Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Sadistics' Lover

🇮🇩jihanvelia
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
37
Views
Synopsis
Bercerita tentang Airell Shou, seorang gadis yang terjebak di antara kegilaan dua orang laki-laki yang mengerikan. Airell atau Ai adalah seorang gadis berambut vermillion yang merupakan anak angkat dari pria dewasa bernama Gin, seorang pemilik bar di Edo pada zaman kepemimpinan Shogun Tokugawa. Jika bukan karena sifat Ai yang terlalu aktif, teriak sana-sini kalau sudah emosi, hobi makan, dan hobi menertawakan Gin itu, dia sebetulnya terbilang sangat cantik; kulitnya mulus dan seputih salju, tubuhnya sintal, dan matanya berwarna biru karena meneruskan gen ibunya. Namun, rupanya hidup Ai tidak sesimpel 'anak gadis angkat pemilik bar' semata. Beriringan dengan berita yang terus beredar bahwa ada pembunuh berantai yang sedang diincar oleh korps kepolisian Edo yaitu Shinsengumi, orang-orang tidak mengetahui bahwa, Pembunuh berantai yang sadis dan tidak memiliki empati itu adalah Eric Shou, kakak kandung Ai yang dahulu pergi meninggalkan Ai untuk memperkuat ilmu pedangnya, dan Kapten Pasukan Pertama Shinsengumi yang mengincar Eric adalah Kei Arashi, seorang pria sadis yang juga tak memiliki empati. Pria ini terkenal dengan sebutan Kapten Iblis Shinsengumi. Sialnya, kedua laki-laki sadis yang luar biasa sinting itu sama-sama mencintai Ai, memperebutkannya, tergila-gila, dan terobsesi padanya. Mereka berencana untuk saling membunuh satu sama lain hanya untuk memiliki Ai.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Invisible Red Thread

Chapter 1 :

Invisible Red Thread

 

******

 

SEBUAH tirai berwarna merah tua yang menggantung di pintu masuk rumah panggung itu tersibak. Pintu rumah itu tidak tertutup, tirai merah tua itulah yang menutupinya. Airell membuka tirai berwarna merah tua yang tidak terlalu tebal itu dan menemukan Eric, kakak kandungnya, tengah duduk bersandar pada tiang kayu penyusun rumah panggung sederhana milik seorang tabib yang tengah mereka kunjungi.

 Eric memiliki warna rambut yang sama dengan Ai, yaitu warna vermillion. Akan tetapi, berbeda dengan Ai yang rambutnya dicepol dua, rambut panjang Eric hanya ia kepang satu di belakang. Warna mata mereka juga sama, yaitu warna biru laut. Warna rambut dan mata mereka ini terbilang begitu langka, terutama di negara yang tengah mereka tempati. Namun, mereka meneruskan gen dari ibu kandung mereka. Wajah mereka cukup mirip.

Sebelah kaki Eric terjuntai dan sebelahnya lagi ia angkat hingga lututnya berada di di depan dada. Lengan kanan Eric yang diperban itu tampak bertumpu pada lututnya yang terangkat, kemudian ia menoleh ke arah Ai tatkala mendengar ada suara tirai yang tersibak.

"Halo, Sayang," sapa Eric, ia tersenyum sangat manis kepada Ai hingga matanya tertutup seolah ikut tersenyum. Ia terlihat seperti tak berdosa, tak bersalah, dan luar biasa polos.

Mendengar sapaan dari kakaknya itu, Ai justru berdecak kesal. Alisnya bertaut dan ia langsung berkacak pinggang di depan Eric. "Sayang?! Bisa-bisanya kau masih bercanda, Kak! Lihat lenganmu itu! Bisa tidak, sih, sekali saja kau pulang dalam keadaan normal? Bisa-bisa besok kau datang padaku dengan anggota tubuh yang sudah terpotong! Untung saja tabib tadi bisa mengobatinya, astaga!"

Mendengar ocehan dari adiknya itu, Eric masih tersenyum manis. Ia suka sekali mendengar ocehan dari Ai. Adik kesayangannya.

Eric lalu memiringkan kepalanya, matanya kini membulat polos. "Eehh? Aku tidak sedang bercanda, kok, Sayang."

Sontak saja Ai ternganga. Ia heran bukan main; matanya melebar. Astaga. Eric memang bisa membuatnya pusing tujuh keliling. Dia mengenal Eric, tetapi di sisi lain, ia juga tidak mengerti dengan jalan pikiran Eric. Meski mereka hanya bergantung pada satu sama lain selaku saudara sedarah yang tersisa, Ai terkadang masih tak habis pikir dengan Eric.

Mereka berdua sejak kecil diasuh oleh Gin Shuuji, seorang pemilik bar di Edo. Mereka menjadi anak angkat Gin, tinggal bersama Gin, diurusi oleh Gin, tetapi pada suatu hari, Eric pergi untuk mengasah kemampuan berpedangnya. Bertahun-tahun yang lalu, kakak laki-lakinya itu pergi bertualang sendirian; dia mengasah ilmu pedangnya sekaligus memperkuat dirinya.

Eric jarang mengunjungi Ai. Namun, delapan puluh persen dari kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh Eric itu adalah kunjungan yang tak terduga. Kunjungannya hampir selalu di malam hari. Kakak kandungnya itu terkadang tiba-tiba datang dan mengetuk jendela kamar Ai malam-malam. Kelakuan anehnya itu kontan membuat Ai melompat kaget dari kasur, Ai kira ada seorang stalker atau penjahat kelamin yang mau mencelakainya. Kadang-kadang juga, Eric tiba-tiba terlihat tengah duduk di atas atap rumah Gin tatkala Ai tengah membantu Gin untuk membuang sampah di halaman rumah, sampah-sampah yang telah dikumpulkan di dalam plastik. Dengan senyuman manisnya itu, Eric terlihat melambai pada Ai dari atas atap, di bawah bintang-bintang, hingga membuat Ai terlonjak dan nyaris terjatuh ke belakang. Kalau saja ia sempat terjatuh, niscaya ia akan menimpa tumpukan plastik-plastik sampah yang bau itu. Kunjungan dari Eric hampir selalu aneh dan tak terduga.

Seperti hari ini, sekitar dua jam yang lalu, Eric datang padanya dengan membawa lengan yang terluka parah. Berdarah-darah. Ai langsung pucat dan dengan panik, ia langsung menarik Eric untuk pergi ke rumah seorang tabib. Namun, Eric justru kelihatan baik-baik saja; dia terlihat terus tersenyum seakan tidak merasakan sakit sama sekali. Dia malah terlihat senang karena Ai khawatir padanya dan menarik lengannya untuk dibawa ke rumah seorang tabib. Lengan berototnya yang luka-luka dan berdarah itu agaknya tidak mampu untuk membuatnya meringis kesakitan.

Mengingat profesi Eric sebagai pembunuh bayaran, buronan polisi, Ai sebetulnya tidak terlalu heran. Kakaknya itu sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini.

Akan tetapi, tidak bagi Ai. Melihat Eric terluka sudah cukup untuk membuatnya panik bukan kepalang. Mungkin bagi Eric reaksi Ai itu terlihat lucu dan imut, tetapi bagi Ai, hal itu sanggup membuatnya kalang kabut.

Lihatlah lengan Eric sekarang; lengan itu dipenuhi dengan perban. Oke, sebenarnya Eric sering terlihat memakai perban. Dia bahkan terkadang memenuhi kedua lengannya, jemarinya, lehernya, hingga wajahnya, dengan perban. Ini sering ia lakukan berhubung dia adalah pembunuh yang paling dicari oleh Shinsengumi, korps kepolisian negara yang dibentuk oleh Shogun Tokugawa untuk menjaga keamanan Edo. Dia sering menutupi wajah atau anggota tubuhnya agar dapat menyamarkan eksistensinya. Akan tetapi, sekarang perban di lengan kirinya itu jadi tebal sekali karena darah akan merembes dari sana apabila tidak ditutup dengan benar.

Mendengar jawaban dari Eric, Ai pun menghela napas. Ia memijat pelipisnya sejenak, kemudian ia langsung melangkah mendekati Eric. "Ya ya ya, terserah Kakak saja. Ayo kita pulang. Kalau kedepannya aku melihatmu pulang dengan membawa luka seperti tadi lagi, Kak, aku akan membunuhmu sekalian."

Eric tertawa. Wajahnya yang tampan itu terlihat semakin menawan tatkala tengah tertawa lepas. Ai tidak mau melihat wajah kakaknya yang tengah tertawa itu; dia tak mau kagum dengan wajah tampan kakaknya karena ia sekarang sedang merasa kesal. Dia harus menunjukkan kekesalannya pada Eric.

Ai pun menarik sebelah lengan Eric yang tak terluka, mengajak Eric untuk berdiri dan pergi dari rumah tabib itu. "Ayo pulang, Kak."

"Oke, Sayang," ujar Eric, kemudian pria itu berdiri dan kontan saja Ai harus mendongak untuk melihat sosoknya. Ia bertubuh tinggi dan tegap. Dadanya bidang dan tubuhnya berotot. Meskipun Ai kini sudah besar, ukuran tubuhnya sebagai seorang gadis tentu kalah jauh dari Eric.

Ai merasa sebelah tangan kirinya digenggam oleh Eric dengan erat tatkala mereka menuruni tangga rumah panggung tersebut. Satu per satu tangga mereka lewati, hingga akhirnya mereka sampai di tanah lapang depan rumah tabib tersebut. Tak sedetik pun Eric melepaskan tangan lentik milik Ai; ia menggenggam tangan lembut milik adiknya itu dengan posesif, meremasnya dengan penuh kasih sayang dan penuh dengan kerinduan.

Ai sudah terbiasa dengan perlakuan dari kakak kandungnya ini. Sebenarnya, semakin Ai dewasa, semakin Ai sadar bahwa perlakuan Eric padanya terasa agak berbeda dengan perlakuan normal seorang kakak kepada adiknya. Namun, apabila Ai menyelisiknya sekali lagi, mungkin saja Eric seperti itu karena mereka hanya memiliki satu sama lain. Mereka tidak memiliki keluarga kandung yang lain lagi. Gin adalah keluarga mereka, tetapi bukan keluarga kandung.

Tatkala sudah berjalan cukup jauh dari rumah tabib tersebut, mereka melewati sebuah jalanan yang cukup luas. Tanahnya sedikit berdebu—hanya sedikit—karena cuaca tadi siang yang amat panas. Cuaca saat ini tidak terlalu panas berhubung sudah sore, tetapi tanah di jalanan lapang seperti itu tentunya masih terlihat sedikit berdebu.

Ai dan Eric berjalan berdua di jalanan yang luas dan sepi itu. Sebetulnya, Ai bersyukur tidak ada orang yang melewati jalan itu saat ini karena bisa gawat apabila orang itu melihat Eric dan mengenali wajah atau rambut pria itu. Akan tetapi, karena suasananya sepi, Ai jadi bisa mendengar suara sekecil apa pun.

Ini termasuk suara angin, suara napas Eric, suara langkah kaki mereka berdua, dan suara napas Ai.

Namun, tiba-tiba saja, dalam waktu kurang dari satu kedipan mata, sesuatu terjadi.

Tepat di belakang Ai.

Semuanya terjadi terlalu cepat, bagaikan sekelebat angin. Helaian rambut Ai tampak bergerak terembus angin yang sekelebat itu dalam waktu sepersekian detik, menandakan bahwa ada pergerakan dari samping tubuhnya.

Eric.

Benar. Itu gerakan cepat dari Eric yang telah melepaskan genggaman tangan Ai dan bergerak ke belakang tubuh Ai dalam waktu yang supercepat bagaikan secepat kilat. Belum sempat Ai mengedipkan mata dan bernapas, mata Ai terbelalak,

…karena ia mendengar ada suara tusukan katana dari belakang tubuhnya. Suara tusukan katana yang terdengar tengah merobek perut seseorang. Menusuk sampai menembus daging dan organ tubuhnya.

Napas Ai tertahan. Jantungnya bagai berhenti berdetak. Semuanya terjadi dalam waktu yang sesingkat itu, secepat kecepatan cahaya.

Tubuh Ai mematung. Kaku. Ada sesuatu yang seakan membuat dirinya membeku.

Setelah menemukan napasnya kembali, Ai refleks langsung melihat ke belakang. Napasnya jadi terengah-engah, dia buru-buru melihat apa yang sebetulnya tengah terjadi di belakang tubuhnya. Melihat apa yang sebenarnya sedang Eric lakukan.

Begitu Ai benar-benar membalikkan tubuhnya dan melihat keadaan di sana, Ai spontan terperanjat. Mulutnya menganga dan napasnya tertahan. Matanya melebar penuh; napasnya jadi terasa sesak.

Di sana ia melihat Eric, tangan pria itu tengah memegang sebuah katana miliknya yang selalu ia bawa. Eric berdiri di sana, menyamping, tangan dan katananya dipenuhi dengan darah segar. Darah itu menetes dari katananya, dari jemarinya, dan jatuh ke tanah. Di bawah Eric ada sebuah jasad dari seorang laki-laki; laki-laki itu memakai topi lebar samurai dan kimono yang berwarna abu-abu lusuh. Laki-laki itu tampak sedang memegang sebuah katana, tetapi katana itu justru dibasahi oleh darahnya sendiri. Darah itu mengucur keluar dari bagian jantungnya yang ditusuk oleh Eric.

Tubuh Ai gemetar. Ia melihat semua itu di depan mata kepalanya sendiri. Dia tahu bahwa inilah dunia yang Eric jalani, inilah kekejaman dunia yang mereka hadapi, tetapi Ai baru kali ini melihat jasad yang ditusuk oleh katana dan mengucurkan begitu banyak darah di depan matanya sendiri.

Ai pernah melihat Eric membunuh seseorang di depan matanya, tetapi tidak dengan katana dan tidak dengan darah yang banyak seperti ini.

Ai bahkan tak bisa berteriak, napasnya seolah tercekat di tenggorokan. "K—Kak—"

Mendengar panggilan dari adiknya itu, Eric pun menoleh. Dengan penuh darah—bahkan ada darah yang memuncrat ke pipi pria tampan itu—Eric tersenyum manis pada Ai, seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti dia tidak baru saja membunuh seseorang beberapa saat yang lalu.

"Ya, Sayang?" jawabnya pada Ai, masih dengan senyumannya yang amat manis, yang kini justru terlihat mengerikan karena beberapa bagian tubuhnya telah dipenuhi oleh darah.

Ai menggeleng, wajahnya tampak pucat. "A—apa—yang—"

"Aaah, ini?" ujar Eric, pria itu lalu melihat ke bawah, tempat di mana jasad itu tergeletak dengan begitu mengenaskan. "Ini serangga, Sayang. Terkadang ada serangga yang suka mengganggu waktu luangku."

Alis Ai bertaut. Apakah ini adalah salah satu orang yang mengenali Eric dan ingin mencoba untuk membunuh pria itu?

"Apakah—apakah dia mencoba untuk membunuhmu?" tanya Ai, jantungnya berdetak kencang. Dadanya bergemuruh tak keruan, ia belum bernapas dengan normal. "Kakak baik-baik saja, 'kan…?"

"Uh-hm!" jawab Eric dengan riang tatkala ia melihat ke arah Ai lagi dengan senyuman. Setelah itu, Eric melihat ke arah jasad itu lagi. "Aku akan membiarkannya dengan satu tusukan di perut apabila dia hanya mengincarku. Namun, dia mengincarmu."

Kontan saja, mata Ai membeliak. Mengincar Ai?

Napas Ai semakin tercekat. "A—ku…?"

Apakah samurai ini memilih untuk menyerang Ai karena tahu bahwa Eric akan kehilangan akal sehatnya apabila Ai mati?

Kemudian, untuk menenangkan adik perempuannya itu, Eric pun mendekat. Ia berjalan ke arah Ai dengan langkah santainya, lalu tatkala ia berdiri tepat di depan Ai, ia pun mulai mengelus pipi Ai dengan sebelah tangannya yang tidak sedang memegang katana.

Elusannya terasa lembut. Menenangkan. Penuh cinta.

Satu jari telunjuknya mulai mengangkat dagu Ai agar perempuan itu menatap ke arahnya. Ia lalu tersenyum lembut dan berkata, "Jangan khawatir, Sayang. Aku akan melindungimu."

Dengan detak jantung yang masih bertalu-talu, dengan segala rasa terkejut, panik, dan takut yang tersisa, Ai pun langsung memeluk tubuh Eric dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang kakaknya itu. Dia kontan berteriak, matanya merah, air mata sudah siap meluncur dari pelupuk matanya. Setelah itu, bagaikan sebuah tali yang terus menerus ditarik, segala perasaan yang ia tahan pun akhirnya terlepas. Tumpah. Ia lantas meneriaki Eric.

"Aku kira Kakak baru saja ditusuk dengan katana oleh seseorang karena melindungiku!! Jantungku hampir berhenti, aku—aku kira—aku kira barusan—"

Meskipun Ai tahu bahwa yang ia khawatirkan itu tidaklah mungkin terjadi, mengingat Eric adalah pembunuh bayaran tersadis yang selalu menjadi simbol kengerian di Edo, Ai tetap kalah dengan rasa cemasnya. Ia takut kakaknya terbunuh. Ia takut ada sesuatu yang terjadi pada kakaknya.

Eric pun balas memeluk Ai menggunakan sebelah tangannya. Dengan senyuman lembut di bibirnya, Eric pun memejamkan mata dan menenggelamkan wajahnya di helaian rambut berwarna vermillion milik Ai. "Sshh… Aku tidak apa-apa, Sayang. Aku tidak apa-apa."

Ai sadar; dia sudah sadar sepenuhnya bahwa kemungkinan besar, kakaknya itu telah berhenti melihatnya sebagai adik, entah sejak kapan. Eric sering menciumnya, memeluknya, memanggilnya dengan penuh cinta, menatapnya dengan tatapan intens yang penuh akan hasrat, dan memperlakukannya bukan seperti seorang adik kandung. Ai tidak tahu pasti sejak kapan kakaknya berhenti melihatnya sebagai seorang adik, tetapi…

…tidak mungkin sejak awal sudah seperti itu, 'kan?

 

******

 

Di balik barisan pepohonan yang tinggi dan lebat, ada sebuah rumah besar yang hampir bisa disebut sebagai mansion. Rumah itu memiliki desain yang bergaya Eropa; rumah itu milik seorang saudagar kaya yang ada di luar Edo. Rumah itu sebagian besar dibuat dari kayu dan bata lumpur. Warna rumah itu didominasi dengan warna coklat. Banyak jendela yang berjajaran di rumah yang tinggi itu dan mungkin saja karena malam telah larut, sebagian besar lampu dari bagian dalam rumah itu telah dimatikan.

Rumah sebesar itu dikelilingi oleh susunan pepohonan yang cukup besar dan cukup lebat, bagaikan istana yang tersembunyi di dalam sebuah hutan. Ada juga pos penjaga di depan rumah itu; rumah itu dipagari dengan pagar beton yang tinggi. Pemiliknya betul-betul menjaga hartanya dengan baik.

Namun, meski dengan penjagaan yang ketat begitu, di sinilah Eric dan Atsushi, tengah bertengger di atas sebuah ranting dari salah satu pohon lebat yang ada di samping rumah tersebut. Mereka bertengger di salah satu pohon yang tumbuh di bagian paling depan dari hutan yang ada di samping kiri rumah tersebut. Atsushi sudah membunuh seluruh penjaga yang tengah bertugas di sekitar rumah tersebut dalam diam, lalu di sinilah ia, berjongkok di atas sebuah ranting pohon yang besar dan kokoh, memperhatikan rumah itu dari samping bersama Eric.

Atsushi yang bertubuh tinggi dan besar itu pun menoleh ke arah Eric, menemukan bahwa pria yang lebih muda darinya itu tengah berdiri di ranting yang sama dengannya. Sebelah tangan Eric memegang sebuah ranting yang ada di atas kepala pria itu, ranting dari pohon yang sama.

Atsushi, pria berusia empat puluh tahun itu, kemudian berbicara dengan kesal pada Eric. Pria bernama Eric Shou itu lebih muda darinya, tetapi jauh lebih sadis dan jauh lebih sinting dari dirinya. Meskipun ia lebih tua, ia benar-benar tak mau berurusan dengan Eric. Namun, apa boleh dikata, bos mereka sering menugaskannya untuk mendampingi Eric. Meski Eric adalah pria pembangkang yang bergerak sesukanya saja, bos mereka tak bisa berbuat banyak karena Eric adalah andalan di dalam organisasi mereka.

…padahal semua orang pun tahu bahwa Eric tak perlu didampingi! Yang ada, Atsushi malah jadi budaknya saja di sini!

"Apa kau gila? Aku bisa mati duluan kalau kau tak membantuku; penjaganya banyak sekali!" ujar Atsushi. "Aku belum mau mati. Aku masih mau belajar membuat mi soba!"

Eric, pria yang ada di sampingnya itu, hanya menoleh ke arahnya dan tersenyum manis. Itu adalah senyuman biasanya—senyumannya yang paling dikenal—di mana matanya jadi tertutup seolah ikut tersenyum. Atsushi bahkan tidak yakin apakah itu benar-benar sebuah senyuman atau bukan, sebab entah mengapa, lama-lama senyuman itu terlihat seperti seringai. Mungkin Atsushi sedang mengantuk atau apa, penglihatannya harus ia perjelas lagi setelah ini.

Setelah itu, mata Eric membulat polos. Dengan ucapan yang terdengar seperti 'anak-anak', Eric pun menjawab, "Waah, seraaam. Jangan begitu, dong, Sushi-kun. Kau kan belum mati."

"Siapa itu 'Sushi-kun'?!!" teriak Atsushi tak terima. "Berhentilah memanggilku Sushi! Aku terlalu besar dan terlalu tua untuk disamakan dengan sushi, astaga!"

Eric memiringkan kepalanya. "Bukannya namamu memang Sushi? Jadi, aku harus memanggilmu bagaimana lagi?"

"Kau—!" geram Atsushi. Eric itu masih muda, tetapi bagi Atsushi, dia betul-betul tidak sopan. Memang agak sinting. Ia ingin memukul kepala Eric yang mengesalkan itu, tetapi ia betul-betul masih sayang dengan nyawanya sendiri. Eric adalah psikopat gila dan Atsushi tidak mau mengambil risiko.

Akhirnya, Atsushi menghela napas. Mencoba untuk melupakan saja ejekan mengesalkan dari Eric itu, lalu bertanya, "Jadi, apa yang kau rencanakan?"

Kedua mata Eric beralih melihat ke arah depan—ke rumah itu lagi—dan senyuman manisnya pun kembali. "Aku akan masuk ke sana. Kau tunggu di sini."

Mendengar jawaban dari Eric itu, kontan saja mata Atsushi terbelalak. "Gila! Aku yakin di dalam sana penjaganya lebih banyak! Aku akan membantumu untuk mengalihkan perhatian sebagian penjaganya. Bukankah kau tidak suka dibuat lelah oleh pekerjaan simpel seperti ini?"

Sinting. Pria itu memang benar-benar sinting, pikir Atsushi. Mereka memang ditugaskan untuk membunuh pemilik rumah besar itu, tetapi orang itu bukanlah orang sembarangan. Di dalam sana pasti ada banyak penjaga, pengawal, serta pelayan. Kemungkinan besar, pemilik rumah itu juga memiliki beberapa pengawal yang kuat untuk melindunginya. Atsushi tahu bahwa Eric memang sangat kuat, dia membunuh dengan begitu sadis dan tak berperasaan. Jika kita tengah berperang, memasukkan satu manusia bernama Eric akan jauh lebih menguntungkan daripada memasukkan seribu pasukan biasa. Dia adalah pion terkuat, monster tak terkendali, yang sebetulnya tidak memerlukan siapa-siapa untuk membantunya. Namun, tetap saja, bukankah Atsushi ada di sini untuk membantunya?

"Kau sudah membunuh penjaga di luar, Sushi-kun," jawab Eric dengan polos, atau lebih tepatnya, polos yang dibuat-buat. Membuat Atsushi kesal saja.

"Iya, memang aku sudah membunuh mereka—oi! Namaku bukan Sushi!!" teriak Atsushi dongkol.

"Eeeh? Katamu kau mau memasak mi soba, 'kan? Ini tidak akan lama, Sushi-kun." Eric tersenyum manis, tetapi entah mengapa Atsushi merasa seperti sedang diejek habis-habisan. Setelah itu, tanpa ba bi bu lagi, tanpa menunggu reaksi dari Atsushi, tiba-tiba saja Eric melompat.

Kontan saja Atsushi panik, dia langsung berdiri dari posisi jongkoknya dan langsung meneriaki Eric. "Hei! Hei—hei!!! Oi, apa kau gila?!! Tunggu seben—"

Gila! Eric, pria sinting itu, melompat dari atas pohon dan mendarat di pagar beton rumah tersebut, lalu dengan entengnya melompat masuk ke area rumah itu! Apa dia bahkan seorang manusia?

Atsushi kontan menepuk jidatnya. Sial. Seperti biasa Eric memang hanya menjadikannya sebagai budak sekaligus kambing congek di sini. Lain kali, dia betul-betul akan menolak perintah bosnya untuk menemani Eric. Psikopat gila itu jelas-jelas tak butuh ditemani. Dia adalah orang sadis yang sesat akal. Makhluk yang mengerikan. Tidak normal.

Biarlah binatang buas itu menggila sendirian, Atsushi tak mau ikut-ikutan. Dia sudah tua, dia juga tak mau mati cepat.

 

******

 

Siang itu, Ai tengah meletakkan pesanan seorang pelanggan ke atas meja tatkala Sora, seekor kucing berwarna kuning yang biasa main ke dalam bar milik Gin, tiba-tiba mengeong keras dan berlari kencang keluar dari bar. Semua orang sontak langsung menatap ke asal suara, di mana di depan sana terlihat Sora yang tengah berlari keluar melalui pintu depan bar.

"Sora!!" teriak Ai.

"Eh, ada apa??" tanya Shin, pria itu berjalan cepat ke ujung counter seraya mengelap sebuah gelas. Wajahnya terlihat agak kaget, kedua matanya terlihat melebar di balik kacamatanya. "Sora, ya?"

"Iya! Aku akan mengejarnya," ujar Ai dengan suara yang agak keras. Gadis itu langsung berlari ke luar bar, sontak membuat Shin kaget bukan main. Shin langsung buru-buru berteriak, "EH? AI!!!"

Shin panik. Gin sedang pergi ke luar sebentar karena ada urusan, jadi mereka berdua harus menjaga bar dan melayani pelanggan.

"Sebentar!!!" teriak Ai, suaranya mulai terdengar menjauh karena ia berteriak seraya berlari ke luar. "Sepertinya dia terluka!!"

Akhirnya, Shin pun menghela napas. Dia harus mengatasi ini—menjaga bar—sendirian untuk beberapa waktu sampai Ai kembali. Kasihan juga kalau misalnya kucing yang sudah biasa jadi tamu di bar ini tiba-tiba terluka.

Di sisi lain, Ai tengah berlari mengejar Sora hingga sampai ke sebuah jalan yang besar. Di kanan dan kiri jalan tersebut terdapat berbagai toko dengan bangunan khas Edo yang berjajar. Bisa dibilang area tersebut merupakan area perdagangan di sana; ada juga beberapa penjual makanan yang berjualan di pinggir jalan. Terkadang, area ini mengingatkan Ai dengan jajaran yatai pada saat festival musim panas. Banyak kios-kios makanan, tetapi bedanya, yang ini kebanyakan menjual dagangannya di dalam toko. Toko ramen, okonomiyaki, bahkan ada toko-toko lain seperti toko penjahit, toko kuas, toko bumbu, toko benda tajam, dan lain-lain. Jalan ini biasa disebut oleh masyarakat Edo sebagai jalan pedagang.

Ai melihat Sora yang masih berlari di depan sana, lalu Sora belok ke kanan. Spontan saja Ai pun langsung ikut belok ke kanan dan rupanya, Sora berhenti di sebuah toko kecil yang menjual dango. Ada sebuah kursi kayu panjang dan sebuah meja panjang yang melintang di depan toko tersebut; kursi itu biasanya diduduki oleh para pelanggan yang ingin memakan dango di bagian luar toko. Ai melihat ada beberapa orang yang tengah duduk di sana, tetapi Ai hanya melihat mereka dengan sekilas karena fokus Ai sekarang tidak berada di mereka. Ai fokus kepada Sora yang rupanya berlari masuk ke bawah meja panjang di depan toko dango tersebut.

Tanpa tedeng aling-aling, Ai yang tak memedulikan tanggapan orang lain itu langsung berlari ke arah toko dango tersebut dan langsung merundukkan tubuhnya. Ia lantas mencari celah untuk masuk ke kolong meja tersebut, berjongkok, lalu diam-diam dia mendekati Sora yang tengah duduk di ujung sana, membelakanginya. Ai terlihat seperti perempuan yang tidak anggun sama sekali; dia tidak tahu bahwa pelanggan dango yang duduk di sana biasanya adalah laki-laki. Namun, masa bodoh. Toh sepertinya pelanggan yang duduk di sana hanya sekitar tiga orang.

Ai pun berjalan jongkok pelan-pelan…dan hap! Dia berhasil meraih Sora. Gadis itu pun langsung bernapas lega dan menarik Sora ke dalam pelukannya. Sora hanya mengeong di dalam pelukannya. "Nah, dapat kau! Akhirnya! Oi, Sora, kau ini! Mengapa larimu kencang sekali?! Kau sedang kesurupan atau apa?!!"

Ai pun tersenyum lega. Dia harus keluar dari sini terlebih dahulu dan memeriksa tubuh Sora, kalau-kalau ada luka. Namun, tatkala Ai baru saja ingin berbalik dan keluar dari kolong meja tersebut, tiba-tiba Ai mendengar sebuah suara.

 

"Oi. Apa yang kau lakukan di sini?"

 

Ai kontan menoleh ke asal suara. Ternyata, di samping kirinya, dia melihat ada seorang pria yang tengah merundukkan tubuhnya hingga Ai dapat melihat kepalanya, lehernya, dan sebelah tangannya yang tengah bertumpu di kursi untuk melihat ke bawah meja. Rupanya sedari tadi kedua kaki pria itu ada di samping Ai.

Namun, tatkala melihat wajah pria itu dan mengenali siapa dia, kedua mata Ai sontak memelotot.

Sialan! Mengapa ada pria ini di sini?!!

Ah, sompret. Ai sedang malas bertengkar dengan pria ini.

"Bukan urusanmu," ujar Ai ketus. Ai langsung lanjut berbalik dan berencana untuk keluar dari kolong meja tersebut.

"Hah?" ucap pria tersebut, betul-betul tak habis pikir. Dahinya berkerut, dia mendadak jadi merasa kesal. Perempuan ini selalu saja mampu memancing emosinya. Lantas, pria yang dipanggil sebagai Kei Arashi itu mulai menegapkan tubuhnya kembali, lalu menatap sinis ke arah Ai yang kelihatan sedang berusaha keluar dari kolong meja tersebut seraya menggendong seekor kucing.

"Aku hanya ingin tahu perempuan mana yang cukup serampangan untuk masuk ke kolong meja di sebuah toko dango, padahal ada beberapa laki-laki yang tengah duduk di dekat sana," ujar Kei sarkastis. "dan ternyata itu adalah kau. Danna, tolong berikan beberapa dango untuk perempuan berbaju cheongsam ini. Dia sepertinya sangat kelaparan sampai-sampai bersembunyi di bawah meja."

Ai yang baru saja berhasil mengeluarkan dirinya dari bawah meja tersebut lantas berdiri dan langsung menghadap ke arah Kei. Dia mendengar Kei yang tadi tengah mengolok-oloknya dengan cara memesankan dango untuknya. Sialnya, pria paruh baya pemilik toko tersebut mendengar pesanan itu dan berkata, "Oke, Tuan!"

Bedebah!

Sontak gadis itu berdecak kesal dan langsung memelototi Kei dengan tajam. "Diam kau, Sadis! Urusi pekerjaanmu sendiri sana! Apa yang polisi sepertimu lakukan di sini, siang bolong begini? Pergi sana kau! Danna, jangan dengarkan pesanan dari Si Sadis ini!!"

Mendengar itu, sontak saja emosi Kei tersulut. Urat-urat di sekitar pelipis Kei tampak nyaris mencuat ke luar. "Kau pikir polisi tidak ada jam istirahatnya?! Aku yang duluan ada di sini, mengapa jadi kau yang mengusirku?!!"

Ai tahu benar betapa sadis, sombong, dan menyebalkannya pria ini. Kalau ditelusuri, sebetulnya dahulu Ai takkan benar-benar mengenal pria itu apabila dia bukan salah satu pelanggan di bar milik Gin. Memang, pria itu terkenal. Dia adalah kapten divisi satu Shinsengumi. Shinsengumi memiliki sepuluh divisi yang saat ini tiap-tiap divisinya memiliki ratusan anggota. Divisi satu atau divisi pertama merupakan divisi yang terkuat. Mereka akan selalu berada di barisan terdepan saat terjadi sebuah peperangan. Akibat kemampuan berpedangnya yang luar biasa, Kei Arashi dicap sebagai pendekar pedang terbaik dan langsung diangkat sebagai kapten divisi pertama saat dia baru berusia dua puluh dua tahun. Namun, dia memiliki nama lain, yaitu Kapten Iblis Shinsengumi, akibat kekejamannya di medan perang dan sifatnya yang sadis bukan main. Dia adalah monster mengerikan yang tak memiliki empati. Makhluk abnormal yang menakutkan. Dia selalu menjadi orang yang membantai habis semua lawannya seperti tengah haus darah.

Dia adalah psikopat gila yang kurang lebih sama saja dengan Eric. Mereka sama-sama monster.

Satu hal lagi yang membuatnya sama sintingnya dengan Eric, yaitu dia suka melihat orang lain menderita. Jika masokis adalah orang yang suka disakiti, maka sadis adalah keterbalikannya. Mereka suka melihat orang lain merasa sakit, terluka, dan menderita. Seperti ada kepuasan tersendiri.

Kei dan Eric dua-duanya adalah sadis, setidaknya di mata Ai. Mereka sama-sama punya kelainan. Sama-sama sinting. Namun, setidaknya Eric tidak pernah menyakiti Ai.

Beda dengan yang satu ini. Agaknya dia senang sekali membuat Ai dongkol setengah mati. Kalau dipikir-pikir, meskipun Kei terkenal (terutama di kalangan wanita), kalau saja Kei bukan pelanggan Gin, maka mereka tidak akan saling mengenal satu sama lain dan jadi bertengkar terus menerus seperti ini.

"Diam atau kupenggal kepalamu," ancam Ai dengan tatapan tajam. Matanya memelotot sampai-sampai terlihat seperti ingin keluar dari soketnya. Urat-urat di lehernya jadi keluar semua. "Anak buahmu tidak ada yang berani melakukan itu, 'kan? Biar aku saja yang melakukannya. Atau aku akan mengirimkan paket berisi tahi sapi ke Markas Shinsengumi, khusus untukmu."

Setelah mengucapkan hal itu, Ai langsung menyodorkan jari tengahnya ke arah Kei, memelototi Kei, lalu dia berlari kencang dan menjauhi toko dango itu. Kei yang tengah kesal setengah mati itu spontan membalikkan badan, matanya melebar penuh tatkala menatap Ai yang tengah berlari menjauh. "KAU—OI!! KEMARI KAU!! MAU LARI KE MANA KAU SETELAH MENGHINA SEORANG POLISI?!!"

Sialan. Perempuan itu benar-benar sialan.

Ini benar-benar membuat Kei kehabisan akal. Kehabisan cara. Kehabisan rasa sabar.

Dia melihat Airell Shou untuk pertama kalinya tatkala mengunjungi bar milik Gin bersama dengan Jun beberapa bulan yang lalu. Apabila pada malam hari itu Jun tidak iseng-iseng ingin minum bir karena baru saja menyelesaikan tugas yang melelahkan, maka Kei tidak akan melihat sosok Ai yang malam itu tengah memakai piama panjangnya, masih membantu Gin untuk mengantarkan pesanan mereka, meskipun wajahnya terlihat mengantuk. Gadis itu tampak menguap berkali-kali.

Gin, pemilik toko bar yang mereka kunjungi, terlihat masih cukup muda. Rasanya tidak mungkin gadis itu adalah anak kandungnya. Mereka juga memiliki warna rambut yang jauh berbeda; wajah mereka tidak mirip. Namun, gadis itu sepertinya juga bukan karyawan bar tersebut, mengingat dia membantu Gin untuk mengantarkan pesanan dengan hanya mengenakan piama. Gin malah sempat memarahi gadis itu karena hampir tertidur di counter. Gin terlihat seperti sedang memarahi anaknya sendiri.

Apa gadis itu anak angkatnya?

Saat itu, baik Jun ataupun Kei, mereka berdua sama-sama belum mengenal Gin. Setelah beberapa kali berkunjung, barulah mereka tahu bahwa pemilik bar itu bernama Gin Shuuji dan biasa dipanggil Gin. Namun, karena sudah kebiasaan, Kei tetap memanggil Gin dengan panggilan Danna yang berarti tuan rumah atau tuan pemilik toko.

Kei tak ingin mengakuinya, tetapi perempuan serampangan yang ia temui di bar malam itu telah sedikit menggelitik rasa penasarannya. Namun, Kei adalah jenis pria sadis yang tidak bisa memulai konversasi dengan normal. Dia mahir dalam menekan atau menghina orang lain. Kedua mata berwarna merah tuanya itu selalu menatap orang lain dengan tatapan keji. Seperti tatapan binatang buas. Alhasil, semakin sering Kei berkunjung ke bar itu, semakin Kei menjadi pelanggan di bar itu, percakapan yang ia lakukan dengan Ai justru berubah menjadi pertengkaran sengit.

Dari rasa penasaran yang awalnya hanya 'sedikit', setelah beberapa bulan berlalu, rasa penasaran itu berubah menjadi perasaan yang ambigu. Membingungkan. Campur aduk. Membuat pikiran Kei berasa kalut.

Antara marah, benci, kesal, geram, serta…

…perasaan ingin meraih.

Dia jadi punya sebuah asa yang terpendam.

Dia ingin melihat perempuan itu diam. Mengerti isi pikirannya. Melihat dirinya. Menatapnya lurus-lurus. Terjebak di dalam penjaranya. Terkurung di dalam kuasanya. Menangis di bawah kungkungannya.

Dia ingin perempuan itu mendengarnya; dia ingin berhenti bermain kucing dan anjing dengan perempuan itu. Kalau begini caranya, selama-lamanya mereka akan bertengkar. Mereka tidak akan pernah akur. Mungkin suatu hari nanti bisa jadi Ai akan menodongkan pisau kepadanya. Kucing dan anjing tidak mungkin bisa bersetubuh, bukan?

Perempuan itu harus tahu bahwa mereka bukanlah seekor kucing dan anjing. Mereka berdua sama-sama manusia. Manusia yang berbeda jenis kelamin. Seorang pria dan wanita.

Kei menggeram. Rahangnya mengeras; giginya bergemeletuk. Ia menatap Ai yang sudah berada jauh di depan sana, masih berlari seraya menggendong kucing yang seingat Kei sering bermain di bar milik Gin. Cahaya merah tua yang begitu kelam seakan terpancar dari kedua mata pria itu yang menatap sosok Ai dengan begitu dalam. Intens. Tajam. Memenjarakan gadis itu dari jauh dengan tatapan matanya. Iris berwarna merah tuanya itu terlihat seperti cairan gelap yang mampu menelan apa pun. Membuat setiap orang yang menatapnya merasa seolah-olah tenggelam, terjebak, dan takkan mampu untuk kembali lagi ke permukaan. Layaknya black hole.

Malam ini, Kei akan membuat perempuan itu mengerti. []