Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Lost in the Woods by jihanvelia

🇮🇩jihanvelia
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
30
Views
Synopsis
Untuk memperingati hari wisuda mereka, Zoya bersama kesepuluh temannya berencana untuk pergi ke sebuah hutan yang disebut dengan Sage Forest untuk berkemah selama tiga hari dua malam. Mereka semua menantikan kegiatan itu dan menikmati perjalanan menuju ke sana dengan penuh canda tawa, kecuali Zoya. Soalnya Zoya dipaksa ikut. Awalnya, Zoya tidak mau ikut karena ia tahu bahwa disana akan ada Elias, mantan kekasihnya yang baru ia putuskan beberapa minggu yang lalu. Kalau Zoya ikut, Zoya punya feeling bahwa sesuatu yang tidak mengenakkan pasti akan terjadi. Hingga kemudian, feeling Zoya benar. Namun, bukan karena Elias, ...melainkan karena teman-temannya yang hilang satu per satu di dalam hutan itu.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Statue

Chapter 1 :

Statue

 

******

 

ZOYA tersentak dari tidurnya saat bus tiba-tiba mengerem. Kepalanya terdorong ke belakang dan matanya langsung melebar.

Cuaca mendung hari ini agaknya membuat mata supir bus sedikit mengabur, atau mungkin supir bus yang mereka sewa untuk berkemah sehari setelah mereka wisuda ini mendadak mengantuk karena angin yang sejuk—dan mungkin agak dingin—serta cuaca yang mendung. Langit siang ini terlihat sedikit gelap.

Singkatnya, untuk memperingati hari wisuda mereka, Zoya bersama kesepuluh temannya berencana untuk pergi ke sebuah hutan yang disebut dengan Sage Forest untuk berkemah selama tiga hari dua malam. Ini terdengar seperti Zoya juga ikut serta dalam merencanakan perkemahan ini, tetapi sebenarnya tidak. Zoya sebenarnya tidak ingin ikut serta.

Ini terjadi karena sejak awal, Zoya tahu bahwa teman-teman seangkatannya ini pasti akan mengajak Elias, mantan kekasih Zoya.

Bukan, bukan karena sengaja ingin menjaili Zoya, tetapi karena Elias adalah bintang angkatan mereka. Elias adalah sosok pemuda yang memiliki rupa yang diberkati oleh Tuhan. Dia tampan dan tubuhnya atletis. Jika kau memberi pertanyaan kepada seluruh mahasiswa—maupun dosen—berupa: "Apakah menurutmu Elias adalah mahasiswa universitas kita yang paling tampan?", semua akan mengiyakan tanpa berpikir dua kali.

Dari sekian banyaknya mahasiswa dan mahasiswi di angkatan mereka, yang diajak hanya sepuluh orang. Zoya terseret ikut karena Inez, teman baiknya, berteman juga dengan July, perempuan yang mengadakan acara kemah ini.

Inez berkali-kali memohon kepada Zoya untuk ikut serta, sebab Zoya adalah temannya yang paling akrab. Ia sangat ingin mengikuti acara kemah ini dan semuanya akan menjadi pointless kalau Zoya tidak ikut. Ia menghabiskan sekurang-kurangnya tiga hari untuk membujuk Zoya, sebab Zoya awalnya sangat kukuh tidak mau ikut karena ia tahu bahwa pasti akan ada Elias Archer.

Semua kalimat permohonan dari Inez tidak ada yang mempan. Hingga akhirnya, ada satu kalimat yang mempan; satu kalimat yang berhasil membuat jantung Zoya serasa tertusuk panah.

 

"Zoyaaa," rengek Inez saat itu. "Ayolah. Aku sudah bilang pada July bahwa aku akan mengajakmu dan July sudah setuju. Kalau kau tidak ikut, bukankah semua orang jadi berpikir bahwa kau sengaja menghindari Elias? Bukankah kau akan malu jika semua orang menganggapmu gagal move on?"

 

Sialan.

 

Kira-kira, kalimat itulah yang berhasil mengubah pikiran Zoya. Akhirnya, mau tidak mau, dia memaksakan dirinya untuk ikut. Dia memaksakan tubuhnya untuk menahan semua rasa ketidakmauannya. Dia memaksakan diri untuk bersikap biasa saja, meski rasanya ia ingin menghilang ditelan bumi. Dia pun mem-packing barang-barangnya, walaupun sambil menggerutu.

Mereka sepakat untuk berkumpul di depan rumah July karena bus yang mereka sewa diarahkan untuk menunggu di depan rumah July. Pembayaran sewa bus itu dibagi sepuluh (karena ada sepuluh orang yang ikut), tetapi yang menyewa ke agennya adalah July. Sebelum naik ke bus—saat masih menunggu keberangkatan—Zoya sempat melihat Elias berdiri di depan sana, sedang mengobrol bersama teman-teman yang lain. Kaus v-neck hitam yang ia pakai begitu cocok di tubuh atletisnya. Dia memakai luaran berupa jaket jeans yang berwarna denim. Lengan jaketnya digulung ke atas hingga nyaris mencapai siku dan ia memakai jam tangan. Bentuk tubuhnya, lengan berotot dan beruratnya, hari ini terlihat jelas. Rambut kecoklatannya terlihat begitu keren seperti biasa dan ia hari ini memakai kalung yang mungil dan tipis, memperlihatkan keindahan lehernya dan jakunnya. Rahangnya yang tegas juga membuatnya terlihat maskulin. Style Elias memang selalu macho, tetapi hari ini dia terlihat begitu hot. Apa jangan-jangan dia mau pamer bahwa dia sudah single sekarang?

Sesekali pemuda itu tersenyum tipis merespon pembicaraan teman-temannya. Dia dikerumuni, tipikal anak yang paling populer di kampus dan hampir selalu terlihat tidak pernah sendirian. Jika para perempuan tidak mengerumuninya, maka ia akan bersama teman baiknya, Hayes Jensen. Dia adalah tipikal pemuda yang bicara seperlunya, tetapi dia tetap disenangi oleh orang-orang karena dia tidak angkuh. Dia juga suka berolahraga, jadi banyak laki-laki yang berteman dengannya. Dia tidak pilih-pilih saat mengobrol dengan orang lain dan tetap menjawab pertanyaan mereka dengan baik, meskipun hanya seperlunya.

 Akan tetapi, teman yang paling dekat dengannya hanyalah Hayes.

Saat itu, Elias sempat menatap balik ke arah Zoya. Cepat-cepat Zoya menundukkan kepala, berpura-pura melihat ke arah ponselnya, berpura-pura biasa saja. Aslinya, dia panik bukan main. Hal yang ia scroll di ponselnya bolak-balik adalah menu Pengaturan. Soalnya, kan, ia hanya pura-pura.

Saat mereka akhirnya masuk ke dalam bus, Zoya langsung mencari tempat duduk di tengah-tengah bagian kiri, dekat jendela, dan menarik Inez untuk langsung duduk di sebelahnya. Dia tak ingin melihat Elias lagi. Tadi Zoya sudah hampir tergoda untuk terus menatap penampilan Elias yang sungguh terlihat bersinar hari ini.

Kembali lagi ke masa kini, saat bus tiba-tiba mengerem. Ketika Zoya menengadah, memperhatikan apa yang ada di depan sana hingga membuat supir bus menekan rem dadakan, rupanya di sana ada beberapa pengendara motor yang ingin melaju ke arah yang berlawanan. Ada sekitar tiga motor dan enam orang pria yang menaikinya, yang jika diperhatikan, pakaian serta aksesoris yang mereka kenakan semuanya sama. Tidak memakai pakaian dalam (hanya memakai jas hitam berbulu), memakai kalung panjang (hingga ke dada) yang pendant-nya…tidak kelihatan bentuknya apa, dan memakai celana panjang berwarna hitam juga.

Mereka semua tampak seperti baru pulang dari…pertunjukan? Atau sejenisnya.

Kemudian, keenam pria tersebut mengangguk dan tersenyum kepada supir bus. Mungkin ingin meminta maaf secara tidak kentara. Mereka meminggirkan motor mereka, lalu bus pun berjalan kembali. Saat bus melewati mereka—tepatnya saat mereka berada di samping jendela tempat di mana Zoya duduk—Zoya melihat bahwa mereka semua masih tersenyum ramah.

Zoya pun mengedipkan matanya satu kali, menghadap ke depan, lalu bersandar kembali di kursinya.

This will be a long day.

 

******

 

 Saat kesepuluh penumpang bus itu turun (lima laki-laki dan lima perempuan), bus itu pun mulai berbalik untuk pulang setelah beberapa saat berbicara dengan July selaku penyewa. Bus itu akan kembali menjemput mereka setelah tiga hari dua malam.

 Zoya menatap sekelilingnya, sedikit mendongak agar dapat melebarkan jangkauan pandangannya hingga ke atas. Dia sudah mencari informasi tentang Sage Forest di internet; infonya, Sage Forest memang sering dikunjungi oleh orang lokal dan memang ada beberapa manusia yang hidup di dalamnya. Hutan itu cukup aman dari binatang liar. Sage Forest di foto-foto internet itu memang terlihat seperti hutan kering yang terawat dan tidak terlalu rimbun. Banyak sekali pohon-pohon tinggi, tetapi tidak banyak semak-semak.

 "Let's go," ucap Inez tiba-tiba, menepuk pelan lengan Zoya dan berjalan ke depan. Ternyata, hampir seluruh teman-teman mereka sudah mulai berjalan. Zoya kemudian merunduk, mengeratkan pegangannya pada tas yang sedang ia jinjing, lalu menatap ke depan dan mengikuti langkah teman-temannya.

 Saat sudah berjalan masuk ke dalam hutan, ada seorang pria paruh baya yang menjemput mereka. Pria itu adalah pemimpin dari beberapa penduduk yang tinggal di dalam hutan itu, ia biasa menjadi tour guide untuk orang-orang luar yang berkunjung. Pria itu tersenyum manis kepada mereka, memperkenalkan dirinya sebagai Parker Dawson, dan mulai memimpin jalan; pria itu memberitahu mereka banyak hal dengan nada yang bersahabat.

 Tatkala mereka sampai di daerah yang cukup luas tanpa pohon, Mr. Parker pun berhenti dan mulai memberitahu bahwa mereka sudah sampai. Zoya memerhatikan sekeliling; tidak jauh dari sana ada danau. Danau itu ada di sisi kiri daerah tersebut. Zoya bernapas lega saat mengetahui ada air di dekat mereka. Setidaknya ia bisa mencuci ini-itu. Kalau untuk minum…mereka membawa banyak stok air mineral.

Daerah ini akan menjadi tempat mereka membangun tenda, begitu kata Mr. Parker. Mr. Parker sempat memperingatkan mereka untuk tidak bermain terlalu jauh karena takut ada apa-apa. Jika mereka tidak bermain terlalu jauh, Mr. Parker juga dapat dengan mudah mengawasi mereka. Setelah Mr. Parker berpamitan, mereka semua mulai membangun tenda yang masing-masing dapat memuat tiga sampai empat orang.

 

******

 

 Zoya berjalan sedikit menjauh dari perkemahan mereka untuk mencuci tangan di dekat sebuah pohon; mereka bersepuluh baru saja selesai makan siang. Sedikit terlambat, memang, tetapi masih lebih baik daripada harus menahan lapar hingga malam tiba. Untungnya, mereka sudah merencanakan acara kemah ini dengan baik, jadi seluruh alat masak, alat makan, persediaan makanan, sudah tersedia dan tertata rapi di dalam tenda khusus logistik.

 Saat sedang mencuci tangan, ada seekor kucing berwarna hitam yang mendekati Zoya. Zoya menatap kucing itu sebentar dan lanjut mencuci tangan, hingga tiba-tiba Zoya mendengar sesuatu terjatuh di dekatnya.

 Ya ampun. Kalung mutiara hitamnya terjatuh ke tanah.

 Baru saja Zoya ingin mengambil kalung tersebut, Zoya mendadak terperanjat—hampir terjungkal ke belakang—tatkala tiba-tiba kucing hitam yang tadi dilihatnya itu berlari menghampirinya dan menggigit kalung tersebut, kemudian berlari kencang menjauhi Zoya.

 Zoya menganga. Mendesah frustrasi, Zoya pun akhirnya berdiri dan berlari mengejar kucing tersebut, tetapi semakin dikejar, kucing itu semakin berlari dengan cepat karena merasa terancam.

 "Hei, tunggu!!" teriak Zoya. "Tunggu!!!"

 Aduh, itu adalah kalung peninggalan almarhum ibunya. Dia tidak bisa membiarkan kalung itu hilang!

 Zoya kemudian berlari semakin kencang hingga terengah-engah. Napasnya memburu, suaranya nyaris habis dan mulai bergetar karena terus-terusan berteriak. Namun, ternyata ia masih beruntung. Kucing itu mendadak melepaskan kalungnya di tanah, lalu berlari menjauh.

 Sesampainya Zoya di tempat di mana kucing itu menjatuhkan kalungnya, Zoya pun membungkuk dan memegang lututnya untuk mengatur napas. Ia benar-benar terengah-engah, jantungnya berdetak tak keruan. Rasanya sesak.

 Setelah napasnya mulai normal, Zoya pun berdiri dan mencari keberadaan kalungnya. Ia sempat menyingkirkan rambut panjangnya yang terurai itu ke belakang telinga tatkala mencari kalungnya di tanah. Saat berhasil menemukan kalungnya itu, Zoya pun bernapas lega. Ia berjongkok dan berencana untuk mengambil kalung itu, tetapi kemudian tangan Zoya sedikit terhenti.

…karena tiba-tiba, ada orang lain yang juga sedang berjongkok di depannya dan mengulurkan tangan untuk membantu mengambil kalung tersebut. Napas Zoya tertahan dan ia langsung menatap orang tersebut dengan mata yang melebar.

 

 Akan tetapi, ternyata itu bukanlah orang asing.

 Itu adalah Elias.

 

 "Zoe," panggilnya pelan.

 

 Meskipun merasa kaget, ada sesuatu di dalam dada Zoya yang seolah membuatnya merasa tersengat saat akhirnya ia melihat Elias lagi di hadapannya. Ada sebuah percikan yang tidak asing, yang perlahan menyebar luas di dadanya dan menggelitik perlahan. Memori tentang mereka jelas belum hilang, tetapi sudah dipaksa untuk menguar ke permukaan kembali.

 Akan tetapi, Zoya berhasil menguasai diri. Untuk yang kesekian kalinya, ia kembali mengingatkan dirinya bahwa tiga minggu yang lalu, ia dan Elias tidak putus secara baik-baik. Pemuda ini bersalah padanya.

Zoya lalu menghela napas, mulai berdiri seraya bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?" Tanpa sadar, nada Zoya terdengar sedikit kasar.

 Elias pun berdiri perlahan. Menghadap lurus ke arah Zoya dalam jarak yang dekat. Kemudian matanya melembut; ia tersenyum tipis kepada Zoya.

 

"It's been a long time, Zoe."

 

Jantung Zoya seakan berhenti berdegup. Napasnya tertahan.

Elias masih memanggilnya Zoe. Panggilan khusus darinya untuk Zoya selama mereka menjadi sepasang kekasih.

Zoya berdeham, masih mencoba sekuat tenaga untuk tidak luruh atau kalah di hadapan Elias. Ia tidak ingin terlihat lemah ataupun terlihat masih menyukai keberadaan Elias. "Belum lama. Kita berpisah sekitar tiga minggu yang lalu."

Elias mengangguk pelan. Seraya tersenyum, suara rendahnya terdengar di telinga Zoya. "Yes. It's been quite long, for me."

 Zoya sedikit membuang muka, tidak ingin menatap Elias. Ia tidak ingin melihat ke dalam mata indah milik Elias yang kemarin-kemarin selalu bisa menjebaknya, selalu bisa menenggelamkannya. Saat memandang mata Elias, dunia sekitarnya serasa mengabur. Ia seolah terhipnotis; ia dibuat masuk secara sukarela ke dalam dunia Elias.

 "Bagaimana kabarmu, Zoe?" tanya Elias pelan.

 "Bukan urusanmu," tegas Zoya. "Ya sudah, ya. Aku sudah menemukan kalungku. Aku mau kembali ke perkemahan."

 Tidak disangka-sangka, saat Zoya baru saja ingin melangkah pergi, mendadak Elias menoleh ke samping. Pemuda itu terlihat sedikit takjub, lalu berkata, "—tapi…ini sedikit mengejutkan. Ada patung yang cukup besar di sini."

 Zoya mengernyitkan dahinya heran, lalu ikut menatap ke samping mereka.

 

What the hell?

 Sejak tadi ada patung di sini! Mengapa Zoya tidak menyadarinya?

 

 Zoya menganga. Bisa-bisanya dia tidak sadar bahwa dia berdiri di dekat patung sebesar ini sejak tadi!

 Patung ini tingginya sekitar sepuluh kaki. Berwarna putih dan memiliki sayap yang lebar. Zoya dapat melihat sayapnya dengan jelas karena patung ini membelakangi mereka. Posisi patung itu terlihat seperti orang yang sedang start jongkok sebelum berlari. Agaknya kepala patung itu sedikit tertunduk di depan sana, soalnya Zoya tidak dapat melihat kepala patung itu.

 Tanpa sadar, Zoya mengomentari patung itu, "Mengapa bisa ada patung di sini? Ini di dalam hutan."

 "Ini kelihatannya sudah lama. Mungkin bukan milik penduduk di dalam hutan ini; melainkan peninggalan lama dari zaman dahulu," jawab Elias, menilik patung tersebut.

 Zoya mengernyitkan dahi. Akan tetapi, Zoya tidak memperpanjang pembicaraan tersebut, soalnya ia masih merasa tidak nyaman berada di dekat Elias. "Ya sudah. Aku mau kembali ke perkemahan."

 Elias lalu menatap ke arah Zoya seraya tersenyum dan mengangguk pelan. "Let's go back together, Zoe."

 Zoya langsung berjalan dengan cepat, menghindari Elias. "Aku tidak mau mereka melihatku kembali bersamamu. Also, stop calling me that. We're already over."

 Elias terkekeh pelan. Zoya menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang, ke arah wajah rupawan Elias yang sedang terkekeh. Rasa marah dan sakit hati yang luar biasa telah mampu membuat Zoya menahan dirinya.

 "Zoe. Sudah tiga minggu ini aku tidak bisa menghubungimu," ujar Elias dengan suara rendahnya. Suaranya terdengar pelan dan berat. "Apakah kau memblokir nomorku?"

 Zoya diam. Zoya memang memblokir nomor serta seluruh sosial media Elias. Ia benar-benar marah pada Elias saat mereka putus tiga minggu yang lalu.

 Berjeda sejenak, hingga akhirnya suara maskulin Elias terdengar kembali.

 "Buka, ya. Ada banyak hal yang ingin kukatakan kepadamu," ujar Elias pelan. "For me, as a matter of fact, you're still my Zoe." []