Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

My Friend's Father

🇮🇩jihanvelia
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
61
Views
Synopsis
Rencananya, Selin dan sahabatnya Maxi malam itu mau menginap di rumahnya Lucian, bersama Aria (pacarnya Lucian) dan juga Dylan (sahabatnya Lucian) untuk mengerjakan tugas kelompok dari kampus. Mereka sudah kenal Lucian dari semester pertama, tetapi memang tak pernah main ke rumahnya. Hanya saja, mereka tahu bahwa ibunya Lucian sudah lama meninggal dan ia diurus oleh ayahnya seorang. Mereka juga sudah pernah melihat foto ayahnya Lucian, tetapi hanya sebatas selfie. Itu pun foto berdua dengan Lucian. Nah, hari itu mereka sepakat untuk mengerjakan tugas kelompok di rumah Lucian karena infonya, ayahnya Lucian akan kembali besok malam karena masih berada dalam perjalanan bisnis ke luar negeri. Jadi, ketika Selin menumpang mandi di dalam salah satu kamar mandi tamu rumahnya Lucian, Selin benar-benar tak berekspektasi bahwa dia akan melihat wujud ayahnya Lucian yang ternyata bertubuh tinggi dan kekar itu tengah berdiri di depannya, hanya memakai boxer dan membawa handuk, sedikit terkejut karena melihat Selin keluar dari kamar mandi tamunya. Orang yang seharusnya kembali besok malam, mengapa bisa ada di sini?! Lagi pula, buat apa mandi di kamar mandi tamu?! Tapi....sialan. Selin baru sadar bahwa dirinya saat ini hanya memakai handuk! "Astaga! Astaga ya Tuhan, maaf, Om!" teriak Selin sembari berlari terbirit-birit ke luar kamar. Sial, ini luar biasa memalukan! Saat Selin sudah mulai tenang, Selin berjalan di koridor seraya membatin. Bukannya Selin mau berpikiran mesum, tetapi astaga, itu betulan ayahnya Lucian? Ya Tuhan, seksi sekali. Pria dewasa yang matang. Gagah...dan...punyanya juga terlihat besar di boxer itu- -eh, sebentar. Baju ganti Selin ketinggalan di kamar tamu tadi!
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. "What's your name, again?"

Chapter 1 :

"What's your name, again?"

 

******

 

"LAMA banget, sih, mikirnya?"

Ucap Lucian tiba-tiba, membuat Selin, Maxi, dan Aria tersentak dari rumitnya isi kepala mereka sendiri. Mereka sedang duduk di café yang ada di kampus, masih kepikiran soal apa yang baru saja dosen mereka katakan dua puluh menit yang lalu di kelas, sebelum akhirnya mereka pergi ke café bersama-sama saat jam mata kuliah dosen tersebut selesai.

"Lucian, kalau memang ada tempatnya, kita nggak bakalan mikir lama-lama kayak gini!" sahut Maxi, mendadak kesal sendiri. Aria yang bernotabene pacarnya Lucian juga memperingati Lucian dari gerak matanya.

Lucian menyengir, seolah merasa tak bersalah. "Bukan begitu maksudku. Buat apa kalian repot-repot mikir keras soal ke mana kita bakalan ngerjain tugas kelompoknya?"

Maxi mulai emosi. "Ya kan karena di rumah kami semua ramai—"

"—kan bisa di rumahku," potong Lucian.

 

Maxi terdiam. Agak kaget sebetulnya. Aria dan Selin juga sedikit tertegun, seolah baru berpikir seperti ini : "Lah...kalau dipikir-pikir...iya juga, ya."

"Eh, iya juga, ya," sahut Aria, seolah menyuarakan isi pemikiran mereka bertiga. Maxi juga agak kaget, kok dia tidak kepikiran sampai ke situ, ya? Apa karena mereka belum pernah sama sekali main ke rumahnya Lucian?

Jadi, sebenarnya mereka sudah kenal Lucian dari semester pertama, tetapi memang tidak pernah main ke rumah pemuda itu. Hanya saja, mereka tahu bahwa ibunya Lucian sudah lama meninggal dan anak tunggal itu diurus oleh ayahnya seorang. Dari dulu, Lucian memang tidak pernah mengajak mereka main ke rumahnya.

Sebenarnya, kalau ditelaah dari sisi Lucian, Lucian bukannya tak mau mengajak mereka datang ke rumahnya, dia hanya belum pernah kepikiran saja. Soalnya dia juga nempel sama Aria terus. Hidupnya itu ya cuma tidur, makan, kuliah, olahraga, jalan sama Aria, lalu balik lagi ke rumah. Jadi, lebih ke..tidak pernah kepikiran saja untuk mengajak teman-temannya datang ke rumah. Teman-temannya juga tak pernah inisiatif karena Lucian tidak pernak mengajak mereka. Agak segan juga, sih, sama ayahnya Lucian. Soalnya mereka tahu bahwa Lucian ini anak dari pengusaha sukses. Ayahnya itu konglomerat. Pemilik business conglomerate. Jadi, agak gimana gitu, mau datang ke rumahnya tanpa diajak.

Well, tetapi mereka pernah, sih, melihat foto ayahnya Lucian, walau hanya sebatas selfie. Itu pun foto berdua dengan Lucian dan mereka berdua sama-sama pakai sunglasses.

Intinya, mereka tahu bahwa ayahnya Lucian adalah Juan Abraham Damon Zacharias, yang sering dikenal dengan nama Juan Zacharias. Dia pengusaha besar yang mempunyai perusahaan multinasional Zach Enterprises, Inc., also known as Zach Corp. atau Zach Industries. Anak perusahaannya ada banyak dan bahkan ada yayasannya, yaitu The Zach Foundation. Hanya saja, Selin dan kawan-kawan tak pernah melihat Mr. Zacharias secara langsung walau anaknya tiap hari main sama mereka.

Lucian pernah sesekali bercerita soal teman-temannya kepada ayahnya saat sarapan atau saat berolahraga bersama di hari libur. Sebenarnya, sejauh ini ayahnya tak pernah komplain tentang pergaulan Lucian. Soalnya memang Lucian tak pernah neko-neko juga.

Cuma agak sengklek saja.

Selin menempatkan jemarinya di dagu, mengernyitkan dahi sedikit berpikir, lalu bersuara, "Nggak papa, nih, Lucian? Soalnya kami belum pernah ke sana. Dibolehin, nggak, sama ayah kamu?"

Ini Selin serius bertanya. Soalnya dia betulan agak segan. Bertahun-tahun berteman dengan Lucian, tetapi rasanya pergi ke rumahnya tetap agak segan gimana gitu. Segan, tetapi penasaran. Pengin tahu juga isi rumah konglomerat seperti apa.

Lucian meminum sisa americano di cup miliknya, lalu mengangguk santai seraya menelan likuid yang sedang ia konsumsi itu. "Boleh. Ayahku juga lagi nggak ada di rumah, kok. Dia ada perjalanan bisnis ke China. Udah pergi dari empat hari yang lalu."

Tubuh Aria, Selin, dan Maxi langsung sedikit menegap, mereka seolah mendapat sebuah sambaran energi baru. Ada kilatan semangat di mata mereka yang bergerak sangat cepat. Maxi sampai-sampai sulit menyembunyikan senyumnya. Jujur, excited banget. "Bener, nih?!"

Lucian mengangguk. "Iya. Dia pulangnya besok malam. Kita bisa pakai rumahku buat ngerjain tugasnya. Nanti aku ajak Dylan juga."

Mendengar nama Dylan, rasa semangat Selin agak turun. Ia merasa seolah ada pukulan tak berwujud yang menekan jantungnya. Agak nge-jleb sedikit.

Bukan, bukannya Selin benci sama Dylan. Tidak sama sekali. Selin sama Dylan juga tidak bertengkar. Mereka baik-baik saja, kok.

Tadinya, sih, gitu.

Kalau sekarang... Selin agak merasa canggung ke Dylan.

Sekadar informasi, Selin ada sedikit rasa bersalah sama Dylan. Akhir-akhir ini Selin menjauhi Dylan. Ia merasa harus melakukan itu karena ia tak ingin pertemanan mereka menjadi super-tidak-menyenangkan kalau ia menolak pernyataan cinta dari Dylan. Jadi, dia memilih jalan tengah, yaitu sedikit menjaga jarak dari Dylan. Namun, ya...memang hanya bisa sedikit. Soalnya Dylan itu adalah sahabatnya Lucian. Selin dan Maxi juga adalah temannya Lucian. Jadi, mereka tidak bisa benar-benar 'punya' jarak. Ada Lucian yang menjembatani mereka.

Agak susah kalau sampai mau menjauhi Lucian juga. Soalnya Lucian orangnya baik. Tajir pula.

"Kalau mau nginep di rumahku juga gapapa. Biar sekalian selesai tugasnya. Kalian bisa pulang besok," kata Lucian, meyakinkan mereka semua.

Alhasil, karena tawaran yang bagus itu (dan juga tawaran itu adalah pilihan yang terbaik daripada harus mengerjakan di rumah mereka yang ramai dengan keluarga), mereka semua akhirnya mengangguk setuju.

"Oke, sip, kita nginep aja. Sesekali nginep di rumah konglomerat," jawab Maxi seraya mengacungkan jempol.

Selin mengangguk dan tertawa mendengar jawaban Maxi; agaknya dia sudah mengikhlaskan soal Dylan tadi. "Oke, Lucian. Pulang dari kampus ntar kami langsung pergi ke rumah kamu."

Sementara itu, Aria memilih untuk memeluk lengan Lucian, mengusap-usapkan kepalanya ke lengan atas Lucian sebagai tanda bahwa dia setuju dan bahagia atas tawaran dari kekasihnya itu. Lucian tersenyum melihat kekasihnya yang memang selalu bertingkah manja, sementara Maxi dan Selin yang sudah terbiasa dengan pemandangan tersebut hanya cuek dan kembali fokus membahas rencana menginap mereka di rumah Lucian.

 

*****

 

"Lucian, aku boleh numpang mandi, nggak?" tanya Selin. "Soalnya badanku udah kerasa agak lengket."

"Badan bagian mana, nih, yang lengket?" sahut Lucian, yang langsung dihadiahi pukulan di kepala oleh Aria. "Dasar!"

Lucian tertawa dan menghadang pukulan Aria dengan kedua tangannya yang menyilang. Seraya menghindari pukulan itu, Lucian pun menjawab Selin. "Oke, Selin. Mandi aja. Pakai aja kamar mandi yang ada di dalam kamar tamu lantai dua. Yang ada di sebelah kamar Ayahku."

Anyway, tadi sore mereka sudah tour di rumahnya Lucian. Ternyata rumah ini adalah mansion yang sangat besar. Jujur, saat baru masuk ke wilayah mansion tersebut—jarak dari gate utama hingga ke mansion adalah sekitar hampir satu kilometer—mereka sudah sibuk menganga karena tidak pernah melihat langsung mansion sebesar itu. Rasanya seperti di film-film.

Jadi begini: sebelum masuk ke area mansion, mereka disambut oleh gerbang tinggi yang dijaga oleh dua bangunan pos di bagian kanan dan kirinya. Ketika para penjaga itu memastikan bahwa yang datang adalah Lucian, mereka pun membukakan gerbang besar tersebut dan akhirnya mobil yang Lucian kendarai dipersilakan masuk ke dalam area mansion itu. Tak lupa para penjaga tersebut berbaris memberi hormat kepada Lucian dari luar mobil tatkala Lucian melajukan mobilnya meninggalkan gerbang.

Sesungguhnya, area di dalam gerbang tersebut adalah sebuah lahan sejauh hampir satu kilometer yang tersusun oleh pohon-pohon cemara yang rindang. Jika ada spasi di antara pohon-pohon cemara tersebut, biasanya akan ada plang penanda mewah yang menandakan area apakah spasi tersebut. Sepanjang jalan, Selin melihat ada lapangan futsal, ada lapangan golf, ada kolam renang, lapangan tenis, lapangan voli, dan lapangan berkuda. Ada juga sebuah taman bunga yang luas; di tengah taman bunga itu terdapat tugu berbentuk singa. Taman itu memiliki jalur untuk jogging. Sepertinya Lucian dan ayahnya hobi berolahraga.

Setelah melewati jarak hampir satu kilometer, barulah mereka semua sampai di depan mega mansion-nya Keluarga Zacharias. Di depan mansion tersebut ada pagar lagi dan halamannya sangat luas. Ada sebuah jalan lurus yang lebar dan panjang; jalan itu menuju tepat ke depan tangga berwarna putih yang digunakan untuk naik ke pintu utama mansion. Selin dan teman-temannya menganga lagi ketika melihat mansion itu. Ini persis seperti rumah-rumah atau istana para bangsawan Eropa di masa lalu. Rasanya seperti masuk ke sebuah istana yang sangat megah dan dimiliki oleh keluarga kerajaan. Warna mansion itu dominan krem dan atapnya berwarna hitam kebiruan; bangunan terdepan mansion itu terdiri dari tiga bangunan yang terlihat terpisah dengan susunan kiri-tengah-kanan, tetapi sesungguhnya bagian belakangnya tergabung. Ada pula bangunan lain yang berdiri di belakang tiga bangunan itu. Seluruh bagian mansion itu tersusun dari tiang-tiang yang megah dan setiap dindingnya memiliki relief. Ada lahan berumput di bagian kanan dan kiri jalan yang menuju ke tangga; lahan berumput itu dihias dan dibentuk dengan cantik, seolah dilukis. Berjajar beberapa patung di sekitar lahan berumput itu; patung-patung tersebut agaknya merupakan tiang-tiang lampu. 

Ketika Selin dan teman-temannya turun dari mobil sport Lucian dan mulai naik tangga, mereka tak henti-hentinya melihat ke sekeliling, sampai melihat ke atap-atapnya. Itu menakjubkan. Mereka berasa kecil sekali di daerah mansion itu. Belum lagi pintu rumah itu yang amat besar dan megah. Pintunya berdaun dua; di pintu itu ada relief singa yang di bawahnya bertuliskan 'Zacharias'. Relief itu berwarna keemasan dan bercahaya. Lampu-lampu berwarna warm light yang bertebaran di plafon maupun yang dipasang di tiang-tiang lampu itu membuat istananya terlihat lebih eye-catching, meski sebenarnya cahaya lampunya tidak terlalu terlihat karena Selin dan teman-temannya sampai di mansion itu pada sore hari. Matahari masih bersinar terang, layaknya hati Selin dan teman-temannya pada saat melihat mansion itu. Semuanya menakjubkan; ternyata orang di sekeliling Selin ada yang memiliki mega mansion seperti ini. Maxi sampai lompat-lompat kegirangan, teriak-teriak sendiri. Kapan lagi punya pengalaman masuk ke mansion megah milik billionaire seperti ini? Setelah masuk nanti, mereka harus tour!

Nah, sekarang mari kita kembali ke topik awal, di mana Lucian menyuruh Selin untuk mandi di kamar mandi yang ada di dalam kamar tamu lantai dua. Jadi, karena sudah tour di rumahnya Lucian, Selin sudah tahu letak kamar tamu di lantai dua itu. Letaknya adalah tepat di atas kamar Lucian dan di samping kamar ayah Lucian.

Kamar ayah Lucian sangat mudah untuk dikenali karena kamar itu adalah kamar utama yang terlihat paling besar, jika diukur panjangnya dari koridor. Pintunya juga sangat berbeda dari pintu-pintu kamar yang lain. Dalam satu jentikan jari, seharusnya setiap orang yang melihatnya pasti akan mengerti bahwa itu adalah kamar pemilik mansion ini.

Selin mengangguk. "Oh, iya. Nanti aku mandi di situ. Aku mandi dulu, ya. Badan aku udah nggak enak lagi rasanya. Pengin mandi."

Selin lalu mulai berdiri menghampiri tasnya untuk mengambil baju ganti yang memang sudah ia siapkan karena mereka memang berencana untuk menginap di rumahnya Lucian malam ini. Melihat Selin yang bergegas mau mandi, Maxi juga jadi kepengin mandi. Ia pun langsung berdiri dan berkata, "Aku juga, ah! Kamu nggak mandi, Aria?"

Aria menoleh, berhenti memukuli Lucian dan tersenyum. "Aku ntar aja, Maxi, ntar malam."

Mendengar jawaban itu, mendadak Maxi menyengir jail. "Oho...?" ujar Maxi. Matanya mengerling. Tubuhnya mulai berjoget tak jelas, berniat untuk mengejek Aria dan Lucian sampai puas. "Kok malam-malam mandinya? Kalau malam emangnya habis ngapain? Kok nunggu malam?"

Wajah Aria memerah. Tak disangka-sangka, Lucian juga terlihat sedikit kikuk dan mulai memalingkan matanya seraya menggaruk bagian belakang lehernya yang sesungguhnya tidak gatal.

Melihat reaksi mereka berdua yang seperti itu, Maxi kaget sebentar, lalu tertawa terbahak-bahak. Selin yang tadinya baru mau berjalan keluar kamar (seraya membawa baju gantinya) justru berhenti dan ikut tertawa.

"Enak banget, yang punya pacar," sahut Selin. "Pantesan aja kita semua ditawarin ke sini." Selin tertawa geli seraya menutup mulutnya. Ia dan Maxi saling bertatapan, tertawa, dan saling mengangguk menyetujui. "Iya, nih, iya! Bener! Supaya dia ada kesempatan sama Aria!"

Akan tetapi, saat tubuh Selin semakin mundur ke belakang karena sibuk tertawa, mendadak punggung Selin tertabrak sesuatu yang terasa keras dan bidang. Selin langsung menoleh ke belakang dan mendapati ada tubuh Dylan yang tinggi berdiri di dekatnya. Suara tawa Selin perlahan-lahan menghilang.

Waduh, ada Dylan. Canggung banget, batin Selin.

Mata berwarna biru milik Dylan hanya melihat Selin sebentar. Cowok itu lalu mengalihkan pandangan matanya ke depan. Ke arah Lucian dan Aria.

"Selagi suara kalian nggak terdengar sampai ke luar, nggak papa, Lucian," ujar Dylan dengan suara beratnya. "Soalnya kalau sampai ke luar, takutnya kalian yang besok pagi malu setengah mati. Kami tinggal pulang aja, nggak mau ikutan kena malunya."

Maxi hampir menyemburkan ludahnya karena tak kuat menahan tawa akibat celetukan tajam Dylan. Singkat, padat, dan jelas. Sama sahabatnya aja se-savage itu.

"Wow, tajam banget omongannya, Kak," celetuk Lucian. Catatan: dalam kesehariannya ia tidak memanggil Dylan dengan sebutan 'Kakak'. "Agak santai sedikit boleh, Kak? Lumayan tertusuk, nih, hatiku."

Maxi tertawa terbahak-bahak. Aria diam-diam menertawai kedua laki-laki itu. Selin juga ikutan tertawa, walau ia masih agak canggung dengan Dylan.

Tak Selin sangka, mendadak Dylan melihat ke arah Selin, tanpa sepengetahuan cewek itu. Dylan memicingkan matanya sejenak, lalu dua detik kemudian tatapan matanya kembali normal.

Suara Dylan lalu terdengar kembali. "Ya udah, Lin. Mandi dulu sana. Nanti balik lagi ke sini, ya, sama Maxi. Biar kita lanjutin ngerjain tugasnya."

Sejujurnya Selin agak kaget dengan saran dari Dylan tersebut. Kalau boleh dikata, akhir-akhir ini setiap kata yang keluar dari mulut Dylan akan berhasil membuat Selin sedikit menahan napas. Soalnya, dia punya kegelisahan tersendiri dengan keberadaan Dylan.

Kok Dylan masih ngomong dengan baik-baik, ya, sama aku?

Hanya itu yang terlintas di benak Selin tiap kali Dylan menegurnya, walau sebenarnya kini teguran dari Dylan itu terhitung jarang, sebab Selin telah menambahkan jarak di antara mereka.

Tidak mau berlama-lama tertegun karena mendengar Dylan berbicara padanya, Selin pun berusaha untuk tenang dan mengangguk dengan cepat. Ia tersenyum samar. "O—oke. Aku mandi dulu."

Dylan mengangguk. Selin pun mulai berjalan ke luar kamar (dengan agak tergesa) dan diikuti oleh Maxi. Sementara itu, Lucian mulai meneriaki Maxi yang saat itu tengah mengikuti Selin dari belakang.

"Maxi, jangan ikutan mandi di kamar tamu yang sama kayak Selin, ya! Cari kamar tamu yang lain. Jangan mandi berdua!"

Maxi dan Selin tertawa. Ngapain coba mandi bareng-bareng kalau kamar mandinya ada banyak?

Maxi pun meneriakinya balik, "Iya, astaga! Ada-ada aja!"

Saat Maxi dan Selin berpisah di koridor—karena Maxi menemukan kamar tamu di lantai satu—Selin pun lanjut berjalan dan naik tangga spiral (yang jujur agak melelahkan) untuk naik ke lantai dua. Begitu berjalan memasuki koridor daerah 'kamar utama' itu, jujur Selin agak merinding.

Bukan merinding karena takut. Melainkan merinding karena memikirkan betapa bedanya vibe kamar itu dengan kamar lainnya saat dilewati. It feels...prestigious. Kamar itu walau tertutup, kemegahannya seakan terasa sampai ke luar. Motif dindingnya berbeda, pintunya berbeda. Warna yang mendominasi dinding serta pintu kamar itu adalah merah bercampur hitam. Pokoknya beda sekali rasanya melewati daerah depan kamar itu dengan melewati daerah depan kamar yang lain. Sepertinya ayah Lucian suka warna-warna yang simple, tetapi tetap terlihat mewah luar biasa. It looks expensive.

Menggelengkan kepalanya, Selin pun mengalihkan pandangan dan berjalan fokus ke depan. Saat sampai di depan kamar tamu yang ada di lantai dua itu, Selin langsung membuka pintunya. Pintunya tidak terkunci, mungkin karena tadi siang Lucian sudah meminta head butler di mansion itu untuk tidak mengunci kamar-kamar tamu.

Begitu masuk ke dalam, kamar itu terlihat sangat bagus. Ada ranjang kanopi antik seperti milik bangsawan Eropa di tengah-tengah ruangan. Ada beberapa perabot yang juga sangat bagus dan menyesuaikan warna ruangan itu. Warna cokelat dan krim.

Cantik sekali. It's aesthetically pleasing. Selin sangat suka melihat kamar ini.

Tidak mau menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengagumi ruangan itu—karena tubuhnya sudah lengket—Selin pun langsung meletakkan baju gantinya di atas ranjang. Ia berjalan masuk ke kamar mandi itu dan mulai mandi.

 

******

 

Setelah selesai mandi—dan merasa fresh lagi—Selin pun keluar dari kamar mandi itu dengan perasaan senang. Ia tersenyum dan sedikit bernyanyi kecil, berencana ingin menghampiri baju gantinya yang ia letakkan di atas ranjang.

Akan tetapi, tepat saat mata Selin fokus ke depan untuk berjalan ke arah ranjang, langkah Selin mendadak berhenti.

Mata Selin melebar. Ia seketika berhenti bernyanyi-nyanyi kecil.

Betapa terkejutnya ia saat melihat ada seorang pria berdiri tepat di depannya—seorang pria dewasa yang matang, bertubuh tinggi, tegap, dan kekar—sedang melihat balik ke arahnya. Pria itu hanya memakai boxer; ia membawa handuk berwarna putih di lengannya. Pria itu tampak sedikit terkejut karena melihat Selin keluar dari kamar mandi tamu itu.

 

"Kamu..."

 

Selin mulai berkeringat dingin. Batinnya berkecamuk.

 

Ini...ini bukannya...ayahnya—

 

HAH?!

Bentar-bentar! Masa iya, sih?!

 

Orang yang harusnya kembali besok malam, mengapa bisa ada di sini?! Lagi pula, buat apa mandi di kamar mandi tamu?!

 

Eh...bentar.

Selin baru sadar bahwa dirinya saat ini cuma pakai handuk!

 

"Astaga! Astaga, ya Tuhan! Maaf, Om!" Selin panik setengah mati; ia langsung memegang erat ujung handuk di dadanya dan berlari terbirit-birit ke luar kamar. Sementara itu, ayahnya Lucian tampak memerhatikan Selin yang berlari kencang itu dengan sedikit membuka mulutnya (mungkin ingin memanggil) dan matanya sedikit melebar.

 

Astaga. Astaga. Astaga!

Sial, malu banget ya Tuhan! Kok bisa ayahnya Lucian ada di sana?! batin Selin panik.

 

Setelah berlari agak jauh, Selin mulai terengah-engah. Dia memegang lututnya sebentar dan detak jantungnya bertalu-talu. Dia mulai berpikir ingin lompat saja dari lantai dua saking malunya.

Dia baru saja bertemu dengan ayahnya Lucian, tetapi dia sudah menyuguhkan adegan pornografi.

Etdah.

Menghela napas, Selin pun akhirnya berpasrah. Dia berjalan dengan lesu menuju ke lantai satu, mencoba untuk menenangkan dirinya pelan-pelan sambil berjalan. Ia menghela napasnya berkali-kali.

Sudah. Mudah-mudahan ayahnya Lucian lupa. Amin, batin Selin. Ia sedang mencoba menenangkan dirinya sendiri, walau sebenarnya itu konyol. Ayahnya Lucian itu pasti tidak demensia. Dia masih terlihat sangat manly. Produktif.

Saat sudah mulai tenang, Selin berjalan di koridor seraya membatin. Bukannya Selin mau berpikiran mesum, tapi astaga...itu—yang tadi itu beneran ayahnya Lucian? Ya Tuhan, jujur, Om itu seksi sekali. Pria dewasa yang matang. Sexually attractive father. Gagah...dan...tadi punyanya Om itu juga terlihat besar di boxer itu—

 

—eh, bentar.

 

Baju ganti Selin ke mana?

 

Nah, bagus. Luar biasa. Baju gantinya ketinggalan di kamar tamu tadi!

 

Dengan merengek karena menahan kesal dan malu, Selin pun terpaksa berlari kembali ke kamar tamu lantai dua tersebut. Ia mengutuk keadaan ini, tetapi dia pun tidak bisa menyalahkan dirinya sendiri. Soalnya tadi dia terlalu panik untuk ingat soal baju gantinya yang tergeletak di atas ranjang.

 

Lah, bentar-bentar. Di atas ranjang itu juga ada...

Celana dalam dan bra-nya...

 

Oh, astaga. Rasanya pengin menghantamkan kepalanya sendiri ke dinding. Gilaa, malu banget asli!

 

Saat langkah kakinya sudah mencapai di depan pintu kamar tamu itu—yang masih terbuka—Selin menarik napas dan mengeluarkannya lagi.

 

Udah, gapapa. Aku nggak punya pilihan lain. Malah tambah malu kalau nggak diambil. Mudah-mudahan ayahnya Lucian udah masuk ke kamar mandi, pikirnya.

 

Selin pun mengangguk siap, lalu ia menatap ke depan. Saat menatap ke depan, ia jujur agak kaget karena melihat ayahnya Lucian ternyata sedang duduk di salah satu kursi yang ada di kamar itu, di dekat meja. Pria yang bertangan kekar itu tampak sedang memainkan handphone-nya.

Lho, ayahnya Lucian belum mandi. Nggak jadi mandi apa gimana? batin Selin. Namun, Selin tak mau ambil pusing. Dia hanya ingin mengambil baju gantinya.

Akhirnya, karena malu kalau langsung masuk, Selin pun berbicara dengan pelan di dekat pintu. Ia menyembunyikan separuh tubuhnya di balik pintu seraya memegang handuk yang melekat di dadanya. Posisinya saat ini hanya terlihat kepalanya, lehernya, dan sebelah tangan telanjangnya yang sedang memegang kosen pintu.

 

"Om...?" panggilnya pelan. Gila. Malu, segan, bercampur menjadi satu!

 

Ayahnya Lucian—Om Juan—langsung menoleh.

 

"Ya?"

 

Wah. Suaranya.

Suara Om Juan barusan terdengar begitu seksi.

Bentar. Tahan dulu. Urusan baju Selin belum selesai.

 

"U—um...maaf, Om. Baju aku ketinggalan," cicit Selin. "Aku mau ngambil bajunya, Om. Umm.. Boleh nggak Om tutup mata dulu...?"

Om Juan terlihat terdiam sebentar, matanya sedikit melebar. Ia terlihat agak...menahan napas, terkejut dengan permintaan Selin, meskipun sebenarnya ia tahu bahwa wajar saja Selin memintanya menutup mata.

Om Juan kemudian mengangguk. "Oh, ya. Om tutup mata. Nanti kalau udah kasih tau Om, ya."

Selin sebenarnya ikutan kaget dengan persetujuan dari Om Juan. Agak lucu sebenarnya meminta konglomerat yang merupakan sosok pria yang lebih tua darinya itu untuk menutup mata hanya karena ia ingin lewat dan mengambil baju.

Saat Selin melihat Om Juan sudah menutup mata, Selin pun langsung mengangguk dan bernapas lega seraya berkata, "Iya, Om. Makasih, ya, Om."

Dengan cepat Selin pun langsung berjalan menghampiri ranjang yang ada di dalam kamar itu. Ia mengambil baju dan pakaian dalamnya dengan gerakan secepat kilat, lalu ia berjalan kembali ke dekat pintu. Ke posisinya semula.

Merasa sudah aman, Selin pun mengintip dari kosen pintu lagi dan berkata, "Udah, Om."

Om Juan pun langsung membuka matanya. Ia menemukan Selin yang sudah bersembunyi di posisi semula. Matanya sedikit memicing—tetapi hanya dalam waktu sepersekian detik—dan ini tidak berhasil disadari oleh Selin. "Oke."

"Makasih, ya, Om," ujar Selin sambil menahan malu. Ia pun berencana untuk berbalik dan meninggalkan kamar itu, hingga kemudian ia mendengar suara Om Juan.

 

"Kamu temennya Lucian, ya?"

 

Selin langsung berbalik kembali. Ia berdiri di posisi semula, agak memajukan separuh tubuhnya dari balik kosen pintu.

"I—iya, Om."

Om Juan terlihat memperhatikan Selin dengan pandangan mata yang sukar dijelaskan. Mata berwarna coklatnya terlihat berpendar di bawah lampu kamar itu. Setelah itu, Om Juan mengangguk dan tersenyum. "Oh, gitu, ya. Soalnya Lucian nggak ada bilang ke Om kalau hari ini ada temennya yang datang."

Mendengar itu, Selin langsung merasa perlu mengklarifikasi. "Iya, Om, soalnya kata Lucian, Om pulangnya besok malam. Jadi, Lucian ngajakin kami ke sini untuk ngerjain tugas kelompok dari kampus bareng-bareng..."

"Oh gitu. Soal jadwal pulang itu...nggak jadi. Meeting dan visit-nya selesai lebih cepat daripada apa yang udah direncanainJadi, Om langsung pulang."

Mulut Selin membulat membentuk 'O' dan ia manggut-manggut. Dalam hati, jujur ia mencoba untuk tidak salah fokus dengan Om Juan yang masih hanya memakai boxer itu. Handuk putih milik pria itu ia letakkan di bahu kirinya.

Ah. Rasanya Selin pengin lari dari sini dan cepat-cepat pakai baju. Canggung banget ngobrol kayak gini! Soalnya dia baru hari ini ketemu langsung sama Om Juan. Selin juga sedari tadi mencoba untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan di benaknya, berupa:

 

Harusnya Om Juan melihat baju ganti beserta pakaian dalamnya tadi. Entah itu ketika pria itu pertama kali masuk ke dalam kamar tamu, atau sesaat sebelum Selin kembali lagi ke kamar itu setelah berlari ke luar dengan kencang. Lalu mengapa Om Juan diam saja? Mengapa Om Juan tidak jadi mandi? MengapaOm Juan mandi di sini? Kan Om Juan punya kamarnya sendiri...

 

Udah, udah. Jangan terlalu penasaran. Nanti kebablasan.

 

"What's your name, again?" tanya Om Juan tiba-tiba. Sepasang matanya yang tajam itu kini fokus menatap Selin.

'Again?'

Apakah Om Juan pernah mendengar soal Selin dari Lucian? Ya, menurut Selin itu mungkin saja terjadi, tetapi bukan itu masalahnya sekarang.

Jantung Selin serasa berhenti berdetak. Terutama saat tiba-tiba Om Juan berdiri dari kursinya dan meletakkan handphone-nya di atas meja; ia agaknya bersiap untuk pergi ke kamar mandi. Namun, kepalanya masih menoleh ke arah Selin. Menunggu jawaban Selin. Diam sejenak di sana.

Meneguk ludahnya, Selin berusaha untuk mengabaikan jantungnya yang entah mengapa terus berdegup kencang. Kali ini, ia bisa melihat dengan jelas fisik Om Juan yang sangat menawan.

Tubuhnya yang tinggi, tegap, dan gagah. Dadanya yang bidang. Otot bisep dan trisepnya. Lengannya yang berurat. Mata Selin sedikit menjelajah ke tubuh bagian depannya dan menemukan perut sixpack-nya. Kulitnya yang seksi. Ada sedikit keringat, mungkin karena Om Juan juga baru pulang dari perjalanan jauh. Rahang yang tegas, sepasang mata yang tajam, hidung yang mancung, dan wajah yang menawan. Turun lagi ke bawah...ada kejantanan yang...

Astaga, itu besar sekali.

(Maaf, Selin tak bisa menahan matanya sendiri soalnya).

Jujur, pemandangan itu membuat napas Selin tertahan. Pipinya memerah. Om Juan ini benar-benar dilf. Totally dilf. Sexually attractive older man; a sexy father.

 

Daddy.

 

Selin juga normal. Ia terkadang berpikiran mesum, meskipun ia tak mau. Seperti sekarang ini; dia tak mau berpikiran mesum ke ayah temannya sendiri, tetapi objek yang berdiri di depannya saat ini benar-benar membuat jiwa feminimnya meronta hingga berhasil membuatnya berpikiran mesum tanpa ia sadari. Lututnya jadi agak lemas.

Om Juan ini pasti...kuat banget.

Ah, apaan ini. Selin bahkan masih virgin. Mengapa otaknya sampai ke sana?

Berbahaya. Jika dekat lebih lama lagi dengan Om Juan, Selin bisa-bisa menjadi orang mesum tingkat dewa. Baru kali ini dia berpikiran kotor seperti ini hanya karena menatap seorang pria.

Mencoba untuk menguasai dirinya, Selin pun menggelengkan kepala, bermaksud untuk mengusir pikiran mesumnya. Ia hanya bisa berdoa mudah-mudahan Om Juan tidak mengetahui pikiran mesumnya barusan, mudah-mudahan pikiran mesumnya tidak tercetak di wajahnya saat melihat fisik Om Juan.

Selin pun meneguk ludahnya sejenak, lalu menjawab, "Selin, Om. Nama aku Florentia Roselin Agrece."

Lalu, betapa lutut Selin terasa seakan selembut plastisin dan seringan kapas, tatkala Om Juan tersenyum miring pada Selin dan berkata,

"Sweet. It's pleasure to meet you, Selin. See you around." []