarnya terdapat beberapa relief makhluk mitologi dan ada juga lukisan-lukisan pohon, gunung, laut, serta langit. Halaman depan, samping, dan belakang kuil tersebut mencakup seluruh area dari puncak gunung. Di sebelah kanan kuil tersebut ada sebuah taman bunga kecil. Ada beberapa jenis bunga di sana dan bunga-bunga tersebut tumbuh dengan indah. Kontras dengan keadaan di bawah gunung, tepatnya di Desa Shinrei yang sedang kebanjiran, di atas gunung ini tampaknya begitu tenang…indah…dan baik-baik saja.

Hiyori jadi yakin bahwa Desa Shinrei memang punya salah dengan Dewa yang tinggal di atas gunung ini. Dewa Kemakmuran.

Tak mau membuang waktu, Hiyori pun melangkah mendekati kuil tersebut. Di balik gerbang berwarna merah tersebut ada sebuah jalan makadam, yaitu jalan yang menggunakan bahan dasar batu-batu dan pasir lalu dibentuk dengan dikompakkan. Di kanan dan kiri jalan setapak tersebut ada jajaran lentera batu berisi lampu yang memanjang hingga ke bagian tangga bangunan kuil.

Setelah melewati jalan setapak tersebut, dengan hati-hati Hiyori membawa persembahan yang ia bawa dengan kedua tangannya seraya menaiki tangga menuju ke pintu utama kuil tersebut. Pintu utama kuil itu adalah pintu berdaun dua.

Namun, tatkala kedua kaki Hiyori baru saja sampai tepat di depan pintu besar berdaun dua tersebut, tiba-tiba saja pintu itu langsung terbuka lebar. Pintu itu terbuka dengan cepat dan sangat kuat seolah-olah ada sebuah angin superkencang yang telah mendorongnya dari luar hingga terempas masuk ke dalam dan terbuka lebar. Mata Hiyori kontan membulat sempurna.

Menyadari kejadian janggal tersebut, Hiyori pun langsung duduk bertumpukan lutut di lantai teras kuil—tepat di depan pintu utamanya—dan meletakkan persembahannya di lantai kayu kuil, tepat di hadapannya. Hiyori pun merundukkan kepala, bersujud dengan hormat, dan langsung berkata, "Kami-sama, ini persembahan untuk Anda."

Tiba-tiba, Hiyori mendengar sebuah suara.

 

"Oh, akhirnya mereka mengerti maksudku."

 

Refleks, Hiyori terbangun dari sujudnya. Hiyori duduk tegap—masih bertumpukan kedua lututnya—dan gadis itu melihat ke depan. Lurus ke depan.

Di depan sana, Hiyori melihat wujud seorang laki-laki.

Dia adalah Sang Dewa Kemakmuran, dewa yang sudah pernah Hiyori temui tempo hari.

Tubuhnya sangat bagus, kuat, gagah, dan indah layaknya seorang dewa pada umumnya. Rambutnya berwarna silver; rambutnya sangat panjang hingga mencapai punggung bagian bawahnya. Dia memakai sepasang anting-anting panjang berwarna hitam dengan corak keemasan. Wajahnya terlihat tegas, tetapi di sisi lain juga terlihat seperti orang yang suka bermain-main. Kedua matanya berwarna abu-abu, tetapi jika terkena cahaya matahari, terkadang kedua matanya terlihat seperti berwarna toska.

Pakaiannya hanya berupa sebuah selendang berwarna campuran biru dan emas yang tersampir mulai dari bahu kirinya dan turun, lalu melebar hingga menutupi seluruh tubuh bagian bawahnya. Ia memakai sebuah celana panjang berwarna putih di balik selendang tersebut. Di pinggangnya terdapat ikat pinggang berwarna biru laut yang mengikat selendangnya. Kedua lengannya yang telanjang itu diberi hiasan berupa arm cuff emas. Dia memakai hiasan di dadanya, hiasan itu berupa rantai emas yang mengalung mulai dari lehernya, turun menghiasi dadanya, lalu melingkar hingga ke punggungnya. Parasnya benar-benar mengatakan bahwa dia bukan manusia. Dia terpahat sebagai dewa.

Kedua tangan Hiyori yang gadis itu letakkan di atas pahanya itu mulai mengepal karena gusar. Ketika ia telah melihat sosok Dewa Kemakmuran itu berdiri di depan sana, berhadapan dengannya, ia mulai melebarkan mata. Ada angin kencang yang berembus dari segala arah, angin tersebut membuat semua gorden yang ada di dalam ruangan, rambut ungu tua milik Hiyori, selendang Sang Dewa beserta rambut silver-nya yang indah, semuanya melambai terembus angin.

Meski seluruh area pandangnya terlihat bergerak karena ditiup angin, Hiyori tetap bisa melihat sosok dewa tersebut. Dewa itu berdiri di depan sana; kedua matanya melihat ke arah Hiyori dengan tatapan yang intens. Memenjarakan Hiyori dengan tatapannya. Terlepas dari seluruh angin yang berembus di sekitar mereka, tatkala melihat tepat ke sepasang mata milik Sang Dewa, Hiyori merasa terpaku. Seakan-akan seluruh angin tersebut tidak sama sekali mampu mencuri perhatiannya.

Mereka berdua saling menatap satu sama lain.

Hiyori mencoba untuk diam. Dewa itu tampak melipat kedua tangannya di depan dada seraya melihat ke arah Hiyori. Hiyori menunggu apa yang akan dewa itu katakan kepadanya setelah ini.

Namun, tunggu. Tadi Sang Dewa agaknya sudah mengatakan sesuatu.

Kalau Hiyori tidak salah dengar, Dewa berkata, 'Akhirnya mereka mengerti maksudku.'

 

Maksudnya…apa?

 

Beberapa detik setelah itu, Sang Dewa mulai mengangkat dagunya. Menatap Hiyori yang terduduk berlutut di depannya, lalu dia memiringkan kepala.

Tepat setelah itu, ia tersenyum miring pada Hiyori. Dia terlihat puas.

Hiyori mulai mengernyit. Akan tetapi, ia menunggu. Tetap menunggu apa yang akan Dewa katakan selanjutnya.

Akhirnya, suara Dewa pun terdengar kembali.

"Baguslah jika mereka mengerti maksudku," ujarnya. "Kalau mereka lebih bodoh dari ini, niscaya sedikit lagi Desa Shinrei akan kubuat tenggelam."

Mendengar itu, mata Hiyori kontan terbelalak.

 

Jadi, seluruh bencana ini benar-benar perbuatannya?

 

Entah mengapa, bukannya meminta maaf, Hiyori justru merasa agak kesal. Hiyori jadi menyatukan alis, soalnya bagi Hiyori, ini tidak masuk akal dan sedikit kekanak-kanakan.

"Kami-sama, apakah kau sengaja membuat bencana pada Desa Shinrei karena kau marah padaku tempo hari?" tanya Hiyori langsung. Matanya menatap Dewa dengan tatapan yang penuh akan rasa tidak terima; dia menatap Dewa dengan berani. Bukan apa-apa, bencana ini benar-benar membuat semua orang di Desa Shinrei merasa kesulitan sekaligus ketakutan. Tidak bisa diterima logika apabila ini semua terjadi hanya karena Sang Dewa kesal pada Hiyori yang mungkin kurang sopan waktu itu.

Tidak bisa dibilang kurang sopan juga, soalnya waktu itu Hiyori cuma mengoceh kesal pada Dewa karena Dewa terus memuji parasnya dan mencium aroma tubuhnya hanya untuk mengatakan bahwa tubuh Hiyori wangi perawan. Kalau dia bukanlah seorang dewa, maka itu bisa terhitung sebagai pelecehan seksual, bukan?!

Sang Dewa tampak menggerakkan kepalanya, kepalanya kini berada dalam posisi tegak kembali. Setelah itu, dia tersenyum kepada Hiyori. Senyum penuh kemenangan. Kilatan dari matanya terlihat seperti dia telah berhasil mencapai sesuatu.

"Tidak," jawab dewa itu. Dia mulai berjalan dengan pelan, mendekati Hiyori. "Aku hanya ingin melihatmu lagi."

Spontan saja Hiyori membulatkan mata. Mulut Hiyori menganga.

Apa Dewa sedang serius saat ini? Ingin melihat Hiyori? Maksudnya—maksudnya bagai—

"Me…lihatku?" tanya Hiyori, kedua alisnya menyatu lagi. Dahinya berkerut, mencoba setengah mati untuk menangkap makna dari ucapan Sang Dewa.

"Hmm," deham dewa tersebut. Dia hampir sampai tepat di depan Hiyori; Hiyori mengikuti pergerakan dewa itu hingga tanpa sadar kepalanya sedikit terangkat ke atas karena dewa tersebut mulai semakin mendekat ke arahnya.

"Aku tidak mengerti, Kami-sama," kata Hiyori seraya menggeleng.

"Satu hari setelah kepulanganmu dari kuil, aku hanya ingin melihatmu lagi keesokan harinya, tetapi mereka mengirim orang lain untuk datang ke sini," ujar dewa itu. "bahkan setelah aku memberi kode berupa bencana itu, mereka masih saja mencoba untuk mengirim berbagai orang untuk memberikan persembahan. Namun, sayang sekali itu bukan kau."

Hiyori semakin mengernyit. Wajahnya terlihat tegang. Agak memucat. Ia menatap Dewa dengan tatapan tak percaya. "J—jadi…maksud Anda…"

"Hmm," deham Sang Dewa sekali lagi. "Bisa dibilang, aku hanya ingin bertemu denganmu lagi."

Kontan saja, Hiyori jadi terkejut bukan main. Tiba-tiba saja rasa kesalnya tersulut. Seluruh kejanggalan, seluruh protes yang ia pendam, seluruh pertanyaan di dalam benaknya, semuanya kontan meledak dan berhamburan keluar dari dalam dirinya. Menembus seluruh pertahanannya.

Hiyori langsung berdiri. Namun, tatkala dia berdiri, Sang Dewa juga telah berdiri di hadapannya. Dewa itu sudah sampai tepat di depannya. Mereka jadi berdiri berhadapan.

Dua pasang mata mereka saling menatap satu sama lain. Saling mengikat satu sama lain. Akan tetapi, dengan tatapan yang berbeda. Sepasang mata menatap dengan penuh kemenangan, sepasangnya lagi menatap dengan kesal. Penuh dengan keinginan untuk protes sejadi-jadinya.

"Kami-sama!" panggil Hiyori dengan kesal. "Apakah Anda sudah gil—"

Ah. Sebentar. Dewa tidak bisa gila.

"Hmm?" Dewa memiringkan kepalanya, menatap Hiyori dengan mata membulat polos. "Apakah kau baru saja ingin menyebutku gila?"

Hiyori membulatkan mata, lalu kedua tangannya yang ada di sisi-sisi tubuhnya itu terkepal. Dia pun menatap ke arah Dewa dengan tatapan kesal lagi.

"Kami-sama, Anda sudah membuat seluruh desa kami dilanda kebanjiran dan badai berkepanjangan!!" teriak Hiyori. "…dan apa yang barusan Anda katakan? Itu semua terjadi hanya karena Anda ingin bertemu denganku? Ini tidak masuk akal, Kami-sama!!"

Sang Dewa pun memicingkan matanya. Menatap Hiyori dengan tatapan yang penuh dengan intimidasi. "Aku adalah seorang dewa. Aku berhak melakukan apa pun yang kukehendaki atas wilayahku."

Dewa itu berkata dengan penuh peringatan. Suaranya terdengar begitu dalam, penuh dengan penekanan, dan begitu mengintimidasi.

Hiyori kontan terdiam. Tubuhnya mematung. Napasnya tertahan untuk sejenak. Matanya menatap Dewa dengan membulat lebar, tetapi bukan memelototi, melainkan membulat karena tidak tahu harus berkata apa.

Dewa benar.

Akan tetapi, hati kecil Hiyori tetap merasa tak terima. Hiyori jadi benar-benar merasa bersalah pada penduduk desa. Apa yang akan ia katakan ketika ia turun dari gunung nanti?

Akhirnya, dengan seluruh sisa-sisa keberaniannya, Hiyori pun menggigit bibirnya sejenak. Mengepalkan tangannya lagi, Hiyori pun mulai kembali bersuara.

Gadis itu menatap Dewa lamat-lamat.

"Waktu itu aku kemari karena aku menggantikan seseorang, Kami-sama. Orang itu adalah salah satu orang yang biasa mengantarkan persembahan untuk Anda, tetapi hari itu dia sedang sakit. Jadi, Raiden-sama menyuruhku untuk menggantikannya. Aku hanya menggantikan, bukan benar-benar menjadi salah satu pengantar resmi. Mereka semua kebingungan, Kami-sama, mereka benar-benar mengira bahwa mereka melakukan sebuah kesalahan pada Anda. Mereka memintaku untuk menyampaikan permintaan maaf mereka kepada Anda. Jadi, mendengar Anda yang ternyata setega ini, melakukan semua ini hanya karena ingin bertemu denganku, sungguh tidak adil bagi mereka, Kami-sama."

"Bencananya tidak akan berkepanjangan apabila mereka cepat menangkap maksudku," jawab Sang Dewa dingin, penuh dengan kuasa.

Hiyori jadi mendengkus.

"Kalau memang Anda ingin bertemu denganku, bukankah Anda bisa menyampaikan keinginan Anda melalui orang yang mengantar persembahan satu hari setelahku? Anda tidak perlu membuat bencana seperti ini!" protes Hiyori.

"Aku tidak bicara dengan sembarang manusia," ucap Sang Dewa. "Hanya kepada manusia tertentu. Aku cukup pemalu, sebenarnya."

Mendadak Hiyori mengubah ekspresinya menjadi ekspresi datar. Pemalu apaan? Kemarin saja dewa itu menciumi lengan Hiyori, membauinya dan dengan sekenanya berkata bahwa Hiyori wangi perawan. Pemalu dari mananya, coba?!

Dengan sok tak bersalah, dewa itu pun tersenyum miring, lalu menatap Hiyori dengan tatapan usil. Dia betul-betul menyebalkan. Memang wajar saja Hiyori mengomel padanya tempo hari. Saat pertama kali bertemu dengannya, Hiyori tak menyangka bahwa Dewa Kemakmuran yang sangat dihormati dan diagung-agungkan oleh masyarakat Pulau Tennmei ternyata adalah seorang dewa yang usil. Dia perayu ulung; dia layaknya seorang playboy yang hobi gombal. Berani-beraninya dia langsung mendekati Hiyori di hari itu dan menarik pergelangan tangan Hiyori, lalu menciumi sepanjang lengan Hiyori hingga ke atas dengan mata tertutup. Setelah itu, dia berkata bahwa tubuh Hiyori wangi. Wangi gadis muda.

Spontan saja Hiyori terlonjak ke belakang dan menarik tangannya. Wajahnya jadi semerah kepiting rebus waktu itu, ia jadi mengomel tak jelas karena terkejut. Namun, Dewa hanya tersenyum miring padanya. Dewa itu malah berkata bahwa tubuh Hiyori aromanya enak, aroma gadis perawan.

Jadi, pemalu dari mananya? Dia bahkan langsung berbicara dengan santai pada Hiyori saat pertama kali mereka bertemu!!

"Kami-sama, aku lebih percaya babi bisa terbang daripada kalimat Anda yang mengatakan bahwa Anda pemalu," ucap Hiyori spontan dengan wajah datarnya.

Sontak Sang Dewa tertawa. Dia tertawa.

"Aku bisa menerbangkan seluruh babi yang ada di hutan yang ada di Desa Shinra, jika kau mau," ujar Sang Dewa tatkala dia selesai tertawa. "tetapi benar, aku hanya berbicara pada manusia tertentu. Manusia yang membuatku tertarik, contohnya."

Meski Sang Dewa tampak tersenyum miring, Hiyori yang ada di hadapannya kini mulai tertunduk dan menghela napas. Hiyori berkacak pinggang, kepalanya mulai pusing karena perdebatan dengan Dewa ini.

Setelah dua detik, Hiyori pun menatap ke arah Dewa lagi. Mereka masih berhadap-hadapan. Masih bertatapan. Jarak antartubuh mereka hanya tiga jengkal.

"Jadi, katakan padaku. Mengapa Anda ingin bertemu denganku lagi?" tanya Hiyori. Dia mulai lelah. Dia hanya ingin mendengarkan alasan Sang Dewa, untuk saat ini.

Dewa pun mengedipkan matanya perlahan. Kedua iris matanya terlihat begitu indah.

Tak lama kemudian, dewa itu pun bersuara.

"Sudah kubilang aku suka baumu. Bau gadis muda yang masih perawan. Aku senang melihatmu," ujar dewa itu. "Kau adalah salah satu manusia yang membuatku tertarik."

Mendengar itu, Hiyori jadi menatap Dewa dengan jengah. "Ternyata Anda memang mesum."

Sang Dewa kontan tertawa. Dia tertawa hingga kepalanya terdongak. Memang benar-benar tidak kelihatan seperti seorang dewa pada umumnya. Pertama kali melihat garis wajahnya, kau akan mengira bahwa dia ini setengah-setengah; dia terlihat tegas, tetapi juga terlihat penuh jenaka. Akan tetapi, jika benar-benar sudah berbicara dengannya, kau akan sadar bahwa dia jelas-jelas merupakan seorang dewa yang jail. Suka bermain-main. Mesum tak ketolongan.

"Di desa Shinra dan Shinrei banyak gadis perawan, Kami-sama," ujar Hiyori, menghela napas lelah. "Anda bisa memilih salah satu atau beberapa dari mereka. Namun, jangan pilih aku. Aku tidak mau menjadi wanita yang menempel pada Anda; aku mau menikah dengan normal, bersama laki-laki normal."

"Hmmm?" deham Sang Dewa, ia memiringkan kepalanya, lalu menaikkan sebelah alisnya di hadapan Hiyori. "Mari kita lihat, siapa laki-laki yang berani menikahimu kelak jika ada aku yang mengawasimu dari belakang."

Hiyori kontan menganga. "Ap—"

"…dan lagi, berhenti memanggilku Kami-sama," ujar dewa itu. "Panggil aku Dewa Hymen. Hymen."

Hiyori mengerutkan dahi. Hymen? Bukannya Dewa Hymen itu artinya… Dewa Perkawinan?

Lagi pula, kata 'Hymen' itu…apabila tunggal, artinya…selaput dara, bukan?

ASTAGA.

"Kami-sama!!" teriak Hiyori spontan. Jantungnya rasanya hampir berhenti berdetak. Wajah Hiyori merah bukan main. "Anda ini mesum sekali!!!"

"Lho, teman-temanku semuanya memanggilku seperti itu," ujar Sang Dewa, dia kini menaikkan kedua alisnya, menatap Hiyori dengan tatapan polos. "Aku suka bila dijuluki Dewa Perkawinan."

"Kau, kan, bukan dewa perkawinan!!!" teriak Hiyori. "Lagi pula, 'Hymen' itu artinya—"

"Selaput dara?" potong Sang Dewa. Dewa itu lantas tergelak. "Tidak apa-apa. Aku suka perawan."

Dewa yang satu ini rupanya penjahat kelamin. Dia berujar sekenanya saja.

Hiyori mengurut pelipisnya. Gadis itu jadi kewalahan sendiri; dia pusing tujuh keliling.

Akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, Hiyori pun menatap ke arah Dewa kembali. Dia jadi pasrah. Menghela napas, Hiyori pun akhirnya berkata, "Baiklah. Jadi, apakah aku harus memanggil Anda dengan panggilan Hymen-sama?"

Tersenyum lebar, Sang Dewa pun mengangguk.

"Benar. Panggil aku seperti itu."

 

******

 

Sembilan hari yang lalu, Hiyori datang ke Kuil Dewa Kemakmuran dengan pakaian kimono berwarna putih. Hiyori memasang pita berwarna merah di pinggangnya serta rok yang juga berwarna merah. Hiyori naik ke atas gunung dengan rambut panjang berwarna ungu tuanya yang dijepit menggunakan dua jepit bunga berantai yang berwarna merah. Ada beberapa garis-garis merah di atasan kimononya yang berwarna putih. Ia naik membawa persembahan untuk dewa, persembahan itu berisi makanan, buah-buahan, bir—yang entah mengapa dititipkan oleh Raiden-sama—serta ada juga sebuah lilin dan dupa.

Pintu berdaun dua di kuil tersebut terbuka. Hiyori berdiri di depan pintu, tetapi karena dia tahu bahwa dia sedang berada di dalam kuil seorang dewa, Hiyori tidak berani mengangkat kepalanya begitu dia sampai di depan pintu berdaun dua itu. Hiyori terus merundukkan kepala, lalu dia mulai duduk dengan bertumpukan lututnya dan menaruh persembahan yang tengah ia bawa itu ke permukaan lantai. Setelah itu, seraya bersujud penuh hormat, Hiyori pun berkata dengan sopan, "Kami-sama, ini persembahan untuk Anda hari ini."

Hiyori tidak mendengarkan jawaban apa pun selama beberapa saat. Akan tetapi, Hiyori tidak berpikir yang bukan-bukan. Wajar saja, soalnya dia bukan berhadapan dengan seorang manusia. Yang ia hadapi ini adalah seorang dewa. Hiyori sejak awal tak berekspektasi untuk berbicara dengan Sang Dewa yang Agung. Dia hanya berekspektasi pada skenario yang paling masuk akal, yaitu dia membawakan persembahan pada dewa, meletakkannya, bersujud, lalu mungkin saja sedikit melihat sosok Sang Dewa, kemudian pergi dari kuil tersebut dan turun gunung.

Akan tetapi, ketika Hiyori baru saja berniat untuk bangun dari sujudnya, tiba-tiba terdengarlah sebuah suara berat yang mulai berbicara kepadanya.

 

"Angkat kepalamu."

 

Kontan, di dalam sujud hormatnya itu, mata Hiyori terbelalak. Ia terkejut.

Apakah yang barusan bersuara itu… Dewa Kemakmuran?

Jantung Hiyori berdetak kencang. Astaga, dia akan berhadapan dengan Dewa secara langsung. Dia akan melihat Sang Dewa dengan mata kepalanya sendiri.

Hiyori meneguk ludahnya gugup. Napasnya tertahan sejenak. Hiyori pun mencoba untuk menormalkan pernapasannya terlebih dahulu.

Hingga akhirnya, Hiyori pun mengangkat kepalanya.

Gadis itu duduk dengan posisi tegap, menatap sosok yang ternyata sedari tadi tengah duduk di depan sana, memperhatikannya.

Sosok itu berwujud laki-laki. Lelaki yang berparas sempurna, berpakaian seperti seorang dewa, tetapi tampak santai karena sedang berada di dalam kuilnya sendiri.

Laki-laki itu tengah duduk di sebuah altar kecil yang di belakangnya terdapat meja dengan cermin bundar, tetapi di samping tubuhnya terdapat sebuah kursi kayu pendek yang berbentuk persegi panjang. Jadi, posisi duduk lelaki itu adalah: dia duduk di atas altar itu, membelakangi meja, dan siku tangan sebelah kanannya bertumpu pada kursi kayu pendek tersebut. Dia menumpukan pipinya ke telapak tangan kanannya, menatap ke arah Hiyori seraya tersenyum.

Sebentar. Tersenyum?

Apakah yang duduk di sana itu… Dewa Kemakmuran?

Hiyori melihat bahwa di dekat dewa tersebut ada sebuah gelas berisi cairan. Berhubung bentuk gelasnya sama dengan gelas yang ada di nampan persembahan yang Hiyori bawa, apakah gelas itu…berisi bir? Apa Dewa baru saja meminum bir? Sang Dewa…meminum bir?

Serius, nih?

Pantas saja Raiden-sama menyelipkan segelas bir di persembahan yang Hiyori bawa. Rupanya Dewa Kemakmuran senang meminum bir?

Dia jadi terlihat seperti lelaki dewasa pemabuk, meski tampangnya seluar biasa itu.

"Baru kali ini Raiden menugaskan seorang gadis muda untuk mengantarkan persembahan kepadaku," ucap Sang Dewa, menyatukan kedua alisnya agar menatap Hiyori dengan fokus. Setelah itu, senyuman Sang Dewa berubah menjadi senyuman miring. "Ini menarik."

Mendengarkan kalimat dari Sang Dewa, Hiyori pun melebarkan mata. Dia merasa seperti harus menjelaskan situasinya, bahwa ia hanya menggantikan Otoya-san. "Kami-sama, aku—"

Kalimat Hiyori terpotong tatkala secara mengejutkan, bagaikan sekelebat angin, kurang dari waktu satu kedipan mata, tiba-tiba Sang Dewa telah berada di hadapannya. Membuat Hiyori jadi lupa bernapas; jantung Hiyori seakan berhenti berdegup. Dalam waktu secepat kilat, bagaikan dengan kecepatan cahaya, tiba-tiba saja Dewa sudah duduk di hadapannya. Duduk bertumpu dengan lutut sebelah kanannya.

Setelah itu, dalam waktu sekejap mata pula, Sang Dewa tiba-tiba meraih tangan sebelah kanan Hiyori. Mengangkat lengan Hiyori, kemudian kepalanya tertunduk. Dia mendekatkan hidungnya ke punggung tangan Hiyori. Membaui punggung tangan gadis itu.

Hiyori semakin kaget bukan main. Semburat merah mulai muncul di kedua pipi Hiyori yang berkulit putih. Namun, ternyata aktivitas dewa tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Dewa itu memejamkan kedua matanya dan semakin memajukan kepalanya, membaui tangan Hiyori hingga menjalar ke atas, sampai ke bagian lengan gadis itu.

"Mm," ucap dewa itu seraya masih membaui lengan Hiyori. "Wangi dari seorang gadis muda selalu enak untuk dicium."

Kontan saja Hiyori terlonjak ke belakang. Wajahnya kini sudah semerah kepiting rebus, rasanya sudah mau meledak karena terlalu mendidih. Seluruh darah Hiyori yang mendidih itu berasa seolah naik ke atas kepalanya dan hampir membuncah ke luar, layaknya gunung berapi yang meletus dan memuntahkan lava.

"K—Kami-sama?!" ujar Hiyori dengan terbata, ia kaget setengah mati. Ia sudah terlonjak ke belakang dan nyaris berbaring, tangannya otomatis terlepas begitu saja dari genggaman Sang Dewa. Hiyori pun meletakkan tangannya itu di depan dada, seakan-akan tengah melindungi diri. "A—apa yang baru saja Anda lakukan?!"

Lelaki itu, wujud dari Sang Dewa Kemakmuran, masih duduk di hadapan Hiyori. Sebelah tangannya yang tadi tengah memegangi jemari Hiyori itu tampak masih terhenti di udara. Setelah mendengarkan pertanyaan dari Hiyori, dewa itu pun menatap Hiyori dengan mata bulatnya seakan-akan dia tidak melakukan sesuatu yang salah. "Hm? Aku mencium aroma tubuhmu."

Hiyori menganga. Ia kaget bukan main; ia benar-benar tak habis pikir. Mengapa Dewa mencium aroma tubuhnya?! Apakah dia benar-benar sedang berhadapan dengan seorang dewa sekarang?

Namun, setelah beberapa saat, Hiyori pun mulai menyatukan alisnya. Matanya jadi menatap Sang Dewa dengan tatapan penuh selidik. "Kami-sama, apakah Anda terlalu banyak minum bir?!!"

"Seorang Dewa tidak bisa mabuk, Gadis Muda," ujar Sang Dewa. "Aku memang sedang mencium aroma tubuhmu."

Hiyori kontan merona lagi, wajahnya memanas. Matanya membulat penuh dan jantungnya berdegup kencang. Dia jadi gagap. "Me—me—mengapa??!"

"Aromamu enak," ujar Sang Dewa, kemudian dewa itu tersenyum miring. "Aroma seorang gadis perawan."

Hah?!!

Perawan?!

Apakah Dewa sedang berpikiran mesum padanya?

Ini…bukankah ini pelecehan seksual?!!

Mendadak Hiyori jadi kesal. Kesal minta ampun. Hiyori pun duduk tegap, lalu langsung berdiri. Dia kontan menatap Dewa dengan penuh amarah. "Kami-sama, apakah Anda hobi merendahkan wanita seperti ini?!!"

Sang Dewa pun menoleh ke atas. Menatap ke arah Hiyori yang tengah memarahinya dari atas.

Dewa itu pun berdiri dari posisi duduknya. Tubuhnya yang tinggi menjulang kontan langsung membuat Hiyori mendongak agar bisa menatapnya lurus-lurus.

"Apakah terjadi sesuatu dengan telingamu, Gadis Muda?" ujar Sang Dewa seraya memiringkan kepalanya. Kedua tangan lelaki itu terlipat di depan dada. "Aku memujimu. Kubilang tubuhmu wangi. Aku menyukainya."

"Tapi itu termasuk pelecehan melalui kata-kata, Kami-sama!!" teriak Hiyori. "Cara Anda mengucapkannya tadi itu seperti—"

"Aku tidak bermaksud buruk," potong Sang Dewa. Ia tersenyum miring pada Hiyori. "Aku senang baumu. Wajahmu cantik; tubuhmu molek. Raiden memilih seorang gadis muda yang tepat untuk mengantarkan persembahan hari ini."

T—tubuh…molek?

Sebentar. Itu maksudnya—

Hiyori kontan menganga. Seluruh rasa takut Hiyori pun mendadak hilang. Ia berasa jadi objek kemesuman seorang laki-laki, terlepas dari laki-laki tersebut manusia ataupun dewa.

"Dasar Dewa Mesum!!!!" teriak Hiyori kencang.

Tadi, sebelum naik gunung, Raiden-sama memang berkata, 'Dewa akan menyukaimu.'

Namun, tidak Hiyori sangka bahwa 'menyukai' yang dimaksud malah jadi 'menyukai' yang seperti ini!!

Wajah Hiyori kini merah padam. Merah sempurna. Napasnya terengah-engah setelah meneriakkan kalimat itu. Kepalanya seolah berasap akibat darahnya yang terasa mendidih dan darah itu naik semua ke kepala.

Namun, Sang Dewa justru tertawa.

Dia tertawa geli. Seakan-akan mendengar sesuatu yang begitu lucu, begitu imut, dan begitu baru di telinganya. Sesungguhnya, baru kali ini dia diteriaki 'mesum', apalagi oleh seorang manusia. Seorang gadis manusia.

Hiyori merasa malu luar biasa. Rasanya ia ingin menutupi wajahnya dan kabur dari sini sesegera mungkin. Akan tetapi, ternyata semuanya belum selesai. Sang Dewa yang sudah berhenti tertawa pun kini mulai kembali bersuara.

"Mungkin ini memang terdengar sangat mesum," ujarnya. Dia tersenyum kepada Hiyori. "tetapi aku serius. Aku suka melihatmu. Auramu tidak negatif, wajahmu cantik, aromamu enak, dan tubuhmu sintal. Aku suka gadis muda yang sehat sepertimu."

Kontan saja Hiyori membulatkan kedua matanya. Hiyori tidak kuat lagi. Isi kepala gadis itu mulai kacau. Kata-kata dari Sang Dewa terasa berkecamuk di dalam benaknya. Dadanya sesak, detak jantungnya jadi tak keruan. Wajahnya memanas dan pipinya mungkin terlihat merah sekali sekarang. Lidahnya jadi kelu; ia bahkan tak tahu lagi harus merespons seperti apa.

Karena merasa kacau, malu, sekaligus heran setengah mati, gadis itu pun langsung berbalik. Ia langsung berlari meninggalkan Dewa Kemakmuran itu, lalu berlari keluar dari kuil itu dan turun gunung dengan kecepatan tinggi.

Apa—apa-apaan itu tadi?!!

 

******

 

Kini, Hiyori tengah berdiri di balkon lantai dua kuil, memandangi area pekarangan kuil hingga jauh menembus ke bawah gunung yang tertutupi dengan pepohonan di sepanjang pendakian. Pepohonan itu memang tumbuh dengan rapi, membentuk barisan yang teratur, menjadikan mereka sebagai hutan yang indah. Meskipun jalan menuju ke kaki gunung dipenuhi dengan pepohonan, Hiyori masih bisa melihat jauh ke bawah gunung. Hiyori bisa melihat Desa Shinra dan Shinrei yang bersebelahan, serta pantai yang mengelilingi ujung Pulau Tennmei. Hiyori berdiri di balkon bersama Hymen-sama. Sebelum pergi ke balkon, Hiyori telah memberitahukan namanya kepada Hymen-sama.

Jauh di bawah sana, Hiyori masih bisa melihat genangan airnya. Di bawah sana masih banjir, tentunya. Ini agak mengerikan karena banjir yang menggenang itu jadi membuat Desa Shinrei terlihat menyatu dengan pantai. Kalau ada ikan hiu yang tersasar, bagaimana?!

Aduh, imajinasi Hiyori jadi melanglangbuana. Namun, hei, itu bukan mustahil! Pulau ini dikelilingi pantai.

"Tolong hentikan bencana di desa kami, Hymen-sama," ujar Hiyori, gadis itu mulai menghadap ke arah Hymen-sama dan menatap dewa itu dengan tatapan memohon. "Aku sudah menemuimu. Jadi, tolong hentikan bencananya."

Hymen-sama yang tengah memandang ke bawah seraya melipat kedua tangannya di depan dada tersebut mulai menoleh ke arah Hiyori. Dewa itu lalu tersenyum miring. "Aku akan menghentikannya sekarang. Akan tetapi, ada syaratnya."

Mata Hiyori membulat. Waduh, syarat apa lagi ini? Perasaan Hiyori jadi tidak enak.

"Syarat?" tanya Hiyori dengan hati-hati, memastikan pendengarannya.

"Hmm." Hymen-sama mengangguk. "Ada syaratnya."

Hiyori pun menyatukan alisnya. "Syarat apa, Hymen-sama…?"

Mendengar pertanyaan dari Hiyori tersebut, Hymen-sama pun tersenyum.

Namun, berbeda dari yang sebelum-sebelumnya, senyuman Hymen-sama kali ini terlihat begitu manis. Kelewat manis.

Membuat Hiyori jadi berkeringat dingin.

"Syaratnya sederhana," ujar Hymen-sama. Kini, Sang Dewa itu menatap Hiyori tepat di kedua mata gadis itu. Kelopak mata Hymen-sama terlihat sedikit turun; ia menatap Hiyori dengan serius. Ia tidak sedang bermain-main. Senyuman manis yang tadi ia perlihatkan kepada Hiyori kini hanya tinggal berupa senyuman tipis, tetapi penuh arti. Apa pun yang akan ia ucapkan setelah ini, kemungkinan adalah sebuah perintah yang tidak dapat Hiyori atau siapa pun bantah.

Akhirnya, Hymen-sama pun melanjutkan, "Syaratnya adalah: mulai sekarang, yang datang mengantarkan persembahan untukku harus kau. Kau seorang. Tidak boleh yang lain."

Kedua mata Hiyori spontan terbelalak lagi.

Hymen-sama pun tersenyum miring, kemudian dewa itu kembali melihat ke depan. Memalingkan tatapannya dari Hiyori seraya berkata, "Jika kau menolaknya, maka aku takkan menghentikan bencana di desa kalian."

Hiyori sontak panik. Jantungnya berdegup kencang; ia jadi gusar. "T—tapi Hymen-sama—"

"Tidak ada kata 'tapi'," potong Hymen-sama. "Katakan 'ya' atau 'tidak'. Semuanya ada di tanganmu."

Hiyori jelas saja menganga lebar. Napas Hiyori mendadak jadi terhenti untuk beberapa saat; dadanya sesak, bagai ada sebuah lembing yang baru saja menohok jantungnya.

Melihat Hymen-sama yang tak bergeming, Hiyori pun tertunduk.

Astaga, bisa-bisanya keadaannya jadi seperti ini. Bagaimana mungkin semuanya jadi seperti ini?

Hiyori berpikir keras. Gadis itu tidak mungkin mengatakan 'tidak'. Bencana di desanya harus segera dihentikan atau desanya akan tenggelam sebentar lagi. Mereka pun tidak akan bisa mengambil hasil kebun mereka, tidak bisa bergerak ke mana-mana, dan tidak bisa makan dengan benar. Hal terburuknya adalah: mereka akan mati karena terseret badai, tenggelam di dalam banjir yang semakin tinggi, atau karena kesulitan hidup dengan benar karena banjir menenggelamkan seluruh rumah beserta kebun-kebun dan bahan makanan mereka. Mereka bisa mati semua. Ada kemungkinan juga mereka akan ditelan hiu.

Hiyori harus mengatakan 'ya'. Namun, sebagai gantinya, Hiyori harus menjadi orang satu-satunya yang akan naik-turun gunung setiap hari untuk mengantarkan persembahan kepada Dewa Hymen.

Ya sudahlah.

Tidak apa-apa.

Dia hanya harus menyumbangkan tenaga.

Yang penting, desanya selamat. Yang penting, keluarganya beserta semua orang di Desa Shinrei bisa selamat.

Akhirnya, Hiyori pun mengepalkan tangannya; gadis itu sudah merasa yakin. Dia membulatkan keputusannya.

Hiyori mengangkat kepalanya; ia menatap ke arah Hymen-sama kembali. Namun, hal yang sedikit mengejutkan gadis itu adalah, ternyata Hymen-sama sudah lebih dulu menatap ke arahnya.

Agaknya, sedari tadi dewa tersebut tengah menunggu jawaban dari mulutnya.

Setelah meneguk ludahnya perlahan, Hiyori pun menatap Hymen-sama dengan penuh keyakinan. Kedua tangan Hiyori masih terkepal di kedua sisi tubuhnya. Dia sudah bertekad.

"Baiklah," ujar gadis itu pada akhirnya. "Aku akan menjadi satu-satunya orang yang akan mengantarkan persembahan dari Desa Shinrei kepada Anda, Hymen-sama."

Mendengar jawaban dari Hiyori tersebut, sebuah senyuman pun terbit di wajah Hymen-sama. Senyuman itu berupa senyuman miring yang penuh arti. Penuh dengan kepuasan.

Setelah itu, tanpa mengatakan apa-apa, Hymen-sama pun melangkah maju. Sang Dewa itu mendekat ke kayu pembatas balkon, kemudian mengangkat sebelah tangannya. Tangan sebelah kanan.

Satu detik setelah itu, Sang Dewa itu menjentikkan jarinya.

Dalam satu jentikan jari yang berbunyi 'klik' itu, tiba-tiba saja semuanya bergerak. Hiyori membulatkan kedua matanya. Lagi-lagi, ada embusan angin yang datang menerbangkan helaian rambutnya. Dalam riuhnya embusan angin tersebut, Hiyori menyaksikan segalanya.

Genangan air yang ada di bawah sana tiba-tiba surut dengan cepat. Tanahnya kering kembali. Tumbuh-tumbuhan yang mati mendadak tumbuh kembali. Semuanya tumbuh dengan subur seperti sediakala. Awan hitam yang hanya ada di atas langit Desa Shinrei itu perlahan menghilang. Sinar matahari yang sudah beberapa hari ini tidak muncul, mendadak muncul bersamaan dengan menghilangnya awan hitam itu. Badai yang tadinya hampir datang kembali, mendadak hilang begitu saja.

Semuanya kembali ke keadaan semula dalam waktu singkat, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Hiyori terenyak. Tanpa sadar, mulutnya terbuka tatkala menyaksikan semua itu. Matanya terbuka lebar. Ia benar-benar terperangah.

Ia baru saja melihat kekuatan seorang dewa. Ia baru saja menyaksikan keajaiban yang dilakukan oleh Sang Dewa, dengan mata kepalanya sendiri.

Kini semuanya telah kembali normal. Semua bencana di Desa Shinrei telah tiada. Desanya sudah kembali menjadi desa yang indah seperti sediakala.

Akan tetapi, Hiyori masih belum bergeming. Ia masih terdiam. Tubuhnya mematung. Masih terlampau kagum, terperangah, dan terkejut dengan apa yang baru saja ia saksikan. Ia tak mampu berkata-kata.

Hingga kemudian, ia mendengar sebuah suara dari samping kanannya.

Suara pergerakan tubuh Hymen-sama.

Dengan sisa-sisa kesadarannya, Hiyori pun menoleh perlahan ke arah dewa tersebut. Dia menatap Sang Dewa dengan kedua mata yang masih menyisakan keterkejutannya beserta kekagumannya dengan apa yang baru saja dia lihat. Wajahnya blank.

Namun, ia masih bisa melihat Hymen-sama yang kini mulai tersenyum miring kepadanya.

"Kalau begitu, mohon bantuannya, ya," ujar Hymen-sama. Dewa itu pun mengedipkan sebelah matanya pada Hiyori, lalu melanjutkan, "Hiyori-chan." []