Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Dari Gavin, oleh Gavin, dan Untuk Gavin!

🇮🇩jihanvelia
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
62
Views
Synopsis
Kalau julukan 'Jomblo Ngenes' itu berwujudkan manusia, Gavin-lah manusia sial itu. Gimana nggak, dari zaman sekolah sampai sekarang, masa iya nggak pernah deket sama cewek? Saking pemalu dan pendiamnya, dia bahkan jarang ngobrol sama cewek. Dia selalu sama Revan. Playboy kelas kerapu. Mancing sama Revan, travelling sama Revan, hiking sama Revan, pokoknya mainnya sama Revaaaan mulu, sampe kerja pun bareng Revan. Untung nggak homo. Minusnya, dia jadi ikutan rada-rada. Dia yang tipikal cowok lurus berkacamata, gara-gara bergaul sama Revan dari zaman sekolah, ya kelakuannya jadi kayak monyet, nyaris niruin Revan. Gavin yang kayak gini, mendadak dikejar-kejar sama cewek centil bernama Nadine, reaksinya gimana, ya? ****** Ini adalah spin-off dari ceritaku yang berjudul 'My Man'. Bercerita tentang Gavin, kakaknya Talitha, bersama dengan sohibnya yang bernama Revan.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Ketika Bego Dipelihara

Bab 1 :

Ketika Bego Dipelihara

 

******

 

ADA seekor anjing Pomerania putih yang sedang memelototi Gavin saat ini.

 Anjingnya masih kecil. Berwarna putih bersih. Lucu.

 

 Tapi matanya melotot.

 

 Nggak, Gavin nggak habis pikir aja. Soalnya kok bisa anjing ini cuma duduk diam di depannya, tapi matanya melotot? Gavin bikin salah apa, coba, sama anjing ini? Lupa nyerahin laporan?

Lagian, ini anjing peliharaan siapa, sih? Kok bisa ada di sini? Ini di kantor, lho. Udah gitu anjingnya dibiarin aja berkeliaran di balkon lantai lima… Nggak takut anjingnya jatuh, apa?

Berasa kayak pecundang amat Gavin jadinya, masa iya dipelototin sama anjing. Kacau.

 Sebenarnya, saat ini Gavin lagi males ribut. Baik itu sama manusia ataupun sama hewan. Nggak mood aja, sumpah. Dia kayak kehabisan tenaga. Soalnya barusan tadi di dalam ruangan dia habis diledekin teman-temannya perkara dia dilangkahi oleh adiknya sendiri soal pernikahan. Ini sekarang saat dia baru saja memutuskan untuk keluar dari ruangan dan minum kopi botolan sebentar di balkon (supaya agak tenang), eh malah dipelototin sama anjing.

 Gavin pengen ngomong, "Udah, dong, melototinnya. Salting, nih.", tapi takutnya anjingnya nggak ngerti.

 Omong-omong soal 'dilangkahi adik', yaa sebenarnya Gavin nggak terlalu mempermasalahkan itu. Iya, benar bahwa adiknya, Talitha, sudah menikah dengan Direktur Utama perusahaan tempat ia bekerja, Pak Marco Deon Abraham. Agak mencengangkan, memang. Ia sendiri tak pernah menyangka hal semacam itu akan terjadi. Kalau dilihat dari segi sifat pun, Talitha yang kayak Tarzan Betina dan Deon yang kayak iblis… Tentu nggak nyambung. Cuma yang namanya jodoh emang nggak tau waktu, tempat, situasi, ataupun kondisi. Yang nggak nyambung pun bisa jadi nyambung, kalau sudah jodoh.

 Gavin pun sudah mendukung mereka. Biar begini, Gavin juga cukup overprotective sama adiknya. Jadi, dia nggak bakal ngasih adiknya menikah ke sembarang orang.

 Gavin bersandar di tembok pembatas balkon lantai lima perusahaan tempat ia bekerja, perusahaan otomotif milik Deon. Ia mencoba untuk meminum kopi botolan yang sedang ia pegang, tanpa memedulikan mata anjing itu yang masih melotot padanya. Gavin masih tak tahu apa salah Gavin dengan hewan tersebut sampai keadaannya jadi seperti ini. Apa Gavin sudah merebut betinanya?

 Tapi Gavin nggak merasa sedang ada hubungan sama hewan.

 Apa Gavin merebut makanannya?

Nggak pernah lihat makanan anjing, kok, di kantor. Di kantor biasanya nggak ada orang yang bawa hewan peliharaan.

Jadi, apa? Gavin sekarang juga cuma bawa kopi botolan. Nggak ada sesuatu yang sekiranya akan disukai anjing. Apa jangan-jangan…anjing ini sekadar kesal ngelihat muka Gavin?

 Etdah. Semakin dipikir-pikir, malah semakin ngaco.

 Setelah meneguk kopi botolannya, Gavin mulai menghela napas. Ia mencoba menenangkan dirinya sebentar, menenggerkan kedua sikunya di pembatas balkon. Ia mencoba melihat ke atas langit.

 

 Ah, cerah juga. Nggak kayak hati gue.

 

 Baru saja mau merenung indah, Gavin terkejut dengan suara gonggongan anjing kecil itu. Anjing yang tadinya hanya diam dan melotot, mendadak terus menggonggong kencang. Gavin langsung menoleh ke arah anjing tersebut dan betapa terkejutnya Gavin saat mendadak,

 …anjing kecil itu melompat ke arahnya. Menuju ke tubuhnya dengan kecepatan yang tinggi.

 "WOAAAAAAAAHHH!" Gavin yang terkejut karena serangan mendadak itu, sontak berteriak kencang. Tidak, dia tidak takut anjing, tetapi dia luar biasa terkejut dengan hewan tersebut yang tiba-tiba melompat tinggi dengan gaya seperti ingin menerkamnya. Ia pun kehilangan keseimbangan, lalu kedua sikunya yang bertengger di pembatas balkon pun terpeleset…dan tubuh bagian atasnya mulai condong ke bawah. Nyaris separuh tubuhnya sudah terdorong ke bawah. Gavin panik, merasa kalau ia sudah sangat dekat dengan maut. Tangannya meraih ke sana kemari, mulutnya berteriak meminta tolong, tetapi tidak ada satu pun yang membuahkan hasil. Tangannya tak berhasil memegang apa pun, sebab semakin lama tubuhnya semakin terdorong ke bawah. Mulutnya juga tak berhasil memanggil siapa pun, entah mengapa, padahal seharusnya di balik pintu balkon itu, ada banyak orang-orang yang satu direksi dengannya. Dia adalah ketua direksi di sana, lho! Masa nggak ada yang barangkali mendengar teriakannya dan mau menolong?!

 Gavin nggak mau mati konyol gini! Yang bener aja! Rudalnya bahkan belum sempat digunakan!

 Kemudian, akhirnya Gavin jatuh. Terpeleset sepenuhnya. Teriakannya pun menggelegar.

 

******

 

 "HUAAAAAAAAAAAHHHHHHH!!!!!!" teriak Gavin kencang; ia terlonjak dari tidurnya. Wajahnya dipenuhi dengan peluh sebesar jagung. Gavin terduduk, selimutnya tersingkap setengah hingga sebelah kakinya terlihat, napasnya terengah-engah bagai baru saja selesai berlari sejauh beberapa kilometer. Jantungnya berdegup kencang dan tak karuan, rasanya seperti mau copot.

Ia benar-benar merasa seolah akan mati. Mimpinya tadi terasa begitu nyata, walaupun diawali dengan hal yang konyol. Gila, ternyata itu semua hanyalah mimpi. Saat menyadari bahwa semuanya hanyalah bunga tidur; semua yang ia lihat tadi tidak nyata, Gavin mulai memegang dadanya dan mencoba untuk menenangkan diri. Menormalkan napas dan detak jantungnya perlahan-lahan.

"Huh—" Gavin mengembuskan napas banyak-banyak; suaranya masih serak, seolah sudah habis karena teriakannya di dalam mimpi. "huh—untung, untung aja. Ya Tuhan. Astaga. Apaan itu tadi, Tuhan.."

Untung aja. Untung aja dia masih hidup. Gavin harus banyak-banyak bersyukur setelah ini.

Rasanya kayak beneran mendapat pengalaman 'hampir mati'. Bikin takut luar biasa.

 

 Ding!

 

 Gavin menoleh ke meja kecil di samping tempat tidurnya—tempat bertenggernya lampu tidur—dan melihat ke arah ponselnya yang ia letakkan juga di atas meja tersebut. Ponsel itu baru saja berbunyi, notifikasi pertanda ada chat yang baru masuk.

 Gavin mengambil ponsel tersebut dan membuka kuncinya dengan pola. Ia langsung melihat notifikasi tersebut dari bagian atas layer ponselnya.

 Ada sebuah chat dari Revan Aditya, sohibnya dari SMA. Revan sama-sama bekerja di perusahaan milik Deon. Bedanya, Revan adalah Ketua Direksi Pemasaran, sementara Gavin adalah Ketua Direksi Pengembangan.

 Kalau Gavin adalah jomblo dari orok, maka Revan adalah kebalikannya. Revan adalah tipe cowok yang selalu gonta-ganti cewek. Setiap hari ulang tahunnya, akan ada bejibun surat cinta dan kado yang diberikan oleh cewek-cewek kepadanya. Meski para cewek itu tahu bahwa Revan adalah playboy kelas kakap, mereka tetap mengincarnya, seolah tak menghiraukan fakta tersebut.

 Revan, Si Kampret itu, kelihatannya santai-santai aja. Ketawa-ketawa terus, hidupnya kayak nggak ada beban. Kerjaannya justru ngatain Gavin sepanjang hari, ngajakin Gavin manjat pohon mangga orang lah, nge-warnet lah, mancing di empang lah, ini lah, itu lah…ada-ada aja kelakuannya. Untung Gavin masih waras dan kadang ialah yang mengingatkan Revan dengan "sabar" bahwa mereka harus lebih menahan diri ("sabar'" = ngoceh sambil menempeleng kepala Revan sedikit). Cewek-cewek yang suka sama Revan itu tau nggak, ya, kalau kelakuannya si Revan itu aslinya kayak gini?

Entahlah. Gavin pun nggak paham kenapa si Revan masih laku keras. Dari SMA, ceweknya gonta-ganti, atau kadang dia PDKT sama seorang cewek terus tiba-tiba besoknya cewek yang dia dekati udah beda lagi. Hal itu bertahan terus menerus, sampai ia kuliah dan kerja saat ini. Usianya sudah kepala tiga, tetapi belum ada gandengan yang serius.

Revannya gendheng. Sementara di belakangnya cewek-cewek pada berantem karena dia. Pada pengin di-notice atau di'spesialin' sama dia.

Perihal Gavin, dari dulu selalu sama Revan. Sebelum ketemu Revan, Gavin selalu jadi NPC di kelas, nggak pernah ada temen. Kalau kata anak-anak sekarang, dia itu nolep banget. Yes, no life. Sendirian terus.

Setelah ketemu Revan, playboy kelas kerapu, dia jadi main sama Revan terus. Soalnya Revan anaknya juga pemaksa. Agak sableng. Gavin akhirnya jadi mancing sama Revan, travelling sama Revan, hiking sama Revan, pokoknya mainnya sama Revaaaan mulu, sampe kerja pun bareng Revan (satu perusahaan). Untung nggak homo.

Minusnya, Gavin jadi ikutan rada-rada. Dia yang tipikal cowok lurus berkacamata, gara-gara bergaul sama Revan dari zaman sekolah, ya kelakuannya jadi kayak monyet, nyaris niruin Revan.

Kira-kira, begitulah koneksi di antara mereka.

Akhirnya, Gavin pun membuka chat tersebut.

 

Revanyet

Nyet, ngantor bareng yuk. Dah bangun lu?

 

 Gavin menghela napas. Setidaknya, chat dari Revan sedikit membuatnya lega karena ia akhirnya yakin seratus persen bahwa ia belum mati.

 Gavin pun membalas chat tersebut.

 

Me

Dah.

 

Revanyet

Kok pucat lu? Abis ketemu cewek ya di mimpi? Wkwkwk

 

Me

Kampret

 

Revanyet

Ets, nak. Inget pesan mama, nggak boleh ngomong jorok.

Btw, cantik nggak ceweknya?

 

Me

Bukan mimpi cewek. Gw mimpi mati.

 

Revanyet

Ebuset

Dark ya bun

Jadi segan gw mau ketawa

 

Me

Lu yang mati kalo lu ketawa

 

Revanyet

Makanya perbanyak amal, nyet

Traktir gue mie ayam, contohnya

 

Me

Tai

 

Revanyet

Wkwkwkwkwkw

Gw otw

Jangan mati dulu

Meriam lu belum meledak soalnya

 

Me

Bangsat

Revanyet

HAHAHAHAH

 Gavin berteriak kesal, tetapi ujungnya dia pun tertawa ngakak. Soalnya, jujur saja tadi dia juga berpikiran seperti itu. Gimana nggak, jomblo ngenes dari orok gini, terus akhirnya malah mati dalam keadaan jomblo juga?

 Maaak, tolooong! Jangan, plis. Jangan dulu…minimal sampai rudalnya sempat terpakai.

 Walau sebenarnya maut nggak bisa di-setting…tapi intinya jangan dulu, lah.

 

******

 

 Gavin dan Revan baru saja ingin masuk ke dalam lift yang ada di ujung lobby kantor—berencana untuk naik ke lantai tempat mereka bekerja—saat tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari samping kanan mereka.

 "WOI TUNGGUUUU!!!"

 Gavin dan Revan sontak menoleh ke asal suara tersebut secara bersamaan. Di sana mereka melihat Vero sedang berlarian dengan napas yang agaknya terengah-engah. Wanita yang berambut sepunggung dan dikucir half ponytail itu melambaikan tangannya ke arah mereka berdua. Ada kacamata yang bertengger di atas kepala wanita itu.

Saat sudah sampai di dekat kedua pria bertubuh tinggi tersebut, Vero pun terbungkuk dan memegangi lututnya; wanita itu tampak kelelahan setelah berlari di lobby yang sangat luas. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah.

 Melihat keberadaan Vero, Revan langsung memutar bola matanya jengkel. Pria itu berdecak.

 Males banget ketemu Veroksin pagi-pagi gini, pikirnya. Ia, Gavin, dan Vero pun akhirnya masuk ke dalam lift tersebut bersama-sama.

 Tak disangka-sangka, saat lift mulai bergerak, tiba-tiba Vero balas berdecak. Wanita itu menatap Revan dengan tatapan tak suka. "Apa lu, Van, pagi-pagi udah ngeselin aja lu."

 Mendengar itu, Revan langsung merasa tersulut. Revan langsung tertawa sinis—kesal—lalu menatap ke arah Vero dengan mata yang melotot. "Lu yang ngeselin! Masih untung ditungguin! Hormat dikit lu sama atasan!"

 Gavin menatap mereka berdua datar. "Dah, dah, kalian berdua. Masih pagi ini. Jangan rusak mood gue. Berantemnya tunda dulu dah, setidaknya sampe gue ada di depan ruangan gue."

 "Lu kira meeting, pake dijadwalin?! Boker aja nggak bisa dijadwalin!" sungut Vero. Revan melengos.

 Gavin yang tadi berekspresi datar (karena saking terbiasanya dia dengan percekcokan Revan dan Vero), sekarang jadi tertawa ngakak. Sesungguhnya, pemandangan ini sudah ia lihat tiap hari. Revan dan Vero selalu bertengkar setiap hari tanpa absen. Vero ini bernotabene bawahannya Revan; dia anggotanya Revan. Namun, tidak ada sopannya sama sekali. Soalnya emang keburu kesal bukan kepalang sama Revan, jadi dia udah nggak menahan umpatan-umpatannya. Dia udah pasrah, kok, kalau dipecat sama Revan. Kalau menurut Gavin, mungkin itulah yang dia incar. Namun, Revan yang keras kepala dan tahu bahwa itu adalah keinginan Vero, justru memutuskan untuk mempertahankan Vero. Alasannya tentu karena ia tak ingin semuanya berjalan mulus untuk Vero. Biar sama-sama menderita!

Mereka baru bertemu saat sama-sama kerja di perusahaan ini, tetapi entah mengapa gaya bertengkarnya seolah-olah mereka sudah kenal dari ribuan tahun yang lalu dan sudah jadi musuh bebuyutan di abad itu. Soalnya, berantemnya itu nggak ada habisnya. Nggak ada capeknya. Gavin sendiri sampai heran, kok ada orang yang berantemnya se-effort itu.

 Saat lift berbunyi 'Ding!' dan pintunya terbuka, Vero langsung menatap ke arah Revan dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek Revan. Vero lalu berlari kencang ke depan sana, menuju ke arah ruangan kerjanya. Revan yang melihat itu pun langsung emosi jiwa, hampir saja berlari mengejar wanita itu dengan mata yang melotot kalau saja Gavin tidak menahan lengannya dengan kencang.

 "Udah, Nyet, mau lu apain anak gadis orang?" ujar Gavin sembari tertawa. Revan menggaruk kepalanya, rambut kerennya jadi sedikit berantakan karena kesal.

 "Kesel banget gue sama itu anak, Nyet. Ntar kalau ada imunisasi gratis di sekitar sini, pasti gue seret itu anak! Mampus gue lama-lama ngehadapin dia."

 Gavin semakin ngakak. "Awas, ntar jodoh."

 "HOEEK!" teriak Revan, dia muntah secara brutal di udara. "JODOH? SAMA VEROKSIN?? HOEK!!!"

 Gavin terbahak-bahak. "Kampret, jahat banget lu woy!! Si Vero itu cantik, lho!"

 "Percuma aja cantik kalau kelakuannya ngeselin kayak gitu," bantah Revan. "Nggak ada imut-imutnya. Amit-amit yang ada."

 Gavin makin tertawa. Bukan menertawakan Vero, tetapi menertawakan Revan. Soalnya, menurutnya ungkapan-ungkapan kekesalan Revan untuk Vero itu begitu menggelikan. Kayak anak-anak.

 Revan juga kok ke-trigger banget, sih, kalau udah sama Vero? Aneh bin Ajaib.

 Mereka pun berjalan santai menuju ke ruang kerja mereka. Direksi Pengembangan dan Pemasaran kebetulan ada di lantai yang sama. Dua pemuda ini adalah ketua direksinya. Dengan kata lain, mereka berdua adalah pimpinan dari dua direksi tersebut.

 "Eh, Vin," buka Revan tiba-tiba. "Gue lupa ngasih tau lo."

 Gavin mengernyitkan dahi. "Apaan?"

 "Di tempat gue ada anak baru. Cewek." Revan cengar-cengir.

 Gavin mengangguk-angguk, basa-basi. "Oh, yang waktu itu lo wawancarai, ya?"

 Revan mengangguk. "Yoi. Dia udah masuk kerja dari dua hari yang lalu, tapi bukan itu bagian serunya."

 

 Hah? Seru apaan?

 

 "Udahlah, Van. Ga usah cari mangsa terus, lu," celetuk Gavin. Revan pun memukul punggung Gavin kencang.

 "WOY, BUKAN!" protesnya. "Bukan gitu, Nyet!!"

 Gavin nyengir. "Jadi apa?"

 Revan mulai menaikturunkan alisnya jail. Seolah ingin membicarakan sesuatu yang sangat seru seraya menggoda Gavin.

….tetapi dia tidak jadi berbicara. Dia justru memalingkan wajahnya dari Gavin, menatap ke depan lagi, lalu ia bersiul kecil.

"Woy, ngomong nggak lu!!" ancam Gavin. "Ga usah ngomong kalau ujungnya ngegantungin gue! Kampret lu!"

Revan tertawa kencang. Setelah puas tertawa, ia lalu menepuk-nepuk pundak Gavin (seakan ingin menenangkan Gavin) lalu ia berkata, "Nanti aja, deh. Gue duluan, ya."

Tanpa ba-bi-bu, cowok pencinta payudara besar itu pun melangkah pergi meninggalkan Gavin. Gavin menganga; langkahnya terhenti, tangannya terjulur ke depan ingin menghentikan Revan, tetapi tidak berhasil. Ia ditinggalkan di sana dalam keadaan tercengang. Totally dumbfounded.

 

Memang sialan tuh anak.

Awas lu, jangan sampe ntar malem numpang makan di rumah gue!

 

Gavin menggerutu di dalam hati, padahal ia tahu bahwa ia masih tinggal bersama kedua orangtuanya dan yang memasak makan malam tentu adalah ibunya. Jadi, Revan sebetulnya bukan numpang sama Gavin.

Untung aja Revan itu udah dianggap anak sama orangtuanya Gavin. Makanya dia bebas nginap, mandi, makan, dan lain-lain. Seakan-akan rumah sendiri. Soalnya, dia udah temenan sama Gavin dari zaman sekolah, yang mana diam-diam orangtua Gavin bersyukur anaknya berteman dengan Revan, soalnya sejak berteman dengan Revan, anaknya itu jadi terlihat lebih 'berwarna'. Terlihat lebih luwes.

 Menggelengkan kepala, Gavin pun berjalan kembali menuju ke ruangan kerjanya.

 

******

 

 Saat baru sepuluh menit berada di dalam ruangan kerjanya, Gavin mendengar pintu ruangan itu diketuk dari luar.

 "Masuk," ucap Gavin santai.

 Masuklah seorang wanita yang bertubuh langsing dan tinggi, memakai blouse berwarna krim dan rok selutut dengan warna yang seirama. Pakaian kerja wanita itu benar-benar membuatnya terlihat elegan. Classy. Bentuk tubuhnya yang indah terlihat semakin memesona karena setelan itu.

 Wanita itu berkulit putih dan mulus. Rambutnya panjang (kurang lebih sepinggang) dan berwarna hitam. Parasnya sangat cantik. Ayu.

Dia tidak hanya terlihat cantik dan manis,

…dia juga terlihat seksi.

 

 "Pak," panggil wanita itu.

 

 Gavin mengangguk. "Maureen. Ada apa?"

 

 Sekretarisnya itu, Maureen Shenina, tersenyum lembut dan mendekat ke arah meja Gavin setelah merunduk hormat. Setelah sampai tepat di depan meja Gavin, wanita itu pun meletakkan sebuah amplop surat di atas meja itu. Ia menyerahkan amplop surat tersebut kepada Gavin dengan sopan.

 "Ini ada undangan dari sebelah, Pak. Direksi Pemasaran," ujar Maureen dengan tenang. Wanita itu pun tersenyum. "Sepertinya kita diundang untuk makan-makan bersama mereka setelah pulang kerja nanti, Pak."

 Gavin sedikit mengernyitkan dahi dan memiringkan kepala. Apakah ini…terkait 'hal' yang Revan bicarakan tadi?

 Untuk memastikannya, Gavin pun langsung membuka amplop tersebut. Dibacanya undangan dari Direksi Pemasaran itu sekilas.

 Benar. Itu adalah undangan non-formal untuk sekadar makan-makan bersama setelah pulang kerja.

 …tapi buat apa Revan bikin pertemuan kayak gini?

 Enggan berpikir lebih dalam—lagi pula, ia punya dugaan bahwa ini adalah 'sesuatu' yang tadi Revan sembunyikan darinya—Gavin pun menutup undangan itu dan meletakkannya kembali ke atas meja.

 Gavin mengangguk. "Oke. Kasih tau sama yang lain, ya, Maureen. Kita pergi ntar pas pulang kerja."

 Maureen pun tersenyum manis, senyum yang sangat mampu menenangkan orang lain. Senyumnya itu seakan bisa membuat orang lain yakin bahwa wanita ini sangat bisa diandalkan.

 "Baik, Pak," jawabnya dengan pasti, kemudian dia merunduk hormat sebentar dan pamit undur diri. Setelah Maureen keluar dari ruangan itu, Gavin pun bersandar di kursinya.

 Pria itu menyilangkan tangannya di depan dada.

 

 Ayo kita lihat, hal seru macam apa yang mau ditunjukin sama Si Monyet itu. []