Perkenalkan, aku adalah Nayla. Putri pertama dari ayah ku bersama istri pertamanya. Ayahku namanya Bardes. Orang-orang menyebutnya Juragan Bardes karena ayahku adalah orang terkaya di desaku.
Ternyata benar kata kebanyakan orang, kalau kita kaya maka tidak akan ada yang berani nyenggol. Jangankan nyenggol, saat aku diajak jalan-jalan oleh ayah, orang-orang yang berpapasan dengan ayahku pasti menyapa duluan diiringi dengan senyum sambil menunduk sopan.
Lebih jauh lagi, hampir setiap hari aku melihat beberapa orang datang ke rumah untuk meminjam uang. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang bermobil yang ingin mengembangkan bisnisnya dan atau untuk menyelematkan bisnisnya dari kebangkrutan. Sebagian kecilnya adalah kalangan bawah yang tidak berkecukupan sehingga untuk mengganjal perutnya harus meminjam dulu.
Usia ayahku menginjak kepala empat. Selain kaya, faktor usia menjadi instrumen tambahan ayahku dihormati dan disegani di desa ini. Mungkin jika tidak berlebihan, sebut nama ayahku di kecamatan, pasti yang mendengar akan tersenyum senang.
Kenapa begitu?
Satu kata sebenarnya. Ayahku orang baik. Senang memberi pinjaman uang kepada siapapun tanpa harus mengembalikan uang lebih, bahkan tidak jarang ada yang mengembalikan melewati waktu yang sudah disepakati dari awal.
"Nay, jangan sekali-kali makan uang riba. Uang riba itu ibarat api yang membakar setiap daging kebaikan di dalam tubuhmu."
Kalimat indah itulah yang aku pegang sampai sekarang.
"Kita harus menjaga tubuh kita dari benda-benda haram."
Begitu tenang dan adem mendengar nasehat-nasehat indah ayah.
"Hidup itu bukan tentang menerima, tapi tentang memberi. Jadi ringankan tanganmu untuk menolong orang lain."
Ayah memiliki dua istri yang cantik-cantik. Istri pertamanya adalah Melinda yang akhirnya melahirkan aku. Istri keduanya adalah Tiyas yang akhirnya melahirkan Aira dan Aida. Dua putri kembar yang lucu-lucu. Namun selisih aku dengan Aira dan Aida cukup jauh karena ayah menikah lagi setelah aku sudah SMP kelas satu. Hari ini aku baru lulus SMA, tepatnya umur 18 tahun sementara Aira dan Aida baru umur 3 tahun.
Satu karakter yang menjadi bahan tontonan aku setiap hari. Aku melihat sisi kebaikan yang terpatri dari dua ibu rumah tangga itu memantul menjadi tindakan yang luar biasa indahnya. Mereka, dua istri ayah itu tinggal dalam satu atap dengan rukun dan damai.
Setiap hari keluarga kecil kami selalu dipenuhi kehangatan canda tawa, dan kebahagiaan.
Ibuku sebagai istri pertama yang lebih dewasa dari segi umur menempatkan dirinya sebagai kakak bagi Bu Tiyas. Begitu pula dengan aku, yang memang jauh lebih tua dari Aira dan Aida menjadi kakak terbaik bagi mereka.
Dari semua kebahagiaan itu, tapi minusnya, menurut aku, sampai sekarang statusku masih jomblo.
Apakah aku tidak laku?
Tidak cantik?
Jawabannya salah. Nanti aku jelasin review para cowok yang ngejar-ngejar aku, bahkan sampai rela memberikan segalanya hanya untuk mendapatkan cinta dariku.
Ah, lupakan itu, masalahnya bukan di sana.
Masalahnya ada pada sepucuk pesan sakral ayah yang bagi aku cukup meresahkan dan penuh misteri.
"Nak, jika kamu sayang ayah, tidak boleh menjalin hubungan pacaran, tunangan, ataupun menikah sampai kamu menginjak usia 27 tahun," ucap ayah waktu itu sambil mengusap-ngusap rambutku.
Pesan itu bukan hanya meresahkan tapi membunuh masa-masa remaja dan momen-momen dewasa yang seharusnya dibuai oleh rasa dan asmara. Bagaimana sedihnya aku harus melewati masa-masa emas itu dengan perasaan sepi dan hampa.
Aku harus menjomblo sampai 27 tahun?
Aku benar-benar cemas dan hawatir dengan pesan sekaligus larangan itu.
Ini benar-benar ganjil.
Tapi usapan tangan kasar ayahku sudah cukup memberi ketenangan.
Aku yang mencoba protes harus terhenti oleh telunjuk besar ayah yang ditempelkan ke bibirku. Dengan suara wibawanya ayahku melanjutkan ucapannya, "Nayla sayang ayah, kan?"
Aku yang waktu itu berumur 15 tahun harus mengangguk tanpa sarat. Karena aku cinta ayah, maka aku mengikuti setiap nasehat ayah. Karena bagi aku, pada setiap nasehat orang tua ada hikmah dan kebaikan yang terselip tanpa bisa kita lihat.
Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa ayah memberi sarat aneh itu?
Sarat misterius itu?
Jawabannya ada pada peristiwa ini. Saat ini, saat usiaku sudah genap 18 tahun. Kami dikumpulkan
"Sudah berulang kali saya memperingati!" bentak ayah pada kami semua.
Sore itu kami dikumpulkan di ruang tamu. Ibuku memelukku sambil menahan tangis. Begitu juga dengan Ibu Tiyas yang menangis sambil memeluk kedua putri kembarnya. Belum lagi perutnya sudah besar karena sedang hamil tua anak ke-3.
Aku juga sesengukan dari tadi. Mulai aku membuka mata saat dilahirkan, aku, bahkan semua seisi rumah ini, tidak pernah melihat ayah marah. Ayah adalah sosok penuh senyum nan wibawa. Jarang bicara, namun sekali bicara ribaun nasehat-nasehat indah keluar dari mulutnya.
"SEMUA ISI RUMAH INI, TIDAK ADA YANG BERANI MASUK SELAIN SAYA," bentak ayah. Wajahnya benar-benar marah. Bahkan aku seperti melihat bukan ayah, karena ayah tidak begitu. Ayah yang kalem, penyabar, dan tidak pernah membentak-bentak.
Aku yakin ini bukan ayah, tapi sesuatu di luar ayah yang sedang merasuki dirinya.
Tidak ada yang berani bersuara. Kami semua menangis, terisak karena takut. Takut dengan wajah dan bentakan ayah, dan takut dengan ekspresi ayah yang seperti bukan dirinya.
"Maafkan aku, Mas," pinta Bu Tiyas dengan sesenggukan. Matanya berkaca-kaca. Namun ia tidak berani menatap wajah ayah.
Di rumah ini ayah memiliki kamar rahasia yang tidak boleh dimasuki siapapun. Namun siang tadi, saat ayah menerima tamu dari utusan provinsi untuk mengerjakan proyek pembangunan, Aira dan Aida yang berumur tiga tahun memasuki kamar ayah tanpa sepengetahuan Bu Tiyas.
Usai utusan gubernur itu pulang, ayah langsung mengumpulkan kami. Aku tidak tau alasan pasti mengapa ayah melarang kami masuk pada kamar terlarangnya dan apa yang akan terjadi jika kita memasuki area itu.
Namun yang pasti, yang aku lihat, wajah ayah merah dan gerakan tubuhnya seperti kepanasan.
Ayah menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan pelan-pelan. Lalu tatapannya kosong keluar jendela. Kami tidak tahu apa yang dilihat ayah di luar jendela. Namun yang jelas langit sudah gelap. Mendung datang tiba-tiba. Dan sepertinya sebentar hujan akan turun. Satu dua kilat mulai terlihat.
Aku tidak tahu kenapa mendadak mau hujan. Waktu itu aku tidak berpikir macam-macam.
"Ini bahaya, benar-benar bahaya, sebentar lagi dia akan datang," keluhnya lalu pergi.
Namun pada langkah yang ketiga, ayah berhenti, lalu berpaling ke belakang.
Kami semua kaget, wajah ayah yang memerah sekarang sudah semakin merah dan gelap. Tiba-tiba ayah menunjuk wajahku.
"Dan kamu Nayla, mulai sekarang kamu bukan anakku lagi," bentak ayah lalu pergi meninggalkan aku.
Mendengar kalimat itu, aku langsung menangis. Ini tidak mungkin ayah. Selama ini ayah tidak begini. Aku langsung berhambur hendak mengejar ayah untuk meminta maaf namun ditahan oleh ibu.
Aku meronta ingin meminta maaf. Aku ingin meminta maaf karena telah melanggar larangan ayah. Tadi malam, saat aku jalan bersama teman-teman di luar sana, aku diantar oleh Oki.
Dan tadi malam itu Oki telah berhasil mencuri hatiku. Bersama ucapan-ucapan mesranya ia memasukkan cincin permata yang cantik. Aku yang juga menaruh rasa akhirnya memutuskan untuk menerima keinginan Oki untuk menjalin sebuah hubungan.
Maafkan aku ayah. Aku tidak bisa menahan sepi di usia transisi dari remaja menuju dewasa ini.
Entah mengapa, saat ayah berpaling meninggalkan kami, aku melihat sekelebat hitam mengikuti ayah.
Aku tidak tahu itu sosok apa, namun yang pasti bulu kudukku langsung berdiri dan merinding.
Lalu lima detik kemudian lampu rumah kami mati.
Semuanya gelap.
Aroma busuk tiba-tiba menebar lalu hilang dalam hitungan detik.
Kami saling tatap dalam gelap.[]
Semoga ceritanya menghibur ya.
Mari berkunjung ke akun media sosialku:
Ig: bung.afif
Tiktok: bungafif