"Jadi, apa kau bisa?"
Aku menatap Giovanni sangat lama, tidak membuka mulutku sama sekali. Kupikir, dia harus memberikan informasi lebih banyak. Aku menemuinya karena aku perlu kepastian, bukan untuk saling mengenang masa kuliah yang membuatku frustasi berat.
"Henri, aku tidak tahu kau sudah berkeluarga atau tidak-"
Aku segera memotongnya dengan tawaanku yang terlalu kencang. "Aku? Punya keluarga?" Aku masih tertawa sembari merapikan rambutku. "Tidak mungkin! Bahkan merawat diriku saja sudah membuatku malas."
Dia hanya tertawa kecil, tatapannya begitu lembut seperti wanita. Dia bukan wanita, tapi wajahnya selalu membuat orang salah paham. Giovanni menjabat tangannya sendiri di bawah meja, aku bisa merasakannya, dia gugup sejak tadi.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan terhadap IVE?" Tanpa perlu basa-basi, aku mengatakannya datar, tatapanku lurus padanya sembari mengetuk meja dengan jari-jari-ku secara bergantian.
Dia sedikit menurunkan pandangannya, suaranya begitu pelan namun jelas. "Aku ingin menjatuhkan IVE."
"Kenapa?"
"IVE memanfaatkan manusia untuk uang."
"Memang." Aku menyipit. "Semua manusia saling memanfaatkan satu sama lain."
Dia menghela nafas cepat dan menaikkan kepalanya. "Cara dia salah. Tidak manusiawi."
Aku menatapnya cukup lama, aku bisa katakan dia sedang kesal saat ini. Perubahan emosi yang cepat, tapi aku juga seperti itu. "Lalu, kau ingin aku bagaimana?"
Dia akhirnya menatapku lurus, kedua mata hijau itu bersinar seperti zamrud. "Aku ingin kau mendapatkan semua bukti untuk menjatuhkannya."
Aku berhenti mengetuk meja dan mencatat perkataannya. "Sebelumnya aku sudah memberitahu-mu, bahwa EVI menyamar sebagai IVE."
"Dua triliun tidak cukup untukmu?"
Seketika aku terdiam, namun masih menatapnya dalam keheningan. Itu sangat cukup, tapi tidak menjamin keselamatanku, sama seperti EVI memanfaatkan orang-orang miskin. "Apa jaminanmu padaku? Aku masih sayang nyawa."
Dia tersenyum lembut, tatapannya tidak setajam tadi. "Aku sudah bilang sejak dulu, aku selalu dan akan selalu melindungimu. Bahkan jika kita sudah dua belas tahun tidak bertemu, aku masih mengingatmu."
"Aku juga mengingatmu, bodoh." Walaupun tidak semuanya kuingat, namun aku masih ingat nama orang-orang yang pernah kutemui.
"Tolong...," lirihnya lebih pelan, aku benci matanya yang memohon seperti anak kucing. "Aku akan melakukan apapun... Apapun..."
"Berhenti! Baiklah! Akan ku selidiki, oke?" Aku menghela nafas, membenci diriku sendiri. Kenapa aku sangat mudah menerima belasan seseorang? Padahal aku harus terlihat tegas sebagai detektif. Aku kemudian berdiri dan hendak pergi.
Tiba-tiba saja pria besar itu memelukku dengan erat dari belakang hingga kakiku terangkat, rasanya bulu kudukku menegang semuanya dan segera aku melepaskan rangkulannya dan menjauh darinya, lima langkah pendek setidaknya. Aku menyipit, seakan berkata 'gila kau!.'
Dia hanya terkekeh dan memandangku dengan lembut, kemudian mendekatiku dan menggenggam kedua pundakku dengan erat. "Aku tahu, kau akan bisa, Henri."
"Diam." Segera kuturunkan kedua tangannya dan menata ranselku. Tangannya seperti bisa mengambil apapun, atau bahkan tangannya bisa menyelimuti bola basket dengan mudah. "Omong-omong, kau sudah mencatat nomerku, kan? Kita akan membicarakan kasus ini lebih lanjut."
Dia mengangguk pelan, masih dengan senyumannya, semakin lama aku melihatnya, semakin aku ingin sekali meninju wajah cantiknya. "Sampai jumpa nanti, ya."
Aku tidak menjawab dan hanya meninggalkannya, hendak kembali ke toko.
Saat aku membuka pintu toko, diriku disambut dengan baik oleh lemparan pisau, syukurnya kepalaku gesit dalam hal ini. Kulirik meja kasir, seseorang duduk di sana sembari membaca buku. Pakaiannya sangat banyak, memang sekarang adalah musim salju, tapi aku bisa menebak bahwa dia adalah orang yang elegan, seharusnya. Kakinya terangkat di atas meja, seharusnya itu adalah kebiasaanku. Aku masih berdiri tegak sembari menutup pintu.
"Ada yang bisa dibantu?" tanyaku formalitas.
Dia membalikkan halaman dalam buku itu tanpa menatapku. "Ada."
"Kau bisa menunggu hingga pukul delapan pagi nanti. Sekarang masih pukul setengah enam, toko buku ini belum buka."
"Aku tak akan membeli rongsokan buku-buku ini. Ada yang lebih penting dari buku," ujarnya datar dan beranjak dari kursi nyamanku, perlahan mendekatiku dengan tenang.
"Aku tidak setuju dengan pernyataan barusan," balasku dengan malas. "Tapi siapa dirimu hingga bisa mengatur jadwal toko ini sesukamu?"
"Marco Santini-"
Aku segera menarik tangannya dan tanganku yang lain membuka pintu, kemudian menendangnya keluar dari tokoku. Sebelum ia bisa mendorong pintu, aku berhasil mengunci pintu secepat kilat dan tersenyum puas. Mendengar nama pemimpin IVE dan EVI sudah membuatku semakin malas. Bukan takut, tapi malas.
Pria lebih tinggi dariku terus berusaha mendobrak pintu, sepertinya orang itu merupakan pekerja di sana juga, entah IVE atau EVI. Wajahnya yang sombong tadi menghilang begitu saja. Bukannya marah, ia malah semakin panik ketika aku tidak membukakan pintu lagi. Beberapa kali ia melihat sekitar, kemudian melihatku lagi, mulutnya juga sedikit bergetar.
"Katakan saja dari sana, aku bisa mendengarnya dari sini," tegasku tanpa khawatir. Sepertinya orang ini akan menagih sesuatu dariku.
"Kau pasti tahu pemimpinku kejam, aku berada di bagian EVI. Tolong, patuhi aku kali ini!" Matanya semakin melebar, seakan kedua bola matanya siap keluar kapan saja. "Bapak Marco menagih hutang ayahmu. Aku tahu pasti sulit, tapi aku juga diancam!" Dia berusaha memecahkan kaca pintu dengan tangannya sendiri, namun percuma.
Aku tidak menjawab dan segera naik ke tangga menuju rumah, teriakan orang itu semakin kencang dan panik. Kututup serapat mungkin pintu rumah kemudian pergi ke laci, mengambil pistol dan menyembunyikannya di dalam saku.
Segera aku keluar ke balkon dan memeriksa ke bawah, tentu saja aku telat. Tepat setelah aku menunduk, suara teriakan tiba-tiba berhenti dan terganti dengan suara tusukan begitu jelas. Sayang sekali, tubuhnya diseret begitu saja oleh rekannya yang terus menatapku. Entah aku diberi kesempatan atau mereka sudah menyusun rencana lain, yang pasti hari ini aku selamat.
Aku kembali masuk ke rumah dan melompat ke kasur seperti biasanya. Akhirnya aku menyalakan ponsel, kudapatkan pesan pertama dari Giovanni.
Giovanni: Haloo, sudah sampai rumah?
Henri: Ya, dan aku barusan bertemu dengan bawahan EVI.
Giovanni: Kamu baik-baik saja? Apa kau disakiti oleh mereka?
Giovanni: Aku akan segera ke toko mu!
Henri: Hentikan, bangsat. Bawahannya dibunuh sama rekannya sendiri, bikin penasaran warga.
Giovanni: Maafkan aku, aku tidak tahu..
Henri: Y
Henri: Btw, aku menemukan surat lain dari ayahku.
Henri: Ini tulisannya. Lumayan buat barang bukti.
_____________________
EVI menawarkan jumlah uang tidak main kepada saya, saya pikir 2% bunga per-minggu termasuk murah. Ternyata itu kesalahan terbesar pikiran saya.
Saya benar-benar masih ingat ketika mereka menodong pistol di kepala saya, ketika saya sedang beristirahat sejenak saat bekerja.
_____________________