Chapter 1 :
New Neighbor
******
KETUKAN di pintu kamar sukses membuyarkan fokus Fae yang sejak tadi sedang membaca buku Fisika di meja belajarnya. Fae mengalihkan pandangannya dari materi gelombang yang ada di buku tersebut, lalu mulai menggeser kursi belajarnya ke belakang. Kalau boleh jujur, sebenarnya distraksi kecil seperti ini agak disyukuri oleh Fae, sebab dia sudah berkutat dengan buku Fisika itu sejak satu jam yang lalu. Agak pusing juga melihat bentuk gelombang terus menerus sedari tadi, berbeda dengan kedamaian yang ia rasakan tatkala melihat gelombang air laut yang asli. Meski Fae Julietta bukan orang yang begitu pintar di bidang Fisika, dia bukanlah jenis manusia bertelinga baja yang tahan dengan ocehan dari Pak Yun soal nilai merah. Lupakan soal Pak Yun, mamanya pun pasti akan mengomel jika ia mendapat nilai merah. Meskipun demikian, kepintaran Fae terbilang lumayan, soalnya dia masih masuk peringkat sepuluh besar di kelasnya.
Fae berdiri dari kursinya; gadis berkaus putih dan bercelana pendek warna hitam itu pun berjalan dengan santai menuju ke arah pintu kamar. Tatkala ia membuka pintu kamarnya itu, ia lantas melihat mamanya yang berdiri di balik pintu tersebut, tengah memiringkan kepala seraya tersenyum. Di tangan mamanya ada bungkus plastik berwarna putih.
"Mama beli buah pir, nih," kata Mama, seolah menjawab pertanyaan di otak Fae yang tengah memperhatikan bungkus plastik tersebut. "Mau, 'kan? Ayo potong dulu."
Fae pun mengangguk. Buah pir adalah tawaran yang sangat bagus ketika dia baru saja dipusingkan oleh pelajaran Fisika. Segar, manis… Bagus untuk me-refreshing otaknya sejenak.
"Iya, Ma," jawab Fae. Mama lalu tersenyum dan berbalik, mulai berjalan menuju ke dapur. Jarak dari kamar Fae ke dapur tidak terlalu jauh, mereka hanya perlu berjalan sekitar sepuluh langkah. Fae mengikuti mamanya dari belakang.
Begitu sampai di dapur, Mama langsung meletakkan satu bungkus buah pir itu di atas counter dapur. Fae langsung mengambil salah satu pisau yang tersimpan di dalam rak pisau gantung; rak pisau itu tergantung di bawah kabinet.
Seraya mencuci buah pir tersebut satu per satu di wastafel, Fae melirik ke arah Mama yang sedang mengeluarkan belanjaan-belanjaannya dari dalam plastik. Rupanya Mama tadi sempat belanja bahan makanan. Mungkin, setelah pulang dari kantor tadi Mama mampir terlebih dahulu ke supermarket sebelum akhirnya pulang ke rumah. Tubuh Mama yang semampai—cenderung kurus—itu dibalut dengan kemeja berwarna putih dan rok selutut berwarna hitam. Sebetulnya kemeja itu adalah kemeja yang Mama beli tahun lalu, Mama masih memakainya lantaran masih bagus, kendati sebenarnya kemeja itu dia pakai setiap hari Senin dan Rabu di tiap minggunya. Mama selalu berusaha untuk memakai sebuah barang dan bila rusak, ia akan memperbaikinya hingga benar-benar tidak layak pakai; kebiasaan ini semakin menjadi-jadi semenjak Papa meninggalkan rumah untuk menikahi perempuan lain.
Untungnya, Mama bekerja di sebuah perusahaan yang lumayan bonafide. Dia masih mampu membiayai hidup mereka berdua. Segala kebutuhan sekolah Fae ia penuhi, ia berdiri sebagai tulang punggung keluarga dan menjadi wanita yang mandiri. Rumah mereka tidak begitu besar, tetapi segalanya tercukupi. Bagi Fae, melihat Mama tidak bersedih juga sudah cukup. Mama terlihat content, dia kembali easy-going dan mulai lupa dengan segala masa lalunya. Dia sudah terlihat baik-baik saja. Sudah rajin tertawa dan melakukan hal-hal yang ia sukai, meskipun hanya sekadar menonton drama-drama romantis ala-ala televisi setiap malam sebelum tidur.
Tepat ketika Fae mulai mengupas kulit buah pir yang sudah ia cuci, suara Mama terdengar lagi. "Eh, kita ada tetangga baru, lho."
Dahi Fae berkerut, ia menaikkan sebelah alisnya. Jujur ia agak tak percaya. Rumah itu sudah lama kosong. "Oh ya?"
Fae pun menatap ke arah Mama yang tengah memasukkan beberapa bahan makanan ke dalam kulkas. Mama kemudian menyahut, "Iya. Tadi kebetulan Mama beli dua loyang kue bolu. Rencananya keduanya mau disimpan di kulkas, tetapi berhubung ada tetangga baru, salah satunya kita kasih ke mereka saja, ya."
"Hmm," deham Fae, menyetujui keputusan mamanya. Mama pun kembali berbicara, "Satu loyang rasa coklat, satu loyang rasa matcha. Kau mau yang mana?"
"Matcha," sahut Fae tanpa berpikir dua kali. Dia suka coklat, tetapi kalau dibandingkan dengan matcha, masih lima puluh berbanding seratus. Kalau bisa, semua kue atau minuman harus rasa matcha, atau kalau tidak ada rasa matcha, barulah dia akan memilih rasa coklat, keju, atau bluberi.
Mama terkekeh. "Sudah Mama duga. Ya sudah, nanti tolong kasih kue bolu coklatnya ke tetangga, ya? Di potong-potong terlebih dahulu, kemudian disusun ke dalam piring."
Kontan Fae langsung menatap mamanya dan bibirnya mengerucut. Ini bagian yang kurang dia sukai. Dia sebenarnya anak yang cukup tertutup; dia segan tatkala bertemu orang asing. Dia tak menyangka bahwa dialah yang akan mengantar kue bolu itu ke tetangga sebelah. "Ma—"
Mama yang sudah memprediksi reaksi anaknya tersebut mulai tertawa. "Mama lelah, lho. Pergilah ke sana, oke? Sesekali bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar rumah." Mama mulai mengambil beberapa sayuran dari dalam plastik belanjaannya dan membawanya ke wastafel; Mama berdiri tepat di sebelah Fae. "Bisa jadi tetangga sebelah punya anak yang seumuran denganmu."
Melihat mamanya berbicara seperti itu, Fae pun menghela napas. Ia lalu kembali fokus melihat ke arah buah pir yang sedang ia kupas, lalu menjawab dengan pasrah. "...Ya, Ma."
Mama pun melirik sejenak ke arah Fae dan memberinya senyuman manis (yang bagi Fae terlihat seperti senyuman sadis) lalu kembali mencuci sayuran-sayuran yang ia beli. "Gadis baik."
******
Sorenya, seperti biasa Fae keluar dari kamar dan beranjak pergi ke halaman berumput yang ada di depan rumahnya. Di halaman berumput itu berdirilah tiang-tiang jemuran yang tersusun secara berjajar. Salah satu tugas Fae adalah mengangkat pakaian mereka dari jemuran setiap jam lima sore. Jadi, di sinilah Fae, mulai menghampiri tiang-tiang jemuran di halaman depan rumahnya; Fae melihat pakaian-pakaian yang terjemur di sana bergoyang ke depan dan ke belakang dengan pelan karena tertiup angin sore. Fae nyaris saja terbuai dengan angin sepoi-sepoi tersebut, tetapi dia ingat bahwa dia harus segera mengerjakan tugasnya karena setelah ini dia berencana untuk mandi. Rambutnya berasa tegak-tegak semua setelah belajar Fisika selama berjam-jam. Dia butuh mendinginkan kepala atau kepalanya akan mulai mengeluarkan asap. Dia tak mau membebani ibunya dengan biaya rumah sakit atas kerusakan fungsi otak atau apa pun itu, jadi dia harus mandi. Dia pun mulai mengambil satu per satu pakaian yang terjemur di sana, memeriksa apakah pakaian-pakaian tersebut sudah benar-benar kering atau belum sebelum mengambilnya.
Namun, tiba-tiba ada satu semprot air yang mengenai wajahnya.
Fae yang disemprot dengan air secara tiba-tiba itu kontan terperanjat bukan main. Air itu sungguh dingin; dinginnya minta ampun! Air itu tidak disemprotkan dalam jumlah banyak, hanya membasahi area pipi Fae, tetapi berkecepatan tinggi. Seolah berasal dari selang yang alirannya lumayan deras dan lubang selangnya sengaja ditutup sebagian dengan jemari tangan agar air yang keluar dapat ditembakkan ke arah mana pun yang kau mau.
Fae spontan langsung menoleh ke arah sumber datangnya air tersebut—dari sebelah kanan—dan matanya memelotot kesal. Siapa yang berani-beraninya menembakkan air kepadanya, memangnya ia salah apa?!
"HEY!! SIAPA—"
"Halo, Tetangga Baru."
Fae langsung kembali terperanjat. Tubuhnya nyaris terdorong ke belakang secara refleks karena kaget.
Di hadapannya, Fae melihat seorang pemuda. Memakai t-shirt berwarna putih dan celana pendek berwarna krim. Tubuh pemuda itu tidak terlalu besar (cenderung kurus) dan tidak terlalu tinggi; dia tipe pemuda yang slender dan mungkin tingginya tidak sampai 180 cm. Namun, dia masih lebih tinggi daripada Fae yang tingginya hanya 160 cm. Sepertinya mereka seumuran, atau kalau pun tidak seumuran, minimal jarak usia di antara mereka tidak mungkin terlalu jauh. Namun, yang paling mencolok dari pemuda itu adalah:
…rambutnya berwarna oranye!
Oke, kalau dilihat-lihat, wajahnya memang tampan dan rule nomor satu dari orang yang good-looking adalah tetap terlihat menawan dengan style apa pun. Namun, ini bukan di ibu kota ataupun di kota-kota besar lainnya di Korea Selatan. Ini adalah sebuah desa, salah satu desa yang ada di Korea Selatan.
Terlebih lagi, memangnya dia idol?
Ah, masa bodoh. Fae sekarang sedang kesal bukan main. Di mana etika pemuda ini, menyemprotkan air kepada orang yang tidak ia kenal?
"Kau tidak pernah diajari sopan santun, ya?" tembak Fae dengan sarkastis. "Apa ada yang salah dengan otakmu? Berapa usiamu? Kau pikir begitu caranya menyapa orang lain?!!"
Sialnya, pemuda itu malah tertawa keras. Dia menertawai Fae habis-habisan. Mendadak Fae jadi benci bukan kepalang pada pemuda itu, di matanya pemuda itu mulai berubah wujud menjadi jamur berwarna oranye yang tumbuh di tengah hutan. Tahulah, makhluk hidup apa pun yang warnanya terlalu mencolok itu biasanya beracun. Inilah salah satu contohnya.
"Kau sinting, ya?!" teriak Fae. Kini Fae sadar sepenuhnya bahwa pemuda itu adalah penghuni rumah sebelah. Tetangga baru yang Mama bicarakan tadi. Dia agaknya sedang menyirami bunga-bunga di halaman rumah itu. Kemungkinan bunga-bunga yang tertanam di dalam pot tersebut ia bawa dari rumah lamanya sebab setahu Fae, tidak ada bunga-bungaan di sekitar rumah kosong itu sebelumnya. Namun, manusia gila macam apa yang berani menyemprotkan air ke wajah tetangga barunya, lalu tertawa keras tatkala melihat hasil dari ulahnya sendiri?
"Salam kenal, Tetangga Baru," sapa pemuda itu lagi. "Boleh kenalan?"
"Tidak." Fae menjawab dengan spontan.
Pemuda itu terkekeh. "Siapa namamu?"
"Aku tidak mau memberikan namaku kepada orang sinting yang menyemprotku dengan air dari selang pada pertemuan pertama," jawab Fae ketus. Ia menatap pemuda itu dengan tatapan memicing yang terlihat sadis.
Pemuda itu tertawa. "Maaf. Hanya ingin memberikan impresi unik pada tetanggaku yang cantik."
Berusaha untuk tidak memedulikan pujian 'cantik' dari pemuda itu, Fae pun mendengkus. "Kau justru membuatku dendam padamu. Apa kau anak SD? Orang macam apa yang sembarangan menyemprotkan air pada orang yang baru ditemui?"
Lagi-lagi pemuda itu tertawa. "Aku terlalu besar untuk ukuran anak SD, bukankah begitu?"
"Tubuhmu tidak terlalu besar."
"Memang tidak," jawabnya. Dia terlihat mengelus dagu, berpikir. "tetapi belalaiku cukup besar."
"Hah?"
"Jadi, siapa namamu?" tanya pemuda itu lagi, tak menghiraukan tatapan Fae yang penuh tanda tanya.
Fae jadi berdecak kesal. "Memangnya apa urusanmu?! Aku masih marah padamu, lho!"
"Sudah, dong, marahnya," jawab pemuda itu seraya menggoda Fae melalui matanya. Dia tersenyum miring. "Kata orang, kalau terlalu benci nanti jadi sayang."
Apa-apaan?! "Rayuanmu tidak bermutu."
"Akan jadi bermutu kalau kau beritahu aku namamu."
"Tidak akan."
"Kalau begitu aku akan bertanya pada keluargamu. Apa keluargamu ada di dalam?"
Sontak Fae jadi kesal bukan kepalang. Ia sungguh tidak tahan dengan karakter pemuda itu yang benar-benar menjengkelkan. "Aishh!! Fae, namaku Fae! Sudah puas?!"
Pemuda itu pun menyengir. Dia terlihat puas, alisnya naik-turun dengan jail. "Hehe. Salam kenal, Fae."
Fae menghela napas. Agaknya Tuhan telah memberikannya satu cobaan lagi tahun ini, yaitu menghadapi sebuah jamur berwarna oranye yang tinggal di sebelah rumahnya entah sampai kapan. Fae pun mulai berencana untuk melanjutkan aktivitasnya tadi: mengambil pakaian di jemurannya, tatkala tiba-tiba suara pemuda itu kembali terdengar.
"Oh ya, tadi aku lihat ada tank top berwarna pink. Punyamu, ya?"
…hah?
Sebentar. Tank top warna pink?
Oh astaga. Sialan!!! Fae tadi memang ada mengambil satu tank top berwarna pink dari jemurannya. Tank top itu ia pakai untuk tidur tadi malam, lantaran merasa kepanasan. Arghh, demi Tuhan!!! Sempat kelihatan, ya, sama Si Jamur Oranye ini?! Lagi pula, apa urusan pemuda itu, sih? Mengapa dia memperhatikan jemuran orang lain sampai segitunya?!
Rasa kesal Fae kontan bercampur dengan malu yang luar biasa. Dengan wajah yang memerah bak kepiting rebus, Fae pun meneriaki pemuda itu dengan suara yang ia usahakan agar tidak bergetar. "Dasar gila!!!"
Dengan laknatnya, pemuda itu malah kembali tertawa. Gummy smile-nya terlihat jelas; ia tertawa sampai kepalanya terdongak. Rambut oranye miliknya terlihat semakin bersinar terang tatkala ditabrak oleh cahaya matahari sore, membuat sosoknya yang berkaus putih itu terlihat begitu innocent. Tampang dan penampilannya, caranya tertawa, sungguh terlihat suci dan tak berdosa di antara indahnya cahaya matahari sore. Menawan seperti malaikat. Jika ada orang yang kebetulan lewat di depan rumah mereka, bisa saja orang itu mengira bahwa ada makhluk dari surga yang sedang mampir ke bumi, tanpa tahu bahwa 'makhluk' itu kenyataannya kini sedang tertawa di atas penderitaan orang lain.
Mendengar tawanya yang begitu puas dan mengesalkan itu, Fae pun langsung dengan cepat menarik semua pakaian-pakaian yang ada di jemuran tersebut dan lari sekencang-kencangnya masuk ke dalam rumah. Orang gila, pemuda itu benar-benar sudah gila! Bahkan dari dalam pintu rumah, Fae masih bisa mendengar pemuda itu berteriak, "Hei, aku belum memberitahu namaku! Fae!"
Masa bodohlah. Peduli setan. Mana mungkin Fae mau berdiri di sana lebih lama lagi. Rasa malu dan kesalnya sudah sampai ke ubun-ubun.
******
Akibat insiden tadi siang, Fae jadi semakin ogah-ogahan saat disuruh mamanya mengantarkan kue bolu coklat ke tetangga sebelah. Diam-diam, dengan tidak logisnya Fae menyalahkan dirinya sendiri karena telah memakai tank top berwarna pink itu tadi malam, padahal dia sering memakai tank top itu selama ini. Dia jadi menyalahkan dirinya sendiri, menyalahkan tank top itu, padahal Si Jamur Oranye itulah yang agaknya bermata keranjang.
Namun, mengingat Mama yang memasang senyuman sadis kepadanya tatkala ia mengeluh soal mengantarkan kue bolu itu, mau tidak mau Fae jadi harus mengalah. Fae memilih untuk menekan segala rasa kesalnya, segala rasa malunya, dan segala penolakan yang dikeluarkan oleh tubuhnya. Segala perasaan yang bercampur itu membuat dada Fae jadi terasa agak panas, terutama entah mengapa jantungnya mengeluarkan degupan aneh—bukan karena suka, melainkan karena…mempersiapkan diri, mungkin?—saat menyadari bahwa ia bisa jadi akan berhadapan dengan manusia berambut oranye itu lagi. Ah, hidup ini benar-benar jauh lebih buruk daripada opera sabun yang Fae tonton bersama Mama satu bulan yang lalu.
Tatkala sudah sampai di rumah sebelah, Fae menyadari bahwa pagar rumahnya terbuka sedikit. Karena berpikiran bahwa suaranya tidak selantang itu untuk berteriak kencang hingga orang yang ada di dalam rumah itu bisa mendengar suaranya, Fae pun memutuskan untuk membuka pagar rumah itu dengan sebelah tangannya dan langsung masuk ke area rumah tersebut.
Rumput-rumput yang tumbuh tak beraturan di rumah itu kini sudah dipangkas dan dirapikan. Bagian halaman depan rumah itu sudah terlihat cantik dan bersih. Dalam sekejap, rumah itu tak lagi terlihat seperti rumah yang tidak berpenghuni. Lampunya menyala terang, halamannya bersih dan rapi, rumahnya pun sudah dibersihkan. Rumah itu terlihat lebih cantik kini.
Ketika sampai di depan pintu rumah tersebut, Fae pun mulai menatap pintu itu seraya menelan ludah. Selama dua detik, ia mempersiapkan diri kalau-kalau ia harus berhadapan lagi dengan pemuda berambut oranye itu. Namun, semoga saja tidak. Semoga saja nasibnya tidak sesial itu.
Menghela napas, Fae pun mulai mengetuk pintu rumah itu.
"Permisi…"
Karena belum ada jawaban, Fae pun mengetuk lagi. Kali ini lebih keras. "Permisi, saya dari rumah sebelah. Apakah ada orang di dalam rumah?"
Tiba-tiba, terdengar sahutan dari dalam rumah. Suara itu awalnya agak pelan, tetapi terdengar semakin keras seiring dengan suara langkah kaki yang mendekat. Itu adalah suara wanita. "Yaa? Sebentar!"
Tak lama kemudian, pintu rumah itu pun terbuka. Memperlihatkan seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan yang berpakaian piama longgar. Wanita itu berambut hitam kecoklatan dan rambutnya diikat satu di bagian bawah. Low ponytail. Wanita itu awalnya melihat Fae dengan mata yang melebar, tetapi dia langsung tersenyum ramah. "Ah, halo. Dari rumah sebelah, ya?"
Syukurlah, yang membuka pintu itu ternyata bukanlah Si Jamur Oranye. Fae pun menghela napas lega, dia ikut tersenyum manis pada wanita itu dan mengulurkan tangannya. Agaknya wanita itu…merupakan ibunya Si Jamur. "Iya, Bu, benar. Saya dari rumah sebelah. Salam kenal, Bu."
Aduh, sebetulnya Fae tidak terbiasa untuk bersosialisasi seperti ini. Fae keseringan sibuk dengan dunianya sendiri di dalam kamarnya. Ini merupakan hal yang baru baginya, tetapi dia cukup bisa mengatasinya dengan baik.
Ibu itu langsung menyambut uluran tangan Fae dan mereka pun akhirnya berjabat tangan. "Salam kenal juga, ya!"
Oh. Ibu ini ramah dan bersahabat. Sama seperti anakny—ekhem.
Tatkala jabatan tangan itu terlepas, Fae pun langsung menyodorkan sebuah piring berisi bolu coklat yang sudah dipotong-potong; piring berisi bolu itu sudah ditutupi dengan plastic wrap. "Ah, ini ada sedikit kue, Bu, untuk Ibu," ujar Fae. "Semoga kita bisa bertetangga dengan baik, ya, Bu. Beritahu kami jika ada yang bisa kami bantu."
Wanita itu pun spontan terenyak. Dia terlihat kaget sekaligus senang dengan sambutan baik dari Fae. Dia pun menerima sepiring bolu tersebut seraya tertawa renyah. "Oh, ya Tuhan, seharusnya kami yang memberikan bingkisan kepada kalian! Astaga, terima kasih, ya!"
Fae tersenyum manis. "Sama-sama, Bu. Kalau beg—"
"Eh, ada Fae, ternyata."
Kontan Fae terdiam.
Sial, dia ingat suara ini. Jangan bilang ini—
Mata Fae langsung mencari sumber suara. Tepat sekali. Di depan sana terlihatlah sosok jamur itu, yang tengah berjalan menyusuri ruang tamu dan menuju ke arah pintu depan. Kedua tangannya bersarang di dalam kantung celana jeans pendeknya yang berwarna hitam; pemuda itu memakai baju sweater bermotif garis-garis yang warnanya hitam dan putih. Sialnya, dia terlihat tampan meski hanya memakai baju simple seperti itu. Namun, melihat pemuda itu, Fae jelas langsung merasa tidak nyaman. Rasa kesal serta malunya menguar kembali ke permukaan; ia langsung ingin kabur dari sini sekarang juga. Dia malas sekali berhadapan dengan pemuda itu. Kalau boleh dikata, sejujurnya ini luar biasa. Pemuda itu sudah membuat situasi di antara mereka jadi seperti ini, padahal mereka baru saja bertemu. Fae angkat tangan, deh.
"Lho, kalian sudah berbicara?" ujar wanita itu tatkala Si Jamur hampir sampai di belakangnya.
"Iya, tadi sore," jawab Si Jamur. Wanita itu pun langsung excited. "Wah, ini luar biasa. Ini pertanda baik! Pindah ke sini merupakan keputusan yang bagus."
Saat Si Jamur sudah berdiri di samping wanita itu, dia pun memiringkan kepalanya dan tersenyum manis pada Fae. "Halo, Fae. Semakin malam semakin cantik saja."
Fae sontak langsung menatapnya dengan tatapan membunuh. Mulai lagi, anak ini.
Melihat tatapan Fae, kontan Si Jamur langsung menundukkan kepala seraya terkekeh. Bisa-bisanya dia terlihat sangat tampan tatkala melakukan itu. "Perkenalkan, Fae, ini Ibuku."
Fae pun menatap ke arah wanita itu, lalu memberikan wanita itu sebuah anggukan pertanda mengerti seraya tersenyum tipis. Namun, karena Fae tidak mau berlama-lama berada di hadapan Si Jamur, Fae pun langsung berkata dengan nada yang terburu-buru. "Baiklah kalau begitu, Bu. Saya pulang dulu, ya, Bu. Mama saya menunggu di rumah. Senang bertemu denganmu, Bu."
Wanita itu pun terkejut. Dia heran mengapa Fae terlihat terburu-buru, padahal anaknya baru sampai di sini. Bukankah Fae dan anaknya sudah berbicara tadi sore? Bukankah seharusnya mereka sudah tidak terlalu canggung?
Menyadari hal itu, wanita tersebut langsung buru-buru ingin menghentikan Fae. "Ah, tungg—"
Namun, dengan cerdiknya Fae langsung merunduk hormat dan tersenyum kelewat manis (seolah tidak mau berlama-lama di sana), lalu berbalik dengan cepat. Dia ingin cepat-cepat menjauhi Si Jamur.
Namun, didengarnya Si Jamur mulai tertawa renyah. "Fae, kok buru-buru, sih? Masuk dulu ke rumahku, yuk."
Si Sialan, padahal dia tahu mengapa Fae buru-buru pergi dari sana. Dia sadar dan dia berjemur santai di antara kenyataan itu. Dia betul-betul memanfaatkan situasi ini untuk menjaili Fae lebih jauh.
"Salam untuk keluargamu, ya! Sampaikan terima kasihku, oke?!" teriak wanita itu—ibunya Si Jamur—pada akhirnya. Fae pun hanya menjawab, "Iya, Bu!" seraya buru-buru berjalan ke arah pagar rumah tersebut. Tatkala sudah sampai di pagar, ia lantas membuka pagar itu, keluar, lalu menutup pagar itu kembali dengan mengebut.
Tak ayal, saat sudah berhasil mengeluarkan diri dari lokasi budidaya jamur oranye itu, Fae pun menghela napas lega.
******
Keesokan harinya, Fae duduk merenung di dalam kelas. Kelas itu berisik, soalnya semua orang sibuk menyalin PR Matematika yang akan dikumpulkan di jam pertama. Ada yang sampai kejar-kejaran karena memperebutkan buku, ada yang sibuk meminjam pena atau tip-ex, ada yang sibuk bertanya tentang jawabannya karena takut ditanyai oleh guru Matematika, dan ada juga yang sibuk menulis jawabannya dengan kecepatan tinggi sampai-sampai muncul keringat sebesar biji jagung di pelipisnya. Namun, ada juga yang justru berisik karena sibuk bergosip tentang trend-trend terbaru yang sebetulnya tak bisa mereka ikuti sama sekali berhubung mereka tinggal di desa.
Di desa itu terdapat satu sekolah SMA. Hanya ada tiga ruang kelas di gedung SMA itu: kelas satu, dua, dan tiga. Di dalam satu kelas pun, muridnya tidak terlalu banyak. Paling banyak hanya dua puluh kepala, mengingat itu adalah sebuah desa. Daerah pinggiran kota yang tidak terlalu ramai. Karena tidak terlalu ramai, sebetulnya berita apa pun akan sampai ke telinga semua orang dengan sangat cepat, merebak seperti wabah. Well, ini di luar topik, sih.
Berhubung Fae sudah menyelesaikan PR Matematikanya, Fae pun jadi memiliki waktu untuk merenung di bangkunya. Dia duduk di urutan nomor tiga, barisannya berada di ujung kelas, dekat dinding. Dia mereka ulang kejadian sore kemarin hingga kepalanya dipenuhi dengan warna oranye. Semuanya serba oranye.
Ah. Sepertinya ada sirkuit yang rusak di kepalanya. Ini semua pasti terjadi akibat terlalu banyak mengonsumsi jamur beracun. Fae mungkin tidak bisa menyentuh sesuatu yang berwarna oranye dulu untuk beberapa waktu, termasuk jeruk.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Semua murid spontan langsung kocar-kacir menuju ke bangkunya masing-masing, merapikan seluruh barang-barang mereka. Ada yang bukunya sontak terjatuh karena sibuk berlarian dan tertabrak orang lain, ada juga yang penanya terjatuh, bahkan ada juga yang sibuk merapikan ikat pinggangnya.
Seiringan dengan murid-murid di dalam kelas yang mulai duduk di bangkunya masing-masing, dari depan kelas terlihatlah Pak Daniel—guru Matematika sekaligus wali kelas mereka—tengah melangkah menuju ke area tepat di depan papan tulis. Di belakang Pak Daniel ada seseorang; dia adalah seorang pemuda dan saat ini dia tengah mengekori Pak Daniel. Pemuda itu memakai seragam yang sama seperti mereka dan…
…rambutnya berwarna oranye.
Sontak Fae langsung terperanjat. Matanya membulat penuh. Tubuhnya secara tanpa sadar langsung menegap. Napasnya tertahan, rasanya jantungnya mau copot.
Sebentar. Sebentar!
Itu… Itu bukannya Si Jamur yang ada di sebelah rumah—
Kemudian, seakan mengonfirmasi kecurigaan Fae, Pak Daniel dan pemuda itu pun mulai menghadap ke arah seluruh murid.
…dan benar. Itu adalah tetangga barunya Fae. Pemuda berambut oranye itu.
Mulut Fae kontan menganga.
Sementara itu, mulai banyak anak-anak di kelas yang berbisik-bisik akibat merasa excited. Ada yang berdecak kagum. Ada juga yang menatap ke arah pemuda berambut oranye itu dengan tatapan yang berbinar, membulat polos penuh dengan rasa ingin tahu. Semuanya merasa penasaran. Murid-murid yang laki-laki pun menatap dengan antusias, sebab pemuda itu terlihat bersahabat dan mudah bergaul.
Sebetulnya, ini tidak mengherankan, mengingat paras pemuda itu yang terlihat begitu tampan, bersahabat, lembut dan baik hati seperti malaikat, serta membawa seluruh cahaya bersamanya. Keberadaannya bagai dikelilingi cahaya dan bunga-bunga dari surga. Dia akan disenangi di mana pun dia berada.
Kalau saja orang-orang ini tahu bahwa pemuda itu memperhatikan tank top Fae kemarin—
"Perkenalkan dirimu, ya," ucap Pak Daniel, sukses memotong isi pikiran Fae. "Nanti duduk saja di bangku kosong yang ada di sana." Pak Daniel menunjuk sebuah bangku kosong di kelas yang jaraknya terpisah satu barisan dari Fae, tetapi sama-sama berada di urutan ketiga.
Fae pun langsung menatap ke arah pemuda berambut oranye itu. Pemuda itu mulai tersenyum, senyumannya terlihat begitu manis dan indah. Seisi kelas langsung heboh, terutama yang perempuan.
"Baik, terima kasih, Pak," jawab pemuda itu pada Pak Daniel. Pak Daniel pun tersenyum dan mengangguk.
Kini seisi kelas mulai diam. Mereka tahu bahwa ini adalah saatnya pemuda berambut oranye tersebut memperkenalkan dirinya. Mereka tak mau melewatkan momen ini.
"Hai. Perkenalkan, namaku Riel Orion. Panggil aku Riel, ya," ujar pemuda berambut oranye itu dengan ramah.
Mendengar nama pemuda itu, Fae mendadak berasa seakan angin-angin di sekitarnya berembus menerpa wajahnya dengan lembut. Selembut nyiur angin di pantai, sedamai padang rumput yang luas, setenang suasana tatkala kau tertidur di bawah pohon yang rindang.
Ah. Jadi, namanya adalah Riel.
Senyuman di bibir Riel belum memudar. Kedua mata pemuda itu melengkung seolah ikut tersenyum. Senyuman yang tulus itu sebetulnya sukses menembakkan panah asmara ke hati seluruh perempuan yang ada di kelas tersebut, kecuali Fae yang otaknya masih belum bisa mencerna seluruh kejadian ini sepenuhnya.
"Oh ya, aku bertetangga dengan Fae," ujar Riel tiba-tiba. Pemuda itu menoleh ke arah Fae, lalu memiringkan kepalanya. Menyaksikan semua itu, jantung Fae kontan terasa seolah berhenti berdegup. Mata Fae memelotot karena terkejut dan tubuhnya menegang, terutama tatkala seisi kelas spontan ikut melihat ke arahnya.
Sementara itu, dengan tanpa dosa, Riel pun tersenyum semakin manis. "Salam kenal, ya, untuk semuanya." []